CeritaSilat Jawa. Karya : SH. Mintardja Nagasasra dan Sabuk Inten, Episode : 01-05, 06-10, 11-15, 16-20 Tamat Api Di Bukit Menoreh I (Doc), Buku : 01-10, 11-20, 21

♦ 15 Juli 2010 Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Tetapi katanya kemudian, “Aku akan berbicara dengan keduanya. Tetapi bukankah Mataram nampaknya juga dalam keadaan tenang?” Ki Wirayuda mengangguk. Katanya, “Ya. Sekarang kita tidak melihat gejolak di Mataram. Mudah-mudahan untuk selanjutnya Mataram dalam keadaan tenang. Meskipun demikian, mendung yang mengalir dari Pati masih tetap memungkinkan untuk mencurahkan hujan angin dan prahara.” Karena itulah, maka ketika Agung Sedayu kemudian berada di rumah Ki Tumenggung Purbarumeksa, maka iapun segera menemui Glagah Putih dan Sabungsari. Ketika Agung Sedayu menanyakan kepada kedua orang anak muda itu, maka baik Glagah Putih maupun Sabungsari menyatakan keinginan mereka untuk pergi ke Tanah Perdikan. Ternyata keduanya mempunyai alasan mereka masing-masing. Justru karena Rara Wulan akan kembai ke Tanah Perdikan, maka Glagah Putih pun ingin untuk sementara tetap berada di Tanah Perdikan. Sementara Sabungsari yang masih dikuasai oleh penalarannya, maka ia memang berniat untuk meninggalkan Mataram, agar ia tidak memasuki satu lingkaran hubungan antara Raras dan Raden Teja Prabawa. Meskipun dengan jujur ia harus mengakui, setidaknya kepada diri sendiri, bahwa ia memang tetarik kepada gadis yang bernama Raras itu. Tetapi justru karena itu, maka nalarnya telah mendesaknya untuk meninggalkan Mataram dan menjauhi Raras. Namun dalam pada itu Glagah Putih berkata, “Kecuali jika Mataram memerlukan tenaga kami. Kami tidak akan ingkar, seandainya kami harus berada di antara anak-anak Gajah Liwung.” “Baiklah,“ berkata Agung Sedayu, “aku akan memberitahukan kepada Ki Wirayuda, bahwa kalian berdua untuk sementara akan berada di Tanah Perdikan. Tetapi jika diperlukan akan kembali ke Mataram.” “Ya,“ Sabungsari-lah yang menyahut, “bukankah sekarang keadaan Mataram sedang tenang? Sepeninggal Ki Manuhara, agaknya orang yang disebut Resi Belahan itu tidak lagi berniat untuk melanjutkan tugas-tugasnya di Mataram. Tetapi seperti kata Glagah Putih, jika diperlukan kami akan berada di Mataram kembali.” Glagah Putih memang sempat menjadi heran. Ia mengira bahwa Sabungsari telah tertarik kepada Raras. Namun ia berkeras untuk pergi bersama Agung Sedayu ke Tanah Perdikan Menoreh. Sudah barang tentu Glagah Putih tidak dapat langsung bertanya kepada Sabungsari. Tetapi Glagah Putih harus menyimpannya sebagai teka-teki yang belum terjawab. Dengan demikian maka untuk sementara Agung Sedayu telah mengambil kesimpulan bahwa Glagah Putih dan Sabungsari akan pergi bersamanya ke Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi setiap saat jika diperlukan, mereka akan segera berada kembali di Mataram, yang memang tidak terlalu jauh itu. Demikinlah, maka niat Agung Sedayu kembali ke Tanah Perdikan itu pun segera disampaikan kepada Ki Tumenggung Perbarumeksa sekeluarga. Agung Sedayu memang tidak dapat terlalu lama meninggalkan tugasnya. Ternyata Ki Lurah Branjangan sependapat. Katanya, “Pasukan Khusus itu memang tidak dapat telalu lama ditinggalkan.” Ki Tumenggung dan Nyi Tumenggung memang tidak dapat terlalu lama menahan mereka di Mataram. Mereka menyadari tugas Agung Sedayu sebagai seorang Lurah Prajurit. Karena itu maka Ki Tumenggung itu pun berkata, “Baiklah Ki Lurah. Kami mengerti akan tugas Ki Lurah yang berat. Karena itu maka kami tidak dapat menahan Ki Lurah lebih lama lagi, meskipun kami merasa aman dengan kehadiran Ki Lurah, Ki Jayaraga dan anak-anak muda itu.” “Aku sudah berhubungan dengan Ki Wirayuda. Ki Wirayuda akan berusaha untuk mengamati keadaan sebaik-baiknya. Bukan saja tentang Bajang Bertangan Baja yang menerima upah untuk mengambil Rara Wulan. Tetapi juga mengamati seorang yang bernama Resi Belahan. Jika perlu, maka Ki Wirayuda akan dengan segera menghubungi kami.” “Terima kasih Ki Lurah. Mudah-mudahan untuk selanjutnya tidak ada persoalan baru lagi yang dapat menyulitkan kami sekeluarga, dan bahkan telah menjerat Ki Lurah dalam persoalan ini sehingga Ki Lurah terpaksa meninggalkan tugas Ki Lurah.” “Aku memang sulit untuk membedakan tugasku sebagai seorang yang hidup dalam lingkungan keluarga yang besar, serta tugasku sebagai prajurit, karena pada keduanya terdapat persamaan. Pada dasarnya dalam kehidupan ini harus terpancar kasih sayang Yang Maha Agung. Yang mempunyai kelebihan harta benda, harus ikut menanggung beban mereka yang miskin. Yang kaya akan ilmu harus mengaliri mereka yang hidup dalam kebodohan. Yang kuat harus melindungi yang lemah. Sebagaimana air di blumbang yang penuh akan tumpah dan mengalir ke tempat yang lebih rendah, serta akan membasahi tempat yang kering.” Ki Tumenggung Purbarumeksa hanya mengangguk-angguk saja. Namun hatinya ternyata tergetar juga mendengar kata-kata Agung Sedayu yang masih jauh lebih muda dari dirinya sendiri. Tetapi nampaknya pengalaman hidupnya yang luas telah membuat jiwanya menjadi matang. Namun demikian Ki Tumenggung itu masih juga berdesis, “Benar Ki Lurah. Tetapi di antara citra seorang yang terpilih itu masih terdapat orang yang berbuat sebaliknya.” “Ya Ki Tumenggung. Kita memang tidak mengingkari kenyataan itu. Mudah-mudahan orang yang demikian itu semakin lama kan menjadi semakin menyusut.” “Mudah-mudahan Ki Lurah. Tetapi sampai saat ini kita masih melihat kesewenang-wenangan terjadi di antara sesama. Yang kaya justru menghisap yang kekurangan. Sementara yang kuat justru berdiri di atas tubuh-tubuh yang tak berdaya. Aku tidak dapat mengatakan dimana keluargaku berdiri sekarang ini.” Agung Sedayu menari nafas dalam-dalam. Pembicaraan mereka ternyata jauh merambat ke persoalan yang lebih luas. Namun Agung Sedayu itu pun kemudian berkata, “Asal kita masih berpegang kepada Sumber Hidup kita, maka kita tidak akan terlalu jauh tersesat, seandainya pada suatu saat kita kehilangan jalan. Setiap kali kita akan mendapat peringatan, dan lebih dari itu bimbingan, untuk menemukan jalan kita kembali,” Ki Tumenggung masih saja mengangguk-anguk. Meskipun umurnya lebih tua dan kedudukan serta pangkatnya pada dasarnya lebih tinggi dari Ki Lurah Agung Sedayu, namun ia justru bersikap seperti seorang cantrik yang berbicara sesamanya. Demikianlah, maka Agung Sedayu pun telah bersiap-siap untuk kembali ke Tanah Perdikan Menoreh di keesokan harinya. Demikian pula Ki Jayaraga, Ki Lurah Branjangan, Glagah Putih, Sabungsari, Rara Wulan dan Sekar Mirah. Namun esok pagi-pagi mereka masih akan minta diri kepada Raras. Dan bagi Agung Sedayu, ia masih akan bertemu lagi dengan Ki Wirayuda. Malam itu Teja Prabawa sempat berbicara dengan Rara Wulan. Dengan memelas Raden Teja Prabawa minta agar Rara Wulan bersedia membujuk Raras untuk tidak menilainya sebagai seorang laki-laki yang lemah dan tidak bertanggung jawab. “Aku akan melakukan apa saja untuk kebahagiannya,” berkata Teja Prabawa. Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, “Aku akan mencobanya Kakangmas. Aku akan mengatakan kepadanya, bahwa kau akan berubah. Tetapi segala sesuatunya tentu tergantung kepada Raras sendiri.” “Katakan kepadanya, bahwa aku akan berguru dan akan menjadi seorang yang berilmu tinggi,” berkata Teja Prabawa. “Bagi seorang perempuan, yang penting bukan laki-laki yang berilmu tinggi. Tetapi seorang laki-laki yang bertanggung jawab menurut keadaannya. Meskipun demikian, ilmu memang merupakan bekal yang sangat berarti bagi kehidupan keluarga Kakangmas kemudian. Karena itu maka biarlah aku mengatakan kesediaan Kakangmas untuk mencari bekal bagi masa depan Kakangmas,” jawab Rara Wulan. “Terima kasih Wulan,” jawab Teja Prabawa. “Tetapi kenapa Kakangmas tidak pergi menengok Raras di hari-hari terakhir ini?” bertanya Rara Wulan. “Kau tahu bahwa jalan-jalan menjadi tidak aman. Bukankah kau juga bertemu dengan Bajang Bertangan Baja itu ketika kau akan pergi mengunjungi Raras? Untunglah bahwa kau pergi bersama orang-orang yang berilmu tinggi, sehingga Bajang Bertangan Baja itu tidak berani berbuat sesuatu atasmu. Coba bayangkan, bagaimana akibatnya jika aku-lah yang bertemu dengan Bajang kedil itu,” berkata Raden Teja Prabawa. “Tetapi Bajang itu telah pergi,” jawab Rara Wulan. “Bukankah ada sebuah nama lagi yang perlu mendapat perhatian?” Raden Teja Prabawa justru bertanya. “Tetapi orang itu sama sekali tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Raras dan dengan kita secara pribadi. Orang itu tentu membawa beban tugas yang lebih luas dari sekedar menculik gadis-gadis. Ternyata ia telah menolak bekerjasama dengan Bajang Bertangan Baja.” “Tetapi aku tidak berani, Wulan,“ Teja Prabawa akhirnya mengaku terus terang. “Itulah yang membuat Raras kecewa terhadap Kakangmas. Kenapa Kakangmas tidak berani? Bukankah menurut perhitungan, Kakangmas tidak akan mendapatkan hambatan di perjalanan? Seandainya Bajang itu masih ada, maka kemungkinan bertemu dengan orang itu pun sangat kecil. Kakangmas bisa menempuh jalan yang tidak biasa Kakangmas lalui, atau Kakangmas memilih jalan yang paling ramai. Bukankah dalam keadaan terakhir ini banyak prajurit yang meronda?” Teja Prabawa tidak menjawab. Tetapi memang ia tidak mempunyai cukup keberanian untuk pergi ke rumah Raras. Bahkan ia berfikir, bahwa jika ia akan pergi juga, artinya sama saja dengan jika ia membunuh diri. Ketika kemudian matahari terbit di hari berikutnya, maka mereka yang akan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh itu pun telah bersiap-siap. Namun mereka masih akan pergi ke rumah Ki Rangga Wibawa. Tetapi Agung Sedayu, Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Sabungsari akan meninggalkan Sekar Mirah dan Rara Wulan di rumah Ki Rangga Wibawa, sementara mereka pergi ke rumah Ki Wirayuda. Baru kemudian mereka akan singgah kembali untuk mengambil Sekar Mirah dan Rara Wulan. Kedatangan Rara Wulan dan Sekar Mirah membuat Raras merasa semakin segar, meskipun ia nampak sedikit kecewa bahwa yang lain tidak singgah lebih dahulu di rumahnya. Tetapi Rara Wulan segera memberitahukan bahwa mereka nanti akan segera kembali dan singgah di rumah Raras. “Mereka sedang pergi menemui Ki Wirayuda untuk memohon diri,“ berkata Rara Wulan kemudian. “Mohon diri? Mereka akan pergi kemana?“ bertanya Raras yang menemui tamu-tamunya ditemani oleh ayah dan ibunya, serta Wacana. “Mereka dan kami berdua hari ini akan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh,“ jawab Rara Wulan. Wajah Raras tampak berkerut sejenak. Terbayang betapa jantungnya bergejolak mendengar jawab Rara Wulan itu. Hampir di luar sadarnya ia bertanya, “Semuanya kalian akan kembali ke Tanah Perdikan?” “Ya,“ jawab Rara Wulan. Sementara Sekar Mirah pun menyambung, “Kami sudah terlalu lama meninggalkan rumah kami. Apalagi Kakang Agung Sedayu juga sudah terlalu lama meninggalkan tugasnya di barak Pasukan Khusus itu.” Raras menjadi termangu-mangu sejenak. Dengan ragu iapun berkata, “Tetapi bukankah yang lain tidak bertugas di lingkungan keprajuritan?” Sekar Mirah dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Dan kemudian Sekar Mirah menjawab, “Ya. Tetapi mereka mempunyai kewajibannya masing-masing di Tanah Perdikan.” Pada wajah Raras memang membayang kekecewaan hatinya. Sambil memandang ke kejauhan ia berkata, seakan-akan kepada diri sendiri, “Siapakah yang kemudian akan melindungi aku?“ Yang menjawab adalah justru Wacana, “Raras. Di sini ada Paman dan prajurit. Bahkan aku pun bersedia dan sanggup melindungimu. Siapapun yang akan mengganggumu.” Raras berpaling kepada Wacana sejenak. Dengan ragu ia mengangguk kecil. Sementara ayahnya pun berkata, “Sudah berkali-kali aku katakan Raras. Para Prajurit itu masih ada di sini, sementara Ki Wirayuda meyakinkan, bahwa Bajang Bertangan Baja itu memang sudah tidak terlihat lagi di Mataram. Para petugas sandi melakukan tugas mereka dengan baik dan bersungguh-sungguh sehinga kita dapat mempercayainya. Jika kita kehilangan kepercayaan kepada para prajurit, maka hidup kita memang tidak akan dapat tenang. Kita akan selalu dibayangi oleh gambaran-gambaran tentang kejahatan. Bukan saja sebagaimana kau alami, tetapi juga perampokan dan kekerasan-kekerasan lainnya.” Raras mengangguk pula meskpun pandangan matanya menjadi kosong. Rasa-rasanya ada sesuatu yang akan hilang daripadanya. Sesuatu yang justru belum pernah dimilikinya. Dengan demikian, jiwanya yang hampir tenang itu telah diguncang lagi oleh perasaan kecewa, meskipun dalam bentuk yang berbeda. Meskipun Raras mengeluh karena kehilangan perlindungan, namun sebenarnyalah ia merasa betapa cepatnya orang yang datang kepadanya untuk menyelamatkannya itu pergi meninggalkannya. Tetapi Raras tidak dapat mengatakanya kepada kedua orang tuanya bahwa sebenarnya ia memang merasa kehilangan. Teruatama orang yang telah langsung melidunginya di Tegal Waru. Sikap Raras pun kemudian memang berubah. Betapapun gadis itu berusaha untuk menghilangkan kesan yang muncul ke permukaan, namun orang-orang yang duduk bersamanya itu mampu menangkapnya. Justru karena itu, maka mereka pun telah menjadi gelisah pula. Sementara itu, maka Rara Wulan yang membawa pesan kakaknya, memang ingin menyampaikan kepada Raras. Tetapi rasa-rasanya ia menjadi ragu. Apakah jika hal itu dikatakannya, Raras tidak justru menjadi semakin gelisah. Meskipun demikian, Rara Wulan memang mencobanya, meskipun hanya menyinggung-nyinggung serba sedikit. Ketika ia berkesempatan, maka Rara Wulan pun berkata, “Raras, Kakangmas Teja Prabawa mengirimkan salam buatmu. Ia belum dapat datang karena sesuatu hal.” Dahi Raras berkerut. Tanpa sengaja Raras telah berpaling kepada Wacana yang mendengar pesan itu sambil termangu-mangu. Baru sejenak kemudian Raras menjawab, “Terima kasih Wulan. Tetapi kenapa Raden Teja Prabawa tidak berani datang kemari? Bukankah ia tidak harus melewati bulak-bulak panjang yang sepi yang dihuni oleh kelompok-kelompok penyamun?” “Raras,“ potong ayahnya yang duduk di sebelahnya. Raras berpaling kepada ayahnya. Jawabnya, “Benar Ayah. Raden Teja Prabawa tidak memiliki keberanian untuk datang ke rumah ini. Bukannya rumah ini yang menakut-nakutinya. Tetapi ia tidak berani menempuh perjalanan yang hanya beberapa pathok itu. Bahkan di siang hari di jalan-jalan yang ramai di Kota Mataram.” “Jangan berkata begitu Raras,” tiba-tiba saja Wacana berdesis, “mungkin Raden Teja Prabawa sedang sibuk.” Raras memandang Wacana dengan tajamnya. Pandangan matanya yang aneh. Ia mendengar hal itu dari Wacana. Tetapi Wacana-lah yang kemudian justru menolak anggapan itu. Rara Wulan dan Sekar Mirah memang tidak mengerti, apa yang tersirat di sorot mata tajam Raras yang menusuk langsung ke mata Wacana. Tetapi Ki Rangga Wibawa segera mengerti dan tanggap akan sikap Wacana itu. Karena itu, maka katanya kemudian, “Sudahlah Raras. Sikapmu akan dapat menimbulkan salah paham.” Lalu katanya kepada Rara Wulan, “Aku yang memintakan maaf bagi Raras, Ngger.” Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tidak apa-apa Ki Rangga. Kami dapat mengerti perasaan Raras yang sangat kecewa, di saat ia benar-benar dicekam ketakutan.” Ki Rangga Wibawa menarik nafas dalam-dalam. Untunglah bahwa keluarganya berhadapan dengan orang-orang yang mampu berpikir dewasa, meskipun di antara mereka termasuk orang-orang yang masih muda. Bahkan adik dari Raden Teja Prabawa itu sendiri. Sementara itu, Raras yang sudah nampak semakin cerah, tiba-tiba telah menjadi murung lagi. Matanya menjadi redup. Ia kecewa bahwa orang-orang yang telah menolongnya itu akan meninggalkan Mataram. Tetapi iapun menjadi gelisah bahwa Wacana sikapnya terasa goyah, khususnya terhadap Raden Teja Prabawa. Dalam pada itu, Agung Sedayu, Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Sabungsari telah bertemu dan minta diri kepada Ki Wirayuda. Meskipun demikian Agung Sedayu masih mengulangi kesediaannya untuk datang sewaktu-waktu diperlukan. Demikian pula mereka yang lain. Terutama Glagah Putih dan Sabungsari, yang selalu siap untuk berada di antara anak-anak Gajah Liwung. “Baiklah,“ berkata Ki Wirayuda, “mudah-mudahan tidak ada persoalan lagi di Mataram dalam hubungannya dengan Bajang Bertangan Baja dan Resi Belahan.” “Yang masih tetap menjadi teka-teki adalah Resi Belahan,” berkata Agung Sedayu kemudian. “Kami akan berhati-hati menanganinya,“ berkata Ki Wirayuda. “Bahkan Ki Patih Mandaraka sendiri sudah memberikan isyarat untuk meningkatkan kewaspadaan.” Dengan demikian maka Agung Sedayu, Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Sabungsari pun segera minta diri. Mereka masih harus singgah di rumah Ki Rangga Wibawa untuk minta diri dan mengambil Sekar Mirah dan Rara Wulan. Kepada Ki Wirayuda, Sabungsari sempat menitipkan anak-anak Gajah Liwung yang untuk sementara masih harus ditinggakannya. “Seandainya,“ berkata Ki Wirayuda, “seandainya tidak ada masalah lagi di Tanah Perdikan Menoreh, bukankah Sabungsari dan Glagah Putih dapat segera kembali ke Mataram tanpa harus menunggu timbulnya persoalan di sini?” Sabungsari tersenyum. Katanya, “Tentu Ki Wirayuda. Kami akan merasa lebih tenang berada di antara anak-anak Gajah Liwung.” Tetapi dalam pada itu, di dalam hatinya Sabungsari mengeluh. Perkenalan dengan Raras telah membuatnya seperti orang yang kebingungan. Ia harus mempertentangkan perasaannya dengan penalarannya. Sabungsari tidak dapat ingkar bahwa ia tertarik kepada Raras. Tetapi iapun mengerti bahwa Raras telah berhubungan dengan Raden Teja Prabawa. Ketika keempat orang itu memasuki regol halaman rumah Ki Rangga Wibawa, maka wajah Raras yang murung itu telah menjadi sedikit terang. Bahkan tanpa disadari, Raras telah ikut bersama ayah dan ibunya bangkit berdiri dan menyongsong tamu mereka di tangga pendapa. Wacana yang semula masih saja duduk bersama Rara Wulan dan Sekar Mirah, telah bangkit pula untuk ikut menyambut keempat orang tamu itu. Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu, Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Sabungsari pun telah duduk pula di pendapa, sementara Nyi Rangga beringsut dan pergi ke dapur untuk menyiapkan hidangan bagi tamu-tamunya. Nyi Rangga bahkan terkejut ketika ternyata Raras menyusulnya ke dapur dan berkata, “Biarlah aku yang menyuguhkan hidangan itu, Ibu.” “Kau tidak apa-apa?“ bertanya ibunya. “Tidak Ibu. Aku tidak apa-apa,” jawab Raras. Nyi Rangga menarik nafas dalam-dalam. Anak gadisnya itu memang sulit dimengerti. Mungkin karena jiwanya itu belum tenang benar, atau mungkin karena persoalan lain. Baru saja wajahnya yang mulai cerah telah menjadi murung kembali. Namun tiba-tiba saja Raras menjadi seakan-akan tidak sedang dipengaruhi oleh ketidak-seimbangan jiwanya. “Atau justru akibat ketidak-seimbangan jiwa itu Raras menjadi semakin sulit dimengerti?” pertanyaan itu telah mengganggu perasaan Nyi Rangga. Tetapi Nyi Rangga tidak berkeberatan memberikan kesempatan kepada Raras untuk menyuguhkan hidangan-hidangan bagi tamu-tamunya yang ada di pendapa. Ketika kemudian Raras dan Nyi Rangga telah duduk kembali di pendapa, maka Agung Sedayu, mewakili mereka yang datang bersamanya, mohon diri kepada Ki Rangga dan keluarganya untuk hari itu juga kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Rencana itu sudah didengar sebelumnya dari Rara Wulan. Dengan nada dalam Ki Rangga Wibawa berkata, “Seandainya aku mempunyai wewenang untuk menahan kalian, maka aku akan mencoba untuk memperpanjang keberadaan kalian di Mataram. Tetapi karena aku tidak mempunyai wewenang itu, maka aku tidak dapat berbuat apa-apa.” “Tanah Perdikan Menoreh tidak terlalu jauh Ki Rangga,” berkata Agung Sedayu, “kami tentu akan selalu mondar-mandir antara Tanah Perdikan dan Mataram,” jawab Agung Sedayu. “Kami berharap bahwa kalian akan selalu singgah di rumah ini dalam setiap kesempatan,“ minta Ki Rangga. “Ya Ki Rangga. Rumah ini sudah menjadi bagian dari lingkungan kekeluargaan kami. Karena itu kami akan selalu berusaha untuk dapat selalu singgah meskipun sebentar.” Ki Rangga Wibawa menarik nafas dalam-dalam. Katanya dengan nada dalam, “Terima kasih Ki Lurah, terima kasih. Aku kira meskipun setiap kejap aku mengucapkan terima kasih, namun tentu masih belum cukup.” “Itu sudah berlebihan Ki Rangga. Berkali-kali aku katakan, bahwa apa yang kami lakukan adalah kewajiban kami,” jawab Agung Sedayu. Demikianlah, setelah mereka berbincang sejenak, maka Agung Sedayu dan yang lain pun telah minta diri. Bukan saja untuk kembali ke rumah Ki Tumenggung Purbarumeksa, tetapi mereka akan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Wajah Raras telah menjadi murung kembali. Seperti langit yang tiba-tiba saja disaput oleh mendung. Semakin lama menjadi semakin kelabu. Ketika Rara Wulan kemudian turun ke tangga pendapa dan di sisinya Raras berdiri termangu-mangu, Rara Wulan sempat berdesis, “Kakangmas Teja Prabawa tentu akan segera datang. Ia akan mengatasi perasaan takutnya.” Tetapi jawab Raras dingin, “Mudah-mudahan. Tetapi maafkan aku Wulan. Aku sangat kecewa terhadap Raden Teja Prabawa.” “Ia berjanji akan berubah,“ sahut Wulan perlahan. “Sampai kapan aku harus menunggu perubahan itu? Aku sudah terlalu tua untuk menunggu ia berguru lagi,“ jawab Raras. Rara Wulan hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa kasihan kepada kakaknya. Tetapi ia juga merasa kasihan kepada Raras. Namun ternyata Rara Wulan telah melemparkan sebab dari segala kerumitan itu pada Raden Antal, sehingga ia semakin benci kepada anak muda itu. Sejenak kemudian maka kelompok kecil tamu Ki Rangga Wibawa itu telah meninggalkan regol rumahnya. Seisi rumah itu telah mengantar mereka sampai ke regol. Sabungsari yang ada di antara mereka tidak terlalu banyak berbicara. Bahkan ia justru sering menundukkan kepalanya saja. Hanya sekali-sekali ia menyambung pembicaraan. Selebihnya ia hanya diam saja. Tetapi beberapa langkah dari regol, ternyata Sabungsari berpaling. Di luar niatnya, maka Raras pun sedang memandanginya pula, sehingga tiba-tiba saja keduanya telah menunduk. Seperti yang direncanakan, hari itu Agung Sedayu dengan kelompok kecilnya telah kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Sekar Mirah dan Rara Wulan berkuda di paling depan, sedangkan Sabungsari berada di paling belakang. Ia memang lebih banyak berdiam diri dan seakan-akan menyendiri. Rara Wulan pun nampaknya banyak merenung pula meskipun tidak di sepanjang perjalanan. Namun kadang-kadang ia merenungkan kakaknya yang mulai tersisih dari hati Raras. Justru karena ia dapat mengerti perasaan Raras dan dapat pula mengerti kepahitan perasaan kakaknya, maka hatinya pun ikut merasakan kegelisahan mereka. Dalam pada itu, sepeninggal adiknya, ternyata Teja Prabawa itu merasakan betapa rumahnya menjadi sepi. Jika adiknya itu ada di rumah, seakan-akan setiap saat mereka itu selalu bertengkar. Tetapi jika adiknya itu pergi, maka Raden Teja Prabawa itu pun merasa semakin sendiri, justru karena sikap Raras kepadanya. Sebelum Rara Wulan meninggalkan rumahnya, maka Rara Wulan serba sedikit telah memberitahukan kepada kakaknya itu. Tetapi Rara Wulan tidak sampai hati untuk mengatakan sebagaimana dikatakan Raras. Ia masih berusaha untuk memperlunaknya, meskipun ia tahu bahwa hal itu hanya dapat menunda kekecewaan saja. Ki Lurah Branjangan yang berada pula di dalam iring-iringan itu juga tidak banyak bicara. Sebagai seorang kakek, ia dapat merasakan betapa Teja Prabawa mengalami goncangan perasaan mirip seperti Raras sendiri. Beberapa lama mereka berkuda, maka mereka pun telah menuruni jalan yang langsung menuju ke tempat penyeberangan. Ternyata mereka memilih menyeberang di penyeberangan sebelah selatan yang agak lebih ramai. Beberapa buah rakit tersedia di sisi sebelah barat dan timur Kali Praga. Ternyata bahwa kelompok kecil orang-orang berkuda itu tidak dapat berada di satu rakit. Sebuah rakit yang siap menyeberang hanya muat tiga orang di antara mereka bersama kudanya. Selebihnya harus mempergunakan rakit yang lain. Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Rara Wulan-lah yang lebih dahulu yang menyeberang, bersama-sama dengan beberapa orang yang telah lebih dulu di atas rakit itu. Seorang yang berpakaian rapi dan terbuat dari bahan yang mahal sempat menggerutu, “Kuda-kuda itu sangat mengganggu. Baunya aku tidak tahan.” Agung Sedayu yang duduk tidak terlalu jauh dari oprang itu berdesis, “Kami mohon maaf Ki Sanak. Kami tidak mempunyai cara lain untuk menyeberang.” “Sebaiknya kalian mempergunakan rakit khusus. Tidak bersama-sama dengan penumpang rakit yang lain.” “Aku mengerti Ki Sanak,“ jawab Agung Sedayu. “Apalagi bersama dengan perempuan-perempuan yang berpakaian tidak sewajarnya itu,“ katanya pula. Beberapa orang penumpang yang lain memang sedang memandangi pakaian Sekar Mirah dan Rara Wulan, yang memakai pakaian khususnya karena mereka menempuh perjalanan berkuda. Wajah Rara Wulan menjadi gelap. Tetapi Sekar Mirah yang lebih tua hanya tersenyum saja. Ia sudah terlalu sering mendengar suara-suara sumbang seperti itu, sehingga akhirnya Sekar Mirah tidak menghiraukannya lagi. Tetapi orang yang berpakaian rapi dan bagus itu masih berkata, “Sebenarnya kedua perempuan itu cantik. Tetapi kenapa mereka tidak berpakaian dan berias seperti perempuan yang lain?” Agung Sedayu yang menjawab dambil tersenyum, “Sejak kecil mereka senang berpakaian seperti laki-laki. Mereka senang menunggang kuda dan bahkan melakukan perbuatan-perbuatan lain seperti seorang laki-laki. Perempuan yang lebih tua itu adalah seorang tukang blandong. Ia menerima upah untuk menebang pohon-pohon besar dimanapun. Kemudian memotong-motongnya dan membelahnya. Karena itu, maka ia memiliki kekuatan dan bentuk tubuh seorang laki-laki.” “Dan keluarganya tidak melarangnya?” bertanya orang itu. “Aku kakaknya. Aku senang ia dapat membantu aku,” jawab Agung Sedayu. Orang itu mengerutkan dahinya. Katanya dengan nada tinggi, “Aku tidak percaya. Pakaianmu bukan seorang blandong.” Agung Sedayu tertawa. Katanya, “Tentu tidak, karena kami baru saja mengunjungi saudara kami yang sedang menyelenggarakan peralatan. Apakah dalam peralatan kami berpakaian seperti tukang blandong?” Orang berpakaian rapi itu mengangguk-angguk. Namun kemudian sambil memandang Rara Wulan ia bertanya, “Apakah ia juga tukang blandong?” “Ia baru belajar. Adikku yang bungsu itu mempunyai kebiasaan seperti kakaknya juga,” jawab Agung Sedayu. Tetapi orang berpakaian rapi itu berkata, “Tukang blandong tidak akan memiliki seekor kuda seperti kudamu itu. He, kau jangan mempermainkan aku ya?” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya, “Aku minta maaf Ki Sanak. Tetapi sebenarnyalah bahwa keduanya memiliki sifat sebagai laki-laki.” Orang berpakaian rapi itu termangu-mangu sejenak. Tetapi hampir tidak berkedip ia selalu memandangi Rara Wulan, sehingga Rara Wulan akhirnya menyadari pandangan mata laki-laki itu, sehingga ia harus berputar dan duduk membelakanginya. Orang itu memang diam, meskipun ia masih saja memandang penggung Rara Wulan. Sikap itu ternyata membuat Sekar Mirah dan Agung Sedayu berdebar-debar. Mungkin saja bahwa persoalan itu akan berkembang setelah mereka turun dari rakit di seberang. Untuk beberapa saat mereka yang ada di atas rakit itu saling berdiam diri. Yang terdengar hanyalah desah nafas para tukang satang yang bekerja keras mengayuh rakit itu ke seberang. Tidak jauh di belakang rakit itu, sebuah rakit yang lain juga tengah menyeberang. Di atas rakit itu duduk beberapa orang yang menyeberang bersama dengan kuda tunggangan mereka. Beberapa saat kemudian rakit itu pun telah merapat di tepian sebelah barat. Para penumpangnya segera berloncatan turun. Demkian pula Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Rara Wulan. Agung Sedayu yang telah hampir melupakan orang berpakaian rapi dan mahal itu, tiba-tiba terkejut ketika orang itu menggamitnya. Hampir berbisik orang itu bertanya, “He, apakah kedua adikmu itu sudah bersuami?” Pertanyaan itu memang mengejutkan Agung Sedayu. Ia melihata sorot mata yang liar di mata orang yang terbungkus oleh pakaian yang rapi dan dibuat dari bahan yang mahal itu. Tetapi Agung Sedayu tidak berubah sikapnya. Iapun kemudian menjawab, “Sudah Ki Sanak. Kedua-duanya sudah bersuami.” “Dimana suaminya?” bertanya orang itu pula. “Di rumah,” jawab Agung Sedayu singkat. “Dimana rumahnya?” bertanya orang itu selanjutnya. “Di Mataram. Keduanya istri prajurit. Lihat, lihat bagaimana ia mengenakan pakaian. Mereka meniru pakaian suami mereka,” jawab Agung Sedayu. Ia berharap dengan demikian maka orang itu tidak bertanya lebih jauh. Tetapi ternyata perhitungan Agung Sedayu keliru. Orang itu tiba-tiba berkata, “Mumpung suami mereka tidak ada. He, aku mempunyai sepasang gelang bermata berlian. Aku akan memberikan kepada mereka berdua.” “Ki Sanak,” Agung Sedayu benar-benar tersinggung, “sebaiknya Ki Sanak jangan membuat kami merasa tersinggung. Kami orang baik-baik yang sudah tentu tidak ingin mendengar kata-kata Ki Sanak seperti itu.” Tetapi orang itu tertawa. Ketika ia berpaling sambil mengangguk, maka dua orang bertubuh raksasa mendekatinya. Sambil bertolak pinggang orang itu bekata, “Aku tidak memaksa Ki Sanak. Jika kalian keberatan, apa boleh buat. Tetapi jangan menjawab kasar begitu. Kau harus tahu dengan siapa kau bebicara sekarang ini.” “Sudahlah,” berkata Agung Sedayu, “kami akan meneruskan perjalanan kami. Itu, kawan-kawan kami sudah turun pula dari rakit mereka.” Orang itu berpaling. Dilihatnya beberapa orang meloncat turun. Kemudian menarik kendali kuda turun dari rakit pula. Sejenak orang itu termangu-mangu. Dua orang yang bertubuh raksasa yang tadi juga berada di rakit yang sama, berdiri tegak sambil menggenggam hulu parang mereka yang besar. Orang berpakaian rapi itu mengerutkan dahinya. Orang yang berkuda itu memang membuatnya berpikir ulang. Bukan karena mereka menggetarkan jantungnya. Tetapi justru ia berdesis, “Apakah aku harus membunuh sekian banyak orang?” Agung Sedayu terkejut mendengar kata-kata itu. Tetapi ia berusaha untuk tidak memberikan kesan apapun juga, karena ia mengira bahwa orang itu tentu tidak bersungguh-sungguh. Mungkin hal itu hanya lontaran ungkapan kejengkelannya saja. Karena itu maka Agung Sedayu pun kemudian telah menarik kudanya sambil berkata kepada Sekar Mirah dan Rara Wulan, “Marilah. Kita pergi saja. Kita sudah terlalu siang berangkat.” Tetapi Agung Sedayu justru telah mengetrapkan Aji Sapta Pangrungu, sehingga ia dapat mendengar pembicaraan yang sangat lemah sekalipun dari orang yang berpakaian mahal itu. Ternyata orang yang umurnya sudah separuh baya telah berdiri di sebelahnya sambil berkata, “Kau jangan berbuat sekehendakmu sendiri. Pamanmu Resi tidak senang dengan tingkah lakumu itu. Biarkan mereka pergi.” Tetapi orang berpakaian rapi itu menjawab, “Paman Resi tidak akan mengurusi persoalanku dengan perempuan.” “Tetapi kau datang bersamanya untuk kepentingan tertentu. Ingat, bahwa Kakang Resi tidak senang melihat orang yang pernah datang mendahuluinya terlibat dalam persoalan pribadi, khususnya perempuan, sehingga ia sama sekali tidak bersedia membantunya sampai orang itu terbunuh.” Pembicaraan itu memang sangat menarik perhatian Agung Sedayu, yang dapat mendengarnya meskipun hanya sebagian. Tetapi jelas baginya bahwa orang itu mempunyai hubungan dengan seorang yang disebut Paman Resi. Dengan cepat Agung Sedayu menghubungkan sebutan itu dengan nama seseorang yang sedang menjadi pembicaraan orang-orang Mataram. Resi Belahan. Tiba-tiba saja Agung Sedayu berbalik. Demikian cepat sehingga seseorang tidak sempat berpikir tentang sikapnya itu. Kepada orang yang separuh baya itu Agung Sedayu bertanya, “Kau adik Resi Belahan?” Orang itu termangu-mangu sejenak. Dengan ragu-ragu orang itu bertanya, “Siapakah kau?” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Bahwa orang itu tidak menjawab dengan serta merta bahwa ia tidak mengenal Resi Belahan atau dengan tegas menolak pertanyaan Agung Sedayu itu, telah memperkuat dugaan Agung Sedayu, bahwa orang-orang itu mempunyai sangkut paut dengan Resi Belahan yang banyak dibicarakan oleh orang-orang Mataram. Apalagi orang itu telah menyebut tentang orang yang mendahului mereka telah terbunuh. Agung Sedayu menduga bahwa yang dimaksud tentu Ki Manuhara. Karena itu, maka sekali lagi Agung Sedayu memandang orang-orang itu dengan tajamnya. Orang yang umurnya separuh baya, orang yang berpakaian rapi dari bahan-bahan yang mahal namun matanya menyala dengan liar. Kemudian dua orang raksasa yang agaknya pengawal orang yang berpakaian rapi itu. Agung Sedsayu yang memiliki ingatan yang sangat tajam itu seakan-akan telah mengukir wajah-wajah itu di dinding jantungnya, sehingga untuk seterusnya ia tidak akan dapat melupakannya. Baru sejenak Agung Sedayu itu pun berkata, “Baiklah, aku minta diri untuk meneruskan perjalananku. Aku akan mengantarkan adik-adikku dan kawan-kawanku itu.” Orang yang berpakaian rapi itu sudah akan bergerak, namun orang yang separuh baya telah menggamitnya sambil berkata, “Sudahlah. Jangan membuat persoalan tentang hal-hal yang sama sekali tidak perlu. Kita tidak boleh terjebak seperti orang yang telah mati itu, yang melibatkan diri dalam persoalan yang seharusnya tidak ditangani.” “Tetapi orang itu justru bertanya tentang Paman Resi,” berkata orang berpakaian rapi itu. Orang yang separuh baya itu baru menyadarinya. Karena itu, maka iapun berdesis, “Apa yang sebaiknya kita lakukan?” “Sebelum orang itu sempat berbicara kepada kawan-kawannya, orang itu harus dibunuh. Mungkin ia mendengar pembicaraan kita selagi ia melangkah pergi. Agaknya kita berbicara terlalu keras, sehingga ia mendengar aku atau Paman menyebut Paman Resi.” Orang yang sudah separuh baya itu termangu-mangu. Namun katanya, “Itu tidak perlu. Mereka mempunyai beberapa orang kawan.” “Bagaimana dengan pengenalannya atas Paman Resi?” “Ia hanya menyebut nama Kakang Resi Belahan. Tetapi orang itu tentu belum pernah melihat Kakang Resi itu. Sedangkan orang-orang Mataram juga sudah tahu bahwa Kakang Resi ada di Mataram beberapa saat yang lalu. Bahkan hampir saja Kakang Resi itu terjebak.” “Jika demikian, apakah orang itu termasuk orang penting di Mataram?” orang berpakaian rapi itu bertanya. “Menurut pengakuannya, kedua perempuan itu adalah istri prajurit. Mungkin ia pernah mendengar dari suami kedua perempuan itu.” “Kedua perempuan itu cantik,” desis orang yang berpakaian rapi dan mahal itu. Orang yang sudah separuh baya itu menggeleng kecil sambil berkata, “Jaga dirimu baik-baik dengan kelemahanmu itu. Kau dapat terjerat sebagaimana Ki Manuhara, meskipun dengan maksud yang berbeda.” Orang yang berpakaian bagus dan mahal itu tidak menjawab. Tetapi ia justru tertawa. Katanya, “Aku akan mencarinya sampai ketemu. Aku memerlukan mereka berdua.” “Tetapi jika itu membatalkan semua rencana pamanmu Resi, maka kau tahu akibatnya.” Sekali lagi orang itu tertawa. Katanya, “Apakah Paman menyangsikan ilmuku?” “Siapa yang menyangsikan ilmu Ki Manuhara sebelumnya?“ orang yang sudah separuh baya itu bertanya pula. Orang berpakaian rapi dan mahal itu tidak menjawab. Namun sekilas orang itu memandang Sekar Mirah dan Rara Wulan yang berdiri di antara beberapa orang laki-laki yang menuntun kuda mereka masing-masing. Adalah di luar dugaan orang yang berpakaian mahal itu, ketika ternyata Rara Wulan juga berpaling kepadanya. Bahkan kemudian nampak gadis itu tertawa. “Setan betina,” geram orang yang berpakaian rapi itu, “perempuan itu memanggilku.” “Tidak. Ia tidak memanggilmu. Yang memanggilmu justru iblis yang akan menelanmu ke dalam jebakannya.” Orang yang berpakaian bagus itu memang mengurungkan niatnya untuk mendekati Rara Wulan. Orang itu sebenarnya tidak tahu sama sekali, bahwa Agung Sedayu sengaja minta agar Rara Wulan mengganggunya. Katanya hampir berbisik, “Pancing orang itu, agar kita dapat bertemu atau setidak-tidaknya berhubungan lagi. Orang itu akan dapat menjadi jembatan kita menuju kepada orang yang bernama Resi Belahan itu.” Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Tetapi wajah Glagah Putih menjadi gelap. Agaknya ia tidak sependapat dengan cara yang dikatakan oleh Agung Sedayu. Karena itu, maka katanya, “Kenapa kita tidak membuat satu persoalan agar kita dapat berselisih dengan orang itu? Bukankah akibatnya akan sama saja? Orang itu dan mungkin Resi Belahan akan mencari kita.” “Tetapi perselisihan itu sendiri akan dapat berkembang. Akibatnya mungkin tidak kita duga sebelumnya. Bagaimana jika orang itu terbunuh? Bukankah kemungkinan itu dapat terjadi, karena orang itu tentu juga orang berilmu tinggi?” Glagah Putih tidak menjawab lagi. Tetapi Agung Sedayu pun mengerti, bahwa Glagah Pitih tidak ingin Rara Wulan dipergunakan untuk memancing orang itu, maka Agung Sedayu pun berkata, “Marilah. Kita meneruskan perjalanan.” Sejenak kemudian, maka sekelompok kecil orang-orang berkuda itu pun segera meneruskan perjalanan menuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Sementara orang berpakaian bagus itu masih berdiri di tepian. Orang itu terkejut ketika seorang tukang satang bertanya, “Apakah Ki Sanak belum mengenal mereka?” “Belum,” jawab orang itu, “apakah kau mengenalnya?” orang itu tiba-tiba berharap. “Mereka adalah orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Mereka memang sering menyeberang.” “He,” orang itu semakin tertarik, “siapa namanya? Dan apakah kau juga mengenal kedua perempuan itu?” “Aku tidak banyak mengenal mereka. Tetapi yang aku tahu mereka orang-orang Tanah Perdikan Menoreh.” Orang itu tersenyum. Katanya, “Terima kasih, kau sangat baik.” Di luar dugaan tukang satang itu, maka orang yang berpakaian mahal itu telah mengambil beberapa keping uang dan diberikan kepada tukang satang itu, “Terima kasih atas keteranganmu.” Tukang satang itu pun mengangguk hormat sambil menjawab, “Terima kasih Ki Sanak. Terima kasih atas kemurahan hati Ki Sanak.” Orang yang sudah separuh baya itu menarik nafas panjang. Ia tahu pasti, bahwa orang yang berpakaian rapi itu tentu akan mencari kedua perempun itu di seluruh Tanah Perdikan Menoreh. Namun iapun memperingatkan, “Kita juga bertugas di Tanah Perdikan Menoreh. Hati-hatilah. Jangan sampai tugas kita gagal hanya karena kedua perempuan itu. Kau dapat mencari ganti berapa saja kau ingin, kelak jika tugas itu sudah selesai.” “Baik Paman. Tetapi senyum perempuan itu membuat aku gila,“ jawab orang itu. “Kau memang gila,“ berkata orang yang sudah berumur separuh baya itu, “tetapi kegilaanmu itu jangan sampai merusak segala rencana yang sudah disusun oleh Resi Belahan.” Orang itu tertawa. Katanya, “Aku bukan anak-anak lagi Paman. Aku akan dapat mengatur segala-galanya.” “Tetapi kegilaanmu itu kadang-kadang tidak terkendali,” berkata orang separuh baya itu. Orang berpakaian bagus dan rapi itu hanya tertawa saja. “Marilah,” berkata orang separuh baya. Lalu katanya kepada kedua raksasa yang mengawal orang berpakaian bagus itu, “Kau harus ikut mencegah setiap langkahnya yang kurang menguntungkan bagi rencana kita. Kau orang-orang tua, jangan hanya menurut saja seperti orang-orang dungu.” Kedua orang bertubuh raksasa itu termangu-mangu. Tetapi pada wajah mereka memang nampak betapa mereka tidak mempunyai kemampuan untuk berpikir. Yang terpancar dari matanya bukan kecerdikan mereka serta ketajaman akal budi, tetapi seperti sorot mata seekor srigala yang lapar. Orang yang sudah separuh baya itu tiba-tiba membentak, “He, kau dengar kata-kataku?” Dengan gagap kedua orang itu menyahut hampir berbarengan, “Ya. Ya aku dengar.” Tetapi orang yang berpakaian rapi dan bagus yang terbuat dari bahan-bahan yang mahal itu tertawa. Katanya, “Paman masih saja menganggap aku sebagai kanak-kanak.” “Sudahlah,“ berkata orang yang sudah berumur separuh baya. “Orang-orang berkuda itu sudah hilang dari pandangan kita. Marilah kita meneruskan perjalanan. Menurut penglihatanku, orang-orang bekuda itu tentu orang-orang yang berpengaruh di Tanah Perdikan. Biarlah aku mencari keterangan tentang mereka. Orang-orang kita yang sudah lebih dahulu berada di Mataram tentu akan dapat memberikan keterangan. Tetapi ingat, jangan merusak segala-galanya.” Orang yang bermata liar tetapi terbungkus oleh pakaian yang bagus itu tertawa berkepanjangan. Namun mereka kemudian telah meninggalkan tepian. Sementara orang separuh baya itu masih berdesis, “Tanah Perdikan adalah ladang yang harus kita garap sebelum Mataram mulai dicangkul.” Dalam pada itu, Agung Sedayu dan kelompok kecilnya menyusuri jalan yang langsung menuju ke pedukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Di perjalanan mereka tidak terlalu banyak berbincang. Mereka seakan akan telah tenggelam dalam persoalan mereka masing-masing. Tetapi Sabungsari memang tidak begitu memikirkan orang-orang yang ditemui di tepian itu. Pikirannya kadang-kadang masih tersangkut di rumah Ki Rangga Wibawa. Meskipun ia sudah bertekad untuk tidak akan menemui Raras lagi, tetapi wajah gadis itu masih saja sering melintas di angan-angannya. Tetapi sekali-kali Sabungsari itu sempat juga mengingat bahwa umurnya telah menjadi semakin tua. Meskipun ujudnya masih tidak berselisih jauh dari Glagah Putih, tetapi umurnya terpaut agak banyak. “Meskipun demikian, tentu bukan alasan untuk mengganggu keakraban hubungan antara dua orang yang telah mengarah pada satu kehidupan berkeluarga,” kata Sabungsari kepada dirinya. Sementara itu, Sekar Mirah dan Rara Wulan yang berkuda di paling depan masih sempat sekali-kali berbincang. Dengan senyum kecil Sekar Mirah berkata, “Rara, aku yakin bahwa orang itu akan mencarimu sampai ketemu di seluruh Tanah Perdikan ini.” Rara Wulan pun tersenyum pula. Katanya, “Bukan hanya aku, orang itu akan mencari Mbokayu.” “Tetapi Kakang Agung Sedayu tidak marah. Sementara nampaknya Glagah Putih tidak senang kau tersenyum dengan orang itu.” “Bukankah aku hanya tersenyum saja?“ desis Rara Wulan, “Biarlah Kakang Agung Sedayu yang mempertanggung jawabkan.” Sekar Mirah tertawa. Katanya, “Glagah Putih tentu tidak benar-benar marah. Ia hanya tidak setuju dengan cara yang dipilih Kakang Agung Sedayu.” Rara Wulan pun tertawa. Sementara Sekar Mirah pun berkata, “Jadi, kita dapat mengerti betapa Raden Antal hampir menjadi gila karena Rara Wulan tidak menghiraukanya.” “Ah Mbokayu,” desis Rara Wulan. Lalu iapun bertanya, “Bagaimana dengan Kakang Agung Sedayu waktu itu?” “Tidak ada masalah,” jawab Sekar Mirah sambil tertawa pula. Ternyata Rara Wulan juga tertawa semakin keras. Ki Lurah Branjangan dan Ki Jayaraga yang berkuda di belakangnya tidak mendengar yang mereka bicarakan. Mereka hanya melihat kedua orang itu tertawa. Demikianlah, maka iring-iringan itu pun semakin lama semakin mendekati padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Karena itulah, maka perjalanan mereka mulai tersendat. Orang-orang yang sedang berada di sawah telah menyapa mereka yang sudah beberapa lama tidak nampak di Tanah Perdikan Menoreh. Dengan ramah mereka yang baru kembali ke Tanah Perdikan itu menjawab setiap pertanyaan, agar tidak mengecewakan orang-orang yang seakan-akan telah menyambut kedatangan mereka itu. Semakin dekat dengan padukuhan induk, maka mereka pun menjadi sering menjawab pertanyaan-pertanyaan dan sapa orang-orang Tanah Perdikan Menoreh yang mengenal mereka dengan baik. Terlebih-lebih lagi jika mereka melewati padukuhan-padukuhan yang cukup ramai. Beberapa saat kemudian maka mereka pun telah memasuki padukuhan induk. Namun Agung Sedayu minta agar mereka langsung pergi menghadap Ki Gede untuk melaporkan kedatangan mereka. “Daripada nanti kita harus pergi lagi setelah kita pulang,” berkata Agung Sedayu. Ternyata yang lain pun sependapat. Jika mereka sudah sampai di rumah, agaknya mereka akan malas untuk segera pergi lagi, meskipun hanya untuk menghadap Ki Gede. Ki Gede yang kebetulan ada di rumah, menyambut mereka dengan senang hati. Dengan kehadiran mereka kembali di Tanah Perdikan Menoreh, rasa-rasanya keadaan akan menjadi semakin tenang. Tetapi dalam pertemuan itu pula Agung Sedayu telah melaporkan, bahwa beberapa orang telah memasuki Tanah Perdikan Menoreh. Mereka orang-orang yang baru, sepeninggal Ki Manuhara yang telah terbunuh di dekat susukan Kali Opak. Ki Gede menarik nafas dalam-dalam, sementara Agung Sedayu berkata, “Kami mohon maaf Ki Gede. Mungkin pesoalan itu masih menyangkut keberadaan kami di Tanah Perdikan ini.” “Tidak ada yang salah dalam hal ini Ngger,“ sahut Ki Gede, “apa yang kita lakukan bukan untuk kepentingan diri kita sendiri semata-mata. Yang kita lakukan akan memberikan arti bagi kampung halaman khususnya, dan Mataram pada umumnya.” Agung Sedayu pun mengangguk-angguk. Ia sudah melaporkan segala-galanya yang terjadi di Mataram, sehingga Ki Gede mempunyai pandangan yang jelas dalam hubungannya dengan orang-orang yang memasuki Perdikan Menoreh. Demikianlah, maka beberapa saat kemudian Agung Sedayu pun telah minta diri bersama-sama dengan sekelompok orang yang datang bersamanya. “Kami akan beristirahat dahulu Ki Gede. Besok kami akan menghadap lagi,” berkata Agung Sedayu kemudian. Sepeninggal Agung Sedayu, maka Ki Gede pun telah memanggil Prastawa untuk memberitahukan kehadiran beberapa orang yang harus diawasi di Tanah Perdikan. “Perintahkan para pengawal untuk semakin berhati-hati. Yang memasuki Tanah Perdikan Menoreh sepengetahuan Agung Sedayu ada empat orang,“ berkata Ki Gede. “Baik Ki Gede,“ jawab Prastawa. Ki Gede pun telah memberikan beberapa ciri-ciri dari keempat orang itu sesuai dengan keterangan Agung Sedayu. Namun katanya kemudian, “Kau dapat bertemu sendiri dengan Angger Agung Sedayu atau Glagah Putih. Kau dapat menanyakan langsung kepada merekam ciri-ciri orang yang memasuki Tanah Perdikan Menoreh dengan niat yang kurang baik itu.” “Baik Paman,“ jawab Prastawa, “aku akan menghubungi mereka dan para pemimpin pengawal di padukuhan-padukuhan.” Seperti biasanya maka Prastawa pun bekerja dengan cepat. Hari itu juga Prastawa telah memanggil para pemimpin kelompok di padukuhan-padukuhan. Bahkan Prastawa juga memanggil Agung Sedayu dan Glagah Putih untuk memberikan penjelasan langsung kepada mereka. Sementara Tanah Perdikan Menoreh mempersiapkan diri menghadapi persoalan yang masih saja rumit, di Mataram, Raras merasa hari-harinya semakin sepi. Raden Teja Prabawa sudah tidak menarik lagi baginya. Apalagi Wacana selalu berkata kepadanya, bahwa anak-anak muda seperti Teja Prabawa tidak dapat di harapkan untuk dapat membahagiakannya. “Dalam keadaan yang sulit, Raden Teja Prabawa tentu akan meninggalkan tanggung jawab,” berkata Wacana tidak hanya sekali dua kali. Namun dalam pada itu, Ki Rangga Wibawa memang menjadi semakin cemas melihat perkembangan sikap Wacana. Ia nampak hampir selalu berada di dekat Raras. Bahkan ketika Raras sudah mau duduk di serambi seorang diri, Wacana masih saja ingin menemaninya. Ia tidak berusaha melatih agar Raras menemukan keberaniannya kembali. Sedang menurut penglihatan kedua orang tua Raras, persoalan yang membuat Raras sering merenung telah bergeser dari persoalan yang semula. Raras tidak lagi selalu dibayangi oleh ketakutan. Tetapi ia masih saja nampak selalu murung. Tetapi Ki Rangga Wibawa masih belum sampai hati untuk berbicara langsung dengan Raras maupun dengan Wacana. “Ki Rangga,“ desis Nyi Rangga ketika ia sempat berbincang dengan suaminya, “bagaimana menurut pertimbangan Ki Ranga tentang Raras? Aku melihat semakin jelas sesuatu yang lain dalam pandangan mata Wacana terhadap adiknya.” “Aku juga menjadi gelisah, Nyi,“ berkata Ki Rangga Wibawa. “Jika Raras mulai berpaling dari Raden Teja Prabawa, maka kita akan mengalami kesulitan lagi. Raras telah dibebaskan dari tangan-tangan orang yang menculiknya oleh keluarga atau orang-orang yang berhubungan dengan keluarga Raden Teja Prabawa. Jika benar dugaan kita bahwa benar ada hubungan antara Raras dan Wacana, maka persoalannya bukan saja persoalan kecil.” “Apalagi mereka masih ada hubungan darah,” berkata Nyi Rangga. “Seandainya soal itu dapat kita kesampingkan, persoalan lebih besar akan dapat menerpa keluarga kita. Bahkan mungkin akibatnya lebih parah daripada yang pernah terjadi dengan Raras. Orang-orang yang telah membebaskan Raras adalah orang-orang berilmu sangat tinggi. Mereka berhasil mengalahkan Bajang Bertangan Baja dan Ki Manuhara. Bayangkan, jika mereka marah dan berbuat sesuatu atas kita.” “Apakah sebaiknya kita berterus terang kepada Raras?” bertanya Nyi Rangga. “Kita akan menunggu beberapa saat lagi. Jika kesempatan itu datang, maka kita memang harus berterus terang. Apapun yang akan terjadi, kita memang harus memberitahukan kepada Tumenggung Purbarumeksa. Itu tentu akan lebih baik daripada Ki Tumenggung mendengar dari orang lain,” jawab Ki Rangga meskipun ragu. Tetapi Raras sendiri semakin lama merasa betapa dunianya menjadi semakin sunyi. Kehadiran Wacana hampir di setiap saat tidak dapat mengisi kesunyian di hatinya itu. Hampir setiap saat Raras selalu diganggu oleh bayangan seorang laki-laki yang berilmu tinggi, yang telah melindunginya langsung di saat ia berada di dekat susukan Kali Opak. Raras merasa perasaannya menjadi sangat tenang jika ia berada di dekat orang itu. Tetapi orang itu sudah pergi ke Tanah Perdikan Menoreh, tanpa diketahui kapan ia akan datang lagi. Semakin lama perasaan yang bergejolak di hatinya itu terasa menekan jantungnya. Pandangannya terhadap Raden Teja Prabawa benar-benar sedah berubah. Ia sependapat dengan Wacana, bahwa Raden Teja Prabawa bukan seorang laki-laki yang akan dapat melindunginya. Tetapi satu hal yang sama sekali menyimpang dari keinginan Wacana. Ia memang berhasil mempengaruhi sikap Raras terhadap Raden Teja Prabawa dengan perlahan-lahan. Tetapi Raras tidak bergeser dari Raden Teja Prabwa, yang dinilainya tidak mampu melindunginya itu, kepadanya. Kepada Wacana. Meskipun setiap kali Wacana selalu menceritakan tentang dirinya sendiri. Tentang perguruannya, dan tentang apa saja yang sudah diperoleh dari perguruannya itu. Raras memang menjadi heran ketika Wacana menunjukkan kepadanya betapa besar kekuatannya. Dengan kekuatan tangannya Wacana telah membengkokkan besi gligen. Bahkan kemudian dengan tangannya pula mampu memanasi batang besi itu sehingga benar-benar menjadi panas. Tetapi sikap Raras kepadanya tidak berubah. Sikap seorang adik kepada kakaknya. Bahkan Wacana tidak mampu membuat wajah Raras menjadi tenang. Gadis itu masih saja tetap murung dan merasa dunianya sunyi. “Raras,“ berkata Wacana pada suatu saat, “seharusnya kau sudah berubah. Aku lihat kau sudah menjadi semakin menemukan dirimu sendiri. Kau tidak lagi dibayangi oleh ketakutan. Kau sudah berani duduk sendiri di serambi. Bahkan kau sudah sering berada di dapur. Tetapi kenapa kau masih tetap murung? Wajahmu gelap, pandangan matamu menerawang ke tempat yang tidak pasti. Apa sebenarnya yang kau simpan di dalam hatimu? Apakah kau masih berharap Raden Teja Prabawa itu datang kepadamu? Menurut penglihatanku, ketika Raden Teja Prabawa datang kemari, kau tidak lagi menanggapinya sebagaimana sebelumnya, karena agaknya kau dapat mengerti bahwa Raden Teja Prabawa tidak akan dapat kau jadikan tempat untuk berlindung.” Raras menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berdesis, “Hidupku memang sepi Kakang.” “Kenapa? Kau dapat mengisi hari-harimu dengan apa saja yang kau inginkan. Mungkin sekali-sekali kau ingin keluar rumah dengan perasaan tenang tanpa ketakutan,“ desis Wacana. Raras memandang Wacana sejenak. Namun ia kemudian mengangguk kecil sambil berkata, “Ya Kakang. Sekali-sekali aku memang ingin berjalan-jalan. Aku tidak dapat terus-menerus seperti hidup dalam penjara meskipun di rumahku sendiri.” “Kenapa tidak kau katakan sejak awal? Bukankah aku dapat menemanimu kemanapun kau ingin pergi, tanpa merasa takut? Aku akan dapat melindungimu lebih dari siapa saja. Kau tahu bahwa aku memiliki ilmu dan kemampuan yang tidak kalah dengan orang lain. Bahkan dengan Bajang Bertangan Baja sekalipun.” Raras mengangguk-angguk kecil. Tetapi ia tidak segera menjawab. Bahkan tatapan matanya justru menjadi semakin menerawang jauh sekali. “Raras, apa yang sebenarnya kau pikirkan? Jika kau masih merindukan Raden Teja Prabawa, biarlah aku memanggilnya. Tetapi seperti yang sudah sering aku katakan, laki-laki seperti Raden Teja Prabawa itu tidak akan banyak berarti bagi seorang perempuan, karena dia tidak akan dapat berbuat apa-apa. Selagi ayahnya masih berkuasa, mungkin Ki Tumenggung dapat memerintahkan sekelompok prajurit penjaga dan melakukan tugas-tugas yang seharusnya bukan tugas prajurit. Tetapi apakah selamanya ia akan menggantungkan diri pada keadaan seperti itu?” Raras menggeleng lemah. Dengan nada dalam ia menjawab, “Tidak Kakang. Aku tidak lagi memikirkan Raden Teja Prabawa.” “Nah, jika demikian tidak seharusnya kau menjadi murung seperti itu. Kau harus mulai memasuki duniamu yang wajar. Tanpa ketakutan dan kecemasan. Pergilah kemana saja yang kau ingini. Aku akan melindungimu,“ berkata Wacana. Raras menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Terima kasih Kakang. Aku percaya bahwa kau dapat melakukannya. Sebenarnya aku juga ingin berbuat demikian. Tetapi aku tidak akan terlalu bergantung kepadamu untuk seterunya.“ “Kenapa tidak Raras? Bukankah aku ini kakakmu? Dan lebih dari itu, aku dapat kau minta untuk melakukan apa saja,” berkala Wacana. Raras memandang Wacana sejenak. Dengan mata yang redup ia berkata, “Aku mengerti Kakang. Akupun merasa bahwa aku hanya dapat mengeluh dan bahkan menyampaikan gejolak di dalam hatiku kepadamu. Aku tidak dapat mengatakanya kepada Ayah dan Ibu, karena setiap kali Ayah dan Ibu masih saja menyebut nama Raden Teja Prabawa.” Jantung Wacana menjadi berdegup semakin cepat. Dengan serta merta ia berkata, “Katakan Raras. Aku mengerti sepenuhnya persaanmu.” “Kakang,“ berkata Raras dengan suara yang hampir tidak terdengar, “aku sudah tidak dapat memaksa diri untuk bergantung kepada Raden Teja Prabawa.” Wajah Wacana pun menegang. Dengan suara yang sedikit bergetar ia berkata, “Kau sebaiknya berterus terang Raras. Aku sudah mengatakan, bahwa aku akan bersedia berbuat apa saja bagimu. Aku bukan sekedar kakakmu. Tetapi aku adalah orang yang akan bersedia melindungimu. Bahkan seterusnya.” “Terima kasih Kakang,” jawab Raras, yang kurang menilik kata-kata Wacana ke kedalaman. Ia lebih sibuk dengan angan-angan sendiri, daripada mendengar dan mengerti apa yang dikatakan oleh saudara sepupunya. Namun kemudian dengan sendat ia berkata, “Kakang. Apakah kau benar akan berbuat apa saja untukku?” “Tentu Raras,” jawab Wacana dengan serta merta. Tetapi Raras menarik nafas dalam-dalam. Kepala tertunduk sementara mulutnya tiba-tiba saja terkatup. “Raras. Katakan Raras,” desak Wacana tidak sabar lagi. Tetapi Raras masih saja berdiam diri. “Raras. Bagaimana aku mengetahui perasaanmu dan apalagi maksudmu, jika kau hanya diam saja seperti itu?” desis Wacana. Darahnya yang bagaikan semakin cepat mengalir itu telah menghentak-hentak jantungnya semakin keras. “Tidak Kakang. Aku tidak dapat minta kepadamu,” gumam Raras hampir tidak terdengar. “Kenapa tidak? Katakan, katakan Raras,” Wacana menjadi semakin mendesak. “Jangan kau hancurkan jantungmu sendiri dengan menahan gejolak perasaanmu. Jika kau bersedia mengatakan, maka hatimu tentu akan menjadi semakin lapang.” Raras masih saja nampak ragu-ragu. Namun akhirnya ia berkata, “Kakang. Sekali lagi aku katakan, bahwa aku hanya dapat mengatakan kepadamu. Tidak kepada orang lain. Tidak pula kepada Ayah dan Ibu.” “Baik Raras. Aku akan mendengarkan dan berbuat apa saja yang terbaik untukmu,” jawab Wacana. Raras memandang Wacana dengan mata yang sayu. Namun akhirnya ia berkata, “Sejak peristiwa itu Kakang, aku benar-benar kehilangan segala perhatianku kepada Raden Teja Prabawa. Ternyata apa yang pernah kau katakan kepadaku itu benar. Bahwa Raden Teja Prabawa bukan seorang yang bertangung jawab. Ketika peristiwa yang mengerikan itu terjadi, Raden Teja Prabawa itu memang tidak berbuat sesuatu.” Raras terdiam sejenak, “Karena itu Kakang, maka aku tidak lagi berniat untuk menyambung hubunganku dengan Raden Teja Prabawa. Perhatianku ternyata mulai tertuju kepada orang lain.” “Kepada orang lain?” ulang Wacana, ”Katakan, kepada siapa perhatianmu itu sekarang kau tujukan?” Wajah Raras menjadi tegang, suaranya semakin bergetar. Katanya, “Apakah aku pantas mengatakannya Kakang? Aku adalah seorang perempuan.” “Apakah seorang perempuan tidak berhak menyatakan perasaannya? Apakah seorang perempuan harus menyimpan gejolak dalam jiwanya dan membiarkan jantungnya terbakar karenanya?” Wacana menjadi semakin tidak sabar lagi. Tiba-tiba Raras mengangguk. Katanya, “Aku minta kau menyimpannya bagimu sendiri Kakang.” “Aku berjanji Raras,” jawab Wacana. Raras masih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Kakang. Sejak peristiwa itu terjadi, sejak aku diselamatkan oleh beberapa orang di dekat susukan Kali Opak, maka sejak itu wajah orang yang telah menolongku itu selalu terbayang. Lebih kuat dan lebih dalam sampai ke dasar jantung daripada Raden Teja Prabawa. Selain keteranganmu tentang Raden Teja Prabawa Kakang, kejantanan orang yang menolongku itu telah mendesaknya jauh ke belakang. Sehingga bayangan yang nampak bukan lagi wajah, sikap dan tingkah laku Raden Teja Prabawa, tetapi wajah dan tingkah laku seorang laki-laki sejati yang bernama Sabungsari itu.” Bagaikan disambar petir Wacana mendengar pengakuan Raras itu. Raras sama sekali tidak menyebut namanya. Gadis itu sama sekali tidak berpaling kepadanya dari Raden Teja Prabawa. Tetapi gadis itu justru berpaling kepada Sabungsari. Darah Wacana bagaikan menggelegak. Ingin rasanya saat itu juga ia menantang Sabungsari di hadapan Raras, agar Raras menjadi saksi, siapakah di antara mereka yang berilmu lebih tinggi. Raras yang terlanjur mengatakan perasaannya itu hanya dapat menunduk dalam-dalam. Ia tidak melihat perubahan wajah Wacana yang tiba-tiba menjadi gelap seperti langit yang tertutup mendung yang tebal. Beberapa saat suasana menjadi hening tegang. Kedua-duanya tenggelam dalam arus perasaan masing-masing. Sejenak kemudian tiba-tiba terdengar Raras justru terisak. Dengan wajah yang masih menunduk ia mengusap air matanya yang mulai mengalir di pipinya. Wacana pun seperti terbangun dari tidurnya yang dibayangi oleh mimpi yang buruk. Bahkan ia berdesah di dalam hatinya, “Bukan sekedar mimpi buruk. Tetapi keadaanku memang buruk sekali. Kenapa orang-orang Tanah Perdikan itu tiba-tiba hadir di Mataram, dan mendahului aku bertindak menyelamatkan Raras dari tangan Bajang Bertangan Baja itu?” Tetapi sebenarnyalah hal itu memang sudah terjadi. Perlahan-lahan Wacana berusaha menguasai gejolak perasaanya. Seandainya ia tidak mampu mengendalikan diri, maka apa yang akan dikatakan oleh pamannya Ki Rangga Wibawa dan bibinya? Karena itu, betapapun isi dadanya menjadi bagaikan terbakar hangus, namun Wacana masih berusaha untuk menguasai diri. Bahkan dengan nada dalam Wacana bertanya, “Raras, jika itu yang kau kehendaki, maka biarlah aku bertemu dengan Sabungsari untuk mengatakan isi hatimu itu kepadanya.” Tetapi dengan serta merta Raras menyahut sambil bangkit berdiri, “Jangan Kakang. Jangan katakan kepada siapapun. Apalagi kepada orang itu. Bukankah kau berjanji bahwa kau tidak akan mengatakan kepada siapapun? Aku tidak ingin seorangpun kecuali kau sendiri yang mendengarnya. Karena kau adalah kakakku. Selama ini hanya kepadamu-lah aku dapat mengadukan perasaanku tentang anak muda yang tinggal di hatiku.” “Tetapi kau tidak dapat menyimpan perasaanmu itu untuk selama-lamanya Raras. Aku juga tidak ingin melihat kau menghancurkan hidupmu sendiri karena kau menyimpan perasaan yang bergejolak di hatimu itu.” “Biarlah Kakang. Aku akan menyimpan rahasia ini di dalam hatiku, apapun yang terjadi kemudian atas diriku. Tetapi aku tidak mau menanggung malu, karena aku seorang gadis telah menyatakan perasaannya mendahului pernyataan seorang laki-laki. Apalagi Ayah dan Ibu yang sama sekali tidak mengetahui perkembangan perasaanku. Ayah dan Ibu akan dapat menuduhku sebagai seorang gadis yang tidak setia.” “Jadi kepada ayah dan ibumu kau akan tetap mengatakan bahwa hatimu masih terpaut kepada Raden Teja Prabawa?” bertanya Wacana. Raras menjadi bingung. Sekali-sekali ia pernah mengatakan kepada ayah dan ibunya tentang sikap dan perasaannya itu terhadap Raden Teja Prabawa. “Jika demikian, maka kau tidak jujur Raras. Kau harus jujur terhadap kedua orang tuamu. Apa yang tesirat di hatimu, harus kau sampaikan kepada kedua orang tuamu, agar mereka mereka mendapat gambaran yang jelas tentang kau. Tentang anak gadisnya. Dengan demikian, maka kedua orang tuamu tidak akan salah mengambil langkah. Tetapi jika mereka tidak tahu perasaanmu yang sebenarnya, maka akan dapat terjadi langkah-langkah yang diambilnya bertentangan dengan sikap hatimu.” “Kakang. Bukankah seorang gadis memang tidak dapat banyak memilih?” bertanya Raras. “Tetapi kau harus mengatakannya. Tentang sikap kedua orang tuamu, itu tergantung pada mereka. Tetapi mereka sudah tahu pasti apa yang kau inginkan.” Raras tetap menggeleng. Katanya, “Tidak Kakang. Bagiku sudah cukup jika kau saja yang mengetahuinya. Kepada Ayah dan Ibu aku memang pernah mengatakan tentang tanggapanku atas Raden Teja Prabawa sekarang. Terserah kepada Ayah dan Ibu, apa yang mereka lakukan. Tetapi aku tidak akan mengatakan kepada Ayah dan Ibu tentang sikapku terhadap orang yang telah menolongku.” Wacana tidak menjawab lagi. Meskipun dalam kediamanya itu terasa betapa jantungnya bagaikan berputar di dalam dadanya. Meskipun demikian Wacana masih berusaha untuk menyembunyikan perasaanya. Tetapi satu hal yang bergejolak di dalam hati anak muda itu. Setahu atau tidak setahu Raras, ia harus menemui Sabungsari. Sebagai seorang laki-laki ia dapat mempertaruhkan Ilmu dan kemampuannya untuk mendapatkan seorang gadis yang diidamkanya. “Siapa yang lebih buruk di antara kita harus mundur. Setahu atau tidak setahu Raras,” berkata Wacana di dalam hatinya. Dengan demikian, maka Wacana telah merencanakan untuk pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Menjumpai Sabungsari dan berbicara sebagai seorang laki-laki dengan seorang laki-laki. Meskipun hal itu tidak dikatakannya kepada siapapun juga, namun Wacana berjanji dalam hatinya, bahwa ia akan mencari kesempatan untuk melakukannya. Di Tanah Perdikan Menoreh, Sabungsari dengan segala macam cara telah berusaha untuk melupakan Raras. Sabungsari benar-benar tidak berniat menjadi sebab terganggunya hubungan antara Raras dan Raden Teja Prabawa. Karena itu, begitu ia berada di Tanah Perdikan Menoreh, maka Sabungsari pun telah menenggelamkan diri ke dalam kegiatan-kegiatan anak muda di Tanah Perdikan bersama Glagah Putih. Sedangkan dalam waktu luangnya, maka Sabungsari telah menghabiskan waktunya di sanggar atau di tempat-tempat terbuka yang tidak terlalu banyak dikunjungi orang. Dengan sungguh-sungguh Sabungsari berusaha untuk mengembangkan ilmunya. Sejak ia dengan tuntunan Agung Sedayu berhasil memecahkan hambatan di dalam dirinya, maka Sabungsari perlahan-lahan telah meningkatkan kemampuannya. Agung Sedayu yang kadang-kadang sempat menungguinya, telah mengagumi betapa tekunnya Sabungsari bergulat dengan ilmunya itu. Tetapi di luar sadarnya, di tempat lain, Wacana pun telah mengasah tajam ilmu dan kemampuannya. Ia tidak lagi terlalu sering berada di dekat Raras. Tetapi Wacana lebih banyak berada di sanggar pamannya, atau pergi ke tempat-tempat yang sunyi dan terasing untuk menempa diri. Ada perbedaan alasan antara Wacana dan Sabungsari, yang keduanya dalam waktu yang bersamaan telah menempa diri. Wacana mempersiapkan diri untuk menantang Sabungsari dalam sebuah perang tanding. Tuntas atau tidak tuntas, untuk menentukan siapakah di antara mereka yang harus menyingkir dari sisi Raras. Sedangkan Sabungsari menenggelamkan diri dalam latihan-latihan yang berat justru karena ia ingin melupakan Raras. Sementara Sabungsari sibuk dengan kegelisahannya sendiri, maka Glagah Putih dan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah sibuk pula mengamati keadaan. Sebagaimana dilaporkan oleh Agung Sedayu ketika ia kembali dari Mataram, bahwa empat orang telah memasuki Tanah Perdikan Menoreh untuk melakukan tugas yang masih gelap, meskipun sudah diduga bahwa yang akan mereka lakukan itu bukan satu usaha yang baik bagi Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi untuk beberapa saat masih belum ada tanda-tanda bahwa di Tanah Perdikan Menoreh ada gerakan yang dapat mengganggu ketenangan dan apalagi berusaha untuk merusak tata kehidupan. Tetapi di samping kesiagaan Tanah Perdikan Menoreh itu sendiri, maka Sekar Mirah dan Rara Wulan juga selalu berhati-hati. Mereka menyadari, bahwa orang yang ditemui di Kali Praga itu pada suatu saat akan mencari mereka. Terutama Rara Wulan. Meskipun hal itu disengaja oleh Agung Sedayu, agar orang yang berpakaian bagus dengan bahan yang mahal itu tidak terlepas dari satu kemungkinan untuk menjadi jembatan usaha mereka bertemu dengan orang yang disebut Resi Belahan. Sebenarnyalah bahwa orang itu benar-benar telah mencari kedua perempuan yang dikatakan oleh Agung Sedayu sebagai istri prajurit itu. Namun justru karena itu, maka meskipun Bajang Bertangan Baja telah menyatakan untuk meninggalkan Mataram serta Ki Manuhara telah terbunuh, tetapi Sekar Mirah dan Rara Wulan masih saja harus didampingi oleh seseorang, apalagi jika mereka pergi keluar rumahnya atau pergi ke pasar. Bahkan kadang-kadang Ki Jayaraga-lah yang harus mengantar mereka pergi ke pasar. Apalagi Ki Jayaraga sendiri memang senang melihat-lihat pasar. Bahkan kadang-kadang Ki Jayaraga yang semakin tua itu minta agar Sekar Mirah dan Rara Wulan membeli makanan anak-anak, karena Ki Jayaraga memang menyukainya. Clorot dan klepon, serta beberapa jenis makanan yang lain. Sekar Mirah dan Rara Wulan tidak dapat mencegah jika orang tua itu tiba-tiba saja ingin membeli dawet cendol dan minun di tempat itu juga sambil berjongkok. Tetapi Sekar Mirah dan Rara Wulan memang lebih senang berbelanja dengan Ki Jayaraga daripada dengan Glagah Putih atau Sabungsari, yang kadang-kadang menjadi tidak telaten jika mereka sedang menawar barang-barang yang akan dibelinya. Ternyata bahwa akhirnya yang mereka tunggu itu datang juga. Selagi Sekar Mirah dan Rara Wulan berbelanja di pasar, maka tiba-tiba seorang telah menggamit Rara Wulan. Gadis itu terkejut. Namun demikian ia berpaling, maka iapun telah menarik nafas dalam-dalam. Orang itulah yang pernah bertemu di pinggir Kali Praga. Untunglah bahwa Sekar Mirah dan Rara Wulan waktu itu berada di pasar bersama Ki Jayaraga yang kebetulan tidak pergi ke sawah. “Ah, kau,” desis Rara Wulan. “Kau masih ingat aku?“ bertanya orang itu. Matanya masih tetap liar seperti waktu mereka bertemu di pinggir Kali Praga. “Tentu,” jawab Rara Wulan. “Bukankah kau yang menyeberang Kali Praga bersama kami waktu itu?” “Ternyata ingatanmu tajam,” jawab orang tua itu. “Nah, apakah suamimu masih belum ada di rumah?“ Rara Wulan mengerutkan keningnya. Ternyata orang itu berbicara langsung tentang dirinya. Ketika ia melihat Rara Wulan ragu-ragu, maka iapun mendesak, ”Jangan takut. Jika suamimu marah, aku akan menyelesaikannya.” “Suamiku ada di rumah sekarang,“ jawab Rara Wulan. Orang itu mengerutkan dahinya. Iapun berpaling kepada Sekar Mirah, “Dan suamimu?” “Ya,“ jawab Sekar Mirah, “mereka pulang kemarin sore. Karena itu kami pergi berbelanja untuk suami kami masing-masing.” “Jangan hiraukan suamimu. Mari ikut aku. Nanti kalian aku antarkan pulang. Aku akan berbicara dengan suami kalian. Aku mempunyai barang-barang yang akan membuat suami kalian tidak akan marah.” Orang itu terkejut ketika tiba-tiba saja Sekar Mirah menjawab, “Hai, kau kira kami ini apa?” Orang itu mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling kepada Rara Wulan, Rara Wulan pun berkata, “Jangan menghina kami Ki Sanak. Nanti perutmu dapat dilubangi oleh suami-suami kami.” Wajah orang itu menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia berkata, “Bukankah kalian bersikap baik ketika kalian berada di tepian Kali Praga?” “Kami bersikap baik, karena kami mengira bahwa hatimu pun baik dan sebersih pakaiamu,“ jawab Sekar Mirah. Jantung orang itu berdetak semakin cepat di dadanya. Wajahnya menjadi merah dan telinganya terasa panas. Sementara itu Sekar Mirah dan Rara Wulan memang sengaja membuat orang itu marah, untuk memancing persoalan. Agar sebagaimana dikehendaki oleh Agung Sedayu, orang itu akan dapat menjadi jembatan untuk sampai kepada orang yang bernama Resi Belahan. Sebenarnyalah orang itu bukan saja menjadi marah. Tetapi ia merasa seakan-akan kedua orang perempuan itu sedang mempermainkannya. Karena itu maka iapun menggeram, “Setan-setan betina. Kau kira kau akan dapat luput dari tanganku?” “Kau mau apa?” tantang Rara Wulan, “Kita berada di pasar. He, lihat. Berapa orang yang sudah mulai memperhatikan kita. Jika kau bertindak kasar dan aku berteriak di sini, maka orang-orang akan berdatangan dan mengerumuni kita. Petugas yang menjaga pasar dan Lurah pasar ini akan segera menangkapmu dan membawamu kepada Ki Gede Menoreh.” Orang itu menggeretakkan giginya. Ketika ia memandang orang-orang di sekelilingnya, satu dua orang memang tengah memperhatikannya, meskipun yang dilakukannya tidak lebih dari sekedar bercakap-cakap dengan kedua perempuan itu. Tidak jauh dari Sekar Mirah dan Rara Wulan berbicara dengan orang yang berpakaian bagus dan rapi itu, Ki Jayaraga berjongkok sambil meneguk semelak yang segar, meskipun tidak terlalu banyak orang yang menggemarinya. Ki Jayaraga seakan-akan tidak mempedulikan apa yang terjadi dengan kedua orang perempuan itu. Ternyata memang tidak terjadi pertengkaran yang berkepanjangan. Orang yang dijumpai di Kali Praga itu segera meninggalkan Sekar Mirah dan Rara Wulan. Namun keliaran pandangannya telah memperingatkan agar Sekar Mirah dan Rara Wulan tetap berhati-hati. Baru setelah orang itu pergi, maka Ki Jayaraga pun bangkit dan mendekati mereka, setelah membayar harga semelak yang diminumnya. Dengan nada rendah Ki Jayaraga berdesis, “Berhati-hatilah Ngger. Orang itu bukan jenis orang yang mudah melepaskan sesuatu yang diingininya.” dalam cetakan buku asli terdapat bagian yang hilang di sini Ki Jayaraga pun mengangguk kecil. Katanya, “Ya. Memang satu pancingan yang berbahaya. Tetapi kita tidak mempunyai cara lain. Jika kita tempuh cara yang lebih lunak, agaknya Angger Glagah Putih tidak sependapat. Bukankah itu terasa padamu Rara Wulan?” “Ah,” desah Rara Wulan. Ki Jayaraga tersenyum. Sementara itu Sekar Mirah justru tertawa kecil. Katanya, “Kau justru harus berbangga Rara. Jika Glagah Putih tidak mempedulikan apa saja yang kau lakukan, barulah kau mengeluh.” Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi wajahnya menjadi merah. Yang dapat dilakukannya hanyalah menundukkan wajahnya. Meskipun demikian, seleret senyum nampak di bibirnya. Demikianlah, mereka bertiga pun segera meninggalkan pasar itu setelah mereka selesai berbelanja. Tanpa meninggalkan kewaspadaan, mereka menyusuri jalan-jalan yang terhitung ramai di Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi di sebelah tikungan, mereka harus mengikuti jalan yang berkelok melalui pinggir padukuhan, sebelum sampai di simpang empat dan kembali memasuki padukuhan. “Di sepotong jalan di pinggir desa itulah satu-satunya kemungkinan bagi orang itu untuk berbuat sesuatu yang mungkin dapat menghambat perjalanan kita,“ berkata Ki Jayaraga. Sekar Mirah dan Rara Wulan mengangguk kecil. Tetapi sepotong jalan itu tidak cukup panjang untuk berbuat banyak. Apalagi sepotong jalan itu masih tetap melekat pada padukuhan induk. Sebenarnya masih ada jalan lain yang lebih terlindung dari kemungkinan buruk itu, jika mereka menghendaki. Tetapi Sekar Mirah dan Rara Wulan memang memilih jalan itu. Sebelum mereka berbelok memasuki jalan yang menuju ke pinggir padukuhan itu Ki Jayaraga pun berkata, “Mereka ada di belakang kita.” “Baiklah,“ berkata Sekar Mirah, “satu kesempatan. Tetapi sayang bahwa Kakang Agung Sedayu agaknya sudah berangkat ke barak.” “Mereka, maksudku orang yang berpakaian bagus itu dengan kedua orang pengawalnya, tidak akan mengikuti kita sampai ke rumah,“ berkata Ki Jayaraga. “Belum tentu, mungkin mereka ingin melihat rumah kita,“ jawab Rara Wulan. Ki Jayaraga mengangguk-angguk. “Memang satu kemungkinan. Tetapi apakah kita berniat untuk membawa mereka sampai ke rumah kita?” “Bagaimana pendapat Ki Jayaraga?“ bertanya Sekar Mirah. “Jika demikian, maka peristiwa itu akan terulang. Seperti Ki Manuhara, maka mereka akan datang dan menyerang rumah kita.” “Bukankah itu lebih baik? Kita membatasi persoalan ini di dalam dinding halaman rumah kita. Sementara itu kita akan dapat mengenali Resi Belahan jika ia datang untuk membantu orang yang menyebutnya Paman itu,” desis Sekar Mirah. Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah. Jika Angger Agung Sedayu setuju.” “Tetapi kita tidak mempunyai waktu untuk berbicara dengan Kakang Agung Sedayu sekarang,“ desis Rara Wulan. “Jika demikian, biarlah kita mencoba. Tetapi justru karena kalian mengatakan bahwa suami kalian pulang, mungkin orang itu akan berbuat lain. Mungkin ia mempunyai cara lain selain datang ke rumah kita,” berkata Ki Jayaraga. Sebenarnyalah, belum lagi Sekar Mirah dan Rara Wulan menjawab, maka orang itu telah menyusul mereka dan bahkan menghentikan langkah mereka. “Tunggu,“ berkata orang itu, “aku masih ingin bicara. Tetapi tidak di dalam pasar yang ramai.” Sekar Mirah dan Rara Wulan memang segera berhenti. Demikian pula Ki Jayaraga. “He, kau orang tua. Kenapa kau juga berhenti? Pergilah. Kami bukan tontonan,“ berkata orang itu. Tetapi Ki Jayaraga menjawab. “Ki Sanak. Aku adalah mertua mereka keduanya. Kedua perempuan itu adalah menantuku. Suami mereka dua orang kakak beradik.” “He?” orang itu mengerutkan dahinya, “Jadi suami kalian kakak beradik dan kedua-duanya menjadi prajurit?” “Ya,“ jawab Sekar Mirah dan Rara Wulan hampir berbareng. “Aku tidak peduli. Sekarang aku minta kalian berdua mengikuti aku,” berkata orang itu. “Untuk apa?“ bertanya Sekar Mirah. “Kalian tidak usah bertanya,“ jawab orang itu, “cepat. Kalian harus turun ke jalan sempit itu dan berjalan ke arah petegalan di sebelah.” “Ya, untuk apa?” desak Sekar Mirah. “Jangan bertanya lagi supaya aku tidak menyumbat mulutmu!“ bentak orang itu, “Aku tidak mempunyai banyak waktu. Cepat!” Sekar Mirah dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Mereka sempat memperhatikan dua orang yang bertubuh raksasa yang mengawal orang yang berpakaian rapi dan terbuat dari bahan yang mahal itu. “Cepat! Jangan membuat aku kehilangan kesabaran.” “Tatapi kami akan kau bawa kemana?“ bertanya Sekar Mirah. “Jangan ribut. Pada saatnya kalian akan aku lepaskan untuk pulang ke rumah kalian dan mengadu kepada suami kalian,” geram orang itu. Ki Jayaraga yang berdiri termangu-mangu itu pun kemudian berkata, “Pergilah. Kalian tidak mempunyai pilihan.” Sekar Mirah dan Rara Wulan temangu-mangu sejenak. Sementara itu kedua orang yang bertubuh raksasa mulai bergerak mendekati Sekar Mirah dan Rara Wulan. “Pergilah,“ Ki Jayaraga mengulang. Sekar Mirah dan Rara Wulan pun mulai bergerak. Tetapi orang yang berpakaian mahal itu berkata, “Kakek tua. Kau juga harus ikut bersama kami.” “Kenapa aku juga ikut?” bertanya Ki Jayaraga. “Kau akan dapat merusakkan acara kami,” jawab orang itu. Ki Jayaraga tidak membantah lagi. Sekali ia memandang orang yang bertubuh raksasa itu. Sambil membelalakkan matanya salah seorang dari yang bertubuh raksasa itu berkata, “Tutup mulutmu. Jangan banyak bertanya.” Ki Jayaraga memang tidak bertanya. Sementara itu, orang berpakaian bagus itu berkata kepada salah seorang dari kedua pengawalnya itu, “Kau berjalan di muka.” Orang itu pun berjalan menjauhi orang-orang yang ada di tempat itu. Kemudian Sekar Mirah dan Rara Wulan harus mengikuti di belakangnya. Baru kemudian orang yang berpakaian rapi itu, sementara Ki Jayaraga harus berjalan diiringi oleh pengawalnya yang seorang lagi. Dua orang yang kebetulan lewat melihat iring-iringan itu berjalan menyusur jalan sempit. Dari arah yang lain, seorang yang berjalan juga merasa heran melihat Sekar Mirah dan Rara Wulan bersama beberapa orang menyusuri jalan sempit itu. Tetapi karena mereka tidak melihat sesuatu yang mencurigakan, maka mereka tidak merasa perlu untuk dengan serta merta memberitahukannya kepada keluarga Agung Sedayu. “Mungkin mereka mengantar tamu mereka untuk melihat-lihat Tanah Perdikan ini,” berkata salah seorang di antara orang-orang yang lewat itu. Sementara itu setelah beberapa saat mereka berjalan, maka seorang yang berpakaian rapi itu telah menggiring Sekar Mirah dan Rara Wulan memasuki sebuah pategalan yang ditanami dengan tanaman yang padat, sehingga demikian mereka memasuki pategalan itu, maka rasa-rasanya iring-iringan itu telah ditelan oleh dedaunan. Tetapi Sekar Mirah dan Rara Wulan terkejut. Ternyata di tengah pategalan itu terdapat lima ekor kuda. “Cepat naik!“ bentak orang itu. “Kita harus segera menjauhi padukuhan induk. Orang-orang yang melihat kalian pergi bersama kami tentu akan memberikan laporan, sehingga mereka akan mencari kalian. Tetapi kalian akan kami bawa ke tempat yang tak mungkin diketahui oleh orang-orang Tanah Perdikan, meskipun tempat itu masih berada di Tanah Perdikan Menoreh.” “Tetapi kami tentu tidak akan dapat naik kuda,“ berkata Sekar Mirah. Orang itu termangu-mangu sejenak. Tetapi kemudian katanya, “Kau jangan bohong. Kau berkuda ketika kau menyeberang Kali Praga.” “Tetapi tidak dengan pakaian seperti ini,” jawab Rara Wulan. “Apa bedanya?” bertanya orang itu. “Dengan kain panjang, bagaimana aku dapat meloncat ke punggung kuda?“ desis Rara Wulan. “Aku akan mengoyakkan kain panjangmu,“ berkata orang itu. “Jangan,“ minta Rara Wulan. “Cepat. Kau ternyata berusaha untuk mengulur waktu. Tetapi aku tidak mau kau perbodoh seperti itu,” geram orang itu. Sekar Mirah dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Ternyata orang yang berpakaian rapi itu benar-benar akan mengoyak kain panjang Rara Wulan dan Sekar Mirah. Tetapi Rara Wulan dan Sekar Mirah segera meloncat surut. Ketika kedua orang raksasa itu akan membantu untuk memegangi kedua orang perempuan yang akan dipaksa untuk naik kuda itu, maka Sekar Mirah dan Rara Wulan benar-benar telah mengejutkan mereka. Justru karena sikap hati-hatinya, maka di bawah kain panjangnya Sekar Mirah dan Rara Wulan telah mengenakan pakaian khususnya. Karena itu, sebelum kain panjangnya dikoyak agar mereka dapat meloncat ke punggung kuda, maka keduanya telah menyingsingkan kain mereka. Orang berpakaian rapi serta kedua raksasa itu tertegun sejenak. Sementara itu Ki Jayaraga berkata, “Nah, mereka sudah siap untuk naik kuda. Tetapi kuda itu hanya lima ekor. Lalu aku harus naik yang mana?” “Kau akan diseret di belakang salah seekor dari kuda itu. Tubuhmu akan terkelupas, dan setelah kau tidak bernyawa lagi, sosok mayatmu akan dibuang di semak-semak,“ geram salah seorang dari kedua orang raksasa itu. Tetapi sebelum Ki Jayaraga menjawab, Sekar Mirah pun berkata, “Ki Sanak. Kalian tidak akan dapat memaksa aku untuk naik ke punggung kudamu, meskipun aku sudah mengenakan pakaian khususku. Demikian pula adikku.” “Kau terpaksa harus mengikuti perintahku agar lehermu tidak dipatahkan oleh kedua raksasa itu,” geram orang itu pula. “Kau jangan membuat lelucon di hadapanku. Kami berdua adalah istri prajurit. Karena itu, maka kami sering melihat bagaimana mereka berlatih menjaga diri mereka sendiri.” “Iblis betina kau. Kau kira kau mampu bertahan dalam sekejap? Jangan membuat aku marah. Karena padaku batas antara kasmaran dan kemarahan tidak terlalu jauh. Kedua orang itu akan mengikatmu. Dan seperti yang dikatakannya, jika kalian mencoba melawan, kakek tua itu akan kami ikat di belakang kaki kudaku dan menyeretnya sampai seluruh kulitnya terkelupas.” “Begitu mudahnya kau akan memaksa kami?” sahut Rara Wulan dengan nada tinggi. Lalu katanya, “Sudah kami putuskan bahwa kami akan melawan.” “Persetan,“ geram orang itu. Lalu katanya kepada kedua pengawalnya. “Ikat mereka pada punggung kuda. Aku tidak mempunyai waktu.” Tetapi kedua raksasa itu benar-benar terkejut. Demikian mereka mulai bergerak, maka Sekar Mirah dan Rara Wulan telah meloncat menyerang. Dengan sekuat tenaga Rara Wulan menyerang dagu salah seorang dari kedua orang bertubuh raksasa itu dengan tumitnya. Demikian kerasnya, sehingga terdengar giginya gemeretak. Orang itu terkejut bukan buatan. Ia tidak mengira sama sekali bahwa hal itu dapat terjadi. Bahkan kemudian iapun telah terdorong beberapa langkah surut. Hampir saja orang itu kehilangan keseimbangannya. Untunglah bahwa ia masih mampu bertahan untuk tetap tegak berdiri. Sementara itu Sekar Mirah pun telah menyerang lawannya. Tidak dengan kakinya. Tetapi telapak tangannya yang terbuka telah menghantam dada raksasa yang seorang lagi. Demikian kerasnya, raksasa itu benar-benar tidak mampu tetap bertahan untuk tegak berdiri. Tubuhnya bagaikan didorong dan dilemparkan sehingga jatuh terkapar di tanah. Meskipun ia dengan cepat bangkit kembali, namun wajahnya telah menjadi merah padam. “Perempuan itu telah menjatuhkannya. Nah, hati hatilah dengan perempuan,” berkata Ki Jayaraga. Kedua raksasa itu menjadi sangat marah. Seorang di antara mereka ternyata giginya telah berdarah, sementara yang lain nafasnya menjadi sesak. Orang yang berpakaian bagus dan terbuat dari bahan yang mahal itu justru termenung untuk beberapa saat. Ia sama sekali tidak menduga bahwa perempuan-perempuan itulah yang justru lebih dahulu menyerang. Ketika orang itu melihat pakaian kedua perempuan itu di atas rakit penyeberangan di Kali Praga, ia hanya menduga bahwa pakaian yang tidak terbiasa dipakai permpuan itu sekedar untuk memudahkan agar mereka dapat naik kuda. Tetapi ternyata perempuan yang berpakaian khusus itu memiliki kekhususan pula. Dengan marah orang itu kemudian berkata, “Kalian benar-benar membuat aku marah. Jangan menyesal jika kalian akan diperlakukan kasar oleh kedua orangku itu.” Tetapi Rara Wulan menjawab, “Aku juga dapat memperlakukan mereka dengan kasar. Tetapi jika mereka berbuat baik, akupun dapat berbuat baik pula.” Jawaban itu membuat orang berpakaian bagus itu bagaikan terbakar. Demikian pula kedua orang yang bertubuh raksasa itu. Karena itu, maka orang yang berpakaian rapi itu berkata kepada orang-orangnya, “Terserah kepada kalian berdua, apapun yang akan kalian lakukan untuk mengikat keduanya pada kuda-kuda itu. Kalian dapat berlaku keras. Tetapi jangan membuat mereka cacat. Aku masih menyayangkan kecantikan mereka.” Keduanya menggeram. Rasa-rasanya keduanya justru ingin menerkam wajah mereka dan menggoreskan dengan senjata mereka silang menyilang. Tetapi ternyata orang yang berpakaian rapi itu menginginkan kecantikan mereka. Tetapi ternyata kedua orang raksasa itu tidak begitu mudah melakukan tugas mereka. Kedua perempuan itu justru telah bersiap untuk melawan mereka. Yang terjadi kemudian memang petempuaran yang keras. Kedua orang yang bertubuh raksasa yang mendapat ijin dari orang yang mengupah mereka untuk berlaku kasar sekalipun, ternyata tidak dapat dengan mudah menangkap dan apalagi mengikat keduanya pada kuda-kuda yang telah disediakan. Bahkan pertempuran di antara mereka berdua dengan orang-orang bertubuh raksasa itu semakin lama justru menjadi semakin keras. Orang yang berpakaian mahal itu termangu-mangu sejenak. Ia memang menjadi heran bahwa kedua orang perempuan itu dapat mengimbangi kemampuan kedua orang pengawalnya. Bahkan semakin lama maka kedua raksasa itu menjadi semakin bingung. Terutama orang yang bertempur melawan Sekar Mirah. Dengan tangkasnya Sekar Mirah berloncatan. Bukan saja kelebihannya dalam kecepatan bergerak. Tetapi ketika sekali-sekali tangannya membentur serangan orang bertubuh raksasa itu, maka Sekar Mirah justru mampu mendorong lawannya satu dua langkah surut. Dalam pada itu Rara Wulan sekali-sekali masih mampu menjaga keseimbangan pertempuran. Meskipun sekali-sekali Rara Wulan masih harus bergeser surut mengambil jarak, tetapi semakin lama Rara Wulan justru menjdi semakin mapan. Orang berpakaian mahal itu terkejut ketika ia mendengar Ki Jayaraga tertawa sambil berkata, “Nah, kau lihat bahwa kedua perempuan itu mampu menjaga dirinya. Mereka tidak perlu memanggil suaminya. Apabila hal itu sempat mereka lakukan, maka lawan-lawan mereka itu akan segera dihancurkan.” “Setan kau Kakek Tua. Karena kedua orang perempuan itu berani melawan aku, maka kau akan ikut mengalami nasib buruk. Aku tidak segan-segan memperlakukan kau dengan cara yang paling buruk.” Tetapi Ki Jayaraga masih saja tertawa. Katanya, “Kau masih saja mengigau dalam keadaan seperti ini. Jika dengan menantu-menantuku saja kau tidak dapat berbuat apa-apa, apalagi dengan mertuanya.” Orang berpakaian mahal menjadi marah sekali mendengar jawaban orang tua itu. Karena itu, maka dengan serta merta tangannya telah terayun menampar wajah Ki Jayaraga. Tetapi orang tua itu tidak dapat disentuhnya. Dengan bergeser setapak dan menarik wajahnya, maka ayunan tangan orang itu tidak dapat mengenainya. Kemarahan orang itu semakin membakar jantung. Dengan cepat ia melenting menyerang. Kakinya terjulur lurus mengarah ke dada orang tua itu. Ia tidak mempedulikan seandainya tulang-tulang iga orang itu berpatahan. Tetapi yang terjadi justru tidak seperti yang dikehendaki. Orang yang berpakaian bagus itu tidak mengerti apa yang dilakukan orang itu. Yang diketahuinya bahwa tiba-tiba saja kakinya telah terlempar, justru seakan-akan telah terangkat tinggi-tinggi. Dengan demikian maka tubuhnya pun telah jatuh terbanting di tanah. Tulang punggungnya serasa menjadi retak karenanya. Tetapi orang itu masih juga bangkit dengan cepat. Giginya gemeretak, sedang dari sepasang matanya begaikan memancar api kemarahan yang akan membakar Ki Jayaraga. Tetapi Ki Jayaraga telah bersiap sepenuhnya. Ia melihat pada mata orang itu bahwa orang itu pun memiliki kelebihan dari kebanyakan orang. “Orang tua yang tidak tahu diri,“ geram orang itu, “ternyata kau masih merasa bahwa kau masih mampu melindungi dirimu. Baiklah jika cara itu yang kau kehendaki. Aku benar-benar akan membunuhmu. Aku sudah mencoba menahan diri, tetapi kau salah mengerti. Bahkan dengan sombong kau telah menyakiti aku.” Ki Jayaraga tidak menjawab. Tetapi iapun mulai bersungguh-sungguh. Apalagi ketika ia melihat orang yang berpakaian mahal itu mulai mengatupkan kedua belah telapak tangannya. Demikianlah, maka sejenak orang itu mulai bergerak. Tidak lagi asal mengayunkan tangan atau kakinya. Ia mulai benar-benar membuat perhitungan untuk melawan orang tua itu. Tetapi Ki Jayaraga pun telah bersiap pula. Ketika orang yang berpakaian mahal itu mulai bergeser, maka Ki Jayaraga pun lelah melakukannya pula. Sehingga dengan demikian, maka orang yang berpakaian mahal itu pun menyadari bahwa orang tua yang dihadapinya itu bukan orang kebanyakan pula. Demikianlah, sejenak kemudian maka keduanya pun telah benar-benar bertempur. Orang yang berpakaian bagus itu meloncat-loncat dengan tangkas, sehingga kakinya seolah-olah tidak lagi menyentuh tanah. Tetapi lawannya yang tua itu adalah Ki Jayaraga. Karena itu, betapapun cepatnya orang itu bergerak, tetapi serangan-serangannya sama sekali tidak dapat menembus pertahanan lawannya yang nampaknya lamban. Bahkan beberapa saat kemudian, justru tangan Ki Jayaraga yang mampu menembus pertahanan orang itu. Semakin lama justru menjadi semakin sering. Kemarahan orang itu pun telah sampai ke puncak ubun-ubunnya. Dikerahkannya tenaga dalam yang mampu diungkapkannya sampai tuntas. Dengan segenap kekuatan dan kemampuannya orang itu berusaha secepatnya menyelesaikan orang tua itu, agar ia dapat segera membantu kedua orang pengawalnya, yang nampaknya tidak dapat segera menguasai kedua orang perempuan itu. Tetapi usaha orang itu pun sia-sia. Dengan kemarahan yang membakar jantung, orang itu telah menyerang Ki Jayaraga dengan landasan kemampuan puncaknya. Sebuah loncatan yang deras sambil menjulurkan kedua tangannya menerkam ke arah dada. Jari-jarinya yang mengembang bagaikan jari-jari seekor elang yang menerkam mangsanya. Ki Jayaraga melihat serangan itu. Ia sadar, bahwa jari-jari tangan lawannya itu akan dapat mencengkeram dan bahkan mengoyak dadanya. Karena itu, maka Ki Jayaraga pun telah bersiap sepenuhnya. Demikian tangan itu hampir menggapai tubuhnya, maka Ki Jayaraga pun segera meloncat ke samping. Tetapi Ki Jayaraga tidak sekedar menghindar. Ketika demikian serangan itu menyambar sejengkal dari tubuhnya, maka Ki Jayaraga justru dengan cepat menyerang lawannya. Kakinya terjulur cepat sekali menghantam lambung. Lawannya itu berteriak nyaring. Perasaan nyeri telah menyengat lambungnya. Bahkan dorongan kekuatan yang sangat besar telah melemparkan orang itu searah dengan loncatannya sendiri. Karena itulah, orang yang berpakaian mahal itu tidak dapat mempertahankan keseimbangannya. Ia justru terdorong beberapa langkah dan jatuh terjerembab. Namun dengan tangkasnya orang itu berguling mengambil jarak. Sementara itu Ki Jayaraga memang tidak mengejarnya, sehingga orang itu pun telah bangkit berdiri. “Setan Tua,“ geram orang itu, “jika kau keras kepala, maka kau akan benar-benar lebur menjadi debu.” Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. “Kau tidak akan dapat mengalahkan aku. Sementara itu kedua orangmu itu pun sebentar lagi akan menjadi tidak berdaya. Nah, ada pilihan yang aku tawarkan kepadamu. Pergi dari tempat ini, atau kalian akan kami tangkap dan kami bawa menghadap ke Ki Gede. Kedua orang suami perempuan-perempuan itu pun akan hadir. Mereka akan dapat melubangi perutmu dan perut kedua orang upahanmu itu dengan pedang-pedang mereka, di hadapan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh.” Orang yang berpakaian bagus itu menggeram. Pakaiannya yang rapi telah menjadi kusut, bahkan kotor oleh debu yang melekat pada pakaian yang basah karena keringat. Ketika ia berguling-guling di tanah, dan lumut pun telah melekat pula. “Sebaiknya kau pergunakan kesempatan ini sebelum terlambat,“ berkata Ki Jayaraga, yang memang tidak ingin menangkap orang itu agar orang itu sempat melaporkan kepada Resi Belahan. Sementara itu kedua orang yang bertubuh raksasa itu pun masih bertempur melawan Sekar Mirah dan Rara Wulan. Orang yang harus bertempur melawan Sekar Mirah itu pun sudah tidak berdaya sama sekali. Satu dorongan yang tidak terlalu kuat telah menggoyahkan keseimbangannya. Sementara itu keduanya masih belum berani mempergunakan senjata, karena mereka tahu orang yang mengupahnya itu tidak ingin perempuan-perempuan itu terluka. Tetapi tanpa senjata, keduanya memang tidak bedaya. Dalam pada itu, orang yang semula berpakaian rapi itu sedang berpikir. Ia tidak dapat menutup mata dari kenyataan yang dihadapainya. Apalagi sejenak kemudian, orang yang bertempur melawan Sekar Mirah itu pun telah terlempar jatuh. Dengan susah payah orang itu bangkit. Namun demikian ia mulai menapakkan kakinya, maka kawannya tiba-tiba saja telah terdorong surut oleh serangan Rara Wulan dan bahkan menimpanya. Dengan demikian maka keduanya pun telah jatuh berguling beberapa kali. “Nah, apakah kau lihat kedua orangmu itu?“ desis Ki Jayaraga, “Mereka sudah tidak berdaya sama sekali. Jika mereka kau paksa untuk bertempur terus, maka mereka benar-benar akan kehilangan kesempatan untuk mempertahankan hidupnya. Ingat, kedua perempuan itu pun dapat kehilangan kesabaran. Apalagi mereka dibayangi oleh ketakutan bahwa mereka akan kau bawa serta. Ketakutan yang demikian besar akan dapat menjadikan mereka semakin garang. Melampaui kegarangan suami-suami mereka.” Orang-orang itu termangu-mangu sejenak. Namun memang ia tidak melihat kemungkinan lain. Iapun menyadari bahwa orang tua itu tidak akan mudah dikalahkannya. Apalagi setelah kedua orang upahannya itu dapat dikalahkan oleh lawan-lawannya. Karena itu, maka sambil melangkah surut iapun berkata, “Setan Tua. Kau aku ampuni hari ini. Jika aku mau mencabut senjataku, maka umurmu tidak akan lebih panjang dari kejapan mata. Tetapi kali ini kau akan aku biarkan untuk hidup. Meskipun demikian, berhati-hatilah. Aku tidak akan berhenti sampai di sini. Dendamku akan membakarmu dan kedua perempuan itu.” Ki Jayaraga tidak menjawab. Iapun memberi isyarat kepada Sekar Mirah dan Rara Wulan untuk tidak berbuat sesuatu. Demikianlah, maka orang yang berpakaian bagus itu pun telah memberi isyarat kepada kedua kedua orang yang bertubuh raksasa itu. Sehingga dengan demikian, maka mereka pun telah melangkah mendekati kuda-kuda mereka. Namun dalam pada itu, ternyata Rara Wulan masih juga bertanya dengan nada lembut sambil tersenyum, “Namamu siapa Ki Sanak? Sudah sejak tadi kita berbincang, tetapi kau belum menyebutkan namamu.” “Persetan dengan kau perempuan iblis,” geram orang itu. Rara Wulan tidak hanya tersenyum. Tetapi iapun tertawa sambil berkata, “Apakah kau marah?” “Kau akan menyesal dengan sikapmu,” geram orang itu sambil meloncat ke punggung kudanya. “Bukankah yang dua ekor kuda itu untuk kami berdua?” bertanya Sekar Mirah. “Aku sumbat mulutmu dengan hulu pedangku,” geram orang yang semula berpakaian rapi itu. Sekar Mirah dan Rara Wulan tertawa. Sementara Ki Jayaraga hanya dapat menggelengkan kepala. Ia tidak dapat mencegah kedua perempuan itu untuk mengganggu laki-laki yang bermata srigala tetapi berbulu domba itu. Tetapi Sekar Mirah dan Rara Wulan tidak benar-benar merampas kedua ekor kuda yang nampaknya memang telah dipersiapkan bagi mereka berdua. Dibiarkannya laki- laki berpakaian mahal, yang sudah menjadi kumal, kotor dan bahkan koyak itu, melarikan kudanya, disusul oleh kedua orang pengawalnya sambil masing-masing menuntun seekor kuda. “Mudah-mudahan pancingan ini berhasil membawa Resi Belahan ke Tanah Perdikan Menoreh,” desis Ki Jayaraga. “Banyak kemungkinan dapat terjadi,” berkata Sekar Mirah. “Kita sudah membuat jebakan untuk mengenal Resi Belahan. Tetapi kita tidak tahu, apakah Resi Belahan juga mempunyai cara-cara yang tidak kita perhitungkan sebelumnya untuk memecahkan permainan kita.” Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, “Permainan yang menuntut perhitungan yang cermat.” Demikianlah, maka Ki Jayaraga pun kemudian telah mengajak Sekar Mirah dan Rara Wulan untuk pulang. Hari menjadi semakin siang. Sementara itu mereka membawa barang-barang belanjaan mereka dari pasar. Sekar Mirah dan Rara Wulan masih harus membenahi pakaiannya lebih dahulu, karena pakaian mereka pun menjadi kusut pula oleh debu yang melekat karena pakaian mereka basah oleh keringat. Sejenak kemudian maka mereka pun telah bersiap-siap untuk meninggalkan pategalan itu. Tetapi ketika mereka mulai beranjak, maka Ki Jayaraga pun berkata, “Bagaimana dengan pategalan ini?” Sekar Mirah dan Rara Wulan menjadi termangu-mangu. Tanaman memang menjadi rusak, meskipun hanya di tempat tertentu. Kaki-kaki kuda telah mematahkan pepohonan. “Apa boleh buat,” berkata Sekar Mirah. “Tetapi jejak kaki kuda itu serta bekas yang ada, memberitahukan kepada pemiliknya bahwa telah terjadi pertempuran di sini.” “Tetapi bagaimana dengan orang-orang yang melihat kita turun ke lorong yang menuju ke pategalan ini?” desis Rara Wulan. Ketiga orang itu termangu-mangu. Namun kemudian Sekar Mirah pun berkata, “Kita akan membicarakanya nanti di rumah.” “Baiklah,“ berkata Ki Jayaraga, “kita pun nanti akan menghubungi pemiliknya jika perlu.” Dengan demikian ketiga orang itu pun segera meninggalkan pategalan itu. Rara Wulan masih saja menjijing keranjang kecil yang berisi barang-barang belanjaan di pasar sebelumnya. Namun demikian mereka keluar dari pategalan, mereka tertegun sejenak. Mereka melihat Sabungsari dan Glagah Putih berjalan menuju ke arah mereka. “Kami menjadi gelisah,” berkata Glagah Putih demikian mereka mendekat. “Dari mana kau tahu bahwa kami ada di sini?” bertanya Ki Jayaraga. “Ada orang yang memberitahukan kepada kami bahwa kalian telah berbelok lewat lorong sempit menuju ke pategalan. Dengan mengikuti jejak kalian, maka kami sampai di sini,” jawab Glagah Putih. “Marilah kita pulang. Nanti aku ceritakan apa yang terjadi. Pategalan ini menjadi rusak agak di tengah oleh kaki kami dan kaki-kaki kuda,” berkata Ki Jayaraga. Tanpa banyak berbicara lagi, maka mereka pun segera beriringan pulang. Ternyata memang ada orang yang menyampaikan kepada Glagah Putih tenteng kejanggalan yang dilihatnya, karena mereka bertiga berbareng dengan orang-orang yang tidak dikenal. Dua di antara mereka adalah orang yang bertubuh raksasa. Glagah Putih dan Sabungsari pun segera tanggap. Karena itu, maka mereka pun berusaha menyusul. Demikian mereka sampai di rumah, maka Ki Jayaraga pun telah menceritakan apa yang terjadi, Sementara Sekar Mirah dan Rara Wulan segera sibuk di dapur, karena hari sudah menjadi semakin siang. Glagah Putih dan Sabungsari mendengar cerita Ki Jayaraga yang bersungguh-sungguh. Dengan demikian mereka sadar, bahwa agaknya orang yang berpakaian rapi dan dibuat dari bahan-bahan yang mahal itu sudah benar-benar mulai. Tetapi seperti dikehendaki oleh Agung Sedayu, maka biarlah orang itu akan dapat dijadikan jembatan sampai kepada orang yang menyebut dirinya Resi Belahan. “Jika demikian, maka kita harus bersiap-siap untuk menyongsong Resi Belahan,“ berkata Glagah Putih. Ki Jayaraga menganguk-angguk. “Mudah-mudahan Resi Belahan benar-benar akan tertarik hatinya untuk datang ke Tanah Perdikan Menoreh.” Di sore hari ketika Agung Sedayu pulang dari barak, maka hal itu segera disampaikan oleh Ki Jayaraga. Bahkan dalam kesempatan itu Glagah Putih, Sabungsari, Sekar Mirah dan Rara Wulan ikut duduk bersama di ruang dalam. “Tadi Ki Lurah hampir saja ikut aku kemari,” berkata Agung Sedayu, “jika saja Ki Lurah benar-benar ikut, Ki Lurah akan dapat mendengarnya pula.” “Kenapa Kakek tidak jadi datang kemari?” bertanya Rara Wulan. “Nampaknya Ki Lurah ingin beristirahat,“ jawab Agung Sedayu. Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Menurut keterangan orang yang kita temui di Kali Praga itu, mereka akan membawa kami ke tempat yang tidak akan diketahui, meskipun berada di Tanah Perdikan ini pula.” “Jika demikian maka kita harus melihat tempat-tempat yang dianggap terpencil dan tersembunyi di Tanah Perdikan ini,” sahut Agung Sedayu. “Hutan di Tanah Perdikan ini masih cukup luas,“ desis Glagah Putih, “bahkan sampai ke lereng-lereng pegunungan, membujur dari utara ke selatan. Kita akan memerlukan waktu yang panjang untuk melakukan hal itu. Meskipun bukan berarti bahwa kita tidak dapat menjelajahi seluruh daerah ini. Kita dapat menyebar para pengawal dan mengamati lingkungan di sekitar padukuhan mereka masing-masing. Sudah tentu termasuk hutan di lereng pegunungan.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi iapun kemudian berkata, “Tetapi kita tidak dapat melepaskan para pengawal itu tanpa petunjuk khusus. Jika mereka terjerumus ke dalam jerat orang-orang yang berilmu tinggi yang ada di antara mereka, maka korban akan berjatuhan. Karena itu, maka mereka memerlukan bimbingan. Sementara sebelumnya kita harus lebih banyak mengetahui keadaan, sesuai dengan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi di Tanah Perdikan ini.” Glagah Putih dan Sabungsari mengangguk-angguk. Mereka memang sependapat dengan Agung Sedayu. Jika para pengawal itu, bahkan dengan Prastawa sekalipun, terjebak dalam persoalan dengan orang-orang berilmu tinggi, maka bencana akan terjadi atas mereka. Karena itu, maka Agung Sedayu memang berniat memancing orang berilmu tinggi yang menyebut dirinya Resi Belahan itu ke lingkungan halaman rumahnya untuk membatsi persoalan, apalagi di rumah itu terdapat beberapa orang yang akan dapat melawannya. Namun Agung Sedayu masih juga berpesan, agar mereka tetap berhati-hati. “Orang yang kita temui di Kali Praga dan yang telah membawa kalian ke pategalan itu tentu tidak akan melepaskan kalian begitu saja. Meskipun mungkin ia tidak lagi berharap akan dapat membawa Sekar Mirah dan Rara Wulan, namun dendam mereka-lah yang mungkin akan dapat menyala semakain besar. Mudah-mudahan benar seperti yang kita harapkan, orang itu datang dan bahkan membawa serta Resi Belahan kemari. Tetapi jangan justru kita yang terjebak oleh rencana kita sendiri, karena kita kurang berhati-hati.” Dengan demikian, terutama Sekar Mirah dan Rara Wulan menjadi semakin berhati-hati. Mereka menjadi semakin jarang pergi ke pasar. Meskipun demikian, mereka bukan sepenuhnya mengurung diri dalam rumahnya. Mereka memang berharap bahwa keduanya diketahui tempat tinggalnya. Dari hari kehari mereka menunggu perkembangan keadaan. Tetapi ternyata untuk beberapa lama, mereka tidak lagi bertemu dengan orang yang mereka temui di Kali Praga dengan pakaian bagus yang terbuat dari bahan yang mahal itu, yang telah membawa Sekar Mirah dan Rara Wulan ke pategalan, meskipun orang itu justru harus mengalami kekalahan. Yang terjadi justru tidak terduga. Seperti petir yang menyambar saat matahari cerah, Wacana-lah yang justru datang ke Tanah Perdikan Menoreh. “Aku datang dengan sikap laki-laki,“ katanya setelah ia dipersilahkan duduk. “Apa yang sebenarnya telah terjadi?“ bertanya Agung Sedayu yang baru saja pulang dari barak. “Aku ingin berbicara langsung dengan Sabungsari,“ berkata Wacana kemudian. “Kenapa dengan Sabungsari?” bertanya Agung Sedayu. “Ada persoalan yang sangat penting yang harus aku bicarakan dengan orang itu,” jawab Wacana dengan nada berat. Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun nampaknya Wacana benar-benar ingin berbicara dengan Sabungsari langsung. Karena itu, maka Agung Sedayu pun telah memanggil Sabungsari untuk menemui Wacana di pendapa. Hadir juga bersama Sabungsari, Glagah Putih, dan bahkan Sekar Mirah dan Rara Wulan. “Aku bukan orang yang senang menyimpan persoalan,“ berkata Wacana dengan tegas. Orang-orang yang menemuinya memang agak heran. Wacana seakan-akan telah berubah. Ia bukan lagi Wacana yang mereka temui di rumah Ki Rangga Wibawa dan Wacana yang telah mengantar Raden Teja Prabawa ke Tanah Perdikan Menoreh beberapa waktu yang lewat. “Katakanlah,” desis Sabungsari meskipun dengan ragu. “Aku memang tidak ingin berbicara hanya berdua saja. Biarlah orang lain menjadi saksi pembicaraan kita,“ berkata Wacana kemudian. Sabungsari menjadi semakin berdebar-debar. Ia tidak merasa mempunyai persoalan apapun dengan Wacana. Tetapi karena Wacana sepupu Raras, serta ia tinggal untuk sementara di rumah Raras, apalagi Wacana adalah sahabat Raden Teja Prabawa, maka Sabungsari memang mengarahkan dugaannya bahwa persoalannya tentu berhubungan dengan Raras. Namun Agung Sedayu-lah yang kemudian bertanya, “Apakah kalian ingin berbicara berdua saja?” “Justru tidak,“ jawab Wacana. “Jika demikian, katakanlah.” Wajah Wacana menegang sesaat. Namun kemudian ia berusaha untuk dapat berbicara dengan wajar dan jelas. Katanya, “Sabungsari. Kau tahu bahwa Raras adalah seorang gadis yang selama ini dikenal berhubungan akrab dengan Raden Teja Prabawa, kakak Rara Wulan ini.” Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Dugaannya ternyata benar. Arah pembicaraan Wacana terkait dengan persoalan Raras. Tetapi persoalan apa yang telah membuat Wacana bicara dengan bersungguh-sungguh, masih belum diketahui. Ia sendiri selalu berusaha menyembunyikan perasaannya, sehingga mereka merasa bahwa ia belum pernah hadir di antara Raras dan Raden Teja Prabawa. Apalagi iapun telah berkeras untuk pergi ke Tanah Perdikan Menoreh untuk menjahui gadis itu. Betapapun ragunya, Sabungsari pun kemudian menjawab, “Ya. Aku mengerti.” “Karena itu, sebaiknya kau tidak usah melibatkan diri menjadi orang ketiga dalam hubungan di antara mereka,“ berkata Wacana kemudian. Sabungsari mengerutkan dahinya. Dengan darah rendah ia bertanya, “Kenapa kau berkata demikian Wacana? Apakah kau pernah melihat atau mendengar bahwa aku pernah menengahi hubungan mereka, atau bahkan melibatkan diri sebagai orang ketiga? Kau tahu bahwa aku masih belum begitu mengenal Raras. Demikian pula Raras. Aku jarang, atau katakan hanya datang ke rumah Raras dua atau tiga kali, bersama-sama dengan beberapa orang untuk menengok dan kemudian minta diri. Sebagaimana kau ketahui, aku sekarang berada di Tanah Perdikan Menoreh. Bagaimana kau dapat mempersoalkan aku dalam hubungannya antara Raras dan Raden Teja Prabawa.” “Kau tidak usah ingkar Sabungsari. Bahkan seandainya apa yang kau katakan itu benar, itu agaknya memang lebih baik. Tetapi aku minta kau berjanji bahwa kau tidak akan bertemu dengan Raras lagi.” Wajah Sabungsari memang menjadi merah. Bukan karena dia tidak ingin melupakan Raras, karena hal itu memang sudah diinginkannya. Tetapi justru karena permintaan Wacana yang seakan-akan mengancamnya itu, ia sama sekali tidak senang. Namun dalam pada itu bahwa Rara Wulan-lah yang bertanya, “Wacana. Apakah kau datang atas nama Kakangmas Teja Prabawa?” Wacana menjadi ragu-ragu. Ia tahu bahwa pada suatu saat bahwa Rara Wulan akan dapat bertanya langsung kepada Raden Teja Prabawa. Karena itu, maka seperti apa yang dikatakannya bahwa ia datang sebagai seorang laki-laki, ia tidak ingin bersembunyi di balik nama siapapun juga. Karena itu maka jawabnya, “Tidak. Aku datang atas keinginanku sendiri. Aku berniat untuk menyelesaikan persoalan ini dengan Sabungsari, justru karena aku dan Sabungsari mempunyai kepentingan yang sama. “ “Kepentingan yang sama yang mana?“ bertanya Sabungsari dengan serta merta. “Aku akan berterus terang,” berkata Wacana, “Raras menjadi sangat kecewa terhadap Raden Teja Prabawa. Tidak ada orang yang berhasil menjelaskan persoalan yang sebenarnya tejadi atas Raden Teja Prabawa. Bahkan Raras telah menyatakan, terus terang atau tidak, bahwa ia tidak akan dapat melanjutkan hubungannya dengan Raden Teja Prabawa. Apalagi hubungan mereka belum terikat secara resmi. Ayah Raden Teja Prabawa belum pernah datang melamar gadis itu.” Wacana berhenti sejenak, lalu iapun justru bertanya kepada Rara Wulan, “Bukankah begitu? Bukankah hubungan mereka baru terbatas dalam hubungan persahabatan, meskipun memang menjurus kepada hubungan yang lebih khusus lagi? Katakanlah bahwa mereka agaknya mulai menjalin hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, sebagai pasangan yang akan menempuh hidup bersama. Mereka mulai merasa, sekali lagi, mereka baru mulai, seakan-akan mereka saling jatuh cinta.” Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Agaknya memang demikian. Keduanya baru mulai mengadakan pendekatan. Meskipun demikian Teja Prabawa benar-benar telah mencintai gadis yang bernama Raras itu. Sementara itu Wacana pun berkata selanjutnya, “Tetapi hubungan mereka belum terikat secara resmi. Bukankah begitu?” Rara Wulan memang tidak dapat menjawab lain kecuali mengangguk mengiakan. “Ya,“ katanya, “Ayah memang belum pernah melamarnya.” “Nah, dalam keadaan demikian, sikap Raras menjadi goyah. Justru karena sikap Raden Teja Prabawa sendiri. Raras mulai menyadari, bahwa hubungan mereka, maksudku antara Raras dan Raden Teja Prabawa, tidak akan mendatangkan kebahagiaan baginya. Karena itu, maka Raras mulai bersikap bahwa ia harus mulai menjauhi Raden Teja Prabawa. Bukan orangnya, karena mereka berdua akan dapat tetap bersahabat. Tetapi persoalan khusus yang sebelumnya terasa mulai menjerat hati itu.” Rara Wulan tiba-tiba memotong, “Katakanlah, bahwa Raras tidak mencintai Kakangmas Teja Prabawa lagi.” “Ya,“ jawab Wacana. “Lalu apa hubungannya dengan Kakang Sabungsari?“ bertanya Rara Wulan. “Aku akan berterus terang. Raras sekarang berada di jalan simpang,“ jawab Wacana. “Jalan simpang yang mana?“ desak Rara Wulan. “Ada dua orang laki-laki yang mulai membayang di angan-angannya,“ jawab Wacana. “Maksudmu ada dua orang laki-laki yang mencintainya, atau Raras mulai mencintai dua orang sekaligus?“ bertanya Rara Wulan. “Apa bedanya?“ bertanya Wacana. “Tentu berbeda,“ jawab Rara Wulan, “jika ada dua orang laki-laki yang mencintainya, itu bukan salah Raras. Tetapi jika Raras mencintai dua orang laki-laki setelah ia melepaskan diri dari Kakangmas Teja Prabawa, itu berarti bahwa Raras bukan seorang gadis yang baik.” Wajah Wacana menegang sejenak. Namun ia benar-benar sudah bertekad untuk menyelesaikan persoalannya dengan Sabungsari dengan sikap seorang laki-laki. Karena itu maka jawabnya, “Sebaiknya jangan menjelekkan nama Raras. Katakanlah bahwa ada dua orang laki-laki yang mulai mencintainya,“ jawab Wacana. “Selain Kakangmas Teja Prabawa?“ bertanya Rara Wulan. Wacana termangu-mangu sejenak. Tetapi iapun kemudian mengangguk sambil menjawab meskipun agak ragu, “Ya.” Tetapi kemudian dengan cepat ia berkata selanjutnya, “Tetapi seperti yang dikatakan oleh Raras sendiri, bahwa ia tidak dapat lagi mengharapkan Raden Teja Prabawa untuk melindunginya di masa mendatang.” Rara Wulan mengerutkan dahinya. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Dari sisi yang mana sebenarnya kau berangkat? Dari sisi Raras atau dari sisi laki-laki yang mencintainya?” Akhirnya Wacana tidak mau berbicara berputar-putar lagi. Katanya, “Aku tidak sempat memikirkannya. Tetapi yang penting, aku akan berbicara dengan Sabungsari. Kita tidak dapat bersama-sama hadir di hati Raras. Karena itu, salah seorang di antara kita harus menyingkir.” Meskipun sejak sebelumnya Glagah Putih sudah menduga bahwa Sabungsari menaruh perhatian terhadap Raras, tetapi orang lain tentu belum dapat menilainya demikian. Sabungsari tidak pernah berhubungan dengan Raras secara khusus. Bahkan Sabungsari dengan sengaja telah menjauhkan dirinya dari Raras, bahkan dari Mataram, sebagaimana tadi dikatakannya. Dalam pada itu Sabungsari pun merasa heran pula. Sedangkan yang lain bahkan terkejut karenanya, justru karena pengakuan Wacana. Hampir di luar sadarnya Rara Wulan bertanya, “Kenapa kau menganggap Kakang Sabungsari terlibat dalam lingkaran hubungan dengan Raras? Sepengetahuanku, seperti dikatakan Kakang Sabungsari, ia belum begitu mengenal Raras, dan Raras pun belum begitu mengenalnya. Siapakah yang mengatakan kepadamu, bahwa Kakang Sabungsari tertarik kepada Raras? Dan bagaimana mungkin kau sendiri terlibat di dalamnya, jika yang dimaksudkan dua orang laki-laki itu kau dan Kakang Sabungsari? Bukankah kau sepupu Raras?” “Siapapun aku, aku tidak menghiraukannya,“ jawab Wacana. Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Dengan nada rendah ia berusaha menengahi, “Aku mengerti sekarang. Ternyata Raras ingin menarik diri dari hubungannya yang khusus dengan Raden Teja Prabawa, meskipun mereka masih akan dapat tetap bersahabat. Kemudian Wacana, meskipun saudara sepupu Raras, telah jatuh cinta kepada Raras. Tetapi Wacana menduga bahwa Sabungsari pun ternyata mencintai Raras juga, sehingga Wacana minta agar Sabungsari menyingkir dari persoalan yang berhubungan dengan Raras.” “Ya,“ jawab Wacana tegas, “aku minta jawaban Sabungsari.” Sabungsari termangu-mangu sejenak. Dengan nada dalam ia berkata, “Sejak semula sudah aku katakan, Wacana. Aku tidak begitu mengenal Raras. Raras pun tidak begitu mengenal aku. Aku tidak akan berpengaruh apa-apa dalam kehidupan Raras. Apalagi bagi masa depannya yang panjang itu. Aku orang asing bagi Raras, dan Raras orang asing bagiku.” Wacana mengerutkan dahinya. Dengan sorot mata yang tajam ia berkata, “Kau tidak usah berbelit-belit Sabungsari. Apapun yang kau katakan, tetapi bagiku kau adalah orang yang akan dapat menghalangi niatku untuk mendekati Raras. Bukan sebagai seorang kakak sepupu, tetapi sebagai seorang laki-laki. Raras bagiku bukan sekedar adik sepupu, tetapi aku memang mencintainya.” Sebelum Sabungsari menjawab, maka Rara Wulan telah mendahuluinya bertanya, “Bagaimana sikapmu terhadap Kakangmas Teja Prabawa? Bukankah justru kau orang ketiga yang berdiri di antara Kakangmas Teja Prabawa dengan Raras?” “Aku tidak merasa perlu untuk berbicara tentang Raden Teja Prabawa. Raden Teja Prabawa telah tersisih dari hati Raras. Dan itu sama sekali bukan salahku,“ jawab Wacana, yang kemudian sekali lagi berkata, “Aku ingin mendengar jawaban Sabungsari.” “Kau sudah tahu jawabku Wacana. Aku tidak ada hubungan apapun dengan Raras,“ jawab Sabungsari. “Kenapa kau tidak bersikap jantan Sabungsari? Kenapa kau harus mengingkarinya? Apakah kau juga tidak berani bertanggung jawab, seperti Raden Teja Prabawa?” “Apa yang harus aku pertanggung-jawabkan Wacana? Aku justru ingin tahu, kenapa kau menuduhku menyaingimu dalam hubungan dengan Raras. Siapakah yang mengatakan kepadamu, bahwa aku berniat mendekati Raras, dan bahkan menggeser Raden Teja Prabawa yang sudah sejak lama berhubungan dengan Raras.” “Aku tidak mau mendengar kata-katamu selain sikapmu terhadap Raras. Kau harus berjanji sebagai seorang laki-laki bahwa kau tidak akan mendekati Raras lagi,“ berkata Wacana. “Wacana,“ akhirnya Sabungsari juga kehilangan kesabaran, “meskipun aku tidak tahu pasti apakah yang kau maksud, tetapi aku ingin memperingatkanmu, bahwa aku bukan pengecut. Kau tahu itu. Aku sudah dengan suka-rela turun ke susukan Kali Opak untuk membantu membebaskan Raras. Sebelumnya aku sudah menyatakan diri untuk ikut menghadapi Ki Manuhara sebelum Bajang Bertangan Baja itu datang. Persoalan yang melibatkan aku ke dalamnya bukan sekedar soal perempuan, tetapi persoalan yang lebih luas lagi tentang Mataram. Karena itu, maka aku tidak mau kau menyudutkan aku tanpa alasan, seakan-akan asal saja kau ingin mencari perkara. Jika kau ingin menantang aku, katakanlah, bahwa kau menantang aku. Dengan cara apa yang kau kehendaki. Tetapi kau tidak dapat memperlakukan aku seperti itu.” Wajah Wacana pun menjadi merah. Dengan nada tinggi ia menjawab, “Sabungsari. Jika kau ingin aku berkata lebih terbuka, baiklah. Bahwa kau bagiku adalah penghalang utama, justru aku dengar langsung dari Raras. Raras sendiri mengatakan bahwa ia mulai tertarik kepada seorang laki-laki muda yang telah melindunginya di dekat susukan Kali Opak. Apalagi setelah itu kau dengan sengaja berkali-kali datang ke rumah Raras dengan alasan apapun juga. Dengan membawa perisai beberapa orang, agar kau dapat mengelakkan tuduhan bahwa kau sengaja memancing perhatian Raras.” Jantung Sabungsari terasa berdegup semakin keras. Darahnya seakan-akan menjadi panas memanasi urat-urat nadinya. Ia sama sekali tidak mengira bahwa gadis yang telah dibebaskannya itu justru menaruh perhatian yang demikian besar kepadanya. Namun dalam pada itu, Wacana berkata selanjutnya, “Tetapi kau jangan menjadi besar kepala, seolah-olah Raras benar-benar telah jatuh cinta kepadamu. Yang terjadi pada gadis yang baru menginjak dewasa itu adalah sekedar kekaguman karena kau telah dianggap mampu menolongnya, melindunginya dan bertanggung jawab atas keselamatannya. Tetapi perasaan itu pada saatnya akan larut dengan sendirinya, jika pandangannya mengenai kehidupan telah berkembang. Karena itu, kau harus berjanji bahwa kau tidak akan menemuinya lagi dimanapun juga. Juga seandainya Raras mencarimu ke Tanah Perdikan ini.” Tiba-tiba saja dada Sabungsari bergejolak seperti gejolaknya laut yang diaduk oleh angin pusaran. Gelombang yang menggelegar membentur dinding hatinya yang goncang karena pengakuan Raras. Sementara itu Agung Sedayu dan mereka yang mendengarkan pembicaraan itu justru bagaikan terbungkam. Mereka tidak segera dapat mencari jalan untuk menengahinya. Meskipun demikian, Agung Sedayu pun kemudian berusaha untuk menyela, “Jika demikian, sebaiknya persoalan ini kita bicarakan dengan hati yang dingin. Jika kita menghanyutkan diri pada arus perasaan kita masing-masing, maka persoalannya tidak akan dapat diselesaikan. Bahkan mungkin akan bertambah rumit. Persoalan yang kalian hadapi akan menyangkut pihak ketiga, justru pihak yang menentukan, yaitu Raras. Bukankah sebaiknya kalian mendengarkan pendapat Raras?” “Aku tidak menganggap perlu,“ sahut Wacana, “yang penting bagiku adalah janji Sabungsari. Jika Sabungsari tidak lagi menemui Raras dengan alasan apapun juga, maka lambat laun kekaguman Raras akan menjadi luntur. Raras akan dapat berpikir lebih baik dan berdasarkan pertimbangan nalar. Bukan sekedar perasaan kagum yang berlebihan.” Agung Sedayu masih akan menyahut, tetapi Sabungsari-lah yang kemudian mendahuluinya, “Wacana. Jika demikian sikap Raras terhadapku, maka dengarlah jawabku. Aku tidak akan berkisar dari tempatku berdiri sekarang. Sebenarnya aku tidak begitu menghiraukan Raras. Tetapi sikapmu memaksa aku untuk tidak bergeser sejengkal pun. Aku tanggapi sikapmu sebagai seorang laki-laki dengan cara seorang laki-laki pula. Aku akan melayani apa saja yang kau maui dariku.” Wajah Wacana menjadi tegang. Namun ia melihat sinar memancar dari mata Sabungsari. Sebagai seorang laki-laki maka Sabungsari benar-benar telah dibakar oleh tantangan Wacana. Dengan cepat Agung Sedayu mencoba untuk meredakan suasana. Katanya, “Apakah kita tidak dapat berbicara dengan cara yang lebih baik? Bukankah kita bukan kanak-kanak yang sedang berebut durian runtuh?” “Agung Sedayu,“ jawab Sabungsari, “aku sudah mencoba untuk menjelaskan bahwa aku tidak mempunyai sangkut paut dengan Raras. Aku tidak tahu bagaimana sikap Raras terhadapku. Bahkan aku sekarang sudah berada di tempat yang jauh dari rumah Raras. Tetapi Wacana memaksa aku untuk mempertahankan harga diriku sebagai seorang laki-laki.” “Aku mengerti,“ jawab Agung Sedayu, “aku harap Wacana pun dapat mengerti pula. Bukankah yang tersirat dari pernyataan Sabungsari itu sudah merupakan sebuah pernyataan, bahwa ia tidak akan melibatkan dirinya dengan kehidupan Raras?” “Itulah yang ingin aku dengar dari mulut Sabungsari,“ jawab Wacana. “Bukankah hal itu sudah dikatakannya, bahwa ia orang asing bagi Raras dan Raras adalah orang asing bagi Sabungsari?” “Tidak,“ tiba-tiba Sabungsari memotong, “aku cabut pernyataanku justru karena sikap Wacana. Jika aku menyingkir dan menyatakan janji itu kepada Wacana, maka aku akan dianggapnya sebagai seorang pengecut. Apalagi Raras sendiri sudah mengatakan bahwa ia mengagumi aku, dan sudah tentu tertarik kepadaku. Karena itu, maka aku tidak akan menghindar dan mengingkari sikap seorang laki-laki. Jika benar Raras tertarik kepadaku dengan alasan apapun juga, maka aku akan menyambutnya dan menghormati sikapnya, apapun akibatnya.” “Bagus,“ jawab Wacana, “jika demikian, kita akan menentukan siapa yang akan minggir dari persoalan ini.” “Aku akan melayanimu, cara apapun yang kau kehendaki.” “Kita selesaikan persoalan kita di arena perang tanding. Siapa yang kalah, harus mengakui kekalahannya dengan jantan, dan untuk seterusnya akan memegang janji untuk tidak berhubungan lagi dengan Raras dengan alasan apapun juga,“ jawab Wacana. “Bagus,“ jawab Sabungsari, “aku akan menerima tantanganmu ini. Bahkan aku menjadi tidak sabar lagi, kapan perang tanding yang kau maksudkan itu akan dilaksanakan.” “Kau yang menentukan,“ jawab Wacana, “kau pula yang akan menunjuk saksi yang adil. Bahkan seandainya tidak ada orang yang dapat dianggap adil, siapapun dapat kau tunjuk sebagai saksi, karena kita masing-masing pasti akan mengakui di dalam hati kita, siapakah sebenarnya yang menang di antara kita.” “Aku tidak memerlukan saksi,“ jawab Sabungsari, “jika kau merasa perlu, carilah sendiri. Aku setuju dengan pendapatmu, kita akan tahu pasti siapa yang menang dan siapa yang kalah dalam perang tanding itu.” “Tidak Sabungsari,“ Agung Sedayu-lah yang menyahut, “kalian memerlukan saksi. Sebenarnya aku condong untuk mencari jalan keluar yang lebih baik dari perang tanding. Apakah lambang kejantanan seseorang itu hanya dapat dilihat dengan kekerasan? Apakah dengan kekerasan kalian cukup menghargai sikap dan perasaan Raras?” “Sejak semula aku tidak mengetahui perasaan Raras yang sebenarnya. Wacana telah datang dengan sikap dan caranya yang tidak aku sukai. Karena itu, maka aku memang berniat untuk berperang tanding,“ jawab Sabungsari, yang nampaknya telah mengeraskan hatinya. Ia benar-benar tersinggung oleh sikap Wacana, sehingga tidak ada lagi jalan kembali dari keputusannya itu. Sementara itu Wacana pun telah membulatkan tekadnya pula. Ia harus menyingkirkan Sabungsari dengan cara yang telah dipilihnya. Ia berharap Sabungsari bersikap ksatria, sehingga ia akan memegang janjinya jika ia memang dapat dikalahkannya. Karena itu, maka niat untuk berperang tanding itu tidak dapat diurungkan lagi. Karena itu, yang dapat dilakukan oleh Agung Sedayu hanyalah berusaha untuk menegakkan sifat ksatria kedua anak muda yang sedang dibakar oleh kemarahan itu. “Aku akan menjadi saksi bersama Ki Jayaraga,“ berkata Agung Sedayu. Ternyata baik Wacana maupun Sabungsari tidak ingin menunda penyelesaian yang telah mereka pilih. Mereka sepakat untuk membuat penyelesaian, besok saat fajar menyingsing. Demikianlah, maka malam itu Wacana bermalam di rumah Agung Sedayu. Anak muda itu seakan-akan tidak menghiraukan apa yang akan terjadi besok. Demikian ia selesai makan malam, maka iapun telah memasuki bilik yang disediakan baginya, di ujung gandok sebelah kanan. Beberapa saat kemudian, sudah terdengar nafasnya mengalir dengan tenang dan teratur. Ternyata Wacana itu sudah tertidur nyenyak. Dengan demikian, maka baik Agung Sedayu maupun Ki Jayaraga menganggap bahwa Wacana terlalu yakin akan dirinya. Perang tanding itu dianggapnya sebagai permainan saja, tanpa harus direnunginya dan apalagi dipikirkannya berulang kali. Di bilik yang lain, Sabungsari duduk bersama Glagah Putih yang lebih muda daripadanya. Dengan nada rendah Sabungsari berkata, “Aku sama sekali tidak mengira bahwa hal seperti ini akan terjadi.” Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah Glagah Putih dapat mengerti sepenuhnya sikap Sabungsari. Bahkan Glagah Putih sendiri merasa bahwa ia tidak akan dapat mengekang perasaannya, seandainya ia yang mengalami perlakuan sebagaimana dialami Sabungsari. Meskipun demikian, justru karena Glagah Putih tidak mengalami, ia dapat mengambil jarak dari persoalan yang dihadapi Sabungsari itu. Dengan nada dalam ia bertanya, “Apakah kau tidak terlalu tergesa-gesa mengambil sikap Kakang?” Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku hampir saja menjadi mata gelap. Aku sudah berjuang sejauh dapat aku lakukan untuk menahan diri. Sebenarnya aku tidak terlalu memikirkan Raras. Bahkan aku benar-benar ingin menjauh daripadanya, meskipun aku tidak ingkar bahwa aku memang tertarik kepadanya. Tetapi sikap Wacana sangat menyakitkan hati.” “Aku mengerti,“ Glagah Putih mengangguk-angguk, “tetapi jika aku boleh mengetahuinya, justru setelah Wacana datang kepadamu dengan sikapnya yang menyinggung perasaanmu, apakah kau akan mendekati Raras atau justru akan menjauhinya? Tanpa menghiraukan kesudahan dari perang tanding yang akan kau lakukan esok pagi.” Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia berkata, “Aku masih memikirkan Teja Prabawa. Aku justru menjadi curiga, mungkin Wacana dengan sengaja mempengaruhi Raras untuk menjauhi Raden Teja Prabawa, karena Wacana sendiri menginginkannya meskipun ia saudara sepupu Raras.” “Apakah kau akan tetap menghindari Raras?“ bertanya Glagah Putih. Sabungsari tidak segera menjawab. Dengan sayu Sabungsari menatap lampu minyak yang berkeredipan ditiup angin yang menyusup di sela-sela dinding. “Glagah Putih,“ berkata Sabungsari kemudian, “seperti aku katakan tadi, aku masih memperhitungkan Raden Teja Prabawa. Aku tidak mau menjadi penghalang hubungan antara keduanya. Kecuali jika Raras benar-benar tidak dapat lagi diharapkan untuk kembali kepada anak muda itu.” “Seandainya Raras masih dapat diharapkan untuk kembali kepada Raden Teja Prabawa, bagaimana dengan engkau sendiri?“ bertanya Glagah Putih kemudian. “Aku tidak menyesali diriku sendiri. Aku akan merasa berbahagia jika keduanya dapat bersatu kembali dalam arti yang dalam. Bukan karena tekanan dari orang tua yang manapun juga,“ desis Sabungsari. Namun terdengar suaranya bergetar tertahan-tahan. “Kau sudah mempertaruhkan jiwamu untuk membebaskannya. Apakah kau masih harus berkorban lagi?“ bertanya Glagah Putih. “Apakah ketika aku ikut membebaskannya, terbersit pikiran bahwa akan timbul persoalan seperti ini? Aku membantumu membebaskan Raras, karena aku tahu bahwa Raras adalah seorang gadis yang akan menjadi sisihan Raden Teja Prabawa. Bukankah karena itu, maka kita semuanya berusaha untuk membebaskannya? Atau kita harus menyerahkan Rara Wulan? Seandainya kita tidak memikirkan untuk mengembalikan Raras kepada Raden Teja Prabawa, mungkin kita condong untuk sekedar menyembunyikan atau melindungi Rara Wulan, sementara persoalan Raras kita percayakan kepada Ki Wirayuda. Adalah memang menjadi tugasnya, atau katakanlah tugas para prajurit Mataram, untuk melindungi rakyatnya. Tetapi kita tidak mau menyerahkan Rara Wulan dan tidak mau membiarkan Raras hilang untuk seterusnya.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun katanya, “Kau benar Sabungsari. Tetapi kita saat itu lebih condong membebaskan Raras sebagai satu laku untuk menegakkan kemanusiaan dan paugeran. Meskipun demikian, bahwa persoalan Raras menyangkut kita, adalah karena Raras adalah seorang gadis yang mempunyai hubungan erat dengan Raden Teja Prabawa. Sementara itu Raden Teja Prabawa adalah kakak Rara Wulan. Sedangkan yang dikehendaki oleh Raden Antal sebenarnya adalah Rara Wulan.” Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya dengan nada rendah, “Bukan maksudku mengingkari laku kemanusiaan sebagai alasan utama dari langkah kita. Tetapi bagaimanapun juga, kaitannya adalah karena Raras adalah seorang gadis yang mempunyai hubungan khusus dengan Raden Teja Prabawa.” Glagah Putih yang kemudian mengangguk-angguk. Katanya, “Kau benar. Jadi kau memang berniat untuk memberikan pengorbanan ganda?” “Bukan maksudku untuk menjadi pahlawan, atau katakanlah agar aku dianggap sebagai seorang yang luhur budi dan pantas untuk mendapat pujian setinggi bintang. Tetapi sebenarnyalah nuraniku berkata demikian.” “Jika ternyata Raras dan Raden Teja Prabawa sudah tidak dapat bertaut kembali?“ desak Glagah Putih. “Terserah kepada Raras,“ jawab Sabungsari. “Dan arti dari perang tanding esok?” “Bagiku tidak ada hubungannya langsung dengan Raras. Aku menerima tantangan itu karena hatiku terbakar oleh sikap Wacana, yang bagiku sangat menyinggung perasaanku,“ jawab Sabungsari. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Meskipun ia merasa lebih muda, tetapi dipaksanya bibirnya berkata seakan-akan menasehati, “Tetapi kau harus mampu menahan diri Kakang. Apalagi setelah semua jalur ilmumu terbuka, demikian pula saluran tenaga dalammu.” Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Hampir tidak terdengar ia berkata, “Aku tidak tahu apakah ilmuku mampu mengimbangi ilmu Wacana, yang nampaknya begitu yakin akan kemampuan diri. Ia tentu seorang yang berilmu sangat tinggi meskipun ia juga masih terhitung muda.” Glagah Putih hanya dapat mengangguk kecil. Ia juga tidak tahu, seberapa tinggi ilmu yang dimiliki oleh Wacana. Namun ia sependapat bahwa menilik sikap dan keyakinan dirinya, Wacana agaknya memang memiliki ilmu yang tinggi. Sambil bangkit Glagah Putih pun kemudian berkata, ”Baiklah. Sekarang sebaiknya kau beristirahat. Wacana telah tertidur nyenyak di dalam biliknya. Kau perlukan tenagamu besok, sehingga kau harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya.” Sabungsari memandang Glagah Putih sekilas. Katanya dengan nada dalam, “Mudah-mudahan kau tidak usah mengalami persoalan seperti ini. Persoalan yang sama sekali tidak aku harapkan. Justru terjadi pada diriku.” Glagah Putih pun kemudian meninggalkan bilik Sabungsari. Di luar udara malam terasa dingin. Angin bertiup lembut mengusap wajah Glagah Putih. Di luar kehendaknya, maka Glagah Putih pun berjalan lewat halaman samping menuju ke halaman belakang. Malam menjadi semakin kelam. Bintang-bintang nampak bergayutan di langit yang kehitam-hitaman. Namun telinga Glagah Putih yang tajam tiba-tiba saja mendengar sesuatu. Langkah lembut di kebun belakang. Gemerisik dedaunan kering yang terinjak kaki telah menimbulkan suara yang halus. “Tentu langkah seseorang yang sangat berhati-hati,“ berkata Glagah Putih di dalam hatinya. Justru karena itu, maka Glagah Putih bergeser selangkah dengan sangat berhati-hati pula. Kemudian iapun telah berjongkok di bawah sebatang pohon perdu yang rimbun. Tetapi Glagah Putih lupa bahwa beberapa ekor ayam yang dipelihara anak yang tinggal di rumah itu tidur di atas cabang-cabang batang perdu itu, sehingga karena itu maka ayam-ayam itu telah terbangun. Meskipun ayam-ayam itu tidak terkejut dan tidak berkotek keras-keras karena Glagah Putih bergerak dengan sangat berhati-hati, namun beberapa ekor di antaranya bergeser menjauhinya. Ternyata suara ayam yang bergeser itu telah mengejutkan seseorang yang langkahnya telah didengar oleh Glagah Putih. Yang kemudian terjadi adalah orang itu berlari dengan tangkasnya dan meloncati dinding halaman. Glagah Putih memang mencoba untuk mengejarnya. Iapun meloncat ke atas dinding dan hinggap seperti seekor burung yang hinggap di atas cabang pepohonan. Namun Glagah Putih tidak melihat sesuatu. Ia tidak melihat seseorang berlari. Iapun tidak melihat dedaunan yang bergoyang tersentuh tubuh orang yang berlari itu. Ia juga tidak mendengar derap kakinya. Glagah Putih memang tidak mendengar dan tidak melihat sesuatu. Namun tiba-tiba saja Glagah Putih mendengar suara berdesing. Ilmunya yang mapan segera mengisyaratkan kepadanya, bahwa bahaya tengah menyambarnya dari kegelapan di belakang dinding halaman rumah Agung Sedayu. Dengan gerak naluriah maka Glagah Putih telah meloncat ke samping sambil memiringkan tubuhnya. Ternyata sebuah lingkaran besi baja yang bergerigi hampir saja mengoyak kulitnya. Dengan cepat Glagah Putih meloncat keluar dinding. Namun ia mendengar derap langkah orang berlari yang sudah menjadi semakin jauh. Glagah Putih tidak mengejarnya. Ia justru kembali meloncat ke atas dinding. Ketika dengan saksama ia memperhatikan cabang pohon yang tumbuh di kebun di belakang ia berdiri, maka dalam kegelapan malam ia melihat lingkaran baja yang bergerigi itu tertancap dalam-dalam. Dengan hati-hati ia meraba benda yang bergerigi tajam itu dan dengan kuat ia menghentakkannya. Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Ia memang menjadi berdebar-debar. Jika saja gerigi itu tertancap di dadanya. Glagah Putih kemudian meloncat turun sambil membawa gerigi besi itu. Ia ingin memberitahukan hal itu kepada Agung Sedayu. Meskipun seandainya kakak sepupunya itu sudah tertidur, maka ia akan membangunkannya. “Tentu tidak ada hubungannya dengan sikap Wacana,“ berkata Glagah Putih, yang segera menghubungkan serangan itu dengan sekelompok orang yang dipimpin oleh orang yang disebut Resi Belahan itu. Glagah Putih pun kemudian kembali masuk ke dalam rumahnya lewat pintu yang masih belum diselarak. Pintu darimana ia keluar tadi. Ternyata Agung Sedayu masih belum tidur. Ia masih mendengar suaranya perlahan-lahan dari dalam biliknya. Semula Glagah Putih memang menjadi ragu-ragu. Tetapi iapun kemudian memaksa diri untuk memanggil kakak sepupunya itu, karena ia menganggap peristiwa itu penting untuk segera diketahui oleh Agung Sedayu. Agung Sedayu memang keluar dari biliknya bersama Sekar Mirah, sambil bertanya, “Ada apa Glagah Putih?” bersambung Cerita Api di Bukit Menoreh Karya SH Mintardja: Upaya Legimitasi Kekuasaan Mataram. Lingua. Volume IX, No. 1/ 2013. Hlm 43. Susanto, 2012. Pengantar Teori Sastra. dkk. 1981-1982:27). Di dalam lagu dolanan tersebut terdapat nilai-nilai kearifan lokal yang dipercaya sebagai warisan ajaran lelahur. Lagu dolanan Jamuran merupakan salah satu ♦ 15 Juli 2010 Agung Sedayu tidak dapat segera melihat dengan jelas apa yang terjadi dengan pasukan Pati. Namun menurut pendapat Agung Sedayu, induk pasukan Pati di bawah pimpinan langsung Kanjeng Adipati Pati telah berada di sebuah padukuhan yang cukup besar tetapi kosong. Para penghuninya yang sejak semula telah mengungsi, masih belum kembali ke padukuhan mereka. “Apakah Kanjeng Adipati Pati benar-benar terlepas dari tangan prajurit Mataram?“ bertanya seorang prajurit yang menyertai Agung Sedayu. “Agaknya demikian. Ketika kita berangkat dari benteng perkemahan, Kanjeng Adipati tidak dijumpai di antara mereka yang tertawan. Tetapi melihat besarnya pasukan yang berhasil meloloskan diri, maka Kanjeng Adipati tentu ada di antara mereka.” Prajurit itu mengangguk-angguk. Namun ia tidak bertanya lagi. Beberapa puluh patok di hadapan mereka, kelompok demi kelompok pasukan Pati berdatangan. Di padukuhan itu agaknya mereka ingin menyusun kekuatan mereka kembali. Malam yang turun pun menjadi semakin dalam. Agung Sedayu masih tetap berada di tempatnya, untuk melihat apa yang terjadi dengan para prajurit Pati itu. Dari kejauhan Agung Sedayu melihat cahaya api yang menerangi dedaunan yang mencuat melampaui tingginya dinding padukuhan itu. Dengan demikian maka Agung Sedayu dapat menduga bahwa para prajurit Pati itu telah memasang oncor-oncor di beberapa tempat di padukuhan itu. “Perapian,“ tiba-tiba saja Agung Sedayu berdesis. “Mungkin sekali,“ jawab prajuritnya, “pasukan itu tentu letih dan lapar.” Agung Sedayu menarik nafas panjang. Pasukan kecilnya juga letih dan lapar. Tetapi Agung Sedayu telah memerintahkan beberapa orang dari para prajuritnya untuk mengusahakan pangan bagi pasukan kecil itu. Dalam pada itu, Agung Sedayu telah membawa dua orang prjurit yang telah dipilihnya dari antara prajurit dari Pasukan Khusus itu, untuk mendekati perkemahan para prajurit Pati. Dengan sangat berhati-hati, mereka merayap mendekat. Mereka menyadari sepenuhnya bahwa para prajurit Pati itu tentu juga meletakkan beberapa orang pengawas di luar padukuhan itu. Namun Agung Sedayu dan kedua orang prajuritnya itu berhasil mendekati dinding padukuhan. Bahkan kemudian bertiga telah meloncat masuk dengan sangat berhati-hati. Ternyata seperti yang mereka duga, para prajurit Pati itu memang telah menyalakan beberapa buah oncor di belakang gerbang padukuhan dan di beberapa regol halaman rumah. Namun yang menarik perhatian Agung Sedayu dan kedua orang prajuritnya adalah, bahwa para prajurit Pati itu telah membuat sebuah dapur yang cukup besar untuk menyediakan makan bagi prajurit-prajurit yang lapar itu. “Ternyata padukuhan ini memang disiapkan untuk menampung pasukan Pati jika mereka bergerak mundur,“ desis Agung Sedayu. “Agaknya pasukan Pati mundur lewat jalur yang mereka lewati ketika mereka berangkat ke Prambanan,“ desis seorang prajuritnya, “ternyata di padukuhan ini telah tersedia bahan pangan bagi mereka.” “Ada dua kemungkinan,“ sahut Agung Sedayu, “padukuhan ini memang merupakan lumbung persediaan bahan makanan bagi pasukan Pati.” “Tetapi padukuhan ini bukan Ngaru-Aru. Bukankah Ngaru-Aru sudah dihancurkan?” “Menurut yang aku dengar, lumbung pangan di Ngaru-Aru memang sudah dihancurkan. Tetapi justru karena itu, maka Pati telah mempersiapkan lumbung yang lain, yang semula hanya merupakan tempat pemberhentian arus bahan pangan itu,“ berkata Agung Sedayu pula. “Nampaknya Pati memang tidak yakin bahwa mereka akan berhasil menembus sampai ke Mataram. Ternyata mereka telah mempersiapkan landasan pertahanan jika mereka terpaksa mundur.” Tetapi Agung Sedayu menggeleng, “Bukan karena ketidak-yakinan itu. Sudah aku katakan, padukuhan ini dapat saja merupakan lumbung bahan pangan darurat setelah Ngaru-Aru dihancurkan, dengan persediaan pangan seadanya. Tetapi seandainya tempat ini merupakan landasan pertahanan kedua pun agaknya memang wajar sekali. Setiap persiapan bagi perang yang besar, tentu disiapkan pula landasan pertahanan kedua. Bahkan ketiga, sebagai landasan untuk memukul mundur lawan yang mungkin mengejarnya. Setidak-tidaknya untuk mengurangi keadaaan yang lebih parah lagi bagi pasukan yang bergerak mundur.” Kedua orang prajurit Agung Sedayu itu mengangguk. Tetapi mereka tidak bertanya lagi. Mereka masih melihat kelompok-kelompok prajurit Pati yang datang dalam keadaan letih. Ada di antara kelompok-kelompok itu yang membawa kawan-kawan mereka yang luka, dan bahkan parah. Agung Sedayu memperhatikan pasukan yang semakin banyak berkumpul itu dengan saksama. Namun dengan demikian Agung Sedayu mengetahui bahwa pasukan Pati memang dalam keadaan parah. Jika Kanjeng Adipati tidak segera memerintahkan pasukannya menarik diri dari benteng perkemahan itu, maka keadaaannya tentu akan menjadi semakin buruk. Bahkan mungkin buruk pula bagi Kanjeng Adipati sendiri. Namun agaknya para prajurit Pati tidak terlalu lama berada di tempat itu. Setelah beristirahat, makan dan minum secukupnya, terdengar isyarat yang memanggil semua pemimpin kesatuan untuk berkumpul. Meskipun Agung Sedayu tidak dapat menyaksikan dan mendengarkan pembicaraan itu, tetapi Agung Sedayu dapat menduga bahwa para pemimpin Pati itu sedang membicarakan langkah-langkah yang akan diambil. Sebenarnyalah, Kanjeng Adpati Pati sendiri telah memimpin pertemuan itu. Selain mendengarkan laporan para pemimpin kesatuan di dalam pasukan Pati yang besar itu, Kanjeng Adipati juga memberikan perintah-perintah kepada mereka. Dari para Senapati, Kanjeng Adipati Pragola mendengar bahwa keadaan pasukannya memang parah. Sebagian dari para prajurit masih belum sampai ke tempat itu. Mungkin mereka kehilangan arah, tersesat atau bahkan tertangkap oleh pasukan Mataram. Tetapi Kanjeng Adipati tidak dapat menunggu lebih lama lagi. Untuk menjaga segala kemungkinan, maka pasukannya harus segera meninggalkan tempat itu sebelum dini hari. “Kita tidak tahu apakah pasukan Mataram itu memburu kita atau tidak. Dalam keadaan seperti ini, sulit bagi kita untuk bertahan,“ berkata Kanjeng Adipati Pragola. Dengan demikian, maka Kanjeng Adipati Pragola memang harus menarik pasukannya ke sebelah utara Pegunungan Kendeng. Demikianlah, Agung Sedayu menyaksikan pasukan yang masih terhitung besar tetapi dalam keadaan luka itu, bergerak lagi menuju ke utara. Agung Sedayu menyaksikan iring-iringan pasukan yang letih itu bergerak perlahan-lahan di dini hari. Sementara itu, dengan cepat pula para petugas yang menyiapkan makan dan minum mereka mengemasi alat-alat yang ada. Namun alat-alat itu segera disimpan di dalam sebuah rumah yang terhitung besar. Mereka tidak lagi menghiraukan sisa bahan pangan yang masih ada. Tidak seorang pun tinggal di padukuhan itu. Jika agaknya sebelumnya ada sekelompok petugas yang ada di padukuhan itu, maka mereka telah hanyut pula dalam iring-iringan pasukan yang menarik diri itu. Sepeninggal prajurit Pati itu, Agung Sedayu sempat melihat-lihat keadaan di padukuhan itu. Masih ada sisa bahan makanan di padukuhan itu. Masih tertinggal alat-alat dapur dan perlengkapan lainnya. Bahkan masih ada setumpuk senjata di sebuah rumah yang juga terhitung besar. Agaknya setelah Ngaru-Aru, maka padukuhan ini menjadi landasan dan penyimpanan persediaan bahan pangan. Namun Agung Sedayu harus segera menyembunyikan diri, ketika kemudian datang lagi sekelompok kecil prajurit Pati. Orang-orang yang dengan lemah memasuki padukuhan itu. Namun mereka menjadi kecewa bahwa mereka sudah tidak menemukan kawan-kawan mereka lagi. Dari bekas-bekas yang mereka lihat serta beberapa oncor yang masih menyala, mereka mengetahui bahwa kawan-kawan mereka telah meninggalkan tempat itu beberapa saat sebelumnya. Namun mereka menjadi sedikit terhibur ketika mereka masih menemukan beberapa bakul nasi hangat. Meskipun mereka tidak menemukan lauk-pauk lagi, tetapi mereka masih mendapatkan sekuah sayur yang masih hangat. Orang-orang yang letih dan lapar itu pun telah makan dengan lahapnya. Mereka tidak lagi memikirkan kemungkinan buruk yang dapat terjadi. Mereka tidak lagi memperhitungkan kemungkinan hadirnya prajurit Mataram di tempat itu. “Kekuatan mereka kecil,“ desis prajurit pengawal Agung Sedayu, “pasukan kita dapat menghancurkan mereka.” Tetapi Agung Sedayu menggeleng. Katanya, “Biarlah mereka tetap hidup. Jika kita menghancurkan mereka, akibat yang timbul tidak akan banyak pengaruhnya. Sementara itu kita telah menebas harapan yang telah tumbuh di hati mereka.” Kedua pengawal Agung Sedayu itu pun terdiam. Mereka sebenarnya sudah menduga, bahwa mereka akan mendengar jawaban seperti itu dari mulut Agung Sedayu. Kelompok kecil itu tidak terlalu lama berada di padukuhan itu. Sejenak kemudian, mereka pun telah berangkat pula, meninggalkan nasi yang masih cukup banyak. Demikianlah, Agung Sedayu pun telah membawa kedua orang prajurit pengawalnya kembali ke pasukan kecilnya. Ternyata tiga orang di antara mereka telah berhasil mendapatkan seonggok beras dari padukuhan yang sepi di sebelah. Nampaknya jalur yang cukup luas telah dikosongkan ketika pasukan Pati mulai bergerak ke tempat yang lebih aman. Menjelang fajar, Agung Sedayu telah membawa pasukannya untuk bergerak pula. Mereka harus yakin bahwa pasukan Pati yang mengundurkan diri itu benar-benar menarik pasukannya sampai ke sebelah utara Pegunungan Kendeng. Jarak antara pasukan kecil yang dipimpin Agung Sedayu itu dengan pasukan Pati memang agak jauh. Tetapi mereka tidak pernah kehilangan jejak. Agung Sedayu tahu pasti sampai dimana pasukan Pati itu bergerak. Agung Sedayu sendiri dengan kedua orang prajurit terpilihnya selalu berusaha mengamati langsung pasukan Pati itu. Ketika di malam hari pasukan Pati itu berhenti sejenak untuk beristirahat di tempat-tempat yang memang berada di jalur gerak pasukannya, Agung Sedayu selalu berusaha untuk mendekat. Demikianlah, Agung Sedayu baru akan menghentikan pengamatannya jika pasukan Pati itu telah benar-benar berada di sebelah utara Pegunungan Kendeng. Kepada pasukan kecilnya Agung Sedayu memerintahkan untuk beristirahat satu hari, untuk meyakinkan bahwa pasukan Pati itu benar-benar bergerak terus ke utara. Sementara itu, Agung Sedayu mengijinkan prajurit-prajuritnya untuk berburu ke dalam hutan terdekat, sementara Agung Sedayu sendiri mengamati gerak pasukan Pati sehingga benar-benar hilang di utara Pegunungan, memasuki lembah yang luas, menyusuri jalan yang berkelok seperti ular yang merambat di antara hijaunya pepohonan. Baru kemudian Agung Sedayu berniat untuk membawa pasukan kecilnya itu kembali ke Prambanan. Jarak yang cukup panjang, sehingga perjalanan sekelompok prajurit dari Pasukan Khusus itu merupakan perjalanan yang berat, karena mereka tidak membawa bekal sama sekali. Agung Sedayu dan kedua orang prajurit pengawalnya yang baru kembali dari pengamatannya atas prajurit Pati yang bergerak ke utara terkejut, ketika ia melihat dua orang yang tidak dikenalnya berada didalam pasukan kecilnya. “Inilah Ki Lurah Agung Sedayu. Pemimpin kelompok ini,“ berkata seorang prajurit yang diserahi pimpinan jika Agung Sedayu dan kedua orang pengawalnya memisahkan diri. Kedua orang itu bangkit dan dengan hormatnya mengangguk kepada Agung Sedayu. “Maaf, Ngger,“ berkata orang itu. Seorang tua yang berjanggut pendek keputih-putihan, “Aku datang tanpa mohon ijin lebih dahulu.” “Siapakah Ki Sanak berdua?” bertanya Agung Sedayu. “Kami penghuni padepokan Tlaga Kuning, Ngger,“ jawab orang berjanggut pendek itu, “orang memanggilku Kiai Tambak Gede.” “Apakah maksud Kiai datang ke tempat ini?” bertanya Agung Sedayu. “Ki Lurah,“ berkata orang itu, “kami ingin sekali mempersilahkan sekelompok pasukan kecil ini untuk singgah di padepokan kami. Kami ingin sekali mempersilahkan para prajurit yang gagah berani ini untuk sekedar beristirahat barang satu malam. Kami ingin memberikan satu penghormatan atas keberhasilan para prajurit ini melaksanakan tugas.” Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Kiai Tambak Gede. Kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Kiai terhadap pasukan kami. Tetapi Kiai jangan menilai bahwa kami sudah berhasil melaksanakan tugas kami.” “Kenapa belum berhasil? Bukankah kalian bertugas mengikuti pasukan Pati yang mengundurkan diri sampai ke sebelah utara Pegunungan Kendeng? Sekarang, pasukan Pati itu sudah berada di sebelah utara Pegunungan Kendeng. Nah, bukankah dengan demikian berarti bahwa tugas kalian sudah berhasil?” “Kami tidak bertugas mengikuti pasukan Pati itu Kiai,“ jawab Agung Sedayu. Orang itu mengerutkan dahinya. Katanya, “Jadi apakah tugas kalian?” “Kami bertugas untuk menemukan seseorang di jalur perjalanan pasukan Pati. Tetapi kami gagal, kelompok-kelompok prajurit Pati yang terlambat yang telah kami sergap dan kami hancurkan, tidak terdapat orang yang harus kami temukan. Mungkin orang itu justru sudah berada di induk pasukan bersama Kanjeng Adipati Pragola.” “Jika demikian, bukankah itu bukan kesalahan Ki Lurah?” bertanya Kiai Tambak Gede. “Memang bukan salahku, Kiai. Tetapi tugasku telah gagal. Karena itu, tidak pantas aku menerima undangan Kiai Tambak Gede.” “Jangan berpikir terlalu jauh, Ngger. Sekarang, sisihkan segala macam persoalan. Aku mengundang Angger dan prajurit-prajurit Angger untuk singgah di padepokanku.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian,ia-pun menjawab, “Aku mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Tetapi aku mohon maaf Kiai, bahwa aku tidak dapat memenuhi undangan Kiai. Bahkan kami mohon diri untuk kembali, menyerahkan diri untuk mendapatkan hukuman atas kegagalan kami.“ Para prajurit dari Pasukan Khusus itu termangu mangu. Mereka tidak tahu apa yang dikatakan oleh Agung Sedayu. Tetapi mereka tanggap, bahwa Agung Sedayu agaknya berkeberatan untuk singgah di padepokan Kiai Tambak Gede. Namun Kiai Tambak Gede itu pun berkata, “Ki Lurah, jangan terlalu tertekan karena tugas-tugas Ki Lurah. Apapun yang terjadi, biarlah terjadi. Namun aku mohon, Ki Lurah sempat melupakan beban itu barang satu malam saja.” Tetapi Agung Sedayu menjawab, “Sekali lagi aku mohon maaf. Kiai. Tetapi aku ingin datang pada satu kesempatan yang lain.” Orang berjanggut putih itu mengerutkan dahinya. Dari sorot matanya terpancar kekecewaan hatinya yang mendalam. Namun Agung Sedayu tidak dapat mengubah keputusannya untuk segera meninggalkan tempat itu. Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Kalanya dengan nada rendah, “Apaboleh buat. Jika Angger tidak bersedia singgah, maka apa yang telah kami lakukan tidak berarti sama sekali.” “Apa yang telah Kiai lakukan?“ bertanya Agung Sedayu. “Anak-anak, maksudku para cantrik, telah memotong tidak hanya seekor kambing. Tetapi beberapa ekor. Aku tidak tahu, untuk apa daging sebanyak itu.” Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Bukankah para cantrik di padepokan Kiai akan dapat menyelesaikannya?” “Tetapi yang membuat kami kecewa adalah bahwa pasukan Mataram ini tidak sempat singgah di padepokan kami. Adalah satu kebanggaan bagi kami, bahwa padepokan kami pernah menjadi tempat pasukan Mataram singgah.” “Sekali lagi aku minta maaf Kiai, dan sekali lagi aku mengucapkan terima kasih,“ sahut Agung Sedayu. Beberapa orang prajurit yang mendengar pembicaraan itu sebenarnya memang menjadi kecewa. Jika mereka sempat singgah, maka mereka akan mendapat kesempatan beristirahat dengan tenang, sambil menikmati hidangan yang tentu lebih baik dari daging rusa yang mereka panggang di atas perapian, di padukuhan yang kosong. Tetapi tidak seorang pun yang berani mengatakannya. Demikianlah, Kiai Tambak Gede dan seorang pengiringnya itu pun kemudian telah minta diri. Ia masih saja menyatakan kekecewaannya bahwa Ki Lurah Agung Sedayu tidak bersedia singgah barang sebentar di padepokan Kiai Tambak Gede. Demikian Kiai Tambak Gede meninggalkan mereka, Agung Sedayu segera memerintahkan pasukan kecilnya bersiap untuk kembali ke Prambanan. “Kita berangkat sekarang juga,“ berkata Agung Sedayu. Namun kemudian ia masih juga sempat bertanya, “Bagaimana mungkin kedua orang itu dapat menemukan kalian?” “Kami tidak tahu, Ki Lurah. Yang kami ketahui tiba-tiba saja keduanya telah menemui kami di sini, untuk menyatakan keinginannya agar kami bersedia singgah.” Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Aku tidak senang bahwa ada orang yang tiba-tiba saja ada di antara kita.” Para prajuritnya dapat mengerti sikap Ki Lurah Agung Sedayu, sementara Agung Sedayu pun berkata, “Orang yang menyebut dirinya Kiai Tambak Gede itu tahu benar apa yang sedang kita lakukan. Tentu bukan secara kebetulan atau sekedar dugaan. Tetapi orang itu tentu sudah mengamati gerak-gerak kita sebelumnya.” Prajurit yang diserahi memimpin pasukan kecil itu jika Agung Sedayu sedang mendekati gerak pasukan Pati dengan nada berat berkata, “Ya. Seharusnya kami menghindari pengamatan orang lain. Tetapi kami ternyata tidak menghindarkan diri dari pengamatan Kiai Tambak Gede.” “Sudahlah,“ berkata Agung Sedayu, “kita berangkat sekarang. Secepatnya.” Dengan cepat para prajurit dari Pasukan Khusus itu pun segera bersiap. Mereka memang tidak membawa perlengkapan lain kecuali senjata mereka masing-masing. Beberapa saat kemudian, pasukan kecil itu mulai bergerak kembali ke Prambanan. Namun kecurigaan Agung Sedayu membuat pasukan itu menjadi sangat berhati-hati. Sementara itu, malam yang turun pun menjadi semakin dalam. Udara yang dingin menyapu bulak-bulak panjang yang membentang di hadapan mereka. Tetapi Agung Sedayu yang berjalan di paling depan telah memberi isyarat kepada pasukan kecilnya itu untuk berhenti. “Berhati-hatilah,“ desis Agung Sedayu. “Ada apa Ki Lurah?“ bertanya seorang prajurit. Agung Sedayu tidak segera menjawab. Ia mulai mengetrapkan ilmunya Sapta Pandulu, untuk dapat melihat lebih jauh dan lebih tajam meskipun di gelapnya malam. “Aku melihat bayangan yang bergerak di balik gerumbul-gerumbul perdu di belakang simpang empat itu.” Prajuritnya mengerutkan dahinya. Beberapa orang mencoba untuk mempertajam penglihatan mereka. Meskipun mata mereka cukup terlatih, tetapi mereka tidak segera dapat melihat sesuatu selain gelapnya malam. Sementara itu Agung Sedayu pun berkata, “Kita akan berjalan terus. Tetapi berhati-hatilah. Aku merasakan bahwa kita ada dalam bayangan niat buruk sekelompok orang. Mungkin mereka akan menyergap dengan tiba-tiba dari sebelah-menyebelah jalan. Bersiaplah dengan senjata kalian.” Para prajurit dari Pasukan Khusus itu pun segera mempersiapkan diri. Mereka harus memperhatikan hijaunya tanaman di sawah sebelah-menyebelah jalan, yang tumbuh dengan suburnya meskipun untuk beberapa lama tidak sempat dipelihara oleh pemiliknya, yang pergi mengungsi dari daerah jalur rawan yang mungkin dilewati pasukan dari Pati. Baru kemudian, para prajurit dari Pasukan Khusus itu meyakini bahwa mereka benar-benar dalam bahaya. Mereka mulai melihat gerak-gerak yang mencurigakan di sebelah-menyebelah jalan yang mereka lewati. Dengan demikian, maka para prajurit itu telah mempersiapkan senjata mereka. Senjata yang akan menjadi sangat berbahaya di tangan prajurit dari pasukan Khusus, yang telah ditempa dalam satu lingkungan yang khusus pula. Ketika Agung Sedayu yang berjalan di paling depan mendekati sebatang pohon gayam yang besar yang tumbuh di dekat simpang empat itu, ia berhenti sambil mengangkat tangannya, memberikan isyarat kepada pasukannya untuk berhenti. Para prajurit dari pasukan Khusus itu pun berhenti. Namun mereka tetap berhati-hati. Dengan senjata di tangan, mereka memperhatikan setiap gerakan di belakang tanaman yang tumbuh di kotak-kotak sawah di sebelah menyebelah jalan. Tiga orang muncul dari kegelapan di bawah bayangan pohon gayam yang besar dan berdaun lebat itu. Agung Sedayu sama sekali tidak terkejut ketika ia melihat Kiai Tambak Gede dan dua orang pengiringnya melangkah mendekatinya sambil berkata, “Selamat malam Ki Lurah Agung Sedayu.” Para prajurit dari pasukan Khusus itulah yang merasa heran. Tetapi tidak terlalu lama. Mereka mulai dapat mengerti, apa yang sebenarnya mereka hadapi. “Untunglah bahwa Ki Lurah mempunyai panggraita yang tajam,“ berkata salah seorang prajurit kepada kawannya. “Ya. Jika tidak, kita akan terjebak. Lebih parah lagi, jika daging kambing yang disuguhkan kepada kita itu beracun. Maka mereka tidak usah dengan susah payah bertempur dan membantai kita di dalam jebakan mereka, karena kita akan mati dengan sendirinya karena racun itu.” Kawannya mengangguk-angguk. Sementara para prajurit yang lain pun bersyukur pula di dalam hati atas ketajaman panggraita Ki Lurah Agung Sedayu. Agung Sedayu berdiri tegak diapit oleh dua orang prajurit kepercayaannya. Dengan nada dalam ia menjawab, “Selamat malam Ki Tambak Gede.” “Kita bertemu lagi Ki Lurah.” “Begitu cepat kita bertemu lagi,“ jawab Agung Sedayu. “Ki Lurah, aku masih ingin mengulangi undanganku.“ “Apakah aku masih harus menjawab lagi, Ki Tambak Gede ?” Agung Sedayu justru bertanya. “Jangan begitu kasar, Ngger. Sebaiknya kau paksa dirimu untuk mendengarkan kata-kataku.” “Ki Tambak Gede,“ berkata Agung Sedayu, “sudahlah. Sebaiknya Ki Tambak Gede dapat mengerti tugas yang aku emban. Aku harus segera kembali dan memberikan laporan atas kegagalanku. Jika aku akan mendapat hukuman, biarlah hukuman itu cepat aku jalani. Jika aku mendapatkan pengampunan, biarlah aku segera berlega hati.” “Ki Lurah,“ berkata Ki Tambak Gede, “jika kau tetap menolak, sudah tentu aku merasa tersinggung. Bukan saja aku pribadi, tetapi seluruh warga perguruan Tlaga Kuning akan merasa tersinggung. Perguruan kami adalah perguruan yang besar dan dihormati. Tetapi kau Ngger, hanya seorang Lurah Prajurit, berani menolak undanganku.” Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Sudahlah Ki Tambak Gede. Jangan berbelit-belit. Katakan apa sebenarnya maksudmu. Aku sudah muak dengan kepura-puraanmu itu.” Wajah Ki Tambak Gede menjadi tegang. Namun kemudian tiba-tiba saja ia tertawa. Wajahnya yang mulai berkeriput itu segera berubah. Yang nampak di sorot matanya bukan lagi ungkapan hatinya yang kecewa, tetapi di matanya membayang kebencian yang mendalam. Dengan kasar Ki Tambak Gede itu pun berkata, “Baiklah, Ki Lurah. Aku akan berterus terang. Aku adalah seorang pemimpin perguruan yang telah bersumpah untuk mengabdi kepada Kanjeng Adipati Pati. Tetapi aku terlambat sampai ke Pati. Ketika pasukan Pati mulai bergerak, aku tidak ada di perguruan. Meskipun aku sudah tahu bahwa pasukan Pati akan menyerang Mataram, tetapi aku kira tidak secepat yang dilakukan oleh Kanjeng Adipati Pragola.” “Kenapa kau tidak menyusul ke Prambanan?“ bertanya Agung Sedayu. “Aku memang berniat untuk menyusul. Tetapi prajurit Mataram yang berada di Jati Anom bergerak seperti burung alap-alap. Sementara aku bergerak dengan para cantrik yang jumlahnya tidak terlalu banyak. Kami menemukan Ngaru-Aru sudah dihancurkan. Aku bertemu dengan sekelompok prajurit Pati yang terkoyak-koyak oleh sekelompok prajurit Mataram. Yang tersisa melarikan diri tanpa tujuan. Bahkan tidak tahu lagi, apa yang akan mereka lakukan. Mereka tidak mempunyai keberanian lagi untuk mencari dan bergabung dengan induk pasukannya, karena mereka ngeri bertemu dengan sekelompok prajurit Mataram yang bagaikan terbang menyambar-nyambar dan bahkan seakan-akan berada di segala tempat.” “Karena itu Ki Tambak Gede, mengurungkan niat untuk menyusul sampai ke Prambanan?” “Aku merasa bahwa pasukanku yang kecil tidak akan berpengaruh sama sekali.” “Lalu sekarang, apa yang akan kau lakukan?” bertanya Agung Sedayu. “Aku tahu bahwa pasukanmu juga hanya kecil. Aku kagum akan keberanianmu bergerak dengan pasukan yang kecil ini,“ jawab Ki Tambak Gede. “Tetapi sayang, bahwa justru karena itu maka pasukanmu telah menggelitik aku untuk menghancurkan pasukan kecilmu. Aku ingin menghancurkan kesombongan para prajurit Mataram. Aku akan membunuh kalian semua kecuali satu atau dua orang, agar mereka dapat menceritakan, bahwa kesombongan para prajurit Mataram sudah dihancurkan oleh sebuah perguruan. Nama perguruan kami yang sebenarnya bukan Tlaga Kuning. Dan namaku bukan Tambak Gede.” Orang itu pun berkata selanjutnya. “Tetapi kau tidak perlu mengetahui nama perguruanku dan namaku yang sebenarnya, karena itu sama sekali tidak perlu bagimu.” Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Sementara orang berjanggut pendek yang sudah memutih itu berkata, “Tetapi sebelum aku membunuhmu, aku ingin mengatakan kekagumanku terhadap ketajaman perasaanmu. Ternyata kau tidak begitu saja menerima undanganku. Dan itu membuat kami semakin bernafsu untuk membunuh kalian semuanya, selain satu atau dua orang seperti aku katakan.” “Baiklah, Ki Sanak. Kami adalah prajurit. Kematian memang sudah membayang sejak kami menyatakan diri untuk menjadi seorang prajurit yang baik. Karena itu, kau tidak usah menakut-nakuti kami dengan kematian.” “Kau memang anak iblis,” geram orang semula mengaku bernama Kiai Tambak Gede itu, “melihat umurmu, maka kau masih belum pantas bertempur menghadapi aku. Tetapi karena kau pemimpin tertinggi yang ada, maka kau memang harus menghadapi aku. Nasibmu yang buruk telah membawamu ke tanganku.” Agung Sedayu tidak menjawab lagi. Tetapi ia sadar, bahwa yang dihadapinya adalah seorang yang menginjak hari-hari tuanya dengan kematangan ilmu yang tinggi. Karena itu, maka Agung Sedayu harus berhati-hati. Sejenak kemudian, Agung Sedayu itu melihat orang itu memberikan isyarat. Ia telah mengangkat tangannya dan bahkan bersiut nyaring. Para prajurit dari Pasukan Khusus itu pun segera bersiap. Dari belakang gerumbul dan tanaman di sawah yang kurang terpelihara itu, muncul sosok-sosok yang menggetarkan jantung. Para prajurit Mataram itu sudah ditempa dengan keras lahir dan batinnya. Namun terasa dada mereka berdegup semakin keras melihat orang-orang berpakaian gelap yang bermunculan, seakan-akan mencuat dari kegelapan. Sekali lagi terdengar isyarat dari orang berjanggut pendek yang sudah memutih itu. Dan sekali lagi jantung para prajurit itu tergetar. Mereka melihat semua orang yang muncul dari persembunyiannya itu mengambil sepotong kain berwarna kuning dan dikalungkannya di leher mereka. “Apa artinya itu,“ desis seorang prajurit. “Entahlah. Tetapi mereka datang dari padepokan Tlaga Kuning, sebagaimana dikatakan oleh orang tua itu.” “Bukan,“ sahut yang pertama, “bukankah sudah dikatakannya bahwa mereka bukan murid-murid perguruan yang bernama Tlaga Kuning?” “Orang itu sedang mengigau. Apa saja yang dikatakan, tetapi kita akan menghancurkan mereka.” Prajurit yang pertama mengangguk-angguk. Katanya, “Ya Kita akan menghancurkan mereka sampai orang yang terakhir.” “Atau mereka menghancurkan kita sampai orang yang terakhir pula.” “ Tidak. Ada satu atau dua orang yang akan disisakan. Nah, mudah-mudahan orang itu aku.” Kawannya tiba-tiba saja tertawa, sehingga semua orang berpaling kepadanya. “Ada apa?” bertanya seorang yang lain. “Maaf. Orang-orang yang muncul dari kegelapan itu nampaknya lucu sekali,“ jawab prajurit itu. Orang tua berjanggut putih itu menggeram. Ternyata prajurit Mataram tidak merasa ngeri melihat orang-orangnya yang berdiri tegak mematung di kotak-kotak sawah sebelah-menyebelah jalan. Dengan lantang orang itu berkata, “Kami mempunyai tiga lapis kekuatan. Yang kalian hadapi adalah pasukan Elang Emas. Tataran berikutnya adalah Elang Perak, dan lapisan yang tersusun dari para cantrik yang baru tumbuh adalah pasukan Elang Tembaga. Karena kami akan menghancurkan sekelompok prajurit Mataram, maka aku siapkan putut dan cantrik yang termasuk tataran kemampuan tertinggi.” “Ki Sanak. Kenapa tidak semua cantrikmu kau kerahkan? Bukankah pertempuran dengan prajurit Mataram akan menjadi pengalaman yang sangat baik bagi pasukan Elang Perak dan Elang Tembagamu itu?” bertanya Agung Sedayu. Orang itu menggeram. Katanya, “Kau benar-benar orang yang sombong, Ki Lurah. Tetapi kau akan menyesal.” “Tidak. Apapun yang terjadi, kami tidak akan menyesal. Bagi kami, jika kami harus kau bantai sampai habis, maka kami akan mati sambil tersenyum daripada mati sambil menangis. Kesombongan kadang-kadang memberikan kebanggaan bagi kami.” “Setan alas!“ bentak orang itu hampir berteriak. Lalu iapun berteriak pula, “Bunuh semua orang, kecuali dua orang yang menyerah dan mohon ampun! Siapa yang lebih dahulu menyerah dan mohon ampun, maka mereka-lah yang akan tetap hidup.” Agung Sedayu pun kemudian telah memberikan isyarat pula kepada prajurit-prajuritnya untuk memasuki sebuah pertempuran yang keras. Demikianlah, orang-orang yang disebut pasukan Elang Emas itu mulai bergerak. Mereka semuanya bersenjata sebuah tongkat baja yang tidak terlalu panjang. Sejenak kemudian, orang-orang dari pasukan Elang Emas itu sudah meloncati parit di pinggir jalan dengan sigapnya. Tetapi prajurit Mataram dari Pasukan Khusus yang dipimpin oleh Agung Sedayu itu telah mempersiapkan senjata mereka pula. Sebagian besar prajurit dari Pasukan Khusus itu bersenjata pedang. Sedangkan sebagian kecil bersenjata tombak pendek. Tetapi sebagai kelengkapan dari Pasukan Khusus, maka mereka juga bersenjata pisau belati panjang yang mereka pergunakan dalam keadaan yang khusus. Tetapi bukan hanya itu. Sebenarnyalah dalam tugas yang berat itu, para prajurit dari Pasukan Khusus itu dilengkapi pula dengan pisau-pisau belati kecil yang merupakan senjata lontar yang sangat berbahaya. Sejenak kemudian kedua kekuatan itu sudah saling berbenturan. Orang-orang yang disebut pasukan Elang Emas itu bergerak dengan cepat. Dalam waktu yang singkat, mereka seluruhnya telah terlibat dalam pertempuran yang dengan cepat pula meningkat. Orang berjanggut pendek yang sudah keputih-putihan itu tertawa. Katanya, “Ki Lurah. Kau lihat bahwa orang-orangku lebih tangkas, lebih kuat, lebih terlatih dan lebih banyak. Apa yang kau andalkan? Kau sendiri tentu tidak akan mampu berbuat apa-apa di hadapanku. Jangankan seorang Lurah prajurit, seorang Tumenggung pilihan pun tidak akan dapat menandingi kemampuanku. Menurut perhitunganku, hanya ada lima orang yang dapat mengalahkan aku di seluruh wilayah kekuasaan Mataram dan Pati. Mereka adalah Panembahan Senapati, Ki Juru Mertani, Kanjeng Adipati Pragola, Ki Naga Sisik Salaka dan Ki Gede Candra Bumi. Aku meragukan kemampuan orang-orang lain yang pernah disebut namanya di Mataram dan Pati. Aku tidak gentar mendengar nama Pangeran Mangkubumi, Pangeran Singasari, atau Adipati Pajang atau Adipati manapun juga. Juga nama-nama besar para Senapati Pati, dan bahkan orang-orang yang disebut berilmu tinggi yang ada di sekitar Kanjeng Adipati Pragola. Mereka tidak lebih dari penjilat-penjilat yang tidak mempunyai kemampuan apapun juga. Nah, sekarang kau hanya seorang Lurah prajurit. Pertimbangkan pendapatku. Bagaimana jika kau adalah orang pertama yang menyerah? Kau akan mendapat pengampunan, dan aku persilahkan kau pulang memberikan laporan kepada Panembahan Senapati, bahwa prajurit-prajuritmu telah habis dibantai oleh pasukan Elang Emas dari perguruan yang setia kepada Kanjeng Adipati Pati.” Agung Sedayu dengan serta merta menyahut, “Sebut nama perguruanmu dan sebut namamu.” “Itu tidak perlu Ki Lurah,” jawab orang itu. “Jika demikian, aku tidak akan menyerah. Laporanku tentu dianggap tidak lengkap. Apakah aku hanya cukup mengatakan bahwa pasukan kecilku dibantai oleh sebuah perguruan yang dipimpin oleh seorang yang berjanggut pendek yang sudah memutih?” Orang itu tertawa. Katanya, “Baiklah. Rasa-rasanya aku memang ingin membunuhmu.” Agung Sedayu tidak bertanya lagi. Ia sadar bahwa lawannya tentu orang berilmu tinggi, yang menyejajarkan diri dengan seorang yang disebut Ki Gede Candra Bumi, dan bahkan Kanjeng Adipati Pragola sendiri. Melihat sikap Agung Sedayu, maka orang berjanggut Putih itu berkata, “Baiklah. Agaknya kau memang seorang Lurah prajurit yang baik. Karena itu, kita akan menyelesaikan persoalan kita di arena pertempuran. Agaknya kau ingin mati sebagai seorang prajurit. Bukan sebagai seorang pengecut.” Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia sudah benar-benar bersiap menghadapi segala kemungkinan. Dalam pada itu, para prajurit dari Pasukan Khusus itu bertempur dengan garangnya. Ketika orang berjanggut putih itu sempat melihat sekilas, maka iapun menggeram, “Setan prajurit-prajurit Mataram.” Sebenarnyalah bahwa para prajurit dari Pasukan Khusus yang jumlahnya lebih kecil dari lawannya itu mampu mengimbangi kekuatan lawannya. Orang-orang yang disebut dari pasukan Elang Emas itu tidak mampu menguasai medan. Para prajurit dari Pasukan Khusus itu bertempur sambil bergerak dengan cepat. Mereka bergeser menghindar, namun sambil menyerang. Orang-orang yang disebut dari pasukan Elang Emas itu dengan cepat telah mengerahkan kemampuan mereka. Agaknya pemimpinnya itu telah memerintahkan agar mereka dengan cepat pula menguasai lawannya. Bahkan membunuh mereka sampai hanya tersisa dua orang saja. Tetapi ternyata mereka tidak segera dapat melakukannya. Meskipun Pasukan Elang Emas adalah mereka yang terpilih dari tataran terbaik dari perguruannya, tetapi menghadapi Pasukan Khusus yang ditempa oleh Agung Sedayu itu, para putut dan cantrik terpilih itu tidak segera dapat menguasainya. Sebenarnyalah para prajurit dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh itu tidak ubahnya para cantrik dari sebuah padepokan yang berlatih dengan bersungguh-sungguh tanpa mengenal jenuh. Mereka ditilik secara pribadi oleh Agung Sedayu, seorang Lurah prajurit yang kebetulan memiliki landasan ilmu yang sangat tinggi. Dengan demikian, maka pertempuran itu pun kemudian telah menjadi semakin sengit. Para putut dan cantrik dari pasukan Elang Emas itu berusaha dengan cepat menghancurkan lawan-lawannya, sementara para prajurit dari Pasukan Khusus pun dengan tegar mengimbanginya. Untuk beberapa saat orang berjanggut pendek yang berwarna keputih-putihan itu sempat melihat keadaan medan. Dahinya berkerut semakin dalam. Ia tidak menduga, bahwa kemampuan prajurit Mataram itu mampu mengimbangi para putut dan cantrik terpilihnya, yang termasuk dalam pasukan Elang Emas itu. Sebenarnyalah bahwa para prajurit Mataram dari Pasukan Khusus itu harus mengerahkan kemampuan mereka. Namun bekal mereka memang sudah cukup untuk menghadapi pasukan Elang Emas itu. Dengan pedang keprajuritan yang dibuat khusus bagi Pasukan Khusus itu, para prajurit Mataram menghadapi tongkat-tongkat baja di tangan para putut dan cantrik itu. Beberapa orang prajurit yang bersenjata tombak pendek memutar tombaknya seperti baling-baling. Benturan benturan telah terjadi. Para putut dan cantrik itu berusaha untuk mematahkan landean tombak pendek yang terbuat dari kayu itu. Tetapi tangan-tangan para prajurit yang trampil itu mampu menghindari benturan langsung. Bahkan sedap kali ujung tombak itu terayun mendatar menyambar ke arah lambung dan dada, sehingga para cantrik itu harus berloncatan mundur. “Apa yang telah kau perbuat atas para prajuritmu, sehingga mereka memiliki kemampuan secara pribadi yang tinggi itu?” bertanya orang berjanggut pendek itu. “Bukankah setiap prajurit Mataram harus berilmu tinggi?“ jawab Agung Sedayu. “Kau memang sombong. Tetapi sebentar lagi kau akan mati, dan semua prajuritmu akan mati.” Agung Sedayu tidak mejawab. Ketika orang berjanggut pendek itu bergeser, maka Agung Sedayu pun bergeser pula. “Tetapi kau memang tidak akan mati lebih dahulu, Ki Lurah. Aku akan melumpuhkanmu dan memaksamu melihat satu demi satu prajurit-prajuritmu dibantai di hadapanmu, sementara kau tidak dapat melindunginya. Baru kemudian, setelah tinggal dua orang prajuritmu yang akan tersisa hidup, kau akan aku cekik sampai mati. Nah, sekarang bersiaplah.” Agung Sedayu masih tetap tidak menjawab. Tetapi ia sudah benar-benar bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan. Dengan segala keyakinan untuk dengan cepat menguasai Lurah yang masih terhitung muda itu, orang berjanggut pendek itu mulai mengayunkan tangannya. Sekedar untuk memancing lawannya. Tetapi Agung Sedayu pun turun ke medan dengan keyakinan yang teguh. Tanpa merendahkan lawannya. Agung Sedayu menghadapinya dengan tenang dan percaya diri. Melihat sikap Ki Lurah itu, maka darah orang berjanggut pendek itu menjadi semakin panas. Karena itu, sejenak kemudian serangan-serangannya pun mulai mengarah. Tenaganya menjadi semakin besar, dan geraknya pun menjadi semakin cepat. Tetapi Agung Sedayu pun selalu mampu mengimbanginya. Agung Sedayu pun telah meningkatkan tenaganya serta mempercepat geraknya sebagaimana lawannya. Dengan demikian, maka pertempuran pun semakin lama menjadi semakin sengit Keduanya telah meningkatkan kemampuan mereka selapis demi selapis. Lawan Agung Sedayu yang ingin mengetahui puncak kemampuan ilmu Agung Sedayu itu mulai menjadi gelisah. Kemampuan yang ditunjukkan oleh Lurah prajurit itu sudah lebih tinggi dari yang diduganya. Tetapi ketika orang itu meningkatkan kemampuannya selapis lagi, ternyata Agung Sedayu masih tetap mampu bertahan. “Darimana kau sadap ilmumu itu Ki Lurah?“ geram orang itu. Agung Sedayu meloncat menghindari serangan lawannya sambil menjawab, “Aku adalah Lurah prajurit dari Pasukan Khusus. Karena itu, aku telah mendapat latihan-latihan yang berat dari para Senapati di Mataram.” “Kau jangan membual. Setinggi-tinggi ilmu seorang Lurah prajurit, tidak akan mampu melawan aku sampai tataran ini.” “Ternyata aku dapat melakukannya. Sementara prajurit-prajuritku mampu melawan orang-orangmu yang terbaik, yang kau sebut pasukan Elang Emas itu.” “Tidak ada orang Maratam yang mampu melawan aku, kecuali Ki Juru Martani dan Panembahan Senapati sendiri.” “Omong kosong. Nampaknya kau belum pernah bertemu dengan para pemimpin Mataram, para Tumenggung dan Senapati terpilihnya. Kau juga belum pernah bertemu dengan orang-orang tua di padepokan-padepokan dan perguruan-perguruan.” “Cukup. Aku akan membungkam mulutmu,“ geram orang itu. Agung Sedayu meloncat mengambil jarak. Sambil tertawa ia berkata, “Kenapa kau masih mengambil ancang-ancang. Bukankah kita sudah bertempur? Jika kau mampu membungkam mulutku, tentu sudah kau lakukan.” Orang itu menggeram. Wajahnya menegang dan sambil menggeretakkan gigi ia berkata, “Aku akan memaksamu merengek minta ampun, atau bahkan minta aku segera membunuhmu.” “Apa lagi yang akan kau lakukan? Apa lagi yang kau tunggu Ki Sanak?” Orang itu menjadi semakin marah. Karena itu, maka iapun segera meloncat menyerang dengan garangnya. Agung Sedayu meloncat sekali lagi mengambil jarak. Ia mulai merasakan sentuhan udara yang hangat menyambar tubuhnya, sejalan dengan ayunan tangan lawannya itu. Agung Sedayu meloncat surut untuk mengambil jarak. Sementara itu, lawannya ternyata tidak segera memburunya. Seakan-akan orang berjanggut pendek itu sengaja memberi kesempatan Agung Sedayu untuk menilai keadaan. “Apakah kau akan berusaha melarikan diri?“ bertanya orang itu. “Kenapa aku harus melarikan diri?” bertanya Agung Sedayu, “Aku masih utuh. Kulitku belum tergores luka dan darahku masih mengalir wajar di dalam tubuhku.” “Tetapi kau mulai mencium kemampuanku,“ jawab orang itu. Agung Sedayu tertawa pendek. Katanya, “Kau sejak tadi hanya berbicara tentang kemampuan, mengancam dan mengambil ancang-ancang. Tetapi kau tidak dapat berbuat apa-apa.” Orang berjanggut pendek dan berwarna keputih-putihan itu menggeram. Iapun segera meloncat menyerang pula. Ayunan tangannya mendatar ke arah kening. Namun Agung Sedayu sempat meloncat mengelakkan serangan itu. Serangan itu memang tidak berhasil. Namun sambaran anginnya telah memancarkan udara panas, menerpa kulit Agung Sedayu. Telah berkali-kali Agung Sedayu menjumpai ilmu seperti itu. Ia sendiri mampu melakukannya. Jika ia menghentakkan ilmu kebalnya pada puncak tertinggi, maka kekuatan ilmu kebalnya itu juga memancarkan getar panas yang memanasi udara di sekitarnya. Karena itu, Agung Sedayu sama sekali tidak terkejut. Dengan demikian, pertempuran selanjutnya pun masih berlangsung dengan sengitnya. Udara panas itu tidak banyak berpengaruh atas Agung Sedayu. Loncatan-loncatan yang panjang mampu memperkecil pengaruh udara panas atas kulit Agung Sedayu. Lawan Agung Sedayu itu menjadi semakin heran. Ilmunya itu seakan-akan tidak berarti sama sekali bagi Agung Sedayu. “Lurah prajurit yang masih terhitung muda ini ternyata memang memiliki kemampuan yang tinggi,“ berkata orang itu di dalam hatinya. Ia memang menjadi heran, bahwa seorang Lurah prajurit dapat bertahan sampai tataran yang terhitung tinggi itu. “Aku tidak yakin, bahwa kemampuannya itu didapatnya dari lingkaran keprajuritan,“ katanya di dalam hati. Namun kemarahan orang itu telah mendorongnya untuk melepaskan ilmu yang lebih tinggi lagi. Bukan saja getar sambaran angin dari ayunan serangan-serangannya terasa panas. Tetapi serangan-serangan orang itu menjadi semakin cepat. Agung Sedayu terkejut ketika tiba-tiba saja tubuhnya terguncang dan bahkan ia terlempar beberapa langkah surut. Lawannya sama sekali tidak menyentuh wadagnya. Tetapi rasa-rasanya sebuah pukulan yang keras telah mengenai dadanya. Semula Agung Sedayu menduga bahwa ia berhadapan dengan orang yang memiliki ilmu yang mempunyai ciri serangan-serangannya mendahului sentuhan kewadagannya, sebagaimana yang pernah juga dihadapinya. Tetapi ternyata tidak. Orang itu berdiri pada jarak yang tidak terlalu dekat. Juga tidak nampak kilat sinar atau percikan warna yang meloncat dari tangan atau sorot matanya. Dengan demikian, maka Agung Sedayu memang agak mengalami kesulitan untuk menghindari serangan-serangan orang itu. Beberapa kali Agung Sedayu telah terguncang. Meskipun ia berusaha untuk menghindar, namun serangan-serangan itu masih selalu mengenainya. Agung Sedayu hanya dapat menduga arah serangan lawannya dari sudut pandang matanya serta arah gerak tangannya. Namun kadang-kadang ia memang terlambat. Setiap kali Agung Sedayu terguncang, maka orang itu pun tertawa sambil berkata, “Jangan menyesal Ki Lurah. Kau akan menjadi sasaran permainan ilmuku. Kau akhirnya akan kehabisan tenaga, kesakitan dan penuh penyesalan. Dalam keadaan yang demikian, kau akan melihat prajurit-prajuritmu dibantai habis oleh orang-orangku dari pasukan Elang Emas.” Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi beberapa kali ia masih terguncang, jatuh berguling dan kemudian meloncat bangkit. Suara tertawa orang berjanggut putih pendek itu terdengar berkepanjangan. Serangannya semakin lama semakin sering. Ia menjadi semakin gembira melihat Agung Sedayu jatuh dan bangun menghadapinya. Namun akhirnya Agung Sedayu itu mengibaskan pakaiannya sambil berkata, “Maaf Ki Sanak. Aku sudah jemu bermain-main dengan cara ini. Apakah kau masih mempunyai permainan lain yang lebih menyenangkan?” Orang itu terkejut. Ketika ia menyerang lagi, maka Agung Sedayu masih saja tetap berdiri, meskipun sekali-kali ia bergeser setapak. “Iblis. Kau pakai perisai apa Ki Lurah?“ bertanya orang itu hampir berteriak. Agung Sedayu masih tetap berdiri di tempatnya. Agung Sedayu-lah yang kemudian tertawa sambil berkata, “Permainanmu mulai menjemukan Ki Sanak.” Beberapa kali orang itu menyerang. Tetapi serangannya sia-sia saja. Agung Sedayu telah menyelimuti dirinya dengan ilmu kebalnya, sehingga serangan-serangan orang itu tertahan tanpa menyakitinya. Orang berjanggut pendek itu menggeram. Tetapi ia tidak dapat mengingkari kenyataan itu, bahwa lawannya, seorang lurah Prajurit, telah mampu mengimbangi ilmunya. Karena itu, kemarahannya pun telah membakar jantungnya, sehingga orang itu pun telah menghentakkan ilmunya sampai ke puncak. Serangan-serangannya memang mampu menggetarkan perisai Ilmu kebal Agung Sedayu. Tetapi ilmunya itu tidak mampu menembusnya. Semakin meningkat kekuatan ilmunya sehingga mencapai puncaknya, maka ilmu kebal Agung Sedayu pun menjadi semakin rapat dan semakin tebal pula. Akhirnya orang itu harus mengakui, bahwa ilmunya itu tidak akan mampu menembus perisai ilmu lawannya. Karena itu, maka iapun menggeram, “Darimana kau curi ilmu kebalmu itu, he?” “Kenapa harus mencuri?“ bertanya Agung Sedayu. “Persetan dengan ilmu kebalmu. Tetapi dengan pusakaku, kau tidak akan mampu bertahan. Pusakaku akan mampu mengoyak ilmu kebalmu dan langsung menghunjam ke dalam jantungmu.” Agung Sedayu tidak menjawab. Namun jantungnya memang menjadi berdebar-debar ketika ia melihat lawannya itu mencabut sebilah keris. “Jangan menyesal,” geram orang itu, “kerisku akan mengakhiri kesombonganmu.” Agung Sedayu tidak menjawab. Ia menyadari bahwa keris lawannya adalah keris yang sangat baik. Bukan saja buatannya. Bukan pula karena pamornya serta permata yang melekat pada ukirannya. Tetapi nampaknya keris itu memang pusaka yang diandalkannya, sehingga keris itu dapat meningkatkan kekuatan jiwani serta ketegaran hati orang yang memegangnya. Ketika keris itu mulai berputar, maka Agung Sedayu pun mulai merasakan sentuhan getaran udara panas yang seakan-akan menjadi berlipat. Apalagi ketika keris itu diayunkan. Rasa-rasanya kemampuan lawannya itu mulai menyusup ilmu kebalnya sedikit demi sedikit. Rasa-rasanya ujung-ujung dari mulai menyentuh kulitnya di bawah lapisan ilmu kebalnya. Agung sedayu pun menyadari, bahwa dengan keris di tangannya, orang itu menjadi semakin tegar, sehingga kemampuan ilmunya menjadi bertambah. Tetapi Agung Sedayu pun mengerti, jika angin yang timbul dari ayunan senjatanya saja telah mampu menyusup ilmu kebalnya, maka ujung keris itu sendiri tentu akan mampu menembus kulitnya dan mengoyakkan dagingnya. Bahkan ujung keris itu tentu akan mampu menghunjam di dadanya dan menembus sampai ke jantung. Karena itu, Agung Sedayu tidak akan membiarkan dirinya mengalami cedera. Sehingga dengan demikian, iapun harus menggapai tataran yang lebih tinggi lagi untuk melawan orang berjanggut putih itu. Namun dalam pada itu, pertempuran yang terjadi di sekitarnya pun minta perhatiannya pula. Ternyata para prajuritnya mengalami kesulitan melawan pasukan Elang Emas yang jumlahnya memang lebih banyak itu. Lawannya yang mengetahui bahwa perhatian Agung Sedayu sekilas tertarik kepada pertempuran di sekitarnya pun berkata, “Ki Lurah. Pertempuran tidak akan berlangsung lama lagi. Satu-satu orang-orangmu akan mati terkapar di bulak ini. Besok pagi burung-burung gagak akan bersantap di sini.” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tetapi Agung Sedayu tidak meneriakkan aba-aba. Ia mulai melihat bahwa prajurit-prajuritnya dari Pasukan Khusus itu mampu mengambil keputusan untuk mengatasi kesulitannya tanpa mendapat perintahnya. Demikianlah, pertempuran itu pun menjadi semakin sengit. Tongkat-tongkat baja para putut dan cantrik dari pasukan Elang Emas itu berputaran menyambar-nyambar. Seorang prajurit yang bersenjata tombak, ternyata gagal menyelamatkan landean tombaknya. Ketika terjadi benturan yang sangat keras dengan seorang putut yang ilmunya mulai mapan, maka landean tombaknya itu patah. Malang bagi prajurit itu, yang terlepas dari tangannya adalah justru landean tombaknya yang di bagian ujungnya, sehingga mata tombaknya ikut terlepas pula. Lawannya mulai menyeringai seperti hantu yang memandang sosok korbannya. Selangkah demi selangkah ia maju mendekat. Tongkatnya mulai terayun-ayun siap menimpa dan memecahkan kepala prajurit yang kehilangan senjatanya itu. Namun tiba-tiba putut itu terpekik. Ia tidak mengira bahwa tiba-tiba saja, sebuah pisau kecil datang menyambarnya. Sejenak putut itu terhuyung-huyung. Namun sebuah pisau belati yang tajam yang lebih panjang telah mematuk dadanya, menghunjam sampai ke jantung. Putut itu pun jatuh terjerembab. Tetapi ia tidak sempat lagi mengaduh. Dengan demikian, maka pisau pisau kecil pun mulai berperan dalam pertempuran itu. Beberapa orang putut dan cantrik telah jatuh menjadi korban pisau-pisau kecil yang dilontarkan oleh para prajurit dari Pasukan Khusus itu. Orang berjanggut pendek itu pun mulai melihat perubahan keseimbangan yang terjadi di medan pertempuran itu. Tetapi orang itu tidak dapat berbuat banyak. Ia sendiri terikat dalam pertempuran dengan Lurah prajurit yang berilmu tinggi itu. Karena itu, yang dapat dilakukan oleh orang berjanggut pendek itu adalah meneriakkan perintah-perintah untuk meningkatkan gelora perlawanan bagi para putut dan cantrik-cantriknya. Para prajurit Mataram dari Pasukan Khusus itu semakin lama memang semakin menguasai medan. Lawannya yang lebih banyak itu mulai menyusut meskipun perlahan-lahan. Seorang putut menjadi sangat marah, ketika lawannya melemparkan pisau kecil ke arah dadanya. Namun ia sempat menggeliat, sehingga pisau itu tidak tertancap di dadanya. Namun luka di lengannya itu telah menitikkan darah. Ketika putut itu bergerak semakin banyak, darah pun mengalir semakin banyak pula. “Licik kau,” geram Putut itu. “Kenapa?“ bertanya prajurit yang melukainya, sambil mempersiapkan diri menghadapi Putut yang melangkah mendekatinya sambil mengayun-ayunkan tongkat bajanya. “Kau melempar pisau-pisau kecil.” “Kenapa licik? Itu salah satu jenis senjataku,“ jawab prajurit itu. “Aku akan mencabik-cabik tubuhmu sampai lumat,” geram Putut itu. “O, kau kira kau benar-benar seekor burung elang yang mampu mencabik-cabik seekor anak ayam? He, jika seekor burung wulung terbang melingkar-lingkar, maka induk ayam pun berkotek memberi isyarat anak-anaknya agar bersembunyi. Tetapi wulung emas seperti kalian pun agaknya hanya dapat menakut-nakuti anak ayam.” Putut itu tiba-tiba berteriak sekeras-kerasnya. Getaran suaranya bagaikan mengguncang udara di seluruh medan pertempuran itu. Kemarahan yang bagaikan membakar jantung itu mencari saluran agar jantungnya tidak meledak. Prajurit itu terkejut. Bahkan para prajurit yang lain pun terkejut pula. Teriakan itu bagaikan membakar daun telinga. Para putut dan cantrik dari pasukan Elang Emas yang mendengar teriakan itu, bagaikan bangkit dari cengkaman kelelahan dan kesulitan menghadapi kemampuan lawan. Tiba-tiba saja mereka bergerak lebih cepat, dan kekuatan mereka yang menyusut pun telah tumbuh kembali. Pertempuran pun menjadi semakin sengit. Namun para prajurit dari Pasukan Khusus itu sama sekali tidak tergetar. Mereka masih tetap bertempur dengan garang. Pisau kecil mereka masih saja menyambar-nyambar. Sementara itu, lawan Agung Sedayu itu pun telah mengerahkan kemampuan ilmunya pula. Menurut perhitungannya, para putut dan cantrik itu tidak segera dapat memenangkan pertempuran. Karena itu, maka ia harus segera mampu menembus ilmu kebal lawannya itu. Dengan demikian, maka keris itu pun berputar semakin cepat. Sambaran udara yang panas terasa semakin menekan. Getaran-getaran yang tajam terasa menusuk-nusuk kulit, menyusup ilmu kebalnya. Agung Sedayu yang mulai terdesak itu tidak ingin segera mempergunakan kemampuan sorot matanya. Tetapi sebagai murid utama dari perguruan Orang Bercambuk, maka Agung Sedayu pun segera mengurai cambuknya. Lawannya terkejut melihat cambuk Agung Sedayu. Bahkan ia bergeser selangkah surut. Dengan nada tinggi ia berdesis, “Orang Bercambuk. He, apakah kau mempunyai hubungan dengan Orang Bercambuk yang pernah berkeliaran di pesisir utara?” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ia bertemu dengan gurunya pertama kali di Dukuh Pakuwon, tidak terlalu jauh dari Sangkal Pulung. Tetapi pengembaraan Kiai Gringsing memang tidak terbatas. “Apakah kau pernah mengenal Orang Bercambuk?” bertanya Agung Sedayu. “Aku pernah mendengar namanya. Tetapi aku belum pernah bertemu.” “Apakah kau menyangka bahwa akulah orang bercambuk itu?” “Tentu tidak,” jawab orang itu, “mungkin kau cucunya, atau murid dari murid Orang Bercambuk itu.” “Siapapun aku, tetapi aku adalah Lurah prajurit Mataram. Menyerahlah. Aku akan membawamu ke Prambanan. Kau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu, melawan prajurit Mataram yang sedang menjalankan tugasnya.” “Setan kau,” geram orang itu. Tiba-tiba saja serangannya datang membadai, sehingga Agung Sedayu harus berloncatan mundur beberapa langkah. Sementara itu, terdengar lagi seorang putut yang berteriak sekeras-kerasnya, sehingga seakan-akan dedaunan di pepohonan telah berguncang. Daun yang kering telah berguguran, berserakan di jalan yang kotor. Ternyata teriakan-teriakan oleh beberapa orang putut itu memang berpengaruh. Namun para putut dan cantrik dari pasukan Elang Emas telah terkejut pula, ketika tiba-tiba cambuk Agung Sedayu meledak. Getaran suara cambuk itu seakan-akan telah mengoyak selaput telinga para putut dan cantrik itu. Namun orang berjanggut pendek itulah yang kemudian tertawa. Katanya, “Aku salah duga. Ternyata kau tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Orang Bercambuk itu. Agaknya kau tidak lebih dari seorang gembala kambing yang kebetulan menjadi prajurit.” Agung Sedayu memandang wajah orang itu dengan tajamnya. Tetapi ia tidak berniat menghentikan perlawanannya dengan sorot matanya. Tetapi cambuk yang sudah ada di tangannya itu mulai bergetar lagi. Satu ledakan lagi lelah mengguncang malam yang hiruk pikuk oleh pertempuran itu. Para putut dan cantrik semakin tergetar hatinya. Suara cambuk itu terdengar lebih keras dan menghentak daripada teriakan-teriakan para putut dan cantrik dari pasukan Elang Emas itu. Tetapi orang berjanggut pendek itu tertawa berkepanjangan. Katanya, “Ketika aku merasakan benturan ilmu kebal yang menyelimuti dirimu, aku mengira bahwa kau memang memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi mendengar ledakan cambukmu yang seolah olah mengguncang bumi itu, justru aku tahu bahwa kemampuanmu tidak lebih dari perisai ilmu kebalmu, yang pada puncak pengetrapannya memancarkan udara panas yang tidak banyak pengaruhnya itu.” Agung Sedayu sama sekali tidak menjawab. Sementara orang itu berkata selanjutnya, “Ki Lurah. Jika semula aku mulai mengagumimu, maka ternyata kemudian kau tidak lebih dari dugaan sebelum kita mulai bertempur. Karena itu, maka sekali lagi aku menawarkan, menyerahlah. Kau akan tetap hidup. Justru kau akan aku beri kesempatan untuk kembali menghadap Panembahan Senapati dan memberikan laporan, bahwa semua prajuritmu telah mati dibantai oleh seorang pengikut Kanjeng Adipati Pragola.” Agung Sedayu masih tetap tidak menjawab. Namun kemudian dihentakkannya cambuknya sendal pancing. Cambuk itu tidak meledak seperti sebelumnya. Suaranya tidak memekakkan telinga atau bahkan merontokkan isi dada. Tetapi hentakan cambuk yang tidak mengejutkan seorang putut dan cantrik itu ternyata telah menggetarkan jantung lawannya. Ilmu yang terpancar dari hentakan cambuk itu mampu menyusup ke relung-relung di dalam dadanya, sehingga di luar sadarnya orang itu telah tergetar selangkah surut. Dalam ketegangan, orang itu mendengar suara Agung Sedayu, “Kenapa Ki Sanak? Apa yang mengejutkanmu? Ketika cambukku meledak, kau sama sekali tidak terkejut. Tetapi justru ketika cambukku tidak melepaskan suara, kau tersentak seperti melihat hantu.” “Kau memang iblis,“ geram orang itu. Tetapi orang itu tidak banyak berbicara lagi. Dengan garangnya orang itu mulai lagi meloncat menyerang. Ayunan kerisnya yang berputar itu telah menaburkan udara yang panas, dan bahkan mampu menyusup ilmu kebal Agung Sedayu. Tetapi pada saat itu, Agung Sedayu telah memutuskan untuk menyelesaikan pertempuran. Ia berniat untuk menangkap orang berjanggut pendek itu, karena menurut pendapatnya orang itu sangat berbahaya bagi para prajurit Mataram. Kesatuan-kesatuan kecil Mataram yang bertugas di sekitar padepokannya akan benar-benar dapat dimusnahkannya. Agaknya orang itu bukan orang yang sekedar mengancam dan menakut-nakuti. Dengan demikian, maka cambuk Agung Sedayu itu pun segera berputaran, menghentak dan menggeliat, memburu lawannya yang berloncatan menghindarinya. Namun sekali-sekali orang itu masih juga berusaha menyerang dengan kerisnya, yang jika berhasil, akan mampu menembus ilmu kebal Agung Sedayu. Namun dalam pada itu, orang berjanggut pendek itu menjadi semakin terdesak. Ujung cambuk Agung Sedayu semakin dekat menggapai-gapai tubuhnya. Meskipun demikian, orang itu masih sempat berkata, “Ternyata kau bukan seseorang yang menerima keturunan ilmu dari Orang Bercambuk yang berkeliaran di pesisir utara itu. Meskipun aku belum pernah mengenalnya, tetapi aku pernah mendengar cerita tentang orang itu.” “Kau nampak dalam kebingungan Ki Sanak,“ berkata Agung Sedayu sambil menghentakkan cambuknya, sehingga orang itu meloncat surut. “Tadi kau mengatakan bahwa aku tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Orang Bercambuk itu, ketika kau dengar cambukku meledak mengatasi teriakan-teriakan orang-orangmu. Sekarang kau katakan bahwa aku bukan orang yang menerima keturunan ilmu Orang Bercambuk itu, karena agaknya kau melihat alur dan unsur ilmu yang berbeda dari cerita yang pernah kau dengar dari orang lain.” “Persetan dengan igauanmu,” geram orang itu. “Menyerahlah,“ berkata Agung Sedayu kemudian, “kau tidak boleh berkeliaran lagi. Kau sangat berbahaya bagi prajurit-prajurit Mataram.” Orang itu tidak menjawab. Tetapi orang itu bertempur semakin garang. Agung Sedayu memang tidak melihat kemungkinan untuk memaksa orang itu menyerah. Ia tidak akan melakukannya di hadapan murid-muridnya yang terpilih. Sementara itu, keadaan murid-muridnya pun tidak menjadi lebih baik. Para prajurit dari Pasukan Khusus itu ternyata mampu mengatasi perlawanan pasukan Elang Emas, yang jumlahnya semula lebih banyak dari pasukan kecil prajurit Mataram yang dipimpin oleh Agung Sedayu itu. Dari waktu ke waktu, kemampuan perlawanan pasukan Elang Emas itu semakin menyusut, sehingga mereka pun menjadi semakin terdesak pula. Para prajurit dari Pasukan Khusus itu berhasil menyusut jumlah lawannya. Meskipun ada juga korban di antara para prajurit, tetapi para putut dan cantrik yang tergabung dalam pasukan Elang Emas itu menyusut lebih cepat. Pisau-pisau kecil yang lepas dari tangan para prajurit itu hinggap di dada, lambung, dan bahkan di leher mereka. Sementara itu, pedang dan ujung-ujung tombak para prajurit pun terayun-ayun menebas, mematuk dan menyambar-nyambar. Tidak ada kesempatan lagi bagi pasukan Elang Emas itu untuk dapat memenangkan pertempuran. Sementara itu, pemimpin perguruan yang berjanggut pendek itu pun semakin mengalami kesulitan pula. Meskipun kerisnya itu sekali-sekali mampu mengejutkan Agung Sedayu, namun setiap kali ujung cambuknya selalu dapat menghalau lawannya. Orang berjanggut pendek itu pun menjadi sangat marah. Tetapi ia terbentur pada suatu kenyataan, bahwa lawannya memang memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi orang itu sama sekali tidak berniat untuk menyerah. Bahkan orang berjanggut putih itu mencoba untuk memutuskan ujung cambuk Agung Sedayu dengan kerisnya. Namun orang itu tidak berhasil. Ia memang berhasil menebas ujung cambuk Agung Sedayu yang menggeliat, tetapi ujung cambuk itu tidak terputus karenanya. Bahkan hampir saja keris itu terlepas dari tangannya. Dalam pada itu, Agung Sedayu telah benar-benar berniat mengakhiri pertempuran. Karena itu, maka iapun meningkatkan serangan-serangan cambuknya langsung ke arah tubuh lawannya. Ketika ujung cambuknya mulai menyentuh kulit lawannya, maka terdengar umpatan yang kasar meledak dari mulut orang berjanggut putih itu. Tetapi ia benar-benar tidak dapat berbuat banyak. Meskipun ia mengerahkan ilmunya sampai ke puncak kemampuannya, tetapi ternyata bahwa ia menjadi semakin terdesak. Goresan ujung cambuk Agung Sedayu itu bukan sekedar meninggalkan goresan merah di kulitnya. Tetapi kulit itu benar-benar telah terkoyak. Darah pun mulai mengalir dari lukanya itu. “Aku memberikan kesempatan terakhir kepadamu, Ki Sanak,” berkata Agung Sedayu sambil menghentakkan ujung cambuknya, sehingga getarannya mengguncang selaput telinganya. Tetapi lawannya justru menggeram, “Aku bunuh kau anak yang sombong.” Bagi Agung Sedayu, rasa-rasanya sudah cukup memberi lawannya itu kesempatan untuk menyerah. Tetapi agaknya lawannya itu seorang yang keras hati. Apalagi ia berada di hadapan murid-muridnya yang terbaik, sehingga ia tidak mau mengorbankan harga dirinya. Sementara itu, Agung Sedayu pun tidak ingin melepaskan lawannya yang sangat berbahaya itu, karena pada kesempatan lain ia tentu benar-benar akan menyulitkan prajurit Mataram. Karena itu, maka tidak ada pilihan bagi Agung Sedayu. Ia harus menghentikan perlawanan orang berjanggut itu untuk selamanya, agar ia tidak membuat kesulitan lagi di kemudian hari. Demikianlah, Agung Sedayu pun telah sampai ke puncak ilmu cambuknya, ilmu yang diwarisinya dari gurunya. Sebagai murid utama, maka Agung Sedayu benar-benar telah menguasai kemampuan ilmu cambuk sebagaimana gurunya sendiri. Apalagi Agung Sedayu memang sudah benar-benar menguasai berbagai macam ilmu yang dapat mendukung ilmu cambuknya. Dengan demikian, sejenak kemudian cambuk Agung Sedayu pun bergerak semakin cepat. Ujungnya menggapai dari segala arah, seakan-akan juntai cambuk Agung Sedayu itu telah bercabang menjadi berpuluh-puluh juntai yang bergerak bersama-sama. Lawannya memang tidak mempunyai kesempatan sama sekali. Ujung cambuk itu telah menyentuh dan menyentuh lagi. Sehingga lukanya pun menganga dimana-mana. Meskipun demikian, orang berjanggut pendek itu masih tetap mengadakan perlawanan. Kerisnya masih saja berputar. Angin yang menyambar-nyambar tubuh Agung Sedayu, masih saja mampu menyusup menembus ilmu kebalnya. Namun semakin lama sentuhan itu pun menjadi semakin lemah. Ayunan keris itu pun menjadi semakin lamban pula. “Kau memang anak iblis,“ geram orang itu, ketika tubuhnya telah dibasahi oleh darahnya yang mengalir dari beberapa buah lukanya. “Di Mataram hanya ada dua orang yang dapat mengalahkan aku. Ki Juru Martani dan Panembahan Senapati. Kau tidak akan dapat mengalahkan aku. Apalagi kau hanya seorang Lurah prajurit.” Suaranya terputus ketika ujung cambuk Agung Sedayu menyambar dadanya. Segores luka menganga di dadanya. Orang berjanggut pendek itu terhuyung-huyung. Namun ia masih dapat bertahan untuk berdiri. Dengan suara yang menghentak-hentak ia berkata, “Hanya ada tiga orang yang aku takuti di Pati. Kanjeng Adipati, Ki Naga Sisik Salaka dan Ki Gede Candra Bumi.” “Ki Gede Candra Bumi telah tidak berdaya lagi sekarang. Mungkin ia masih hidup, tetapi ia terluka parah. Di medan pertempuran, aku telah bertempur melawan Ki Gede Candra Bumi sebagai Senapati Pengapit.” Wajah orang itu menjadi tegang. Namun kemudian iapun mengumpat, “Gila kau. Tidak ada orang yang dapat mengalahkannya.” “Aku mengalahkannya,“ berkata Agung Sedayu, “bukan maksudku menyombongkan diri. Aku hanya ingin agar kau menyadari, dengan siapa kau berhadapan. Kau tidak dapat menentang kenyataan.” “Persetan,“ geram orang itu. Namun iapun kemudian telah berteriak nyaring. Dihempaskannya segala kemampuan, kekuatan dan ilmunya lewat telapak tangannya. Dilemparkannya kerisnya mengarah ke dada Agung Sedayu. Agung Sedayu terkejut. Dengan serta merta ia menggeliat. Namun karena hal itu tidak diduganya sama sekali, maka ia sedikit terlambat. Keris itu telah menembus ilmu kebalnya, menggores lengannya. Namun dalam pada itu, dengan gerak naluriah Agung Sedayu pun telah menghentakkan cambuknya. Demikian derasnya, dilambari dengan puncak ilmu cambuknya. Terdengar orang berjanggut pendek itu berteriak sekali lagi. Tetapi nadanya sangat berbeda. Cambuk yang dihentakkan oleh Agung Sedayu itu telah mengoyak lambungnya. Orang itu terdorong beberapa langkah surut. Namun kemudian iapun terhuyung-huyung. Ia ternyata tidak lagi mampu mempertahankan keseimbangannya, sehingga sejenak kemudian iapun jatuh terguling. Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ia sempat mengamati seluruh medan. Namun iapun segera yakin bahwa prajurit-prajuritnya akan mampu menguasai lawan-lawannya. Karena itu, maka Agung Sedayu itu pun kemudian melangkah mendekati orang berjanggut pendek itu. Meskipun masih tetap berhati-hati, Agung Sedayu berjongkok di sisinya. Orang itu sudah terluka terlalu parah. Namun ia masih juga tersenyum sambil berkata, “Kau jangan merasa dirimu menang. Ki Lurah.” Agung Sedayu tidak menjawab. Sementara orang itu berkata selanjutnya, “Kau pun tentu akan mati. Bisa yang melekat pada kerisku tidak akan dapat dilawan dengan obat apapun juga.” Senyum kemenangan tersungging di bibirnya. Agung Sedayu yang tawar akan segala bisa itu memang tidak mencemaskan dirinya. Bisa itu tidak akan berarti apa-apa bagi tubuhnya. Tetapi Agung Sedayu tidak mau mengecewakan orang itu. Karena itu Agung Sedayu itu hanya berdiam diri saja. Di saat-saat yang gawat itu, orang berjanggut pendek itu masih sempat berkata dengan penuh dendam dan kebencian, “Aku akan mati bersamamu. Bisa itu akan bekerja dengan cepat.” Agung Sedayu masih tetap berdiam diri. Ia tidak sampai hati mengatakan, bahwa bisa pada keris orang itu tidak akan membunuhnya, justru pada saat terakhir dari hidupnya. Karena orang itu akan menjadi sangat kecewa. Namun orang itu menjadi tidak sabar. Keadaannya menjadi semakin parah, sementara Agung Sedayu masih tetap berjongkok di sampingnya. “He, kenapa kau tidak mati? “ orang itu mencoba menggeliat. Namun justru pada saat yang paling gawat itu ia mencoba menghentakkan badannya, sehingga karena itu maka sisa tenaganya telah dihabiskannya. Orang itu pun kemudian terkulai dengan lemahnya. Matanya menjadi kabur, sehingga akhirnya semuanya menjadi pekat. Agung Sedayu meraba dada orang itu. Namun dada itu sudah tidak bergerak lagi. Nafasnya pun telah berhenti sama sekali. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia bangkit berdiri, pertempuran memang sudah selesai. Beberapa orang cantrik telah menyerah. Sedangkan beberapa orang sempat melarikan diri. Namun para prajurit itu tidak mengejar mereka, justru karena mereka tidak menguasai medan dengan baik. “Kalian sudah mengambil langkah yang benar,“ berkata Agung Sedayu. Tanpa perintahnya, para prajuritnya pun sudah mengambil keputusan sebagaimana dikehendakinya. Namun peristiwa itu ternyata menghambat perjalanan pulang pasukan kecil prajurit Mataram itu. Mereka harus mengumpulkan kawan-kawan mereka yang terluka parah, serta mereka yang gugur di pertempuran. Namun para prajurit itu harus segera bergerak. Para cantrik yang melarikan diri akan dapat memanggil kawan-kawan mereka. Mungkin pasukan Elang Perak, dan bahkan mungkin pasukan yang disebut Elang Tembaga. Karena itu, para prajurit Mataram itu telah membawa kawan-kawan mereka yang gugur dan terluka untuk segera menghindar dari bekas medan pertempuran. Di sisa malam itu, pasukan kecil itu bergerak dengan sendat. Mereka harus mengawasi para tawanan, membawa kawan-kawan mereka yang terluka dan yang gugur. Sementara itu, mereka telah melepaskan dua orang tawanan untuk memanggil kawan-kawan mereka, agar mengumpulkan kawan-kawan mereka yang terluka dan mengubur kawan-kawan mereka yang terbunuh di peperangan. Menjelang fajar, pasukan kecil itu telah berada di sebuah padukuhan. Mereka terpaksa mengubur kawan-kawan mereka di sebuah kuburan yang terdapat di padukuhan itu, dengan tanda-tanda khusus. Hari itu, Agung Sedayu terpaksa menunda perjalanannya. Agung Sedayu memberi kesempatan para prajuritnya untuk beristirahat. Sementara itu sebenarnya Agung Sedayu sendiri juga memerlukan waktu untuk beristirahat. Meskipun tubuhnya tidak banyak terganggu oleh lukanya yang terhitung tidak berbahaya itu, namun ternyata bahwa sapuan udara yang tajam yang sempat menyusup ilmu kebalnya itu membuat Agung Sedayu merasa sangat letih. Namun demikian, Agung Sedayu tetap mengatur pengawasan di sekitar padukuhan itu. Mungkin sekali para pengikut orang berjanggut pendek itu masih tetap mendendam dan ingin membalas para prajurit Mataram dari Pasukan Khusus itu. Setelah beristirahat sehari, maka keadaan pasukan kecil itu nampak menjadi segar kembali. Namun ketika mereka melanjutkan perjalanan mereka, terasa bahwa sebagian dari mereka tertinggal di padukuhan itu. Agung Sedayu memandangi beberapa onggok tanah yang masih merah. Disitulah beberapa prajuritnya yang menjadi korban di kuburkan. Perjalanan prajurit Mataram itu memang menjadi lamban. Selain mereka harus mengawasi beberapa orang tawanan, mereka pun membawa kawan kawan mereka yang terluka. Bahkan juga orang-orang dari pasukan Elang Emas itu. Ternyata perjalanan kembali ke Prambanan itu tidak dapat mereka tempuh dalam satu hari. Setiap kali iring-iringan itu harus berhenti, beristirahat dan mengobati orang-orang yang terluka dengan obat-obatan yang ada. Untunglah bahwa Agung Sedayu sendiri memiliki kemampuan ilmu obat-obatan yang diwarisi dari gurunya langsung, dan yang diketemukannya di dalam kitab yang ditinggalkan gurunya itu. Dengan obat-obatan yang sederhana itu, Agung Sedayu dapat membantu keadaan mereka yang terluka dan memberikan sedikit kesegaran, sehingga mereka masih dapat melanjutkan perjalanan. Ketika pasukan kecil itu beristirahat di sebuah padukuhan yang sudah tidak terlalu jauh lagi dari Prambanan, Agung Sedayu telah memerintahkan dua orang prajuritnya untuk mendahului dan memberikan laporan bahwa pasukan kecil itu sudah dalam perjalanan kembali. Namun kedua orang prajurit itu menjadi kecewa. Perkemahan di Prambanan itu telah kosong. Panembahan Senapati dan para prajurit Mataram telah kembali ke Mataram. Yang tinggal adalah sebagian dari para prajurit Mataram yang berada di Jati Anom, serta sebagian lagi para pengawal dari Sangkal Putung. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Agaknya Swandaru masih menunggunya di Prambanan. Agung Sedayu tidak pernah merasa tidak senang terhadap adik seperguruannya yang kebetulan adalah kakak iparnya itu. Tetapi kadang-kadang Agung Sedayu merasa jenuh mendengar nasehat-nasehatnya. Apalagi jika Agung Sedayu sendiri sedang letih atau gelisah, atau perasaan-perasaan lain yang tidak menyenangkan hatinya. Maka mendengarkan nasehat-nasehat Swandaru rasa-rasanya menambah kelelahan jiwanya saja. Setiap kali Agung Sedayu juga merasa bersalah, bahwa ia tidak dapat menunjukkan tataran kemampuannya yang sebenarnya, dibandingkan dengan kemampuan adik seperguruannya. Tetapi rasa-rasanya Agung Sedayu tidak sampai hati untuk menunjukkan kebenaran tentang perbandingan ilmu mereka itu. Meskipun demikian Agung Sedayu menyadari, jika perbandingan ilmunya itu tidak juga segera diketahui oleh adik seperguruannya itu, maka nasehat-nasehat dan petunjuk-petunjuk itu masih akan didengarnya terus. Bahkan sekali-sekali Agung Sedayu itu memang harus mengusap dadanya jika Swandaru itu seakan-akan marah kepadanya, karena Agung Sedayu itu dinilainya malas dan tidak merasa perlu untuk meningkatkan ilmunya. Tetapi setiap kali Agung Sedayu gagal untuk memaksa perasaannya, agar ia menunjukkan kepada Swandaru bahwa ilmunya jauh lebih tinggi dari ilmu adik seperguruannya, yang kebetulan adalah kakak iparnya itu. Demikianlah, sebagaimana diduganya, ketika Agung Sedayu memasuki perkemahan di Prambanan setelah menempuh perjalanan yang melelahkan, ternyata bahwa Untara dan Swandaru masih berada di perkemahan itu. Demikian Agung Sedayu sampai di perkemahan, maka Agung Sedayu pun segera memberikan laporan kepada Untara, apa yang telah dialaminya sepanjang perjalanan. “Kau terluka?“ bertanya Untara kemudian. “Sedikit Kakang,” berkata Agung Sedayu. “Apakah senjata lawanmu itu tidak berbisa?” bertanya Untara kemudian. Agung Sedayu mengangguk kecil. Katanya, “Menurut pemiliknya, senjatanya itu memang sangat berbisa.” Untara mengangguk-angguk. Ia tahu bahwa adiknya memiliki kemampuan untuk menangkal segala macam bisa, bahkan bisa yang paling kuat sekalipun. “Serahkan para tawanan itu kepada kelompok yang bertugas, sementara kau dan prajurit-prajuritmu dapat beristirahat. Orang-orang yang terluka akan segera mendapat perawatan dan pengobatan sebaik-baiknya, sesuai dengan kemampuan yang ada. Besok kalian dapat meneruskan perjalanan kembali ke Mataram.“ Agung Sedayu pun kemudian membawa para prajuritnya untuk beristirahat. Mereka mendapat kesempatan untuk menggeliat setelah beberapa hari mengalami ketegangan dalam tugas. Mereka dapat mandi sepuas-puasnya, tidur dan makan sebanyak-banyaknya. Sabungsari yang juga berada di perkemahan itu sempat menemuinya. Tetapi keduanya tidak dapat lama berbincang-bincang, karena Sabungsari pun harus bertugas. Agung Sedayu yang sedang melepaskan segala ketegangan itu menarik nafas dalam-dalam, ketika Swandaru datang menemuinya. “Aku dengar kau terluka, Kakang?“ bertanya Swandaru. “Siapa yang mengatakan kepadamu?“ Agung Sedayu justru bertanya. “Sabungsari. Baru saja aku bertemu ketika Sabungsari membawa sekelompok prajuritnya keluar perkemahan.” Agung Sedayu menarik nafas. Kepada Sabungsari ia memang mengaku bahwa ia terluka. Tetapi tidak berpengaruh sama sekali. “Bagaimana dengan luka itu?“ bertanya Swandaru pula. Agung Sedayu menunjukkan luka di lengannya sambil berkata, “Segores kecil. Tidak apa-apa.” Swandaru mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berdesis, “Untunglah bahwa senjata lawanmu itu tidak beracun. Jika senjata lawanmu itu termasuk senjata yang baik dengan warangan yang baik pula, maka sentuhan segores kecil itu akan dapat berakibat sangat buruk.” Namun Agung Sedayu menjawab, “Bukankah di dalam kitab Guru disebut, bagaimana kita melawan racun?” “Jika kita kebetulan tidak membawa obat itu?” “Aku selalu membawanya. Obat itu bukan saja dapat kita pergunakan untuk kita sendiri, tetapi juga untuk menolong orang lain yang terkena bisa atau racun,“ jawab Agung Sedayu. “Tetapi ada jenis racun dan bisa yang tidak dapat ditangkal dengan obat apapun kecuali dengan obat penangkalnya, yang khusus dibuat untuk jenis racun itu.” Agung Sedayu mengangguk. Katanya, “Ya. Memang ada.” “Karena itu, maka agaknya lebih baik jika kita tidak terluka sama sekali,“ berkata Swandaru kemudian. “Ya. Ya. Tentu lebih baik,“ sahut Agung Sedayu. “Berkali-kali aku katakan, kita harus berusaha untuk tidak terluka di pertempuran,“ berkata Swandaru dengan bersungguh-sungguh. Agung Sedayu hanya dapat menarik nafas panjang. Ia sudah menduga apa yang akan dikatakan oleh Swandaru itu. Meskipun demikian, Agung Sedayu itu mengangguk-angguk sambil berdesis, “Itu adalah yang terbaik. Tetapi suatu ketika kita dapat bertemu dengan lawan yang berilmu lebih tinggi dari ilmu yang kita miliki. Dalam keadaan yang demikian, bukan saja kita dapat terluka, tetapi kita dapat mati. Kita sudah mendapat banyak contoh bahwa orang berilmu tinggi dapat juga mati di pertempuran. Mungkin kita memiliki kelebihan secara pribadi dengan lawan yang kita temui di medan. Tetapi penguasaan medan, kerja sama di antara kelompok dan perang gelar, akan dapat menjebak kita dalam kesulitan.” “Memang Kakang. Tetapi maksudku, semakin siap kita memasuki medan pertempuran, maka kita akan merasa lebih mantap. Keselamatan kita akan lebih terjamin.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Aku mengerti. Aku sependapat.” Swandaru pun kemudian telah menanyakan apa yang dialami Agung Sedayu sepanjang perjalanannya mengikuti pasukan Pati yang sedang ditarik mundur. “Sebuah pertempuran kecil,“ berkata Agung Sedayu, “justru pada saat kami akan kembali ke Prambanan ini.” Dengan singkat Agung Sedayu menceritakan apa yang telah dialaminya. Ia tidak banyak bercerita tentang lawannya yang berjanggut pendek itu. “Kau masih beruntung Kakang,“ berkata Swandaru, “orang-orang yang mencegatmu agaknya merasa diri mereka berkemampuan sangat tinggi. Namun ternyata kemampuan mereka tidak lebih dari kemampuan para prajurit Mataram dan para pengawal Sangkal Putung. Barangkali juga para pengawal Tanah Perdikan. Bahkan pemimpinnya tidak mampu menilai pasukan yang sedang dihadapinya.” “Agaknya memang demikian,“ berkata Agung Sedayu. “Baiklah, Kakang. Bukankah sekarang kau mendapat kesempatan untuk beristirahat? Beristirahatlah. Kapan Kakang akan kembali ke Tanah Perdikan? Jika Kakang mempunyai kesempatan, aku minta Kakang singgah barang sehari di Sangkal Putung.” Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Besok aku akan kembali ke Mataram. Mungkin pada kesempatan lain saja aku singgah di Sangkal Putung.” “Besok?“ bertanya Swandaru, “Begitu cepat? Bukankah pasukan kecil Kakang itu perlu beristirahat?” “Kakang Untara menganggap bahwa waktu istirahat sampai esok sudah cukup. Kami akan mendapat kesepatan berisirahat lebih lama. Atau bahkan kesempatan beristirahat itu kami dapatkan setelah kami berada di Tanah Perdikan Menoreh.” Swandaru mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Aku akan meninggalkan perkemahan ini bersama pasukan Kakang Untara.” “Kapan?“ bertanya Agung Sedayu. Swandaru menggeleng. Katanya, “Aku belum tahu, Kakang. Tetapi Kakang Untara telah memerintahkan kepadaku, bahwa pasukan pengawal Kademangan Sangkal Putung yang masih ada di pesanggrahan ini akan meninggalkan pesanggrahan bersama pasukan Mataram yang ada di Jati Anom. Yang kemudian akan ditinggalkan di pesanggrahan ini sampai waktunya pesanggrahan ini dibongkar adalah sekelompok prajurit saja.” “Tetapi aku kira memang sudah tidak akan lama lagi. Pesanggrahan ini agaknya memang akan dibongkar. Demikian pula bekas pesanggrahan Kanjeng Adipati Pati.” “Ya. Pesanggrahan itu sekarang ditunggui pula oleh sekelompok prajurit Kakang Untara. Agaknya kedua pesanggrahan itu memang akan segera dibongkar.” Demikianlah, Swandaru pun kemudian telah minta diri untuk kembali ke baraknya. Namun sambil melangkah pergi iapun berkata, “Besok sebelum Kakang berangkat aku akan menemui Kakang. Agaknya seisi perkemahan ini akan mengetahui kapan Kakang akan berangkat besok.” Sepeninggal Swandaru, Agung Sedayu menarik nafas panjang. Rasa-rasanya ia sudah meletakkan beban yang cukup berat. Meskipun ia tidak berusaha untuk menghindarinya, tetapi jika beban itu diletakkan, maka dadanya merasa menjadi longgar. Agung Sedayu pun kemudian benar-benar merasa beristirahat, ketika ia berjalan-jalan di luar perkemahan. Beberapa ratus langkah dari perkemahan, Agung Sedayu telah berdiri di atas tanggul Kali Opak. Air Kali Opak memang tidak begitu deras dan tidak pula dalam. Hanya di beberapa tempat saja harus diseberangi dengan rakit. Tetapi ada bagian yang landai, yang untuk menyeberangi Kali Opak harus berjalan di tepian berpasir yang terhitung luas. Untuk beberapa lamanya Agung Sedayu berdiri seorang diri memandangi aliran Kali Opak. Namun kemudian iapun melangkah menelusuri tanggul. Angin bertiup mengusap tubuhnya yang basah oleh keringat, Terasa sentuhan yang segar di kulit wajahnya. Di dataran yang membentang di hadapannya, nampak tanaman di sawah yang rusak terinjak-injak kaki. Ketika prajurit Mataram dan Pati bergerak dalam gelar, maka di sawah itu tidak lagi nampak daun batang padi atau jagung yang hijau segar. Tetapi yang nampak adalah daun pedang dan tombak yang berkilat-kilat memantulkan cahaya matahari. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tanah itu tentu masih membekas darah. Dedaunan yang berserakan terinjak kaki prajurit itu tentu diperciki oleh warna darah yang tumpah. Beberapa saat ia merenung. Sudah beberapa kali ia berada di medan pertempuran atau bertempur seorang melawan seorang. Tetapi setiap kali hatinya masih saja menjadi resah jika ia mengenang tubuh yang berserakan terbujur lintang di medan pertempuran. Kemenangan memang memberikan kebanggaan bagi seorang prajurit. Tetapi apakah kematian dan kehancuran juga memberikan kebanggaan? Sejenak kemudian, Agung Sedayu itu pun melangkah meninggalkan tanggul Kali Opak itu, kembali ke perkemahan. Langkahnya satu-satu, seakan-akan tanpa disadari, karena angan-angannya masih saja tersangkut pada bayangan-bayangan yang mengerikan yang terjadi di peperangan. Di dalam perkemahan, Agung Sedayu mendapat perintah resmi dari Untara, yang mendapat kuasa untuk memimpin semua pasukan yang ada di perkemahan itu, besok saat matahari naik sepenggalah, bersama pasukan kecilnya berangkat kembali ke Mataram. Para tawanan dan orang-orang yang terluka parah saja-lah yang akan tetap tinggal di perkemahan sampai saatnya perkemahan itu dibongkar. Dengan demikian, maka Agung Sedayu pun segera mempersiapkan diri. Ia telah memerintahkan pasukannya pula untuk bersiap. Esok mereka akan berangkat kembali ke Mataram. Karena itu, para prajurit dari Pasukan Khusus itu telah mempergunakan waktu beristirahat mereka sebaik-baiknya. Mereka besok akan menempuh sebuah perjalanan lagi. Meskipun tidak terlalu jauh, tetapi sisa-sisa kelelahan mereka tentu masih akan terasa. Tetapi mereka merasa senang atas perintah itu. Mereka tentu akan segera kembali ke Tanah Perdikan Menoreh, sehingga bergiliran mereka akan mendapat kesempatan untuk mengunjungi keluarga mereka. Demikianlah, ketika saat sudah mendekat di keesokan harinya, Swandaru benar-benar menyempatkan diri menemui Agung Sedayu untuk mengucapkan selamat jalan. Namun iapun masih juga berdesis, “Biarlah kitab Guru ada pada Kakang lebih dahulu. Tetapi aku minta Kakang lebih menekuni bidang kanuragan daripada bidang pengobatan.” “Baiklah. Aku akan mencoba,“ jawab Agung Sedayu. “Jangan sekedar mencoba,“ sahut Swandaru. Agung Sedayu termangu-mangu sejenak, sementara Swandaru berkata, “Kakang harus bersungguh-sungguh. Jika Kakang sekedar mencoba, maka hasilnya tidak akan pernah menjadi baik.” Agung Sedayu mengangguk-angguk sambil berdesis, “Ya. Aku memang harus bersungguh-sungguh.” Swandaru melihat kesungguhan di wajah kakak seperguruannya itu. Namun kemudian iapun berkata, “Selamat jalan Kakang. Pada kesempatan lain aku akan pergi ke Tanah Perdikan. Tetapi jika Kakang sempat, justru karena persoalan antara Mataram dan Pati telah selesai, kami berharap Kakang dan Sekar Mirah dapat mengunjungi Sangkal Putung.” “Baiklah,“ Agung Sedayu mengangguk angguk, “kami akan memerlukan datang ke Sangkal Putung. Sekar Mirah tentu akan senang menengok keluarga yang sudah agak lama tidak bertemu.” Demikianlah, beberapa saat kemudian para prajurit dari Pasukan Khusus yang dipimpin oleh Agung Sedayu itu pun sudah mulai bergerak meninggalkan perkemahan, yang tidak lama lagi akan dibongkar sebagaimana pesanggrahan pasukan Pati. Sambil melepas para prajurit dari Pasukan Khusus yang dipimpin oleh Agung Sedayu itu, Untara sempat berpesan, “Hati-hatilah Agung Sedayu. Mungkin masih ada orang yang akan memburumu sampai ke Tanah Perdikan. Keluarga orang berjanggut pendek yang kau bunuh itu atau saudara-saudara seperguruannya akan dapat mendendammu, justru karena pertempuran itu terjadi di luar arena perang antara Mataram dan Pati.” Agung Sedayu mengangguk angguk sambil menjawab, “Ya, Kakang. Aku akan berhati-hati.” “Kau harus segera melaporkan diri kepada Ki Tumenggung Yudapamungkas, atau langsung ke Ki Patih Mandaraka jika kau dapat menghadap.” “Ya, Kakang,“ jawab Agung Sedayu. Demikianlah, sejenak kemudian ketika matahari memanjat semakin tinggi, Pasukan Khusus itu berjalan beriringan menuju ke Mataram. Jalan yang dilalui oleh pasukan kecil itu masih nampak sepi. Gema perang yang terjadi di Prambanan masih belum hilang, sehingga masih banyak orang yang tidak berani turun ke jalan. Bahkan padukuhan-padukuhan di sebelah-menyebelah jalan itu masih nampak lengang. Orang-orang padukuhan yang dekat degan jalan itu memang ada yang mengungsi menjauh. Jika pasukan Pati mampu menembus pertahanan Mataram di Prambanan, maka jalan itu akan dilalui oleh pasukan Pati segelar-sepapan, sehingga nasib orang yang tinggal di sebelah-menyebelah jalan itu akan dapat menjadi sangat buruk. Perjalanan dari Prambanan ke Mataram memang merupakan jalan yang cukup panjang. Namun karena perjalanan yang mereka tempuh bukan jalan yang rawan, maka rasa-rasanya perjalanan itu tidak melelahkan. Meskipun demikian, ketika matahari sampai ke puncak langit, terasa betapa panasnya membakar ubun-ubun. Di sore hari, pasukan kecil itu mendekati gerbang kota. Pasukan kecil itu mulai mengatur diri dan menyusun barisan sebaik-baiknya. Ciri-ciri khusus Pasukan Khusus itu pun telah dipasang. Kelebet berujung runcing telah dipasang pada tunggulnya. Agung Sedayu tidak menduga bahwa pasukan kecilnya mendapat sambutan yang memberikan kebanggaan di setiap dada para prajuritnya. Agaknya di Mataram telah tersiar berita, bahwa Pasukan Khusus yang baraknya berada di Tanah Perdikan Menoreh dan dipimpin oleh Agung Sedayu itu termasuk salah satu di antara beberapa kelompok pasukan Mataram yang terbaik. Karena itu, Pasukan Khusus itu pula-lah yang mendapat perintah untuk mengikuti gerak mundur pasukan Pati sampai ke sebelah utara Pegunungan Kendeng. Orang-orang yang tinggal di Kotaraja, yang mendengar berita kehadiran Pasukan Khusus itu, telah turun ke jalan, memberikan penghormatan dan bahkan terdengar mereka bersorak untuk menyatakan kekaguman mereka. Agung Sedayu memang menjadi berdebar-debar. Jantungnya terasa berdentang lebih cepat dan lebih keras daripada saat ia memasuki perang gelar melawan Pati. Bahkan saat ia berada di sisi Panembahan Senapati sebagai Senapati Pengapitnya. Kakinya merasa menjadi berat, demikian pula para prajurit. Mereka seakan-akan bergerak sangat lamban meskipun mereka sudah berjalan cepat. Namun jalan menjadi terhambat oleh orang-orang yang ingin menyaksikan para prajurit dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh itu. Di Mataram, para prajurit itu langsung menuju ke alun-alun. Dua orang penghubung telah menghubungi Tumenggung Yudapamungkas. Sebelum matahari turun ke punggung bukit, pasukan itu telah memasuki sebuah barak yang memang sudah disediakan. Ki Tumenggung Yudapamungkas sendiri yang menerima pasukan kecil itu dan kemudian langsung menerima laporan dari Agung Sedayu. “Kalian dapat beristirahat di sini sampai besok lusa,“ berkata Ki Tumenggung, “selanjutnya, kalian tentu ingin segera pulang ke barak kalian di Tanah Perdikan Menoreh, untuk selanjutnya menunggu giliran pulang menemui keluarga.” Demikianlah, para prajurit itu telah beristirahat sebaik-baiknya di barak itu. Di keesokan harinya, Ki Patih Mandaraka telah datang bukan saja menemui Agung Sedayu, tetapi Ki Mandaraka berniat menemui seluruh prajurit dari Pasukan Khusus itu untuk menyatakan terima kasihnya. “Kalian akan mendapat kesempatan cukup untuk bergantian mengunjungi keluarga kalian,“ berkata Ki Patih Mandaraka. Namun kebanggaan para prajurit semakin bertambah-tambah ketika Ki Patih Mandaraka berkata, “Nanti malam, Panembahan Senapati berkenan untuk mengunjungi kalian.” Sebenarnyalah, ketika malam turun, sekelompok pasukan Pengawal Istana telah datang ke barak itu ,mempersiapkan kedatangan Panembahan Senapati di barak itu. Para prajurit dari Pasukan Khusus itu menjadi sangat berbesar hati ketika Panembahan Senapati sendiri langsung mengucapkan terima kasih kepada mereka. Panembahan Senapati juga menyatakan bela sungkawa, bahwa beberapa orang terbaik di antara mereka terpaksa ditinggalkan dan diserahkan ke pangkuan bumi. “Mataram berhutang budi kepada kalian. Juga kepada para keluarga yang ditinggalkan oleh mereka yang gugur di medan,“ berkata Panembahan Senapati kemudian. Lalu katanya pula, “Tidak seorangpun di bumi Mataram yang menginginkan terjadinya perang. Tetapi perang itu ternyata tidak dapat kita elakkan dengan penuh kesadaran bahwa perang itu akan menimbulkan bencana. Tetapi jika kita tidak memaksa diri untuk perang, maka bencana yang akan menimpa Mataram menjadi jauh lebih besar. Karena itu, maka kita terpaksa memilih sesuatu yang sangat kita benci, yaitu perang.” Jantung para prajurit itu memang tergetar. Mereka memang tidak dapat menyingkir dari peperangan. Bukan karena para prajurit Mataram itu selalu bermimpi untuk membunuh. Panembahan Senapati memang tidak lama berada di barak itu. Beberapa saat kemudian Panembahan Senapati langsung meninggalkan barak itu di atas punggung kudanya, dikawal oleh beberapa kelompok pasukan Pengawal Istana, pasukan pilihan di antara prajurit terbaik Mataram. Namun kebanggaan para prajurit dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh tidak kalah dari kebanggaan para prajurit dari pasukan Pengawal Istana itu. Di keesokan harinya, Ki Tumenggung Yudapamungkas telah melepas para prajurit dari Pasukan Khusus itu untuk kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Untuk selanjutnya, bergantian para prajurit itu akan mendapat kesempatan untuk menengok keluarga mereka masing-masing untuk waktu yang terhitung panjang. “Tetapi dengan demikian, kalian harus berbicara dengan para pengawal Tanah Perdikan, yang sebagian juga turut mempertahankan keberadaan Mataram dari serangan prajurit Pati, terutama yang datang dari arah utara,“ pesan Ki Tumenggung Yudapamungkas, “namun mereka telah mendapat kesempatan untuk mendahului kembali ke Tanah Perdikan. Pada saat para prajurit bergantian meninggalkan barak, para pengawal harus berada dalam kesiagaan yang tinggi. Banyak kemungkinan dapat terjadi. Mungkin ada sekelompok orang yang mempergunakan kesempatan untuk mencari keuntungan bagi mereka sendiri. Tetapi mungkin sekelompok orang yang membawa dendam ke Tanah Perdikan Menoreh.” Demikianlah, para prajurit dari Pasukan Khusus itu pun telah meninggalkan barak tempat tinggal dan landasan segala kegiatan mereka. Di situ pula mereka telah ditempa oleh Agung Sedayu, sehingga mereka benar-benar menjadi prajurit pilihan yang mendapat kehormatan langsung dari Panembahan Senapati sendiri, sehingga kedudukan mereka setingkat dengan kesatuan-kesatuan terbaik di Mataram. Di sepanjang perjalanan, iring-iringan itu memang menarik perhatian. Orang-orang padukuhan-padukuhan sepanjang jalan menuju ke Tanah Perdikan melihat kesatuan kecil itu dengan bangga. Satu dua orang yang mengetahui bahwa pasukan itu adalah Pasukan Khusus yang ada di Tanah Perdikan Menoreh, telah memberitahu tetangga-tetangga mereka. “Pasukan itu baru pulang dari Prambanan. Mereka telah berhasil mengusir pasukan dari Pati,“ berkata seseorang dengan bangga, seakan-akan dirinya sendiri-lah yang telah memenangkan perang itu. Ketika mereka menyeberang Kali Praga dengan beberapa buah rakit yang harus mondar-mandir, tukang-tukang rakit itu tidak mau menerima upah yang seharusnya memang menjadi hak mereka, karena mereka itu merasa bangga atas pasukan itu. “Cerita tentang Pasukan Khusus di Tanah Perdikan itu sudah lewat mendahului pasukan ini sendiri,“ berkata salah seorang dari tukang satang itu. “Ah, tidak ada yang pantas dipuji,“ desis salah seorang pemimpin kelompok. “Kemarin orang-orang yang menyeberang mengatakan bahwa Pasukan Khusus di Tanah Perdikan Menoreh sudah berada di Kotaraja. Mereka akan segera menuju ke Tanah Perdikan,“ sahut tukang satang itu. Pemimpin kelompok itu tertawa. Katanya, “Terima kasih atas pujian itu.” “Kami mengatakan sebagaimana dikatakan orang tentang Pasukan Khusus ini,“ berkata tukang satang yang lain. Para prajurit yang mendengar pujian itu pun tertawa. Namun mereka tidak dapat melupakan bahwa sebagian dari mereka harus tertinggal di perjalanan kembali ke Prambanan dari menjalankan tugas yang cukup berat. Agung Sedayu yang memimpin pasukan itu tidak sampai hati untuk benar-benar tidak membayar upah para tukang satang yang sudah bekerja keras itu. Meskipun semula tukang-tukang satang itu menolak, namun Agung Sedayu berkata, “Ki Sanak. Uang ini bukan uangku pribadi. Kami sudah mendapat biaya penyeberangan ini. Uang ini kami terima dari pimpinan kami di Mataram. Jadi uang ini berasal dari Ki Sanak pula. Bukankah Ki Sanak setiap kali telah dipungut pajak?” Akhirnya tukang-tukang satang itu menerima juga. Berkali-kali mereka mengucapkan terima kasih kepada Agung Sedayu dan para prajurit dari Pasukan Khusus itu. Ketika para prajurit dari Pasukan Khusus itu memasuki Tanah Perdikan Menoreh, mereka melihat bahwa perang yang terjadi di Prambanan itu hampir tidak ada pengaruhnya. Kehidupan di Tanah Perdikan itu berjalan seperti biasa. Kesibukan orang yang bekerja sehari-hari. Jalan-jalan yang tidak menjadi sepi. Namun Agung Sedayu mengetahui bahwa beberapa saat yang lalu, ketika pasukan pengawal Tanah Perdikan kembali dari Mataram, air mata pun telah menitik. Beberapa orang anak muda terbaik dari Tanah Perdikan ini telah gugur di medan pertempuran. Para prajurit dari Pasukan Khusus itu tidak mendapat sambutan yang berlebihan ketika mereka kembali memasuki barak mereka. Tetapi Ki Gede Menoreh, Prastawa, Glagah Putih dan beberapa orang bebahu Tanah Perdikan sudah menunggu. Mereka memang sudah mendapat pemberitahuan lebih dahulu, bahwa hari itu para prajurit dari Pasukan Khusus itu akan kembali ke barak. Upacara pun hanya berlangsung seperlunya. Kemudian, Ki Gede Menoreh sebagai Kepala Tanah Perdikan telah mempersiapkan penyambutan kedatangan para prajurit itu dengan acara makan bersama. Dengan bekerja bersama para prajurit yang bertugas di dapur, Tanah Perdikan Menoreh telah menyiapkan hidangan khusus untuk menyambut kedatangan para prajurit dari medan tugas mereka. Meskipun tidak berlebihan, tetapi sambutan itu memberikan kegembiraan bagi para prajurit yang baru saja menempuh perjalanan itu. Memang bukan perjalanan yang panjang. Tetapi sisa-sisa kelelahan yang masih melekat di dalam diri mereka masing-masing, menjadi sedikit terobati dengan sambutan yang menggembirakan itu. Demikianlah, para prajurit dari Pasukan Khusus itu merasa telah berada di rumah mereka kembali. Sementara itu, mereka pun mulai menunggu giliran untuk dapat pulang mengunjungi keluarga mereka. Hari itu Agung Sedayu sendiri juga belum pulang ke rumahnya. Bersama para pemimpin kelompok, Agung Sedayu telah mempersiapkan susunan giliran bagi para prajuritnya yang baru pulang dari medan perang, untuk beristirahat bersama keluarga mereka masing-masing. Baru di hari berikutnya. Agung Sedayu pulang dari barak Pasukan Khususnya. Keluarga Agung Sedayu tiba-tiba telah menjadi cerah. Seperti lampu yang semula kekurangan minyak, tiba-tiba telah dituang lagi sampai penuh. Bukan saja istrinya, Sekar Mirah, yang menyambut kedatangan Agung Sedayu, tetapi juga Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Rara Wulan. Bahkan juga Wacana dan istrinya, Kanthi, yang khusus datang untuk mengucapkan selamat kepada Agung Sedayu. Agung Sedayu yang baru saja menjalankan tugasnya yang berat itu, rasa-rasanya telah mendapat kesempatan untuk meletakkan segala macam beban di pundaknya. Ia benar-benar merasa lepas dari segala ikatan tanggung jawab dalam tugasnya. Hari itu, Sekar Mirah dan Rara Wulan menjadi sibuk di dapur. Glagah Putih telah memotong tidak hanya seekor ayam. Tetapi untuk menjamu tamu-tamunya yang berdatangan, maka Glagah Putih telah memotong beberapa ekor ayam. Di hari berikutnya, Agung Sedayu masih juga beristirahat di rumah. Ia sengaja tidak pergi ke barak, sebagaimana sudah diberitahukannya kepada para pembantunya. Para pembantunya-lah yang kemudian mengatur pelaksanaan pemberian waktu beristirahat bagi para prajuritnya. Tetapi ternyata Agung Sedayu tidak sempat menikmati waktu istirahatnya sampai tuntas sebagaimana direncanakannya. Ketika kemudian matahari condong di sisi barat langit, dua orang perwira prajurit Pengawal Istana, diantar oleh Ki Lurah Branjangan, telah datang ke rumah Agung Sedayu. Dengan jantung berdebar-debar Agung Sedayu mempersilahkan tamu-tamunya untuk naik ke pendapa dan kemudian duduk di pringgitan. Setelah mempertanyakan keselamatan perjalanan mereka, maka Agung Sedayu pun berkata, “Kedatangan Ki Lurah Branjangan serta Ki Sanak berdua telah mengejutkan aku.” “Aku hanya akan bertemu dengan Wulan saja, sekaligus menunjukkan jalan kedua orang perwira dari pasukan Pengawal Istana yang ingin menemui Ki Lurah Agung Sedayu, yang tidak berada di barak karena sedang beristirahat.” “Kami memang mempunyai keperluan dengan Ki Lurah,“ berkata salah seorang dari kedua orang perwira itu. Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil, sementara salah seorang tamunya itu berkata, “Kami membawa perintah langsung dari Panembahan Senapati bagi Ki Lurah Agung Sedayu.” Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Perintah apakah yang harus aku jalankan?” “Ki Lurah dipanggil menghadap. Ki Lurah melaporkan dari kepada Ki Patih Mandaraka, kemudian Ki Lurah akan dibawa manghadap oleh Ki Patih.” “Apakah yang harus aku lakukan kemudian?” bertanya Agung Sedayu di luar sadarnya. “Kami tidak mengetahuinya Ki Lurah. Kami hanya mendapat perintah untuk memanggil Ki Lurah. Besok sebelum matahari terbenam, Ki Lurah harus sudah berada di Kepatihan.” Demikianlah, setelah mendapat hidangan minum dan makan, kedua orang perwira dari Pasukan Pengawal Istana itu minta diri untuk kembali ke Mataram. “Kami tidak singgah di barak, Ki Lurah Branjangan.” “Silahkan. Aku juga masih akan berada di sini. Bahkan mungkin sampai besok. Cucuku ada di sini,“ jawab Ki Lurah Branjangan. Sepeninggal kedua orang prajurit dari pasukan Pengawal Istana itu, Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Di luar sadarnya ia memandang Sekar Mirah. Wajah Sekar Mirah yang baru saja menjadi terang itu redup kembali. Tetapi tidak terlalu lama. Sejenak kemudian iapun telah tersenyum kembali sambil mempersilahkan Ki Lurah Branjangan, “Marilah Ki Lurah. Silahkan melanjutkan menikmati hidangan seadanya ini.” Namun dalam pada itu. Agung Sedayu menangkap getar perasaan Sekar Mirah yang hanya sesaat itu. Sekar Mirah tentu merasa kecewa, bahwa demikian suaminya pulang, telah datang perintah kepadanya untuk tugas-tugas berikutnya. Meskipun mereka belum tahu tugas apa yang akan diemban, tetapi tugas itu tentu termasuk tugas yang penting, karena perintah itu datang langsung dari Panembahan Senapati. Namun justru karena itu, Agung Sedayu telah benar-benar mempergunakan hari-harinya yang pendek itu untuk beristirahat. Bersama Sekar Mirah, mereka sempat mengunjungi Prastawa. Singgah di rumah Ki Gede, dan pergi melihat sawahnya yang ditumbuhi batang-batang padi yang subur. “Aku tidak dapat menghindari perintah, apalagi yang datang langsung dari Panembahan Senapati, Mirah,“ berkata Agung Sedayu. “Aku mengerti, Kakang,“ jawab Sekar Mirah, “tetapi aku akan ikut menjadi bangga, justru karena Kakang mendapat kesempatan untuk melakukan tugas-tugas penting itu.” Agung Sedayu mengangguk kecil. Katanya, “Terima kasih atas pengertianmu Mirah. Aku berharap bahwa pada kesempatan lain, aku akan dapat beristirahat lebih lama lagi.” “Kau sudah cukup memberikan waktumu kepada keluarga, Kakang. Bukankah di hari-hari biasa, kau setiap hari dapat pulang?” “Hari-hari yang benar-benar terlepas dari bayangan tugas-tugas yang melelahkan.” “Tetapi kita sudah memilih untuk tinggal di dalam duniamu sekarang ini Kakang.” “Ya. Dengan pengertian dan doronganmu, mudah-mudahan aku dapat melakukan tugas-tugasku sebaik-baiknya.” Sebenarnyalah Sekar Mirah berusaha untuk mengerti bahwa suaminya bukan harus sekedar memenuhi keinginannya. Justru suaminya selalu berada di dalam bayang-bayang tugasnya sebagai seorang prajurit. Di keesokan harinya, Agung Sedayu harus pergi ke baraknya untuk memberitahukan dengan resmi bahwa hari itu pula ia harus pergi ke Mataram. Karena itu, Agung Sedayu harus membagi dan menyerahkan tugas-tugas kepemimpinannya di barak itu kepada pembantu-pembantunya. Hari itu, Agung Sedayu telah meninggalkan Tanah Perdikan lagi menuju ke Mataram. Dibawanya Glagah Putih besertanya, untuk kawan berbincang di perjalanan. “Kenapa kau tidak membawa satu dua orang pengawal?” bertanya Ki Lurah Branjangan. “Biarlah mereka menikmati saat-saat istirahat mereka,“ jawab Agung Sedayu. Demikianlah, seperti yang diperintahkan kepadanya, sebelum matahari terbenam Agung Sedayu sudah berada di Kepatihan untuk menghadap Ki Patih Mandaraka. Ketika ia menyampaikan permohonan untuk menghadap, Ki Lurah Agung Sedayu itu pun langsung dapat diterima, karena Ki Patih memang sudah menunggu kedatangan Agung Sedayu. “Kita akan langsung menghadap Panembahan Senapati,” berkata Ki Patih kemudian. Namun katanya pula, “Tetapi biarlah adik sepupumu itu menunggumu di sini.” “Baik Ki Patih,“ jawab Agung Sedayu, yang kemudian memberitahukan kepada Glagah Putih agar ia tinggal di Kepatihan. Glagah Putih menyadari bahwa ia tidak berwenang untuk ikut mendengar perintah Panembahan Senapati kepada kakaknya, seorang prajurit. Karena itu maka katanya, “Baik Kakang. Aku akan menunggu Kakang di Kepatihan.” Tetapi ternyata bahwa Glagah Putih telah mengenal beberapa orang abdi dalem Kepatihan, sehingga ia tidak merasa canggung. Ketika Raden Rangga masih ada, Glagah Putih sering berada di Kepatihan itu bersamanya. Setelah Raden Rangga tidak ada, Glagah Putih pun sekali-sekali masih juga berada di Kepatihan untuk tugas-tugas tertentu. Sementara itu, Ki Patih Mandaraka bersama Agung Sedayu telah menghadap langsung Panembahan Senapati. “Ada tugas yang penting, Agung Sedayu,“ berkata Panembahan Senapati kemudian. “Hamba Panembahan,“ sahut Agung Sedayu. “Aku tidak dapat mempercayakannya kepada orang lain. Apalagi adik-adikku. Beberapa orang Pangeran telah dikenal baik oleh orang-orang Pati,“ berkata Panembahan Senapati kemudian. Jantung Agung Sedayu menjadi berdebar. Ia sudah dapat menduga, tugas apa yang akan dibebankan kepadanya. Sebenarnyalah Panembahan Senapati itu pun berkata, “Agung Sedayu. Menurut laporan beberapa orang yang belum dapat dipastikan kebenarannya, Adimas Adipati bukan hanya menarik pasukannya sampai ke sebelah utara pegunungan Kendeng, tetapi justru telah berada di Pati. Tetapi kekalahannya yang terjadi di Prambanan tidak membuatnya jera. Adimas Pragola dari Pati justru menyusun kekuatan kembali untuk menghantam Mataram.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Perintah yang bakal diterima menjadi semakin terang di angan-angannya. Satu perjalanan jauh harus ditempuhnya. Sebenarnyalah Panemahan Senapati itu pun berkata, “Agung Sedayu. Aku ingin kau pergi ke Pati untuk memastikan, apakah benar Adimas Adipati Pragola telah menyusun kekuatan kembali. Aku minta kau dalam waktu yang tidak terlalu lama dapat memberikan laporan. Aku minta kau berada di Pati untuk beberapa hari. Sudah tentu kau tidak perlu sendiri. Kau dapat membawa kawan untuk berbincang di perjalanan. Aku tidak menunjuk siapakah yang akan kau bawa. Terserah kepadamu. Atau seandainya kau tidak mau seorang kawan pun yang justru akan dapat mengganggumu.” Agung Sedayu mengangguk hormat sambil menjawab, “Hamba akan menjalankan segala perintah Panembahan.” “Kau tidak perlu berangkat besok. Mungkin kau masih ingin beristirahat satu dua hari lagi.“ “Terima kasih Panembahan. Jika demikian hamba masih dapat pulang dan bermalam satu malam di rumah hamba.” “Tentu,” jawab Panembahan Senapati, “selanjutnya, kau dapat memilih kawan. Prajurit atau bukan prajurit.” “Apakah hamba boleh membawa Glagah Putih bersama hamba?” bertanya Agung Sedayu. “Tentu. Aku juga sudah tahu tataran ilmu anak itu. Jauh lebih tinggi dari kewajaran anak-anak muda. Apalagi yang seumurnya,“ jawab Panembahan Senapati. “Ampun Panembahan. Glagah Putih tidak mempunyai kelebihan apa-apa selain kenakalannya,“ berkata Agung Sedayu agak ragu. Tetapi Panembahan Senapati itu pun berkata, “Kau pun tentu akan mengatakan bahwa kau pun tidak mempunyai kelebihan apa-apa, meskipun kau tentu tidak akan lupa bahwa kita pernah menjadi pengembara bersama.” Agung Sedayu yang tersenyum itu tidak menjawab, sementara Panembahan Senapati bertanya kepada Ki Patih, “Bagaimana pendapat Paman Mandaraka?” Ki Patih Mandaraka pun tertawa pula. Katanya, “Aku sependapat dengan Angger Panembahan. Ki Lurah Agung Sedayu yang tidak mempunyai kelebihan apa-apa itu biarlah pergi ke Pati untuk melihat apa yang sekarang ini berkembang di Pati, dalam hubungannya dengan cerita beberapa orang petualang bahwa Pati yang gagal menyerang Mataram itu telah mempersiapkan kekuatan baru untuk menentang Mataram.” Agung Sedayu hanya dapat menundukkan kepalanya, sementara Panembahan Senapati dan Ki Patih Mandaraka masih saja tertawa. Demikianlah, beberapa saat kemudian setelah memberikan beberapa pesan lagi, Panembahan Senapati pun telah memperkenankan Agung Sedayu meninggalkan istana. “Jika kau akan berangkat ke Pati, kau sudah tidak perlu menemui aku lagi, Agung Sedayu. Pesanku sudah cukup banyak, dan kau pun sudah mengetahui apa yang sebaiknya kau kerjakan.” “Hamba Panembahan,“ jawab Agung Sedayu sambil mengangguk hormat. “Nah, selamat malam. Aku kira kau akan bermalam di Kepatihan,“ berkata Panembahan Senapati kemudian. “Hamba Panembahan, jika Ki Patih Mandaraka memperkenankan.” “Ia datang bersama adik sepupunya,“ berkata Ki Patih. “Maksud Paman. Agung Sedayu datang bersama Glagah Putih?” “Ya, Ngger.” “Kenapa anak itu tidak kau ajak kemari?“ bertanya Panembahan Senapati kepada Agung Sedayu. Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Ki Patih-lah yang menjawab, “Aku minta Glagah Putih tinggal di Kepatihan.” Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Katanya, “Biarlah Agung Sedayu yang memberitahukan kepadanya.” Demikianlah, Ki Patih Mandaraka pun telah mohon diri bersama Agung Sedayu meninggalkan istana untuk pergi ke Kepatihan, karena Agung Sedayu dan Glagah Putih akan bermalam di sana. Di Kepatihan, Agung Sedayu masih mendapat beberapa pesan dari Ki Patih Mandaraka. Bukan saja sebagai Patih di Mataram, tetapi juga sebagai orang tua. “Kau jangan merasa berkecil hati bahwa kau telah ditunjuk untuk menjalankan tugas ini, Agung Sedayu,“ berkata Ki Patih Mandaraka. “Tidak Ki Patih, Kami berdua tentu akan merasa bangga jika kami dapat menjalankan tugas ini dengan baik.” “Jika tiba-tiba saja kau yang teringat oleh Angger Panembahan Senapati untuk menjalankan tugas ini, justru kau adalah terhitung orang terakhir yang menjalankan tugas yang berat untuk mengikuti gerak mundur Pasukan Pati. Itu adalah karena Panembahan Senapati tidak dapat melupakan kau selama pengembaraanmu bersamanya, sebagaimana Panembahan Senapati mempercayaimu untuk menjadi Senapati Pengapitnya. Bagi Panembahan Senapati, kau adalah orang yang khusus. Meskipun kedudukanmu tidak lebih dari seorang Lurah prajurit, tetapi ternyata kau mendapat kepercayaan yang sangat besar dari Panembahan Senapati.” “Satu kebanggaan tersendiri, Ki Patih,“ desis Agung Sedayu. Ki Patih Mandaraka tersenyum. Kemudian katanya, “Nah, sudahlah. Kita akan makan bersama. Kemudian kau dan Glagah Putih dapat beristirahat di bilik yang telah disediakan bagi kalian berdua.” Agung Sedayu, apalagi Glagah Putih, memang merasa canggung untuk makan bersama Ki Patih Mandaraka. Tetapi Ki Patih telah memerintahkannya. Malam itu, di dalam bilik yang sudah disiapkan bagi mereka, Agung Sedayu telah menceritakan perintah Panembahan Senapati itu kepada Glagah Putih. Kemudian Agung Sedayu pun telah memberitahukan pula, bahwa Agung Sedayu diperkenankan mengajak Glagah Putih untuk menjalankan tugas itu. Ternyata Glagah Putih menjadi gembira atas kesempatan itu. Katanya, “Terima kasih Kakang. Dengan demikian maka pengalamanku akan bertambah.” “Besok lusa kita berangkat. Apakah kau akan singgah di Jati Anom untuk bertemu dengan Paman Widura?” “Baik Kakang. Kita akan singgah, jika itu tidak menghambat perjalanan kita,“ jawab Glagah Putih. “Apakah Kakang juga akan singgah di Jati Anom?“ bertanya Glagah Putih kemudian. “Tentu. Jika kau singgah, aku pun akan singgah.” “Maksudku, menemui Kakang Untara. Atau bahkan singgah di Sangkal Putung?” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dalam kesibukan tugas dan ketegangan yang masih dialaminya dalam tugas-tugas barunya, Agung Sedayu rasa-rasanya masih belum ingin bertemu dengan Swandaru. Karena itu, meskipun ia tidak tahu apakah Swandaru masih berada di bekas perkemahan pasukan Mataram atau tidak, maka iapun menjawab, “Swandaru masih berada di perkemahan bersama Kakang Untara. Mereka bertugas sampai perkemahan itu dibongkar. Juga perkemahan orang-orang Pati.” Glagah Putih tidak menjawab. Ia hanya mengangguk-angguk saja. Sebenarnyalah bahwa Glagah Putih pun merasa segan untuk bertemu dengan Swandaru, meskipun Swandaru tidak pernah menilainya sebagaimana ia menilai kemampuan Agung Sedayu. Malam itu ternyata Glagah Putih tidak segera dapat tidur. Ia masih saja memikirkan tugas yang dibebankan kepada Agung Sedayu, dan yang kemudian melimpah pula kepadanya. Ia merasa bangga, bahwa Panembahan Senapati memberikan ijin langsung ketika Agung Sedayu menyebut namanya untuk menyertai tugasnya yang berat itu, meskipun ia bukan seorang prajurit. Namun akhirnya, Glagah Putih pun telah terlelap pula. Pagi-pagi keduanya sudah bangun dan berbenah diri. Kemudian, ketika matahari terbit, keduanya bermaksud mohon diri untuk segera berangkat kembali ke Tanah Perdikan. Tetapi Ki Patih Mandaraka masih mempersilahkan keduanya untuk makan pagi. Selagi mereka makan, Ki Patih masih sempat bertanya kepada Glagah Putih, “Apakah ikat pinggang itu masih ada padamu?” Glagah Putih menyingkapkan bajunya sambil berkata, “Tentu, Ki Patih.” Ki Patih tersenyum. Katanya, “Bagus. Semakin lama ikat pinggang itu akan menjadi semakin akrab denganmu.” “Ya, Ki Patih,“ jawab Glagah Putih sambil mengangguk-angguk kecil. Beberapa saat kemudian, Agung Sedayu dan Glagah Putih pun telah meninggalkan Kepatihan. Keduanya pun kemudian melarikan kuda mereka di sepanjang jalan kota, meskipun tidak terlalu kencang. Baru kemudian, ketika mereka keluar dari pintu gerbang, keduanya telah melecut kuda mereka, sehingga sejenak kemudian kuda-kuda itu telah berderap semakin cepat. Angin yang sejuk terasa mengusap wajah-wajah mereka. Di langit, selembar awan terapung hanyut ke arah Gunung Merapi. Pepohonan di sebelah-menyebelah jalan seakan-akan terbang ke belakang, sementara pematang sawah bagaikan berputar bersama padukuhan-padukuhan di tengah-tengah bulak persawahan yang luas. Orang-orang yang berpapasan, dengan cepat berusaha menepi. Ketika matahari naik semakin tinggi, keduanya telah sampai ke tepian Kali Praga. Keduanya pun langsung membawa kuda mereka naik ke atas sebuah rakit yang cukup besar, bersama beberapa orang penumpang yang lain. Setiap kali kuda Glagah Putih yang besar dan tegar itu masih saja menarik perhatian banyak orang. Seorang pedagang yang nampaknya cukup berhasil telah menanyakan dari mana Glagah Putih mendapatkan kuda itu. “Dari seorang sahabat, Ki Sanak. Sahabatku memiliki beberapa ekor kuda yang baik. Ia telah memberikan kepadaku seekor,“ jawab Glagah Putih. “Jika ada orang yang menjual kuda sebaik itu, aku mau membeli dengan harga berapapun juga,“ berkata orang itu. Glagah Putih mengetahui maksudnya. Tetapi ia sama sekali tidak menanggapinya. Namun orang itu kemudian berkata selanjutnya, “Apakah kau tidak ingin menukarkan kudamu, Ki Sanak? Jika kau sudah terlalu lama memiliki dan barangkali sudah menjadi jemu.” Tetapi Glagah Putih tersenyum sambil menjawab, “Tidak Ki Sanak. Aku tidak merasa jemu dengan kudaku ini.” Tiba-tiba saja Agung Sedayu-lah yang menyahut, “Barangkali Ki Sanak juga tertarik pada kudaku? Aku-lah yang sudah merasa jemu dengan kudaku. Aku ingin menggantinya dengan kuda setegar kuda adikku itu.” Orang itu mengerutkan keningnya. Sambil memandang kuda Agung Sedayu ia berkata, “Kudamu biasa-biasa saja Ki Sanak.” Agung Sedayu tertawa. Katanya, “Justru karena itu, aku ingin kuda yang tidak bisa.” Pedagang itupun tertawa pula. Demikianlah, rakit mereka pun bergerak semakin dekat dengan tepian di seberang. Pedagang itu tidak habis-habisnya mengagumi kuda Glagah Putih. Ketika kemudian mereka turun selelah membayar upah penyeberangan, pedagang itu masih juga berkata, “Jika kapan-kapan kau menjadi jemu dengan kudamu, katakan kepadaku, Ki Sanak.” “Kemana aku mencari Ki Sanak?“ berkata Glagah Putih. “Aku tinggal di padukuhan Karang Gayam, Kademangan Kleringan, Ki Sanak. Namaku Wirakerti.” “Jadi Ki Sanak orang Kleringan?” bertanya Glagah Putih dengan nada tinggi. “Ya. Apakah kalian pernah pergi ke Kleringan?“ bertanya orang itu. “Aku orang Tanah Perdikan Menoreh. Aku banyak mengenal orang-orang Kleringan. Aku juga mengenal Ki Demang,“ jawab Glagah Putih. “O,” pedagang itu mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Syukurlah jika demikian. Datang saja ke rumahku meskipun kau tidak ingin mejual kudamu. Aku sudah merasa senang mendapat kesempatan mengamatinya.” “Terima kasih, Ki Sanak,“ jawab Glagah Putih. Namun mereka pun kemudian berpisah. Glagah Putih dan Agung Sedayu mengambil jalan yang langsung menuju ke padukuhan induk Tanah perdikan, sementara orang itu menuju ke Kleringan. Dalam pada itu, Glagah Putih dan Agung Sedayu telah berpacu kembali menuju ke padukuhan induk. Ketika mereka sampai di rumah, ternyata Ki Lurah Branjangan masih ada di rumah itu pula. Setelah beristirahat sejenak sambil minum-minuman hangat, Sekar Mirah yang segera ingin mengetahui tugas apa yang harus diemban oleh suaminya telah bertanya, “Perintah apakah yang Kakang terima dari Panembahan Senapati?” Agung Sedayu pun telah menceritakan dengan singkat tugas yang harus dilakukannya. Ia memilih berangkat bersama Glagah Putih daripada mengajak satu dua orang prajurit dari Pasukan Khususnya, yang sedang menikmati masa-masa istirahat mereka. “Jadi Kakang Glagah Putih akan ikut bersama Kakang Agung Sedayu dalam tugas ini?“ bertanya Rara Wulan “Ya. Ia akan pergi bersamaku untuk beberapa hari lamanya.“ “Tetapi Kakang harus membawanya pulang seutuhnya,“ berkata Rara Wulan. Agung Sedayu tersenyum. Tetapi ia masih bertanya, “Apa yang kau maksudkan? Apakah aku harus membawanya pulang tanpa cacat, tanpa segores luka pun di tubuhnya, atau aku harus membawanya pulang dengan hatinya yang masih utuh tanpa dilukai oleh gadis-gadis Pati?” “Ah, Kakang. Pokoknya utuh semuanya,“ jawab Rara Wulan. Yang mendengar jawaban itu tertawa. Wajah Rara Wulan tiba-tiba saja menjadi panas. Sambil menundukkan kepalanya ia berdesah beberapa kali. “Jangan cemas, Wulan,“ berkata Agung Sedayu kemudian, “aku akan membawanya pulang dengan tanpa cacat. Tubuh dan hatinya.” Rara Wulan masih saja berdesah. Tetapi bahwa Agung Sedayu masih mempunyai waktu satu dua hari sebelum berangkat, telah membuat Sekar Mirah agak terhibur. Ia masih sempat berbincang panjang dengan suaminya, yang baru saja pulang dari medan perang dengan mempertaruhkan jiwanya. Namun Sekar Mirah pun menyadari bahwa tugas yang diemban oleh Agung Sedayu itu pun bukan tugas yang ringan. Ia akan berada di tempat yang asing dalam tugas sandi. Namun akhirnya, sampai pula saatnya Agung Sedayu dan Glagah Putih harus berangkat meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Mereka masih akan singgah di sebuah padepokan kecil yang ditinggalkan oleh Kiai Gringsing. Padepokan Orang Bercambuk, yang kemudian dipimpin oleh Ki Widura. Semalam menjelang keberangkatan Agung Sedayu dan Glagah Putih, keduanya sempat mengunjungi dan minta diri kepada Ki Gede. Sedangkan untuk sementara Agung Sedayu minta agar Ki Lurah Branjangan berada di barak pasukan khususnya. Meskipun ia sudah mengatur tugas bagi para pembantunya, namun Ki Lurah Branjangan masih tetap mempunyai pengaruh di barak Pasukan Khusus itu. Meskipun Sekar Mirah mengerti sepenuhnya bahwa suaminya menjalankan tugasnya, namun rasa-rasanya berat juga melepaskannya pergi tanpa mengetahui kapan ia akan kembali. Demikian pula Rara Wulan. Meskipun kedudukan Rara Wulan masih belum sama seperti Sekar Mirah yang melepas Agung Sedayu, namun hati Rara Wulan pun terasa bergejolak pula. Berkuda Agung Sedayu dan Glagah Putih meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Mereka melarikan kuda mereka menyusuri bulak-bulak panjang dan pendek. Keduanya sama sekali tidak singgah di Mataram. Mereka justru menghindari agar perjalanan mereka tidak terhambat. Di perjalanan, keduanya harus berhenti untuk beristirahat serta memberi kesempatan kuda-kuda mereka istirahat pula. Sebagaimana mereka menghindari Kotaraja, maka mereka pun telah menghindari bekas perkemahan pasukan Mataram dan pasukan Pati di Prambanan. Mereka menyeberangi Kali Opak dan Kali Dengkeng beberapa ratus patok dari perkemahan. Kemudian keduanya melarikan kuda mereka langsung menuju Jati Anom, melingkar di kaki Gunung Merapi. Tidak ada hambatan yang mereka temui di perjalanan. Meskipun ada beberapa padukuhan yang masih nampak sepi, namun pada umumnya orang-orang yang mengungsi dari sekitar jalur jalan yang diperkirakan akan dilalui pasukan Pati, telah kembali. Padukuhan-padukuhan di sekitar Jati Anom pun telah mulai terisi. Pada umumnya orang-orang laki-laki telah kembali ke rumah mereka untuk mempersiapkan tempat bagi keluarganya. Bahkan ada juga satu dua keluarga yang seluruhnya telah kembali ke rumah mereka masing-masing. Sementara itu, beberapa kelompok prajurit telah berada di Jati Anom untuk menjaga kemungkinan buruk yang dapat terjadi, jika ada sekelompok orang yang ingin mencari kesempatan bagi kepentingan mereka sendiri. Bahkan kemungkinan timbulnya kejahatan terhadap orang-orang yang pulang dari pengungsian. Sementara barang-barang yang berharga masih terkumpul di satu tempat khusus, sebagaimana mereka simpan selama mereka mengungsi. Dalam pada itu, Agung Sedayu dan Glagah Putih memang tidak singgah dimana-mana. Tetapi kadang-kadang keduanya memang harus berhenti jika mereka berpapasan dengan sekelompok prajurit yang sedang meronda. Kepada para prajurit yang menghentikan mereka, Agung Sedayu dan Glagah Putih harus menjawab beberapa pertanyaan sebelum mereka diperkenankan melanjutkan perjalanan. Tetapi setiap kali keduanya menyatakan akan pergi ke padepokan kecil di Jati Anom yang dipimpin oleh Ki Widura, maka mereka dipersilahkan melanjutkan perjalanan. Kedatangan Agung Sedayu dan Glagah Putih telah disambut dengan gembira sekali oleh Ki Widura. Selain mereka memang sudah lama tidak bertemu, Widura juga selalu berdebar-debar jika ia mengingat anaknya yang berada di dalam lingkungan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Ki Widura tahu bahwa Glagah Putih dan Agung Sedayu terlibat dalam perang antara Mataram dan Pati. Namun ternyata bahwa di padepokan kecil itu terdapat empat orang yang sebelumnya tidak dikenal oleh Agung Sedayu dan Glagah Putih. Tetapi Ki Widura pun segera memperkenalkan mereka, bahwa mereka adalah para pengungsi yang menyingkir dari para prajurit Pati, yang kadang-kadang bersikap bermusuhan dengan orang yang tidak bersedia membantu mereka memusuhi Mataram. “Siapakah Angger berdua ini?“ bertanya Ki Lurah Wiranata, salah seorang dari keempat orang pengungsi itu. Ternyata Agung Serayu tetap bersikap berhati-hati, justru karena tugasnya. Karena itu, maka iapun menjawab, “Aku kemenakan Ki Widura, Ki Sanak. Sedang adik sepupuku ini adalah putra Paman Widura sendiri.” “O,“ orang itu mengangguk-angguk. Namun kemudian ia bertanya pula, “Sekarang Angger tinggal dimana?” “Kami tinggal di Tanah Perdikan Menoreh, Ki Sanak. Istriku orang Tanah Perdikan itu. Sementara ini aku-lah yang menggarap sawah dan ladangnya, warisan dari orang tuanya.” Ternyata Ki Widura tanggap akan sikap Agung Sedayu. Iapun sudah menduga bahwa Agung Sedayu tentu sedang mengemban tugas penting, sehingga ia tidak dapat menyebut kenyataan tentang dirinya kepada orang yang memang belum begitu dikenalnya. Karena itu, maka justru iapun berkata, “Sementara ini anakku ikut bersamanya untuk membantunya.” Orang-orang itu mengangguk-angguk. Meskipun agaknya tersimpan beberapa pertanyaan lagi, namun orang itu sudah tidak bertanya lebih jauh. Agung Sedayu dan Glagah Putih bermalam satu malam di padepokan kecil itu. Ketika keduanya mendapat kesempatan untuk berbicara dengan Ki Widura sendiri, keduanya telah mengatakan tugas apa yang sebenarnya sedang mereka pikul itu. “Hati-hatilah,“ pesan Ki Widura, “dalam suasana dan persiapan perang, para prajurit kadang-kadang menjadi kehilangan kesempatan untuk merenungi langkah-langkah yang mereka ambil. Mereka melakukan apa yang ingin mereka lakukan, justru karena mereka sendiri selalu merasa terancam.” “Ya, Paman,“ jawab Agung Sedayu. Namun dalam pada itu Glagah Putih bertanya, “Dimana kuda-kuda kita akan kita tinggalkan selama kita pergi ke Pati? Rencana kami kuda-kuda itu akan kami tinggalkan disini. Tetapi dengan demikian tentu akan menimbulkan pertanyaan pada keempat orang itu.” “Memang mungkin. Sementara itu aku juga masih belum dapat mengatakan apakah mereka benar-benar dapat dipercaya. Mereka nampaknya memang benar-benar menyingkir dari tekanan para prajurit Pati. Sementara itu, selama mereka di sini, mereka juga tidak berbuat sesuatu.” “Meskipun demikian, bukankah kita harus berhati-hati, Ayah?” “Ya,“ Ki Widura mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Tetapi biarlah kuda-kuda itu di sini. Mereka tidak akan tahu kemana kalian pergi.” Agung Sedayu mengangguk-angguk sambil berkata, “Baiklah, Paman. Kami akan meninggalkan kuda-kuda kami di sini. Kami berharap bahwa orang-orang itu benar-benar orang yang sedang mengungsi, sehingga tidak mempunyai niat buruk, terutama kepada Mataram. Kemudian kami pun yakin bahwa mereka tidak akan tahu, kemana kami akan pergi.” Keesokan harinya, ketika keduanya minta diri untuk meneruskan perjalanan, Agung Sedayu dan Glagah Putih mengatakan bahwa mereka hanya akan melihat-lihat rumah mereka di Jati Anom dan Banyu Asri. Demikianlah, Agung Sedayu pun sudah mulai menempuh perjalanan mereka yang panjang dengan tugas yang berat pula. Glagah Putih menganggap bahwa perjalanan itu merupakan bagian dari laku yang harus ditempuhnya untuk menyempurnakan ilmunya. Ia akan mendapatkan banyak pengalaman yang akan berarti dalam hidupnya kelak. Karena itu, Glagah Putih Justru merasa bahwa tugas itu merupakan satu keberuntungan baginya. Langit yang bersih dan sinar matahari pagi yang menyiram batang padi di sawah, membuat pagi itu menjadi cerah. Embun yang bergayutan di ujung-ujung daun mulai menguap ketika panas matahari menyentuhnya. Meskipun perang setelah selesai, tetapi sawah yang terbentang luas itu masih belum digarap dengan baik. Masih ada kotak-kotak sawah yang masih belum dibersihkan dari rerumputan liar yang tumbuh di sela-sela batang padi. Di jalan-jalan masih belum nampak banyak orang yang berjalan hilir mudik. Baru satu dua orang yang berjalan dengan tergesa-gesa melintasi bulak yang panjang. Dengan demikian, jalan bulak yang panjang itu masih terasa sangat lengang. Ketika seorang laki-laki yang sudah separuh baya lewat mendahului mereka berdua, Agung Sedayu pun berusaha berjalan di sampingnya, sementara Glagah Putih pun melangkah dengan langkah-langkah panjang di belakangnya. Ternyata orang yang sudah separuh baya itu nampak menjadi sangat gelisah. Beberapa kali ia berpaling. Kemudian memandang Agung Sedayu dan Glagah Putih berganti-ganti. “Ki Sanak,“ sapa Agung Sedayu kemudian, “apakah aku boleh bertanya serba sedikit sambil berjalan bersama?” Orang itu nampak ragu-ragu. Namun ketika beberapa kali ia memandang wajah Agung Sedayu dan Glagah Putih, agaknya telah terjadi perubahan sikap batinnya terhadap kedua orang yang berjalan di sebelahnya itu. Meskipun masih dengan ragu, tetapi orang itu justru bertanya, “Apa yang akan kau tanyakan?” “Kenapa jalan yang cukup lebar, rata dan nampaknya terpelihara ini menjadi demikian sepi dan lengangnya?” “Banyak orang yang pergi mengungsi Ki Sanak,“ jawab orang yang sudah separuh baya itu. “Bukankah perang sudah selesai? Apakah mereka masih belum kembali dari pengungsian?” “Sebagian memang sudah. Tetapi sebagian memang belum. Sawah itu pun nampak ada yang sudah dipelihara dengan tertib, tetapi masih ada yang belum dijamah sejak kami pergi mengungsi.” “Kenapa masih ada yang belum bersedia kembali? Bukankah sudah tidak ada yang ditakuti lagi?” “Segala-galanya belum mapan di sini, Ki Sanak. Memang sebagian prajurit telah kembali. Tetapi jumlahnya nampaknya masih belum memadai. Karena itu, masih ada orang-orang jahat yang berani memanfaatkan keadaan ini untuk mencari kekayaan buat diri sendiri.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia memang sudah menduga, bahwa setelah perang akan banyak persoalan yang timbul. Orang-orang yang pada dasarnya mempunyai watak dan sifat yang kurang baik, suasana setelah perang akan dapat mendorongnya untuk melakukannya lagi. Apalagi jika orang-orang itu menjadi kekurangan, atau pada dasarnya memang belum menghentikan kegiatannya itu. Dalam pada itu, setelah beberapa saat mereka berjalan bersama, orang itu pun kemudian berkata, “Rumahku di padukuhan yang nampak itu. Karena itu, di simpang tiga itu aku akan berbelok ke kanan.” “O,“ Agung Sedayu mengangguk-angguk, “silahkan Ki Sanak. Aku akan berjalan terus.” Ketika orang itu berbelok memasuki jalan yang lebih kecil, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih berjalan terus. Namun orang itu sempat berpesan, “Berhati-hati. Semakin jauh Ki Sanak berjalan, maka jalan-jalan akan menjadi semakin sepi. Banyak padukuhan masih kosong. Bahkan agak jauh ke utara, keadaan masih terlalu gawat.” “Kenapa?“ bertanya Agung Sedayu. “Para prajurit Pati yang terdesak mundur, nampaknya mengalami kesulitan di sepanjang perjalanan mereka. Kakakku yang datang dari utara mengatakan, bahwa masih ada kelompok-kelompok kecil prajurit Pati yang menelusuri jalan kembali. Di sepanjang jalan mereka harus mendapatkan makanan dan minuman. Tetapi kadang-kadang mereka tidak sekedar ingin makanan dan minuman, tetapi juga perhiasan dan barang-barang berharga lainnya.” “Mereka tentu bukan prajurit Pati,“ jawab Agung Sedayu. “Lalu, bagaimana aku harus menyebut, jika mereka pergi ke selatan bersama pasukan yang dipimpin sendiri oleh Kanjeng Adipati Pragola?” “Prajurit Pati yang sebenarnya, jumlahnya tidak mencukupi. Karena itu Kanjeng Adipati Pati telah mengumpulkan orang laki-laki yang tinggal di sebelah utara Gunung Kendeng. Nah, laki-laki yang berasal dari daerah yang demikian luasnya itu, tentu ada di antaranya yang kehilangan pegangan ketika mereka mengalami kesulitan.” Orang itu mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya sambil melangkah melanjutkan perjalanan lewat jalan yang lebih sempit, “Namun bagaimanapun juga, kalian harus berhati-hati.“ “Baiklah Ki Sanak. Terima kasih atas peringatan Ki Sanak,“ jawab Agung Sedayu. Demikianlah, Agung Sedayu dan Glagah Putih pun telah meneruskan perjalanan mereka. Ketika mereka lapar dan haus, ternyata mereka sangat sulit untuk menemukan sebuah kedai yang membuka pintunya. Namun akhirnya Agung Sedayu dan Glagah Putih berhasil menemukan sebuah kedai yang meskipun kecil, namun agaknya mencukupi kebutuhan sekedar untuk mengobati haus dan lapar. Apalagi Agung Sedayu dan Glagah Puth telah terbiasa makan sederhana. Sementara itu, matahari telah mulai turun. Sinarnya bagaikan membakar ikat kepala. Di kejauhan nampak bayangan ndeg amun-amun, sejak matahari menjadi semakin rendah. Tetapi demikian keduanya memasuki kedai itu, maka terasa satu suasana yang lain. Beberapa orang sudah duduk di dalam kedai itu. Di hadapan mereka sudah dihidangkan mangkuk-mangkuk minuman. Namun agaknya mereka sudah cukup lama duduk di kedai itu. Agung Sedayu dan Glagah Putih mencoba untuk tidak menghiraukan mereka. Keduanya hanya ingin makan dan minum. Tidak lebih. Seorang yang bertubuh tegap dan berdada bidang dengan jambang, kumis dan janggut yang pendek tetapi tebal, melangkah mendekati keduanya. Bajunya yang terbuka memperlihatkan dadanya yang ditumbuhi bulu-bulu yang lebat. Sebuah luka goresan menyilang di antara bulu-bulu dadanya itu. Dengan wajah yang sama sekali tidak menunjukkan keramahan seorang yang berjualan makanan dan minuman, orang itu bertanya, “Kalian mau minum dan makan apa?” Agung Sedayu menarik nafas panjang. Digamitnya Glagah Putih yang hampir saja bangkit. Anak itu nampak tersinggung melihat sikap penjual di kedai itu. Agung Sedayu-lah yang kemudian menjawab, “Kami minta wedang sere saja Ki Sanak. Kemudian nasi dua mangkuk.” Orang itu tidak menjawab. Iapun kemudian menuang wedang sere ke dalam dua buah mangkuk. Menyenduk nasi, dengan sayur lodeh kluwih dan sepotong ikan ayam, dan sebungkus bothok mlandingan. Tanpa berkata apa-apa pula, orang itu menyodorkan pesanan itu kepada Agung Sedayu dan Glagah Putih. “Minum dan makanlah,“ desis Agung Sedayu kepada Glagah Putih, yang menjadi semakin tidak senang terhadap sikap penjual di kedai itu. Tetapi ia tidak membantah. Sebagaimana Agung Sedayu, Glagah Putih pun menghirup minumannya. Wedang sere dan gula kelapa, sehingga tubuh Glagah Putih menjadi semakin segar. Namun ketika Glagah Putih akan mulai makan nasi dengan sayur lodehnya, Agung Sedayu memegang pergelangan tangan Glagah Putih. “Kau tidak usah makan. Biar aku saja yang makan,“ bisik Agung Sedayu. Glagah Putih mengerutkan dahinya. Ketika ia memandang wajah Agung Sedayu, Agung Sedayu itu mengangguk kecil. Glagah Putih pun segera tanggap. Tentu ada sesuatu yang gawat, sehingga kakak sepupunya itu melarangnya makan. Yang segera terkilas di kepalanya adalah racun. Nasi itu tentu mengandung racun, sementara kakak sepupunya itu tawar akan segala macam racun dan bisa. Pemilik kedai yang bertubuh tegap gelisah karena Glagah Putih tidak ikut makan nasi lodeh yang telah dihidangkan. Karena itu, orang itu pun kemudian melangkah medekati Glagah Putih sambil bertanya, “Kenapa kau tidak makan Anak Muda?” “Aku masih kenyang, Ki Sanak,“ jawab Glagah Putih. “Tetapi kenapa kalian memesan dua mangkuk nasi, jika kau masih kenyang?” “Kakakku ini terbiasa makan terlalu banyak. Ia akan menghabiskan dua mangkuk nasi dengan sayur lodeh itu.” “Kau jangan menyinggung perasaanku. Masakan kami sudah terkenal di seluruh daerah ini. Jika kau tidak mau makan, maka kau telah menghina kami.” “Maaf, Ki Sanak. Aku memang tidak lapar.” Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun seseorang yang ada di kedai itu memberinya isyarat untuk mendekat. Orang bertubuh tegap dan berdada bidang dengan bulu-bulu lebat di dadanya itu pun mendekati orang yang memanggilnya itu. Agung Sedayu yang curiga segera mengetrapkan ilmunya Sapta Pangrungu, sehingga ia dapat mendengar pembicaraan orang-orang itu, meskipun diucapkan sangat perlahan-lahan. Seorang yang berwajah gelap berdesis lemah, “Biarkan saja. Jika yang seorang mati, anak itu tidak akan berdaya.” Namun seorang yang lain berdesis, “Kita juga tidak yakin keduanya membawa barang-barang berharga. Apa yang ada pada mereka, tidak cukup untuk mengupah menggali dua lubang kubur.” Mereka pun kemudian terdiam. Sementara orang yang bertubuh tegap dan berdada bidang itu kembali ke tempatnya tanpa bertanya apa-apa lagi kepada Glagah Putih. Sementara itu Agung Sedayu telah selesai makan. Ia sadar sepenuhnya, bahwa nasi itu memang mengandung racun. Namun kekebalan tubuhnya terhadap racun dapat mengatasinya, sehingga racun itu sama sekali tidak menimbulkan akibat apapun bagi tubuhnya. Meskipun demikian, Agung Sedayu dan Glagah Putih harus semakin berhati-hati. Jika racun itu tidak berhasil membunuh mereka, maka orang-orang itu tentu akan mempergunakan kekerasan untuk membunuh keduanya. Dalam pada itu, Agung Sedayu pun telah selesai makan. Tetapi masih ada semangkuk nasi yang belum dimakan. Semangkuk nasi yang seharusnya dipesan bagi Glagah Putih. Orang-orang lain yang ada di kedai itu mulai menjadi gelisah. Orang yang makan dan menghabiskan semangkuk nasi itu masih tetap duduk di tempatnya. Ketika ia meneguk wedang serenya, ia masih tetap kelihatan segar. Racun yang tertelan bersama nasi yang dihidangkannya, nampaknya masih belum berpengaruh atasnya. Pemilik kedai itu mulai berkeringat. Sementara itu Agung Sedayu dan Glagah Putih seakan-akan tidak menghiraukan penjual nasi dan orang-orang lain yang ada di kedai itu. Beberapa saat kemudian, Agung Sedayu pun berkata, “Ternyata aku tidak dapat menghabiskan dua mangkuk nasi ini. Ketika aku memesan dua mangkuk, aku kira setiap mangkuk nasi tidak sebanyak ini.” Penjual nasi itu tidak sabar lagi. Racun di nasi yang dihidangkan ternyata tidak membunuh orang itu. Meski pun demikian orang itu sempat menjadi ragu. Tetapi ia merasa yakin bahwa ia sudah menaburkan racun itu di atas nasi sebelum diberinya sayur lodeh dan lauk-pauknya. “Apakah orang ini kebal racun?” orang itu bertanya kepada diri sendiri. Tetapi ia mempunyai alasan untuk memulai dengan pertengkaran. Karena itu, maka iapun melangkah mendekati Agung Sedayu dan Glagah Putih. Dengan kasar ia berkata, “Kalian atau salah seorang dari kalian harus menelan nasi yang sudah kalian pesan.” “Bukankah itu tidak perlu, Ki Sanak?“ jawab Agung Sedayu. “Tetapi aku akan menderita rugi. Jika kalian tidak makan nasi itu, lalu buat apa?” “Jangan merasa dirugikan. Aku akan membayar harganya,“ jawab Agung Sedayu pula. Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Kalian sudah menghina kami. Sudah aku katakan, bahwa masakanku dan istriku telah dikenal di daerah ini. Jika kalian memesannya dan tidak memakannya, itu berarti bahwa kalian telah merendahkan kemampuan kami.” “Ki Sanak. Aku bukannya baru sekali ini masuk ke dalam sebuah kedai. Tetapi aku tidak pernah mengalami perlakuan seperu ini,“ berkata Agung Sedayu. “Aku tidak peduli. Tetapi aku benar-benar merasa tersinggung dengan tingkah laku kalian.” “Sudahlan. Jangan berputar-putar. Apa sebenarnya yang kalian kehendaki?” Wajah orang itu menjadi tegang, sementara Agung Sedayu berkata selanjutnya, “Kau tentu mempunyai maksud buruk terhadap kami. Bahkan mungkin terhadap banyak orang yang telah singgah di kedaimu ini. Mungkin di belakang kedai ini terdapat sebuah kuburan yang luas tanpa pertanda apapun juga. Orang-orang yang mati karena kau racun, akan kau kubur di belakang kedai ini, atau di tempat lain yang jarang dikunjungi orang.” “Setan kau. Apa yang kau bicarakan itu?“ geram orang bertubuh tegap dan berbulu di dadanya itu. “Kita bukan anak-anak lagi. Buat apa kita harus berpura-pura? Katakan saja bahwa kau telah meracun kami berdua. Agaknya kau mempergunakan kesempatan selagi tatanan kehidupan belum mapan setelah terjadi perang. Mungkin kau berpikir, bahwa membunuh dalam suasana seperti ini sekedar untuk mendapatkan timang emas atau perak, pendok keris atau apapun juga, tidak akan ada yang mengurus, apalagi menangkap dan menghukum.” “Cukup,” orang yang semula duduk di kedai itu pun bangkit berdiri. Tiga orang yang garang. Wajah-wajah mereka geram memandang Agung Sedayu dan Glagah Putih. “Serahkan semua kekayaan yang ada padamu. Timang dan mungkin uang, cincin yang kau pakai dan segalanya.” Agung Sedayu itu pun menjawab sambil menjulurkan tangannya, “Nah, kau lihat. Aku tidak mengenakan cincin. Adikku juga tidak. Timang di ikat pinggangku pun tidak terbuat dari perak, apalagi emas. Timangku terbuat dari tembaga. Buatannya pun keras. Uang, aku hanya membawa secukupnya. Barangkali hanya cukup untuk membayar nasi dan minuman yang kami pesan, meskipun kau bubuhi racun di atasnya.” “Aku tidak peduli. Tetapi kau sudah mengetahui apa yang kami lakukan di sini. Karena itu, kau dan adikmu akan mati. Kalian akan aku kubur di belakang kedai ini. Meskipun kau tidak mempunyai barang-barang berharga, tetapi kau tidak boleh meninggalkan tempat ini dalam keadaan hidup, karena mulutmu akan berbicara kepada banyak orang tentang kedai kami ini.” “Ki Sanak,“ berkata Agung Sedayu, “biarlah kami pergi. Kami berjanji bahwa kami tidak akan mengatakan apapun juga tentang kedai ini.” “Tidak,“ geram salah seorang di antara mereka, “satu-satunya kemungkinan terbaik bagi kalian adalah menyerahkan leher kalian. Karena dengan demikian, kalian akan dengan cepat mati. Tetapi jika kalian berusaha untuk melawan, maka kalian akan memperpanjang kesengsaraan kematian kalian.” “Kami adalah pengembara yang sudah mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan seperti ini. Karena itu, jangan berharap bahwa kami akan menyerah,“ jawab Agung Sedayu. Keempat orang itu nampaknya tidak sabar lagi. Ketika keempatnya melangkah mendekat, maka Agung Sedaya dan Glagah Putih pun segera mengambil jarak di atara amben-amben bambu yang ada. bersambung
ApiDi Bukit Menoreh ( 001~396) Skip to main content. Due to a planned power outage on Friday, 1/14, between 8am-1pm PST, some services
♦ 15 Juli 2010 Glagah Putih mengangguk-angguk. Jawabnya, “Nampaknya Kanthi telah menjadi benar-benar berputus-asa. Karena itu, kedatangan Rara Wulan merupakan sebuah harapan baru baginya, karena Kanthi merasa pernah mendapat perlindungan darinya. Sehingga dengan demikian, dekat dengan Rara Wulan dapat memberikan ketenangan baginya.” Sekar Mirah mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti perasaan Kanthi. Namun kemudian Sekar Mirah itu pun berdesis, “Tetapi justru di sini Kanthi akan menjadi dekat dengan Prastawa. Anak muda yang pernah diangan-angankannya, Namun yang kemudian seakan-akan telah menghempaskannya ke dalam keputus-asaan.” “Aku sempat memperbincangkannya dengan Ki Jayaraga. Kami juga mencemaskan bahwa tiba-tiba tanpa disengaja Kanthi bertemu dengan Prastawa, sehingga membuat luka di hatinya menjadi parah kembali,” sahut Glagah Putih. Lalu katanya selanjutnya, “Tetapi waktu itu kami berpendapat, bahwa untuk sementara kita harus menyelamatkan Kanthi lebih dahulu. Mungkin kita dapat menemui Prastawa dan memberitahukan tentang keadaan Kanthi, sehingga Prastawa jangan melintas lewat jalan di depan.” Sekar Mirah mengangguk-angguk, tetapi sebelum ia menjawab, terdengar langkah mendekati pintu dapur. Sejenak kemudian Rara Wulan bersama Kanthi telah masuk ke dapur. “O,” Sekar Mirah pun bangkit. Demikian pula Glagah Putih. Sementara Rara Wulan berkata, “Kanthi ingin ke pakiwan. Jika ia mandi, agaknya tubuhnya akan menjadi segar.” “Silahkan Kanthi,” sahut Sekar Mirah, “mandilah. Nanti kau akan dapat beristirahat dengan baik.” Diantar Rara Wulan, maka Kanthi pun telah pergi ke pakiwan untuk mandi. Demikian Rara Wulan dan Kanthi keluar dari dapur untuk pergi ke pakiwan, maka Wacana telah masuk ke dalam dapur. Dengan kerut di kening Wacana itu bertanya, “Siapakah perempuan yang bersama Rara Wulan itu?” “Kanthi,” jawab Glagah Putih yang masih berada di dapur. “Jadi itukah Kanthi yang sering kalian bicarakan?” bertanya Wacana. “Ya,” Sekar Mirah mengangguk. “Kanthi yang menjadi putus-asa dan kehilangan kendali itu?“ desak Wacana. “Ya,” Sekar Mirah mengangguk lagi. Wacana menarik nafas dalam-dalam Hampir di luar sadarnya ia bertanya, “Kenapa ia justru ikut kemari?“ “Pikirannya sedang kalut,” jawab Sekar Mirah, “ia telah mencoba membunuh diri sebelum Rara Wulan dan Glagah Putih kemarin sampai di Kleringan.” Wacana ternyata juga terkejut. Dahinya berkerut dalam. Namun kemudian sambil menunduk ia berdesis, “Kasihan. Ia memerlukan pertolongan yang dapat mengembalikannya bergairah memandang masa depannya.” “Ya,” jawab Sekar Mirah sambil mengangguk-angguk. Wacana tidak menjawab lagi. Tetapi iapun kemudian meninggalkan dapur itu. Glagah Putih dan Sekar Mirah saling berpandangan sejenak. Tetapi keduanya tidak berbicara lagi. Glagah Putih pun kemudian juga meninggalkan Sekar Mirah sendiri di dapur. Sekar Mirah yang kemudian tinggal di dapur seorang diri, termenung sambil menunggui api yang memanasi periuk. Namun angan-angannya telah menerawang mengamati jalan kehidupan Kanthi. Ketika kemudian Glagah Putih pergi ke serambi samping, maka dilihatnya Wacana termenung sendiri. Demikian Glagah Putih duduk di sebelahnya, maka Wacana itu pun berdesis, “Agung Sedayu menjadi cemas, bahwa kalian tidak pulang kemarin.” “Kami pulang lewat senja dari Kleringan,” jawab Glagah Putih. “Kalian tempuh perjalanan dari Kleringan semalam suntuk?” bertanya Wacana pula. Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Kami harus menyesuaikan diri dengan keadaan Kanthi. Ia tidak dapat berjalan cepat. Apalagi jalan yang turun naik lewat pegunungan. Bahkan di malam hari. Setiap kali kami harus beristirahat, kadang-kadang untuk waktu yang agak lama. Tetapi cara itulah yang terbaik yang dapat kita tempuh waktu itu.“ Wacana mengangguk-angguk. Ia memang dapat membayangkan perjalanan yang lambat dan sering berhenti beristirahat. Apalagi berjalan di malam hari dalam kegelapan. Sejenak kemudian, mereka pun telah mendengar derap kaki kuda memasuki halaman. Agung Sedayu yang telah berjanji untuk segera pulang, benar-benar telah memenuhi janjinya. Tetapi dahinya berkerut ketika ia melihat Glagah Putih dan Wacana menyongsongnya. Keduanya telah keluar lewat pintu seketheng, turun ke halaman depan. “Kau sudah kembali Glagah Putih?” bertanya Agung Sedayu. “Ya, Kakang,” jawab Glagah Putih. “Kau membuat kami gelisah. Tetapi bukankah tidak terjadi sesuatu atas kalian?” bertanya Agung Sedayu pula. “Tidak, Kakang.” “Syukurlah. Dimana Ki Jayaraga sekarang?” bertanya Agung Sedayu lebih lanjut. Glagah Putih mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia menjawab, “Mungkin ia sudah berada di dalam biliknya. Nampaknya Ki Jayaraga baru membenahi diri.” “Baiklah. Aku sudah berjanji kepada Mbokayumu untuk segera pulang dan menyusulmu ke Kleringan. Tetapi karena kalian sudah kembali, maka nanti aku akan kembali ke barak,“ berkata Agung Sedayu. Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Kami pulang sambil membawa Kanthi.” “Kanthi? Kenapa dengan Kanthi?” bertanya Agung Sedayu. Tetapi ketika Glagah Putih akan menjawabnya, Agung Sedayu pun berkata, “Baiklah. Nanti kita berbicara bersama-sama dengan semuanya. Aku akan menemui Mbokayumu. Dimana Mbokayumu?” “Tetapi Kakang,” berkata Glagah Putih, “sebelum Kakang bertemu dengan Kanthi, sebaiknya aku memberitahukan bahwa di rumahnya Kanthi telah mecoba untuk membunuh diri.” “O,“ Agung Sedayu pun terkejut pula. Sambil mengangguk-angguk ia berdesis, “Itukah agaknya, maka Kanthi ikut kemari?” “Antara lain, Kakang,” jawab Glagah Putih. “Baiklah. Aku akan berbicara dengan mbokayumu.” berkata Agung Sedayu sambil menuntun kudanya untuk diikat di sebelah pendapa. Agung Sedayu pun kemudian telah pergi ke dapur dan berbicara dengan Sekar Mirah, sementara Rara Wulan telah mengajak Kanthi ke biliknya. “Kita dapat berdua di sini,” berkata Kara Wulan. Kanthi mengangguk sambil berdesis, “Terima kasih atas kebaikanmu dan kebaikan kalian di sini.” Dalam pada itu, di dapur, Sekar Mirah telah menjelaskan kepada Agung Sedayu sebagaimana diceritakan oleh Glagah Putih tentang Kanthi. Sekar Mirah pun telah mengatakan pula bahwa Glagah Putih harus menemui Prastawa dan minta agar untuk sementara tidak melintas lewat di depan rumah mereka. Agung Sedayu mendengarkan pemberitahuan itu dengan saksama. Kemudian Agung Sedayu itu pun berkata, “Nanti sore kita dapat duduk bersama dan berbicara bersama-sama.” “Kau akan berbicara tentang Kanthi dan niatnya membunuh diri?” bertanya Sekar Mirah. “Ah, tentu tidak,” jawab Agung Sedayu, “kita berbicara tentang rumah kita yang terasa menjadi semakin sempit.” Sekar Mirah tersenyum. Katanya, “Bagaimana jika semakin sempit? Apakah kita akan membangun lagi untuk memperbesar rumah ini?” Agung Sedayu pun tertawa. Katanya, “Jika panen kita berlimpah selama sepuluh musim, maka tabungan kita akan dapat kita pergunakan untuk memperbesar rumah ini satu wuwung lagi.” Sekar Mirah pun tertawa pula. Namun Agung Sedayu itu pun kemudian berkata pula, “Tetapi bukankah kita tidak jadi pergi ke Kademangan Kleringan?” “Untuk apa?” bertanya Sekar Mirah. “Barangkali kau sudah terlanjur berniat pergi,” jawab Agung Sedayu. “Ah, kau,“ desis Sekar Mirah. “Jika kita tidak jadi pergi, maka aku akan kembali ke barak lagi,” berkata Agung Sedayu kemudian. “Kenapa? Bukankah Kakang sudah memberitahukan bahwa Kakang akan pulang, dan sudah memberikan pesan-pesan?” “Ya. Tetapi agaknya ada berita penting datang dari Mataram,” jawab Agung Sedayu. “Berita tentang apa?” bertanya Sekar Mirah. “Kanjeng Adipati Pati meningkatkan kesiagaan prajuritnya,“ jawab Agung Sedayu. Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Persoalan apa sebenarnya yang merenggangkan hubungan antara Mataram dan Pati?” “Sebab yang langsung dapat diketahui orang lain adalah peristiwa yang terjadi di Madiun itu,” jawab Agung Sedayu. “Apakah Kakang percaya bahwa itu adalah sebab satu-satunya sehingga Kanjeng Adipati Pati tidak lagi mau menyentuhkan kakinya di paseban Mataram?” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun berkata, “Sulit untuk dapat mengatakannya sekarang. Tetapi mungkin sekali ada sebab-sebab lain, yang selapis demi selapis bertimbun menjadi beban yang tidak tertanggungkan lagi bagi Kanjeng Adipati di Pati.” Sekar Mirah mengangguk-angguk. Tetapi Sekar Mirah merasa bahwa persoalan itu adalah persoalan para pejabat tinggi di Mataram dan Pati. “Jika Kakang akan kembali ke barak, sebaiknya Kakang temui meskipun hanya sebentar, Rara Wulan dan Kanthi,” berkata Sekar Mirah kemudian. Agung Sedayu mengangguk-angguk. Bersama Sekar Mirah maka Agung Sedayu pun telah menemui Rara Wulan dan Kanthi. “Sudahlah,” berkata Agung Sedayu ketika Kanthi menangis lagi, “anggaplah rumah ini rumahmu sendiri. Kau akan merasa tenang di sini.” Kanthi mengangguk-angguk. Sambil mengusap air matanya ia berkata, “Terima kasih. Aku akan menjadi beban di sini.” Tetapi Agung Sedayu menggeleng sambil tersenyum, “Tidak Kanthi. Kau justru akan dapat menemani Rara Wulan, yang selama ini sering melakukan kerja sendiri.” “Kerjaku lebih banyak mengurusi diriku sendiri Kanthi” potong Rara Wulan. “Jika demikian, kau akan banyak membantu mengurusi Rara Wulan,” Sekar Mirah-lah yang menyahut. “Ah,” desah Rara Wulan, sementara Kanthi yang matanya masih basah sempat juga tersenyum. “Sudahlah,” berkata Agung Sedayu, “aku masih harus kembali ke barak.” Sekar Mirah kemudian mengantar Agung Sedayu sampai ke tangga pendapa. Demikian pula Glagah Putih dan Wacana, juga berdiri tidak jauh dari Rara Wulan. “Sampai hari ini Adi Swandaru masih berada di Tanah Perdikan ini. Tetapi berita penting itu tentu juga akan sampai ke Jati Anom dan Kademangan Sangkal Putung,” berkata Agung Sedayu. Sekar Mirah mengangguk-angguk. Namun hampir di luar sadarnya Glagah Putih berkata, “Mudah-mudahan Sabungsari mendapat kesempatan untuk menyelesaikan persoalannya dengan Raras, sebelum ia ditarik ke medan perang jika perang itu benar-benar pecah.” “Ya,” sahut Agung Sedayu. Namun katanya kemudian, “Juga Prastawa.” “Bukankah Kakang Swandaru sengaja menunggu sampai persoalan Prastawa itu selesai?” bertanya Sekar Mirah. “Orang tua Anggreni akan memberitahukan keputusan mereka apakah lamaran Prastawa diterima atau tidak, meskipun sekedar pernyataan resmi saja,” berkata Agung Sedayu. “Tentu tidak akan terlalu lama lagi,” desis Glagah Putih. “Kita akan menjadi sibuk,“ berkata Sekar Mirah, “bagaimanapun juga kita akan terlibat, langsung atau tidak langsung, saat Prastawa menikah. Demikian pula Sabungsari.” Agung Sedayu mengangguk-angguk Katanya, “Ya. Aku berharap semuanya segera terjadi.” Demikianlah, maka sejenak kemudian Agung Sedayu itu pun telah berpacu di punggung kudanya kembali ke barak. Sepeninggal Agung Sedayu, maka seisi rumahnya telah kembali ke dalam kerja masing-masing. Glagah Putih setelah sibuk membelah kayu bakar di belakang rumah, telah berada di sanggar. Wacana yang telah menjadi semakin baik, telah berada di sanggar pula. Sementara Ki Jayaraga agaknya benar-benar ingin beristirahat. Meskipun demikian, Ki Jayaraga itu telah berada di dalam sanggar pula, meskipun hanya sekedar duduk di atas amben sambil memperhatikan Glagah Putih yang berlatih. Bahkan sekali-sekali Ki Jayaraga telah menguap dan terkantuk-kantuk. Orang tua itu benar-benar tidak terlibat latihan yang dilakukan oleh Glagah Putih, salah seorang murid Ki Jayaraga, yang diharapkan akan menjadi muridnya yang tidak terjerumus ke dalam laku kejahatan sebagaimana murid-muridnya yang terdahulu, yang sama sekali tidak dikehendakinya. Glagah Putih memang sekali-sekali memperhatikan gurunya. Namun iapun hanya tersenyum saja. Ia tahu bahwa Ki Jayaraga benar-benar merasa letih. Bukan karena perjalanan itu sendiri, tetapi justru karena dalam perjalanan itu mereka terlalu banyak berhenti dan beristirahat. Kelelahan Ki Jayaraga bukan pada wadagnya, justru karena ia harus bersabar mengikuti dan mempertimbangkan Kanthi. Demikianlah, maka Glagah Putih itu berlatih sendiri. Namun kemudian Wacana pun telah mulai dengan latihan-latihan pula, meskipun masih harus mengingat perkembangan keadaan tubuhnya. Ketika keduanya kemudian beristirahat, maka Wacana yang duduk di amben bambu di sebelah Glagah Putih itu pun bertanya, “Apakah kau pernah melihat gadis yang bernama Anggreni yang telah dilamar oleh Prastawa?” “Pernah,” jawab Glagah Putih, “ia juga gadis Tanah Perdikan, meskipun semula mereka tinggal di Mangir.“ “Apakah gadis itu cantik sekali?” bertanya Wacana. Glagah Putih mengerutkan dahinya. Ia tidak segera menangkap maksud pertanyaan Wacana. Namun Glagah Putih itu pun kemudian menjawab, “Aku tidak mengenal gadis itu terlalu banyak. Hanya karena kami tinggal di lingkungan yang sama, maka kami saling mengenal. Tetapi hanya sepintas. Bahkan aku mulai memperhatikannya justru setelah aku tahu bahwa gadis itulah yang akan menjadi istri Prastawa. Dan ternyata kemarin lusa keluarga Prastawa telah mengirim utusan untuk menemui keluarga Anggreni.” Wacana mengangguk-angguk. Sementara Glagah Putih-lah yang kemudian bertanya, “Kenapa kau tanyakan kecantikan Anggreni itu?” Wacana termangu-mangu sejenak. Tetapi kemudian iapun berkata, “Aku memang mengira bahwa Anggreni adalah gadis yang sangat cantik. Bahkan seperti bidadari.” “Kenapa kau sebenarnya?” Glagah Putih menjadi heran. “Jika tidak demikian, maka Prastawa tentu tidak akan menolak Kanthi,” desis Wacana. “Kenapa?” desak Glagah Putih. “Bukankah kau lihat bahwa Kanthi seorang gadis yang cantik,” jawab Wacana. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Baru ia mengerti maksud Wacana. Jika Anggreni bukan seorarg gadis secantik bidadari, maka Prastawa tentu tidak akan mengesampingkan Kanthi. Sambil mengangguk-angguk Glagah Putih itu pun kemudian menjawab, “Ya. Menurut Prastawa tentu ada yang lebih menarik pada Anggreni daripada Kanthi. Tetapi pemilihan seseorang terhadap calon kawan hidupnya tidak semata-mata tergantung dari kecantikannya saja. Meskipun seseorang mendapat kesempatan untuk memilih yang lebih cantik, tetapi dapat saja ia memilih yang kurang cantik karena terdapat beberapa persesuaian dengan dirinya.” “Ya. Ya. Kau benar,” sahut Wacana dengan serta merta. Lalu katanya, “Jodoh memang tidak dapat diburu.” Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia menyadari bahwa Wacana pun pernah mengalami kekecewaan yang sangat, karena seorang gadis sama sekali tidak menyadari bahwa gadis itu telah dicintai oleh Wacana. Untuk beberapa saat merekapun kemudian terdiam. Glagah Putih mengusap keringatnya. Dilihatnya Ki Jayaraga bersandar dinding sambil memejamkan matanya. Namun ketika pembicaraan Glagah Putih dan Wacana yang tidak terlalu keras itu terdiam, maka Ki Jayaraga telah membuka matanya. “Aku memang merasa sangat letih,“ desis Ki Jayaraga. “Kenapa Guru tidak beristirahat di dalam bilik, dan barangkali dapat tidur lebih nyenyak?” bertanya Glagah Putih. “Di sini aku dapat tidur, justru karena aku mendengar derap kaki kalian berlatih, atau pembicaraan kalian yang lamat-lamat. Tetapi justru tidak di bilikku yang sepi,” jawab Ki Jayaraga dengan suara yang mengambang. Namun Ki Jayaraga pun kemudian telah bangkit dan berkata kepada Glagah Putih, “Glagah Putih. Cepat bersiap. Kita akan berlatih bersama.” Glagah Putih tidak dapat menolah perintah gurunya. Ia segera bangkit dan bersiap untuk berlatih langsung bersama gurunya. Mula-mula gerakan mereka lamban saja. Namun semakin lama semakin cepat. Ketika tubuh Ki Jayaraga sudah menjadi panas, maka latihan itu pun menjadi semakin keras. Namun Glagah Putih memang bukan lagi pemula. Bahkan Glagah Putih telah mendapat kepercayaan dari gurunya untuk mewarisi ilmu Sigar Bumi. Karena itu, maka latihan itu pun kemudian rasa-rasanya telah mengguncang sanggar itu sendiri. Wacana telah sering melihat Glagah Putih berlatih. Iapun pernah melihat Ki Jayaraga berada di sanggar. Namun latihan itu telah membuat Wacana menjadi bingung. Dengan saksama ia mengikuti gerak keduanya. Namun kadang-kadang Wacana seakan-akan telah kehilangan satu dua unsur gerak yang terlampaui oleh pengamatannya. “Luar biasa,” desis Wacana, “aku ingin dapat berbuat lebih banyak, setidak-tidaknya ketrampilan dan kemampuan mengungkap tenaga dalam.” Sebenarnyalah bahwa Wacana juga memiliki kemampuan yang tinggi. Tetapi dengan menyaksikan Glagah Putih berlatih bersama gurunya, maka Wacana merasa dirinya menjadi kecil. Tetapi Wacana pun merasa bahwa ia mendapat kesempatan untuk meningkatkan kemampuannya. Glagah Putih telah mengatakan kepadanya bahwa anak muda itu sama sekali tidak berkeberatan untuk berlatih bersamanya, sehingga memungkinkannya mengenali berapa unsur baru yang berarti bagi ilmunya. Demikianlah, latihan yang dilakukan oleh Ki Jayaraga dan Glagah Putih justru telah mengungkapkan segala tenaga dan kemampuan mereka, namun tidak sampai merambah memasuki batas ilmu-ilmu puncak mereka. Beberapa saat kemudian, maka Ki Jayaraga telah memberi isyarat untuk menghentikan latihan. Dengan demikian maka keduanya pun telah mengambil jarak, mengurangi tenaga mereka dengan gerakan-gerakan khusus. Baru kemudian mereka melangkah menepi. Keduanya nampak berkeringat. Glagah Putih bahkan seperti orang yang baru saja membenamkan diri di belumbang dengan seluruh pakaiannya. Namun dengan nada ringan Ki Jayaraga berkata, “Nah, aku sudah tidak merasa letih, dan tidak kantuk lagi.” Glagah Putih tersenyum sambil menjawab, “Yang terjadi padaku justru sebaliknya Guru. Aku menjadi sangat letih sekarang.” “Beristirahatlah,” berkata gurunya, “aku akan pergi ke pakiwan.” “Guru masih basah oleh keringat,” berkata Glagah Putih. “Aku tidak akan segera mandi,” jawab Ki Jayaraga. Demikian Ki Jayaraga keluar, maka Wacana pun berdesis, “Aku ingin berlatih bersamamu.” “Baik. Kapan saja kita mempunyai waktu. Tentu saja jika keadaanmu sudah pulih kembali,” jawab Glagah Putih. “Aku sudah merasa bahwa tenaga dan kekuatan serta daya tahanku telah pulih kembali.” “Kita dapat mulai sedikit demi sedikit,” jawab Glagah Putih, yang kemudian telah duduk di samping Wacana untuk mengeringkan keringatnya. Ketika kemudian mereka keluar dari sanggar, maka mereka memang melihat Ki Jayaraga sedang menarik senggot timba untuk mengisi jambangan di pakiwan. “Biarlah nanti aku isi, Guru,” berkata Glagah Putih yang mendekatinya. “Biar saja. Nanti aku kantuk lagi,” jawab Ki Jayaraga. Glagah Putih pun kemudian meninggalkan gurunya di pakiwan. Berdua mereka pergi ke serambi gandok. Namun Wacana telah mulai berbicara lagi tentang Kanthi. Demikianlah, maka sejak saat itu penghuni di rumah Agung Sedayu telah bertambah lagi. Di sore hari, seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu, maka seisi rumah itu pun telah berkumpul. Tidak ada persoalan penting yang mereka bicarakan, namun pertemuan seperti itu dimaksudkan oleh Agung Sedayu untuk meningkatkan saling pengertian di antara seisi rumah itu. Agar masing-masing merasa bahwa mereka adalah satu keluarga. Saling mengerti dan saling mempedulikan yang satu dengan yang lain. Dalam pertemuan itulah Wacana menjadi semakin mengenal Kanthi. Demikian pula Kanthi mulai mengenalnya. Di hari-hari berikutnya, perkenalan Wacana dan Kanthi pun menjadi cepat akrab. Mereka berusaha untuk saling mengerti dan saling mempedulikan. Namun setiap kali perasaan Kanthi masih saja selalu dihambat oleh keadaannya. Bagaimanapun juga Kanthi itu sedang mengandung, yang tentu saja semakin hari menjadi semakin bertambah besar. Tetapi dengan sengaja Wacana memang sering menyinggungnya. Ia ingin mengatakan kepada Kanthi bahwa ia sudah mengetahui keadaan Kanthi seutuhnya. Wacana ingin mengatakan kepada Kanthi bahwa sikapnya itu adalah sikap wajarnya, dan tidak akan dikejutkan lagi oleh kenyataan tentang diri Kanthi. Nampaknya hubungan Wacana dan Kanthi itu justru membuat Rara Wulan gembira. Gadis itulah yang paling banyak menaruh perhatian terhadap Kanthi yang menderita. Sementara itu, Glagah Putih memang sudah menemui Prastawa di rumah Ki Gede. Glagah Putih telah menceritakan apa yang telah terjadi di Kademangan Kleringan. Iapun telah menceritakan pula,bahwa Kanthi sekarang berada di rumah Agung Sedayu. Prastawa mendengarkan keterangan Glagah Putih itu sambil mengangguk-angguk kecil. Bagaimanapun juga hatinya telah diketuk oleh kenyataan pahit yang dialami oleh Kanthi. “Tetapi itu memang bukan salahmu,” berkata Glagah Putih. Lalu katanya selanjutnya, “Yang kami minta sekarang adalah pengertianmu, untuk tidak lewat di depan rumah Kakang Agung Sedayu untuk beberapa hari ini.” Prastawa mengangguk-angguk. Pandan Wangi yang ikut mendengarkannya berkata, “Kau harus mencoba untuk mengerti Prastawa. Meskipun Tanah Perdikan ini bebas kau jelajahi, apalagi mengingat tugas-tugasmu, namun kau sebaiknya membiarkan Kanthi mendapat ketenangan di Tanah Perdikan ini, sampai goncangan-goncangan jiwanya itu dapat terkendali.” Prastawa mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti Mbokayu. Tetapi kenapa Kanthi justru berada di Tanah Perdikan ini?” “Ia tidak memilih. Hatinya yang gelap itu seakan-akan mendapat seberkas sinar terang ketika Rara Wulan datang, sehingga langsung telah mengambil keputusan untuk mengikutinya,” sahut Glagah Putih. Prastawa memang dapat membayangkan gejolak perasaan Kanthi waktu itu, sehingga hampir saja Kanthi mengakhiri hidupnya dengan cara yang seharusnya tidak dilakukannya. Namun dalam pada itu Swandaru pun berdesis, “Tetapi besok sore, Paman Argajaya akan menerima utusan keluarga Anggreni yang akan menjawab lamarannya beberapa hari yang lalu. Jika kemudian ditentukan hari pernikahannya, apakah keramaian yang bakal diselenggarakan di Tanah Perdikan ini tidak terdengar oleh Kanthi, sehingga akan dapat membuat luka di hatinya terasa pedih lagi?” “Kanthi tidak pernah keluar dari halaman rumah, ia tidak pernah ikut Mbokayu Sekar Mirah ke pasar, dan bahkan tidak ke warung terdekat sekalipun,” jawab Glagah Putih. “Tetapi suatu saat Kakang Agung Sedayu dan Sekar Mirah akan ikut menjadi sibuk,” berkata Swandaru, “tentu Kanthi bertanya-tanya, diucapkan atau tidak, kenapa Kakang Agung Sedayu dan Sekar Mirah harus mengenakan pakaian yang tidak dikenakannya sehari-hari. Bahkan Sekar Mirah tentu ikut membantu kesibukan di rumah Paman Argajaya.” “Tetapi bukankah yang menjadi lebih sibuk adalah keluarga Anggreni?” bertanya Glagah Putih. “Tetapi tentu juga Paman Argajaya,” jawab Swandaru. “Katakan saja, Sekar Mirah mendapat tugas menyelenggarakan keramaian Merti Desa,” desis Pandan Wangi. Swandaru tersenyum. Katanya, “Memang bukan sesuatu hal yang sangat sulit. Tetapi aku kira sebaiknya Kanthi justru mengetahui, sehingga ia tidak merasa selalu dibayangi oleh kebohongan.” Tetapi Pandan Wangi menjawab, “Tetapi harus dicari saat yang paling tepat untuk mengatakannya.” Swandaru mengangguk-angguk, sementara Prastawa berkata, “Baiklah. Aku akan berusaha untuk tidak mengganggu ketenangan Kanthi. Ia datang kemari untuk melupakan pedih hatinya. Kita memang harus membantunya.” Namun Glagah Putih ternyata juga mendapat pesan, agar Agung Sedayu besok sore berada di rumah Ki Argajaya karena utusan keluarga Anggreni akan datang memberikan jawaban atas lamaran Ki Argajaya, meskipun sebenarnya jawaban itu sudah diketahui. Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia sadar bahwa pesan itu harus disampaikannya tanpa didengar oleh Kanthi. Namun perkenalan dan kemudian hubungan sehari-hari antara Kanthi dan Wacana nampak menjadi semakin akrab. Setiap kali Wacana berusaha untuk membantu apa saja yang dilakukan oleh Kanthi. Kanthi sendiri merasakan satu sikap yang lain dari Wacana. Anak muda itu sangat memperhatikannya. Ia banyak membantunya, dan sekali-sekali memberinya beberapa petunjuk tentang hidup dan kehidupan. Sebelumnya Kanthi sudah lama mengenal Prastawa. Bahkan ia pernah merasa betapa hatinya telah terjerat oleh anak muda itu. Tetapi Prastawa tidak memperhatikannya sebagaimana Wacana. Prastawa pun tidak memberinya petunjuk-petunjuk yang mendalam tentang hidup dan kehidupan. Jika Prastawa menemuinya di rumahnya, wajahnya memang nampak cerah. Senyumnya selalu menghiasi bibirnya. Tetapi ia lebih banyak berbicara tentang keadaan sehari-hari di Tanah Perdikan dan di Kademangan Kleringan. Pembicaraan yang tidak membekas, karena hanya sekedar menyentuh permukaan. Yang membekas di hati Kanthi adalah justru wajah dan senyum Prastawa yang ceria. Tetapi tidak demikian dengan Wacana. Anak muda ini lebih bersungguh-sungguh menanggapi hidup dan kehidupan. Menurut pendapat Kanthi, maka Wacana adalah salah satu sosok seorang laki-laki yang dapat menjadi pelindung bagi keluarganya. Namun setiap kali Kanthi terdampar pada kenyataan tentang dirinya. Setiap ia menyadari keadaan dirinya, maka ia segera merasa rendah diri, dan bahkan sekali-sekali melemparkannya ke dalam satu keadaan tiada berpengharapan. Namun Kanthi masih juga dibayangi oleh satu kebimbangan. Wacana telah mengetahui dengan pasti akan keadaannya. Tetapi sikapnya memberikan kehangatan atas satu pengharapan. Sementara itu, ketika tiba saatnya Ki Argajaya menerima utusan dari keluarga Anggreni, maka Agung Sedayu dan Sekar Mirah telah pergi ke rumah Ki Gede. Tetapi mereka berniat untuk berbenah diri di rumah Ki Gede. Bahwa Swandaru dan Pandan Wangi ada di rumah Ki Gede, akan dapat mengurangi keseganan Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Ketika Agung Sedayu dan Sekar Mirah pergi, maka Kanthi memang bertanya tentang mereka. Tetapi Rara Wulan yang sudah mendapat pesan dari Sekar Mirah menjawab, “Mereka dipanggil oleh Ki Gede, sehubungan dengan peningkatan kesiapan Mataram menghadapi kemelut dengan Pati.” Kanthi hanya mengangguk-angguk saja. Ia tidak bertanya lebih lanjut. Tetapi justru timbul kecemasan bahwa akan timbul keadaan yang kurang baik oleh akibat peperangan, jika perang itu benar-benar terjadi kelak. Karena sedikit-sedikit Kanthi pernah mendengar hubungan antara Mataram dan Pati menjadi gelap. Sementara itu, Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun seperti direncanakan telah berbenah diri di rumah Ki Gede. Mereka berterus terang bahwa mereka sengaja menghindari pertanyaan Kanthi. “Jika kau perlakukan Kanthi seperti itu, maka ia tentu akan menjadi sangat manja,” berkata Swandaru. “Tentu tidak seterusnya. Kakang,“ Pandan Wangi-lah yang justru menyahut, “Kanthi baru saja tergoncang jiwanya, bahkan setelah ia mencoba membunuh diri. Sekarang ia sedang berusaha mencapai keseimbangan perasaan dan penalarannya kembali.” Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Aku akan berusaha untuk mengerti.” Tetapi Pandan Wangi justru bertanya, “Apakah kira-kira usaha Kakang itu berhasil?” Swandaru terkejut mendengar pertanyaan itu. Tetapi iapun kemudian tersenyum sambil menjawab, “Aku akan berhasil.” Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Agung Sedayu pun tersenyum pula. Demikianlah, sejenak kemudian mereka pun telah pergi ke rumah Ki Argajaya. Bahkan Ki Gede pun berkenan pergi pula, karena Prastawa selain kemenakannya maka ia adalah pemimpin pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Sore itu, beberapa orang tamu telah datang ke rumah Ki Argajaya. Mereka adalah orang-orang yang dituakan oleh keluarga Anggreni, dengan beberapa orang pengiringnya. Sebenarnya memang tidak ada masalah apa-apa. Segalanya sudah dapat diketahui, bahwa keluarga Anggreni datang untuk menerima lamaran Ki Argajaya, bahwa Anggreni akan diperistri oleh Prastawa. Tetapi ketika Ki Argajaya bertanya apakah keluarga Anggreni sudah mempunyai ancar-ancar waktu, maka utusan keluarga Anggreni itu menjawab, “Sama sekali belum Ki Argajaya. Segala sesuatunya kami serahkan kepada Ki Argajaya.” “Tetapi bukankah ajang peralatan itu nanti berada di rumah calon pengantin perempuan?” bertanya Ki Gede. “Benar Ki Gede, tetapi segala sesuatunya kami menunggu perintah dari sini.” “Tentu bukan perintah,” sahut Ki Argajaya, “kita akan membicarakan bersama.” “Bagaimana kalau sepekan lagi?“ tiba-tiba Swandaru memotong, “Jika hanya sepekan, aku akan menunggu.” “Ah,” Pandan Wangi berdesah. Tetapi iapun segera terdiam. Ia sadar bahwa ia tidak berwenang untuk menjawab. Ternyata utusan keluarga Anggreni yang dituakan itu-lah yang menjawab, “Maafkan Ngger. Jika sepekan lagi, maka kami akan menjadi sangat tergesa-gesa.” Ki Jayaraga yang mendahului Agung Sedayu dan langsung pergi ke rumah Ki Argajaya itu pun tertawa pula. Katanya, “Tentu tidak mungkin. Jika pernikahan itu harus diselenggarakan sepekan lagi, maka mulai besok keluarga calon penganten itu harus sudah berbelanja, mulai memasak, dan jika Prastawa harus memakai upacara ngenger, malam nanti Prastawa harus berangkat.” Swandaru pun tertawa. Katanya, “Nampaknya aku terlalu memikirkan diri sendiri.” Ki Argajaya-lah yang kemudian berkata, “Sebaiknya, kami serahkan rencana saat pernikahan itu kepada keluarga calon pengantin perempuan. Hari, pasaran, tanggal dan bulan baik, dan waktunya, apakah pagi, siang atau sore hari. Kami akan menyesuaikan diri, karena kesibukan itu akan berlangsung di rumah calon pengantin perempuan. Untuk itu kami cukup diberitahukan saja.” Utusan keluarga calon pengantin perempuan itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Nanti kami akan membicarakannya dengan seluruh keluarga. Dalam sepekan ini kami akan memberitahukan hasilnya.” “Sebelum akhir pekan,” sahut Swandaru, “aku hanya tinggal sepekan berada di Tanah Perdikan ini. Sebelum kami pulang, hendaknya kami sudah tahu kapan kami harus datang kembali kemari. Mudah-mudahan kami tidak sedang berada di medan perang.” “Tentu tidak,” jawab Ki Gede, “jika perang terjadi sebelum hari pernikahan, maka pernikahan itu tentu dengan sendirinya akan tertunda.” Demikianlah, pembicaraan itu pun segera berakhir. Tetapi untuk beberapa saat para tamu itu masih duduk berbincang-bincang tentang banyak hal yang menyangkut padukuhan-padukuhan di Tanah Perdikan. Namun akhirnya para tamu itu pun telah mohon diri meninggalkan rumah Ki Argajaya. Sepeninggal para tamu utusan keluarga calon pengantin perempuan, maka Ki Gede pun telah minta diri pula. Agung Sedayu dan Sekar Mirah akan singgah di rumah Ki Gede untuk berganti pakaian, sebagaimana mereka berangkat dari rumah. Ki Jayaraga yang keluar dari rumah tidak bersama mereka dan langsung pergi ke rumah Ki Argajaya, akan langsung pulang. Swandaru memang masih mentertawakan mereka, seakan-akan seisi rumah itu telah dikendalikan oleh kehadiran Kanthi. Tetapi Pandan Wangi pula yang berkata, “Apa salahnya menjaga perasaan seseorang? Jika Ki Jayaraga berangkat dan pulang bersama-sama dengan Kakang Agung Sedayu dan Sekar Mirah, maka Kanthi akan dapat bertanya-tanya. Jika saja pertanyaan itu terucapkan, maka akan dapat diberikan penjelasan meski-pun harus berbohong. Tetapi jika pertanyaan itu disimpan di dalam hatinya, maka pertanyaan itu akan dapat mengganggu keseimbangan jiwanya yang sudah mulai membaik.” Swandaru masih tertawa sambil mengangguk-angguk, “Ya. Ya. Aku mengerti.” Sementara itu di rumah, Glagah Putih masih sedang berada di kandang kuda. Sementara Rara Wulan berada di dapur untuk menjerang air. Kanthi ternyata juga berada di dapur membantu Rara Wulan. “Sudahlah Kanthi,” berkata Rara Wulan, “kau tidak boleh terlalu banyak melakukan sesuatu.” “Bukankah aku tidak berbuat apa-apa selain menunggui api agar tetap menyala?” sahut Kanthi. “Tetapi tidak baik bagimu untuk duduk terlalu lama di atas dingklik yang rendah itu,” berkata Rara Wulan kemudian. Kanthi memang bangkit. Tetapi ketika ia melihat air di gentong yang sudah tinggal sedikit, maka iapun telah mengambil klenting untuk mengisi gentong. Untunglah Rara Wulan melihatnya, sehingga cepat-cepat ia mencegahnya, “Jangan. Biarlah nanti orang lain yang mengisinya. Biasanya Kakang Glagah Putih atau anak itu.” “Aku tidak melihat Kakang Glagah Putih,” sahut Kanthi, “Sukra agaknya juga sedang pergi.” Rara Wulan mengerutkan dahinya. Ia justru bertanya, “Siapa yang kau maksud dengan Sukra?” “Anak itu,” jawab Kanthi. “Anak yang mana?” desak Rara Wulan. “Anak yang di sini. Tentu anak yang kau maksudkan untuk mengisi gentong itu.” “O,“ Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. “Kenapa?” bertanya Kanthi. “Namanya bukan Sukra,” jawab Rara Wulan. “Siapa? Aku dengar Kakang Glagah Putih pernah memanggilnya Sukra.” Rara Wulan Tersenyum. Katanya, “Aku juga pernah bingung memanggil anak itu, sehingga aku pernah menanyakannya. Menurut Kakang Agung Sedayu, nama sebenarnya adalah Gatra Bumi. Tetapi anak itu malu setiap kali ia mendengar namanya sendiri. Nama itu merupakan beban yang terlalu berat. Karena itu ia lebih senang dipanggil dengan nama apa saja. Bahkan jarang sekali anak itu dipanggil dengan sebuah nama.” “Jadi?” bertanya Kanthi. “Karena anak itu senang sekali ikan tambra, maka Kakang Glagah Putih sering memanggilnya Tambra. Sering pula dipanggilnya Kampret, atau nama apapun. Tetapi lebih sering dipanggil dengan Thole,” jawab Rara Wulan. Kanthi mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun berkata, “Baiklah. Tetapi nampaknya anak itu tidak berkeberatan aku panggil Sukra. Biarlah aku memanggilnya Sukra untuk seterusnya.” Rara Wulan tertawa. Katanya, “Yang lain tentu tidak berkeberatan. Kakang Glagah Putih, Kakang Agung Sedayu dan yang lain tentu tidak berkeberatan pula.” Ternyata ketika Glagah Putih kemudian masuk ke dapur, Rara Wulan pun telah mengatakan kepadanya, bahwa anak yang ada di rumah itu sebaiknya dipanggil dengan sebuah nama. Glagah Putih pun tertawa. Katanya, “Baiklah. Aku akan mengatakan kepada anak itu. Jika ia tidak berkeberatan, maka jadilah namanya Sukra.” Ketika senja kemudian menjadi gelap, maka Ki Jayaraga pun telah pulang lebih dahulu. Tetapi baik Glagah Putih maupun Rara Wulan tidak bertanya sama sekali kepada Ki Jayaraga tentang kepergiannya. Baru beberapa saat kemudian Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun kembali pula. Kanthi memang tidak melihat sesuatu yang perlu dipertanyakan kepada Ki Jayaraga atau kepada Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Sementara itu Ki Jayaraga, Agung Sedayu dan Sekar Mirah sama sekali tidak membicarakan rencana pernikahan Prastawa. Malam itu, Glagah Putih telah mengajak anak yang tinggal di rumah itu untuk berlatih. Setelah beberapa saat anak itu beristirahat setelah makan malam, maka Glagah Putih membawanya untuk melakukan latihan-latihan ringan di kebun belakang. Namun sebelum mereka mulai berlatih, Glagah Putih pun berkata, “He, Kampret, kau sekarang mempunyai sebuah nama.” “Jangan panggil namaku,” jawab anak itu, “menurut orang tua-tua, nama yang menjadi beban terlalu berat, akan dapat membuat seseorang menjadi sakit-sakitan.” “Tidak. Kau mempunyai nama baru. Kanthi yang memberikannya,” berkata Glagah Putih. “Kanthi orang baru itu?” bertanya anak itu. “Ya. Nampaknya kau sangat menarik perhatiannya. Baginya kau adalah anak yang rajin dan mengerti tugas-tugas yang harus kau lakukan. Karena itu ia ingin memberimu nama, agar ia dapat memanggilmu dengan mudah,” berkata Glagah Putih. “Kenapa tiba-tiba namaku menjadi persoalan? Bukankah selama ini tidak ada masalah apapun dengan namaku?” bertanya anak itu. “Kau akan selalu dipanggil Sukra. Ceritakan kepada kawan-kawanmu yang memanggilmu Kampret, bahwa namamu adalah Sukra,” berkata Glagah Putih kemudian. Anak itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baik. Nama itu memang lebik baik.” Glagah Putih tersenyum. Namun kemudian katanya, “Nah, marilah. Kita akan mulai berlatih. Kita akan berlatih di udara terbuka kali ini. Kita lihat apakah nanti kita perlu pindah ke sanggar atau tidak. Latihan ini memang memerlukan tempat yang agak luas.” Anak itu mengangguk kecil. Ia tidak lagi berani bersikap seenaknya lagi kepada Glagah Putih. Demikianlah, Glagah Putih pun telah mulai dengan latihan-latihan dasar olah bela diri. Glagah Putih telah memperkenalkan anak itu dengan langkah-langkah panjang. Langkah-langkah yang akan dapat memberikan arti bagi ketahanan tubuh dan pernafasannya. Dengan sungguh-sungguh anak itu mengikuti segala petunjuk Glagah Putih. Anak itu benar-benar ingin dapat menguasai dasar-dasar ilmu bela diri. Dengan demikian maka anak itu mampu menguasai beberapa unsur gerak dalam waktu yang terhitung cepat. Menjelang tengah malam, anak itu pun telah nampak mulai menjadi letih. Karena itu Glagah Putih pun kemudian telah mengakhiri latihan-latihan itu. “Kau tidak usah terlalu memaksa diri, karena justru dengan demikian akan dapat mengganggu perkembangan kewadaganmu.” Anak itu tidak berani lagi membantah. Ketika Glagah Putih minta ia meletakkan ungkapan tenaganya dengan mengatur pernafasannya dengan cara yang telah diajarkannya, maka anak itu pun segera melakukannya. Setelah beristirahat dan setelah membersihkan dirinya dan berganti dengan pakaian yang tidak basah oleh keringat, maka Glagah Putih pun telah pergi ke serambi gandok. Ternyata Wacana juga belum tidur. Iapun duduk di amben bambu di serambi gandok pula. “Kau belum tidur,” bertanya Glagah Putih yang kemudian duduk di sebelahnya. “Kau juga belum,” sahut Wacana. “Aku baru saja berlatih bersama anak itu,” jawab Glagah Putih, “nampaknya ia bersungguh-sungguh ingin menguasai kemampuan bela diri.” Wacana mengangguk-angguk. Tetapi agaknya ia tidak begitu tertarik mendengarnya. Namun tiba-tiba saja di luar dugaan Glagah Putih, Wacana itu bertanya, “Setelah beberapa hari berada di sini, bagaimana pendapatmu tentang Kanthi?” Glagah Putih mengerutkan dahinya. Dengan agak ragu ia bertanya, “Maksudmu?” Wacana menarik nafas dalam-dalam. Untuk beberapa saat anak muda itu merenung. Namun kemudian betapapun ia ragu-ragu, namun iapun berkata, “Glagah Putih. Kanthi membutuhkan seseorang yang bersedia menjadi sisihannya. Dengan demikian ia akan dapat dibebaskan dari penderitaan batin saat anaknya lahir.” Di luar sadarnya Glagah Putih memandangi wajah Wacana dengan dahi yang berkerut. Dengan nada rendah ia berkata, “Benar Wacana. Tetapi tentu dibutuhkan seseorang yang mau menerimanya secara utuh.” “Tentu Glagah Putih. Orang yang bersedia menjadi suaminya harus orang yang sudah mengetahui keadaannya, menerima tanpa syarat,” jawab Wacana. “Ya. Jika tidak, maka pada saat bayinya akan lahir, maka perasaan dan penalarannya yang kini mulai menjadi seimbang akan terguncang lagi. Bahkan mungkin lebih keras. Anak itu baginya akan menjadi beban yang tidak akan dapat diletakkannya.” “Aku sependapat, Wacana,” berkata Glagah Putih, “tetapi tentu diperlukan seseorang yang bersedia melakukannya dengan penuh kesadaran.” “Glagah Putih,” suara Wacana merendah, “aku sudah mengetahui keadaan Kanthi. Tetapi aku juga mengetahui bahwa ia memerlukan seseorang yang membantunya mengatasi goncangan-goncangan perasaannya di saat bayi lahir.” “Maksudmu?” bertanya Glagah Putih. “Aku bersedia menjadi orang yang dapat membantunya itu.” berkata Wacana sambil memandang ke kejauhan. Glagah Putih menarik nafas panjang. Ia tidak terkejut karena ia sudah menduganya. Meskipun demikian, Glagah Putih itu pun kemudian berkata, “Wacana. Apakah tegasnya kau bersedia menikah dengan Kanthi? Begitu maksudmu?” “Ya,” jawab Wacana. “Aku kagum akan kebesaran jiwamu. Meskipun demikian, maka kau sebaiknya memikirkannya lagi. Jika sebuah perkawinan hanya didasari karena rasa belas kasihan, maka perkawinan itu tidak berdiri di atas alas yang kokoh. Pada suatu saat, keadaan yang menimbulkan rasa belas kasihan itu tidak nampak lagi. Jika hidup menjadi tegar kembali serta harapan semakin cerah di masa datang, masa rasa kasihan itu akan berangsur hilang. Pada saat yang demikian perkawinan itu akan menjadi goncang.” “Glagah Putih,” berkata Wacana dengan nada berat, “jika aku bersedia menjadi suaminya, dasarnya bukan semata-mata belas kasihan. Setelah aku mengenalnya dari dekat, maka aku yakin bahwa Kanthi adalah seorang perempuan yang baik. Ia akan menjadi seorang yang setia dan mengerti akan tugasnya. Terus terang Glagah Putih, aku seakan -akan telah menemukan apa yang pernah hilang dari padaku beberapa waktu yang lalu.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi kau harus ingat, bahwa di dalam diri Kanthi terdapat seorang yang kelak akan dapat mengingatkanmu tentang keadaan Kanthi sekarang ini.” “Aku sudah memikirkannya berulang kali Glagah Putih. Aku tentu akan dapat melupakannya. Aku akan dapat menganggapnya sebagai anakku sendiri, justru karena aku sudah mengetahui sebelumnya. Aku akan merasa tersiksa kelak jika aku sebelumnya tidak mengetahuinya,“ jawab Wacana. Glagah Putih kemudian bergumam, “Aku sangat menghargai sikapmu Wacana. Apakah kau pernah berbicara dengan Kanthi, langsung atau tidak langsung?” “Belum Glagah Putih. Aku takut,” jawab Wacana. “Kenapa takut?” bertanya Glagah Putih. “Kanthi akan dapat menjadi salah paham. Seperti katamu, ia dapat mengira aku hanya sekedar mengasihaninya,” jawab Wacana. “Jadi, bagaimana mungkin Kanthi mengetahuinya jika kau tidak mengatakannya?” bertanya Glagah Putih. Wacana tidak menjawab. Tetapi wajahnya justru tertunduk lesu. Sekali-kali diusapnya keringat yang membasah di kening. “Wacana,” berkata Glagah Putih kemudian, “jika aku boleh bertanya, bukankah kau sudah menjadi semakin akrab dengan Kanthi dalam waktu yang singkat? Dengan demikian agaknya kau sudah dapat menjajaginya, bagaimana sikap dan perasaan Kanthi terhadapmu.” Wacana termangu-mangu sejenak. Katanya kemudian, “Glagah Putih. Nampaknya Kanthi sangat dekat dengan Rara Wulan. Seakan-akan ada ikatan dan bahkan ketergantungan perempuan itu kepada Rara Wulan. Karena itu, aku minta tolong kepadamu Glagah Putih. Katakan kepada Rara Wulan persoalanku ini. Jika yang menyampaikan hal itu kepada Kanthi adalah Rara Wulan sendiri, maka tanggapan Kanthi tentu akan berbeda.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia menyahut, “Aku mengerti Wacana. Biarlah Rara Wulan mengatakannya.” “Terima kasih, Glagah Putih. Tetapi aku mohon Rara Wulan berhati-hati, agar Kanthi tidak menjadi salah paham,” desis Wacana. “Baiklah. Mudah-mudahan niat baik yang memancar dari kebesaran jiwamu itu dapat terlaksana. Semuanya akan ikut bergembira. Tentu saja Kakang Agung Sedayu, Mbokayu Sekar Mirah akan menyambut dengan gembira. Demikian juga Ki Jayaraga. Menurut pendapatku, yang juga akan menyambut dengan sepenuh hati adalah Prastawa. Ia akan merasa terlepas dari satu himpitan perasaan bersalah, meskipun sebenarnya ia tidak bersalah.” “Ya. Prastawa memang tidak bersalah,” desis Wacana. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat jalan keluar yang baik bagi Kanthi. Namun demikian, Glagah Putih berniat untuk berbicara dengan Agung Sedayu dan lebih dahulu, sebelum ia minta kepada Rara Wulan untuk menyampaikannya kepada Kanthi. Malam itu, Wacana dapat tidur nyenyak. Ia merasa bahwa sebagian bebannya telah diletakkannya. Ia berharap bahwa Glagah Putih dan Rara Wulan benar-benar bersedia membantunya. Pagi berikutnya, Glagah Putih benar-benar telah menyampaikannya kepada Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Ketika Sekar Mirah meletakkan minuman hangat di ruang dalam, maka Glagah Putih telah minta untuk berbicara sejenak. “Apa yang akan kau bicarakan?” bertanya Sekar Mirah. Glagah Putih berdesis, “Penting. Tentang Wacana. Dimana kita dapat berbicara bersama Kakang Agung Sedayu?” Sekar Mirah pun kemudian menyampaikannya kepada Agung Sedayu, yang sedang berbenah diri dan mengenakan pakaian keprajuritan di dalam biliknya. “Panggil Glagah Putih kemari,” desis Agung Sedayu. Di dalam bilik Agung Sedayu, Glagah Putih telah menyampaikan persoalan Wacana dalam hubungannya dengan Kanthi. “Bukan sekedar karena belas kasihan,” berkata Glagah Putih kemudian. “Aku percaya kepada Wacana,” desis Agung Sedayu, “ia merasa menemukan kembali apa yang pernah hilang dari padanya, meskipun sudah tentu bobotnya tidak sama. Tetapi akupun melihat bahwa Kanthi akan dapat menjadi seorang istri yang baik. Pengalaman pahit yang pernah terjadi atas dirinya akan membantu membuatnya lebih berhati-hati melintas langkah-langkah kehidupan.” “Menurut pendapatku, pada dasarnya Kanthi adalah anak yang baik,” sahut Sekar Mirah, “tetapi bagaimana dengan anak yang dikandungnya?” “Wacana menyadari sepenuhnya akan kehadiran seorang anak segera setelah pernikahannya. Tetapi menurut Wacana, justru karena hal itu sudah diketahuinya, maka tidak akan menjadi beban yang berlebihan baginya kelak.” “Baiklah,” berkata Agung Sedayu, “aku tidak berkeberatan.” “Apakah Mbokayu juga tidak berkeberatan?” bertanya Glagah Putih. “Aku juga tidak berkeberatan,” jawab Sekar Mirah. Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian, aku akan berbicara dengan Rara Wulan nanti.” “Katakanlah. Mudah-mudahan Kanthi tidak menjadi salah paham. Atau justru karena ia merasa rendah diri dan bersalah sehingga ia merasa tidak berhak untuk menerima uluran tangan itu,” berkata Sekar Mirah selanjutnya. Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Ia sadar bahwa apa yang harus dilakukan oleh Rara Wulan bukan satu hal yang mudah. Justru karena persoalannya langsung menyentuh dasar hatinya yang paling dalam. Ketika kemudian sesudah makan pagi Agung Sedayu berangkat ke barak, maka Glagah Putih telah berbicara pula dengan Ki Jayaraga tentang maksud Wacana, dan pertimbangan Agung Sedayu serta Sekar Mirah. Tetapi Ki Jayaraga kemudian berkata, “Sebaiknya Rara Wulan menyampaikan pesan Wacana itu bersama Angger Sekar Mirah. Angger Sekar Mirah yang sudah lebih luas pengalaman hidupnya akan dapat memberikan beberapa pertimbangan, jika Kanthi menjadi salah paham terhadap niat baik Wacana.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan minta kedua-duanya.” Demikianlah, di luar pengetahuan Kanthi, Glagah Putih telah berbicara dengan Rara Wulan dan Sekar Mirah. Ketika Glagah Putih menyampaikan hal itu kepada Rara Wulan, maka Rara Wulan pun tidak terkejut lagi. Seperti Glagah Putih, iapun telah menduga bahwa pada suatu saat Wacana akan sampai pada sikapnya itu. Meskipun demikian, titik-titik air telah mengembun di pelupuk mata Rara Wulan. Dengan nada sendat ia berkata, “Aku berdoa dengan sungguh-sungguh, agar niat itu dapat terlaksana. Wacana dan Kanthi yang hatinya sama-sama pernah terluka itu, akan dapat saling mengisi untuk menemukan hari depan yang ceria.” Ternyata Sekar Mirah pun tidak berkeberatan pula. Keduanya telah sepakat untuk berbicara dengan Kanthi sesudah makan malam. Hari itu juga Glagah Putih telah berbicara dengan Wacana. Glagah Putih memberitahukan, bahwa Rara Wulan tidak berkeberatan untuk menyampaikan pesan Wacana. Bahkan bersama dengan Sekar Mirah. “Aku hanya dapat mengucapkan terima kasih,” desis Wacana. “Mudah-mudahan niat baikmu itu dapat berakhir dengan baik pula,” sahut Glagah Putih. Wacana mengangguk-angguk. Katanya, “Aku benar-benar berharap, agar aku tidak akan merasa kehilangan untuk kedua kalinya.” “Kami akan berusaha sejauh dapat kami lakukan, Wacana,” desis Glagah Putih kemudian. Namun dengan demikian Glagah Putih pun menjadi cemas. Jika terjadi salah paham, maka hati kedua-duanya akan menjadi semakin terluka. Hari itu tiba-tiba saja menjadi hari yang gelisah bagi seisi rumah Agung Sedayu, kecuali Kanthi yang masih belum tahu apa yang sedang direncanakan oleh seisi rumah itu. Mereka dibayangi oleh berbagai kemungkinan yang dapat terjadi. Mungkin Kanthi akan merasa berbahagia. Tetapi mungkin justru terjadi salah paham. Tetapi baik Sekar Mirah, maupun Rara Wulan berusaha untuk tidak menampakkan kegelisahannya kepada Kanthi, yang sudah terbiasa membantu mereka di dapur. Menjelang matahari sepenggalah, Ki Jayaraga sudah siap untuk pergi ke sawah. Sambil menjinjing cangkul ia berkata kepada anak yang tinggal di rumah Agung Sedayu, “He, Sukra. Nanti jangan terlambat mengirim makan ke sawah.” Anak itu memandang Ki Jayaraga dengan kerut di kening. Dengan senyum kecil Ki Jayaraga berkata, “Bukankah kau sekarang bernama Sukra? Nama yang sangat baik bagimu.” Anak itu mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Aku bernama Sukra. Aku senang pada nama itu.” “Yang penting, jangan terlambat,” berkata Ki Jayaraga kemudian. Demikian Ki Jayaraga pergi ke sawah, maka Wacana, yang agaknya juga menjadi gelisah, berkata kepada Glagah Putih, “Aku akan ikut Ki Jayaraga ke sawah.” Glagah Putih tersenyum. Ia melihat kegelisahan yang terbayang di wajah Wacana. “Baiklah,” berkata Glagah Putih, “sebentar lagi aku juga akan pergi menemui para pengawal di rumah Ki Gede.” Melihat Glagah Putih tersenyum, maka Wacana pun tersenyum pula meskipun agak tertahan. Sementara Glagah Putih pun berkata, “Jangan gelisah Wacana. Seisi rumah ini akan berusaha membantu kalian berdua.” “Terima kasih,“ desis Wacana, yang segera menyusul Ki Jayaraga. Seperti Ki Jayaraga, Wacana pun membawa cangkul pula di pundaknya. Sementara itu, Glagah Putih pun telah bersiap pula untuk pergi ke rumah Ki Gede menemui para pemimpin pengawal Tanah Perdikan, yang merupakan bagian dari tugas-tugasnya di Tanah Perdikan. “Aku tidak terlalu lama Mbokayu,” berkata Glagah Putih ketika ia minta diri. Ketika Glagah Putih sampai di rumah Ki Gede, maka ia melihat di pendapa beberapa orang telah berkumpul. Ki Gede nampaknya sedang memimpin sebuah pertemuan para bebahu Tanah Perdikan, termasuk Prastawa dan beberapa orang pemimpin pengawal. Ketika Ki Gede melihat Glagah Putih, maka iapun berkata, “Nah, kebetulan kau datang Ngger. Tadi pagi hampir saja Prastawa lupa akan datang memanggilmu ke rumah. Untunglah ia segera teringat dan membatalkannya. Tetapi kemudian ia terlupa untuk tidak menyuruh orang lain datang memanggilmu. Baru saja seorang pengawal aku perintahkan pergi ke rumahmu. Tetapi agaknya ia tentu bertemu dengan kau di jalan.” “O,” Glagah Putih mengangguk. Ia memang bertemu seorang pengawal di luar regol. Tetapi Glagah Putih tidak begitu menghiraukannya ketika pengawal itu berbalik dan berkata kepadanya, “Kebetulan, kau sudah datang.” Demikianlah, Glagah Putih pun telah ikut duduk pula bersama para bebahu dan pemimpin pengawal Tanah Perdikan. Bahkan Swandaru pun ada di antara mereka. “Kami sedang membicarakan perintah dari Mataram,” berkata Ki Gede. Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara Ki Gede berkata selanjutnya, “Mataram memerintahkan agar kita meningkatkan kewaspadaan. Nampaknya hubungan Mataram dan Pati menjadi semakin buram. Segala upaya telah ditempuh, namun belum ada tanda-tanda bahwa keadaan akan mereda. Kedua belah pihak berpegang kepada sikapnya masing-masing, karena masing-masing merasa berpijak kepada kebenaran.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Perintah serupa telah diterima pula oleh Agung Sedayu sebagai Lurah Prajurit dari Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan Menoreh. Namun Swandaru pun kemudian berdesis, “Agaknya perintah seperti ini juga disampaikan kepada Panglima pasukan Mataram di Jati Anom, dan tentu juga kepada pasukan pengawal Sangkal Putung.” “Kakang Agung Sedayu juga sudah menerima perintah itu,” berkata Glagah Putih. “Jika demikian, nampaknya sulit untuk mempertemukan lagi kedua orang yang semula diharapkan dapat membina keutuhan wilayah Pajang. Bayangan perang agaknya telah benar-benar menghantui rakyat Mataram dan Pati,” desis Ki Gede. Tetapi Swandaru berkata, “Jika sudah tidak ada upaya lain yang dapat dilakukan, maka perang itu-lah yang akan menentukan.” “Perang selalu membawa akibat buruk kedua belah pihak,” desis Ki Gede. “Tetapi sebagai rakyat Mataram, maka kita tidak dapat berbuat lain. Apabila Panembahan Senapati memerintahkan, maka perang itu akan terjadi dengan segala macam akibatnya.” “Benar Ngger. Tetapi penglihatan wajar kita dapat mengatakan bahwa perang akan mengesampingkan peradaban yang sudah terbina berbilang abad.” Swandaru mengangguk-angguk. Namun ia berkata, “Aku mengerti. Tetapi sikap ini akan dapat membuat rakyat Mataram dan bahkan para prajurit menjadi ragu-ragu. Sementara itu prajurit Pati dengan tekad yang tinggi siap bertempur melawan Mataram. Tekad bagi para prajurit mempunyai pengaruh yang sangat besar di dalam pertempuran. Prajurit yang ragu-ragu, bimbang dan memikirkan terlalu banyak pertimbangan, tidak akan mencapai hasil yang setinggi-tingginya. Akibatnya, justru senjata lawan akan menikam jantungnya sendiri.” Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat mengerti pula jalan pikiran Swandaru. “Baiklah,” berkata Ki Gede kemudian, “yang penting bagi kita sekarang adalah melaksanakan perintah Panembahan Senapati. Kita harus meningkatkan segala persiapan menghadapi segala kemungkinan. Meskipun tidak mengurangi tekad kita untuk melaksanakan perintah Panembahan, namun sudah tentu bahwa segala upaya untuk memecahkan persoalan tanpa mempergunakan kekerasan masih harus tetap dilaksanakan.” Swandaru tidak menjawab lagi. Tetapi di hadapan para pengawal Sangkal Putung, Swandaru tentu akan bersikap lain. Demikianlah, menghadapi perkembangan keadaan, Prastawa yang menunggu saat-saat pernikahannya itu telah mendapat perintah untuk mempersiapkan para pengawal Tanah Perdikan dalam kesiagaan tertinggi. Sedangkan Glagah Putih telah mendapat tugas untuk sejauh dapat dilakukan dalam kesempatan yang sempit, meningkatkan kemampuan para pemimpin kelompok pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Ki Gede pun memerintahkan kepada para bebahu untuk mempersiapkan persediaan kebutuhan yang mungkin harus disediakan Tanah Perdikan Menoreh untuk mendukung pertempuran yang mungkin terjadi. Persediaan bahan makanan, kelengkapan-kelengkapan lain yang diperlukan, termasuk mempersiapkan mereka yang memiliki kemampuan di bidang pengobatan. Setiap pemimpin kelompok harus memeriksa kelengkapan para pengawal. Terutama senjata mereka, apakah cukup memadai. Mereka tidak hanya akan sekedar menghadapi segerombolan penjahat, tetapi mereka akan menghadapi sepasukan prajurit Pati yang mempunyai kemampuan yang tinggi, apabila perang benar-benar pecah. Demikianlah, ketika pertemuan itu berakhir, serta setelah para bebahu dan para pemimpin pengawal Tanah Perdikan meninggalkan pendapa rumah Ki Gede, Prastawa dan Glagah Putih masih tinggal dan duduk bersama Ki Gede dan Swandaru. “Nah, kau harus cepat menyelesaikan persoalanmu sendiri, Prastawa,” berkata Swandaru sambil tersenyum. Tetapi Prastawa itu pun menjawab, “Tidak terlalu mendesak, Kakang. Jika perlu, persoalan pribadi itu akan dapat ditunda sampai keadaan menjadi tenang.” “Tidak. Jika keadaan menjadi semakin suram, kau justru harus mempercepat dari pernikahanmu itu. Apapun yang terjadi kemudian, tetapi segala-galanya sudah jelas.” Tetapi Prastawa tersenyum. Katanya, “Kami tidak tergesa-gesa Kakang.” “Mungkin kalian tidak tergesa-gesa. Tetapi semisal bisul, hendaknya sudah pecah, dan tidak lagi terasa menyengat-nyengat.” Prastawa justru tertawa. Ki Gede pun tertawa pula. Katanya, “Tetapi menurut perhitunganku, perang tidak akan segera pecah. Maksudku tidak dalam beberapa pekan ini. Tetapi tentu masih berbilang bulan.” Swandaru pun tersenyum pula. Katanya, “Mudah-mudahan kau tidak memilih hari pernikahanmu di saat perang sudah meletus, dan menyelenggarakan upacara pernikahan itu di medan dengan minta agar para prajurit Pati beristirahat selama upacara berlangsung.” Ki Gede dan Glagah Putih pun tertawa pula. Sementara Prastawa sendiri tertawa berkepanjangan. Namun yang kemudian ditanyakan oleh Ki Gede kepada Glagah Putih, langkah-langkah apa yang telah diambil oleh Agung Sedayu menanggapi perintah dari Mataram. “Agaknya Kakang Agung Sedayu sudah meningkatkan kesiagaan para prajuritnya. Menurut pendengaranku, ijin para prajurit yang ingin meninggalkan barak menengok keluarganya, semakin dibatasi.” Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita semuanya akan meningkatkan kesiagaan. Tetapi aku masih berharap bahwa persoalan Prastawa dapat diselesaikan lebih dahulu daripada perang.“ “Aku akan menepati rencanaku. Tetapi setelah sepekan aku tentu tidak akan dapat menundanya lagi. Namun setidak-tidaknya aku sudah tahu, kapan aku harus datang lagi kemari. Tentu dengan pertimbangan, jika keadaan masih memungkinkan,” sahut Swandaru. Prastawa mengangguk-angguk. Katanya, “Dalam dua tiga hari ini, keluarga Anggreni akan mengirimkan utusan mereka untuk memberitahukan beberapa kemungkinan yang dapat dipilih untuk menentukan hari-hari perkawinan.” Swandaru mengangguk-angguk. Sementara Glagah Putih pun berkata, “Kau akan berpacu dengan Kanthi. Kami seisi rumah juga berharap agar Kanthi pun segera mendapat jalan keluar.” Prastawa mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia berkata, “Semoga. Aku juga berdoa, agar Kanthi menemukan jalan keluar yang terbaik bagi dirinya.” Dengan demikian, maka sejak hari itu tugas Glagah Putih memang bertambah. Latihan-latihan khusus bagi para pemimpin kelompok pengawal Tanah Perdikan telah ditingkatkan, disesuaikan dengan meningkatnya kesiagaan Mataram menghadapi Pati, yang nampaknya sulit untuk mendapatkan penyelesaian yang lebih lunak dari perang. Prastawa dan para pemimpin pengawal Tanah Perdikan telah menentukan waktu latihan bagi para pemimpin kelompok di setiap padukuhan. Sementara Glagah Putih berjanji, agar latihan-latihan itu berjalan lebih baik, untuk minta agar Agung Sedayu bersedia mengirimkan beberapa orang prajurit dari Pasukan Khusus, membantu memberikan latihan-latihan kepada para pemimpin kelompok dan kelompok-kelompok terpilih pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh, di samping latihan-latihan yang akan diberikan oleh Glagah Putih serta para pemimpin pengawal Tanah Perdikan itu. Ketika Glagah Putih kemudian kembali dari rumah Ki Gede, maka yang tinggal di rumah hanyalah Sekar Mirah, Rara Wulan dan Kanthi. Ki Jayaraga dan Wacana ternyata masih berada di sawah, sementara anak yang kemudian dipanggil Sukra itu sedang pergi ke sawah pula untuk mengirim minuman dan makanan bagi Ki Jayaraga dan Wacana. Kepada Sekar Mirah, Rara Wulan dan Kanthi. Gilagah Putih menceritakan peningkatan kesiagaan sebagaimana dilakukan oleh Pasukan Khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan Menoreh. “Bagaimana jika Mbokayu juga diminta untuk memberikan latihan khusus bagi para pemimpin kelompok pengawal Tanah Perdikan, atau kelompok-kelompok khusus?” bertanya Glagah Putih. “Ah, bukankah kerjaku hanya di dapur?” sahut Sekar Mirah. “Tetapi Mbokayu pernah menjadi pelatih pula, justru di barak pasukan khusus itu,” berkata Glagah Putih kemudian. “Kita akan melihat keadaan, dan sudah tentu kita harus berbicara dengan Kakang Agung Sedayu. Aku kira, jika Kakang Agung Sedayu dapat mengirim empat atau lima orang prajurit pilihan, jumlah pelatih itu sudah akan mencukupi. Dengan latihan-latihan yang tertib dan teratur, maka kemampuan para pemimpin kelompok dan kelompok-kelompok khusus pengawal itu akan meningkat.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Meskipun ia tidak menjawab lagi, namun menurut pendapat Glagah Putih, dalam keadaan yang mendesak diperlukan pelatih yang baik sebanyak-banyaknya, untuk meningkatkan latihan-latihan yang sudah diadakan sebelumnya, yang dianggap kurang memadai untuk menghadapi suasana yang menjadi semakin panas. Ketika kemudian Ki Jayaraga dan Wacana kembali dari sawah, Glagah Putih telah menceritakan pula pertemuan di rumah Ki Gede, serta usaha meningkatkan kesiagaan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Dengan nada dalam Ki Jayaraga berkata, “Banyak orang berilmu tinggi yang nampaknya mendukung atau bahkan memanfaatkan sikap Kanjeng Adipati Pati dengan pamrih pribadi. Itulah yang justru lebih berbahaya dari sikap Kanjeng Adipati sendiri.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara Ki Jayaraga pun berkata, “Aku kira Angger Swandaru, maksudku Sangkal Putung, juga menerima perintah yang sama. Demikian pula Angger Untara sebagai Panglima pasukan Mataram di Jati Anom.” “Agaknya memang demikian,” sahut Glagah Putih, “Kakang Swandaru juga berpendapat demikian. Sebenarnya Kakang Swandaru juga ingin segera kembali ke Sangkal Putung. Tetapi nampaknya Mbokayu Pandan Wangi masih ingin tinggal untuk tiga empat hari lagi.” Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Sementara Glagah Putih berkata, “Semua orang yang dianggap mampu memberikan latihan-latihan keprajuritan atau latihan-latihan olah kanuragan, akan dimohon untuk membantu.” Ki Jayaraga tersenyum. Katanya, “Tentu masih banyak tenaga-tenaga muda yang dapat melakukannya. Tetapi jika perlu, maka empat atau lima orang pemimpin kelompok dapat datang ke rumah ini di sore hari, untuk sekedar bermain-main.” Glagah Putih pun tersenyum pula. Katanya, “Itu sudah cukup. Semakin banyak orang yang memberikan latihan, maka semakin luas-lah wawasan dan pengalaman para pemimpin kelompok itu. Tetapi seandainya para pemimpin kelompok itu berlatih pada orang-orang tertentu, maka berbagai macam kemampuan dasar para pemimpin kelompok itu akan memberikan warna yang lain bagi para pengawal Tanah Perdikan.” Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, “Warna yang berbeda-beda itu memang dapat membuat lawan mereka bertanya-tanya, karena bagi para prajurit, terutama yang tidak bersumber dari anak-anak padepokan, memiliki kesatuan sifat dan watak kemampuan dasar mereka, karena mereka mendapat tempaan dengan garis kemampuan dasar yang sama.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun menurut perhitungannya, di Tanah Perdikan itu terdapat cukup banyak orang yang berkemampuan untuk memberikan latihan-latihan dasar pada tataran yang lebih tinggi kepada para pemimpin kelompok. Demikianlah, hal yang sama telah diberitahukannya pula ketika Agung Sedayu kembali dari barak. Dengan nada dalam Agung Sedayu berkata, “Tentu semua pihak yang dianggap berkepentingan sudah mendapat perintah yang sama pula.” “Apakah perang itu benar-benar akan meletus?” bertanya Glagah Putih. “Agaknya memang sulit dihindarkan. Tetapi masih juga usaha-usaha dari kedua belah pihak untuk menemukan jalan keluar tanpa peperangan,” jawab Agung Sedayu. “Tetapi kalau masing-masing tetap berdiri tegak pada pendiriannya, maka jarak di antara keduanya tentu tidak akan dapat dipertautkan. Apalagi masing-masing merasa berdiri di atas kebenaran,” desis Glagah Putih. “Peristiwa itu akan dapat memperkaya pengertian kita tentang satu keyakinan terhadap kebenaran, serta kebenaran itu sendiri,” berkata Agung Sedayu kemudian. Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia merenungi kata-kata Agung Sedayu itu. Tentang sudut pandang atas kebenaran. Namun kemudian Glagah Putih telah menggeser pembicaraannya. Hampir bergumam Glagah Putih berkata, “Nanti malam, Mbokayu Sekar Mirah dan Rara Wulan akan berbicara dengan Kanthi.” “Keduanya memang harus segera dipertautkan. Aku yakin bahwa perasaan yang sama telah tumbuh pada keduanya,” desis Agung Sedayu. Seperti yang direncanakan, ketika malam turun, setelah mereka makan malam, maka Sekar Mirah dah Rara Wulan masih duduk di ruang dalam bersama Kanthi. Sementara itu, Agung Sedayu dan Ki Jayaraga duduk di pendapa, sedangkan Glagah Putih dan Wacana berada di serambi gandok. Sekar Mirah dan Rara Wulan memang tidak langsung menyampaikan pesan Wacana kepada Kanthi. Tetapi mereka berbicara tentang banyak hal yang menyangkut perkembangan keadaan yang menjadi semakin hangat. Sebagai istri prajurit, maka kemungkinan perang itu juga membayangi ketenangan Sekar Mirah. Tetapi karena Sekar Mirah sendiri memiliki kemampuan untuk melindungi dirinya sendiri, maka agaknya ia dapat sedikit meredam kegelisahannya itu. Namun akhirnya Sekar Mirah mulai mengarahkan pembicaraan mereka kepada persoalan yang menyangkut Wacana dan Kanthi. Dengan hati-hati Sekar Mirah kemudian berkata, “Kanthi. Sebenarnya ada hal yang penting yang ingin disampaikan oleh Rara Wulan kepadamu. Sejak semula Rara Wulan selalu berusaha untuk menolongmu, melindungimu, dan bahkan kemudian berusaha untuk dapat membantu mencarikan jalan keluar bagimu.” Kanthi mengerutkan keningnya. Ia belum tahu maksud Sekar Mirah. Namun sebenarnya Kanthi tidak ingin berbicara tentang keadaannya. Ia ingin melupakannya. Setelah ia berada di rumah Sekar Mirah itu beberapa lama, ia merasakan bahwa hatinya mulai menjadi tenang. Meskipun demikian, ia tidak dapat ingkar, bahwa di saat-saat ia teringat akan kandungannya, maka kegelisahan itu rasa-rasanya telah mengguncang perasaannya lagi. Namun kehadiran Rara Wulan dan Sekar Mirah di dekatnya, rasa-rasanya dapat membuat hatinya tentang kembali. Namun tiba-tiba kini ia dihadapkan pada satu pembicaraan tentang dirinya itu. Kanthi memang menjadi gelisah. Ada beberapa hal yang membayang di angan-angannya. Kanthi memang merasa bahwa kehadirannya dapat menjadi beban bagi keluarga Agung Sedayu. Dengan demikian, setelah beberapa saat ini tinggal di rumah itu serta gejolak jiwanya mulai mereda, maka mungkin sekali Sekar Mirah akan mengirimkannya pula kembali ke Kleringan. Rara Wulan yang melihat kegelisahan di wajah Kanthi itu pun ke mudian berkata, “Kanthi. Aku melihat bahwa setelah aku berada di rumah ini beberapa saat, hatimu mulai menjadi tenang. Tetapi sudah tentu hal ini belum merupakan penyelesaian yang tuntas bagimu. Aku masih sering melihat kau merenung. Dan akupun mengerti, apa yang sedang kau pikirkan.” Kanthi menjadi semakin gelisah. Wajahnya menunduk dalam-dalam. Tetapi tidak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. “Kanthi,” berkata Rara Wulan Kemudian, “aku minta maaf bahwa aku terlalu dalam mencampuri persoalan pribadimu. Tetapi hal itu aku lakukan, karena aku ingin membantumu memecahkan kesulitanmu sampai tuntas.” Kanthi masih tetap berdiam diri. Meskipun sekali-sekali ia mengangkat wajahnya memandang sepasang mata Rara Wulan yang redup, namun kemudian iapun segera menunduk kembali. Titik-titik air bahkan mulai menetes dari sepasang matanya yang basah. “Kanthi,” berkata Rara Wulan dengan nada lembut, “bukankah seumur kita ini, menurut gelar lahiriah, masih akan menempuh jalan yang panjang?” Kanthi masih belum tahu arah pembicaraan Ran Wulan, tetapi ia mengangguk kecil. “Karena itu, Kanthi,” berkata Rara Wulan kemudian, “kita tidak boleh terpancang pada keadaan kita sekarang ini.” Kanthi masih saja menunduk dalam-dalam. “Sebaiknya kau lupakan keadaanmu Kanthi. Kau lihat kedalaman perasaanmu. Perasaanmu sebagai seorang perempuan dalam hubungannya dengan seorang laki-laki, sesuai dengan kewajaran tingkah laku kita dalam kehidupan ini.” Kanthi mengerutkan dahinya. Sejenak ia mengangkat wajahnya. Dipandanginya Rara Wulan dan Sekar Mirah sekilas tanpa mengucapkan sepatah katapun. Rara Wulan memang menjadi berdebar-debar. Namun didorongnya lidahnya untuk berkata, “Kanthi. Aku membawa pesan bagimu. Kau telah mendapat lamaran dari seseorang.” Kanthi terkejut. Ketika ia mengangkat wajah sekali lagi, maka wajah itu nampak kemerah-merahan. Sejenak Kanthi justru bagaikan membeku. “Kanthi,” Sekar Mirah pun berdesis dengan nada dalam, “aku harap kau menanggapinya dengan hati yang bening. Kau timbang dengan saksama dan kau tinjau dari segala sisi.” Kanthi tidak segera menyahut. Namun tiba-tiba terdengar Kanthi itu terisak. “Kenapa kau menangis Kanthi?” bertanya Rara Wulan yang matanya juga mulai menjadi basah. “Rara,” desis Kanthi disela-sela isaknya, “kau tahu tentang keadaanku. Kau tahu apa yang telah terjadi atasku. Jika ada seseorang yang melamarku, bukankah itu hanya satu bayangan mimpi yang akan segera lenyap jika aku mulai terbangun? Atau justru sebuah ejekan yang sangat menyakitkan hati di saat luka di dalam dadaku mulai sembuh, atau sebuah lelucon yang kasar tanpa menghiraukan bahwa akibatnya akan sangat parah bagiku?” “Tidak. Tidak Kanthi,“ Rara Wulan mulai memeluk Kanthi yang isaknya semakin mengeras, “kau percaya kepadaku bukan?” Kanthi mengangguk kecil. “Jika kau pereaya kepadaku, Kanthi, dengarlah kata-kataku,” berkata Rara Wulan. Kanthi mengangguk pula. “Kanthi,” berkata Rara Wulan dengan sangat berhati-hati, “apakah kau tidak merasa bahwa selama ini, seseorang sangat memperhatikanmu? Seseorang yang menganggap bahwa kau adalah seorang perempuan yang akan dapat mengisi kekosongan hatinya.” “Tetapi setelah orang itu mengetahui keadaanku, maka ia akan menganggap bahwa aku adalah sampah yang tidak pantas untuk dijamah,” desis Kanthi sambil terisak. “Tidak, Kanthi,” jawab Rara Wulan, “orang itu tahu pasti, siapakah kau dan apa yang sedang kau sandang.” “Tentu hanya didasari oleh perasaan belas kasihan. Rara, aku memang pantas untuk dikasihani. Tetapi aku tidak menginginkannya sama sekali,” jawab Kanthi. “Bukan Kanthi, bukan karena belas kasihan. Tetapi ia memang berharap bahwa kau akan dapat menjadi seorang yang akan bersama-sama membina sebuah keluarga,” berkata Rara Wulan. “Tidak. Itu tidak benar. Mungkin ia mengasihaniku. Tetapi mungkin ia justru ingin memanfaatkan keadaanku, sehingga pada suatu saat kelak akan dapat selalu menjadi landasan mengungkit keadaanku dalam setiap kesempatan, agar ia dapat memaksakan kehendaknya kepadaku.” “Kanthi,” berkata Sekar Mirah dengan suara yang sareh, “kau jangan terlalu curiga kepada semua orang. Mungkin hal semacam itu dapat dilakukan oleh orang-orang sejenis Wiradadi. Tetapi menurut pendapatku, tidak bagi orang yang melamarmu. Ia memang bukan seorang yang mempunyai banyak kelebihan dari orang lain. Ia dapat khilaf. Dapat kecewa, marah dan perasaan-perasaan lain sebagaimana kita. Ia bukannya orang yang tidak mempunyai cacat. Tetapi sikapnya terhadapmu Kanthi, aku tahu dan yakin, bahwa ia menyatakannya dengan tulus hati.” “Bagaimana aku dapat meyakininya Mbokayu? Aku adalah orang yang tidak berharga sama sekali. Dalam kewajaran, semua orang akan memalingkan wajahnya jika melihat aku. Jika ada orang yang berniat melamarku, itu justru tentu ada niat-niat yang tersembunyi di dalam hatinya.” “Kanthi,“ Rara Wulan yang juga mulai terisak, “apa kau juga tidak percaya bahwa sikapku terhadapmu, sikap Mbokayu Sekar Mirah, Kakang Agung Sedayu, Kakang Glagah Putih, Ki Jayaraga, sebagai sikap yang wajar?” “Aku percaya Rara. Aku percaya, “jawab Kanthi dengan serta merta. “Nah, Kanthi. Bagaimana perasaanmu terhadap Wacana?” bertanya Rara Wulan kemudian. Jantung Kanthi berdesir. Ia mempunyai penilaian tersendiri terhadap anak muda itu. Anak muda yang sikapnya menunjukkan kedewasaannya berpikir dan berbuat. Ketika nama itu disebut, Kanthi menundukkan kepalanya. Isaknya masih saja mengguncang tubuhnya, sementara Rara Wulan memeluknya semakin erat. “Kanthi,” desis Rara Wulan, “Wacana minta kepada Kakang Glagah Putih agar aku bersedia menyampaikan perasaannya itu kepadamu. Jika kau tidak berkeberatan, tentu Wacana akan datang menemui orang tuamu.” “Tidak,“ suara Kanthi bagaikan meledak di sela-sela isaknya, “ia akan tersiksa di sepanjang hidupnya. Ia orang yang baik. Karena itu, aku tidak pantas menyakiti hatinya untuk waktu yang panjang tanpa batas.” “Tidak Kanthi,” jawab Rara Wulan, “ia sudah mengetahui keadaanmu seluruhnya.” Kanthi justru menangis. Pada dasar hatinya yang paling dalam, ia merasa bahagia mendengar pengakuan Wacana itu. Bahkan Kanthi justru sangat mengharapkannya. Tetapi di sisi yang lain, ia merasa tidak berhak lagi menanggapi perasaan Wacana itu, karena ia sudah ternoda. Bahkan Kanthi merasa dirinya tidak lebih dari sampah yang tidak berharga. Namun Sekar Mirah pun berkata, “Kanthi. Aku mengerti perasaanmu. Rara Wulan juga mengerti sepenuhnya. Bahkan Wacana pun mengerti pula. Itulah sebabnya, ia minta tolong kepada Rara Wulan untuk menyampaikannya kepadamu, karena kau percaya kepada Rara Wulan.” Sekar Mirah berhenti sejenak. Sementara itu isak Kanthi menjadi semakin keras. Baru sejenak kemudian ia berkata, “Kepada Glagah Putih, Wacana telah mengatakannya, bahwa ia akan menerimamu seutuhnya. Justru karena ia tahu akan keadaanmu, maka ia tidak akan merasa kecewa, apalagi tersiksa di kemudian hari. Ia tahu bahwa kau akan melahirkan pada saatnya. Tetapi Wacana berjanji akan menganggap anak itu sebagai anaknya sendiri.” “Sekarang ia dapat berkata seperti itu, Mbokayu. Tetapi apakah ia dapat berkata demikian pula nanti, jika seorang bayi yang bukan anaknya itu lahir?” “Tentu,” jawab Sekar Mirah, “Wacana sudah lama berada di sini. Ia bukan seorang yang palsu dan berpura-pura. Namun yang barangkali perlu kau ketahui, ia tidak ingin kehilangan untuk yang kedua kalinya.” Sejenak Kanthi mengangkat wajahnya. Dengan suara sendat ia berkata, “Maksud Mbokayu?” “Wacana juga pernah mengalami kekecewaan yang hampir saja membuatnya gila. Bahkan ia seakan-akan dengan sengaja membunuh dirinya dalam sebuah perang tanding. Tetapi ia ternyata tetap hidup. Lawannya memang bukan seorang pembunuh.” “Apakah ia pernah ditinggalkan oleh seorang gadis yang kemudian memilih laki-laki lain?” bertanya Kanthi. “Gadis itu tidak pernah merasa meninggalkannya. Gadis itu sama sekali tidak mengetahui bahwa Wacana mencintainya. Ketika ia menjatuhkan pilihannya, maka Wacana kehilangan keseimbangannya, sehingga ia telah mengambil langkah yang tidak sewajarnya.“ Kanthi menunduk lagi. Ia merenung dalam-dalam. Merenungi dirinya sendiri, dan ia mencoba membayangkan apa yang telah terjadi dengan Wacana. “Kanthi,” berkata Rara Wulan kemudian, “menurut Wacana, ia menemukan yang hilang itu ketika kau datang ke rumah ini. Yang hilang itu diketemukannya pada dirimu. Apa yang terjadi atasmu, dapat dimengertinya, karena Wacana juga pemah menjadi kehilangan akal. Tetapi karena ia seorang laki-laki, maka ia tidak akan dapat mengalami sebagaimana kau alami.” Kanthi tidak menjawab. Tetapi ia mulai merenung. “Kanthi,” berkata Sekar Mirah, “sebagaimana kau tidak ingin dikasihani, maka Wacana pun juga tidak ingin dikasihani. Yang dimintanya adalah hubungan yang wajar antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, dengan segala yang ada di dalam dirinya. Keduanya hendaknya dapat menerima dengan ikhlas, dengan harapan di masa datang yang cerah. Bagi Wacana dan kau Kanthi, yang terpenting adalah hari depan kalian. Kalian tidak boleh selalu digayuti beban persoalan-persoalan di masa yang telah lewat.” Kanthi masih belum menjawab. Tetapi Rara Wulan merasakan bahwa tangisnya justru mereda. “Kanthi,” berkata Rara Wulan, “jika kau tidak dapat menjawab hari ini, maka aku akan minta Wacana menunggu satu dua hari ini. Tetapi kau tahu bahwa menunggu adalah satu kerja yang sangat menggelisahkan. Meskipun demkian, aku yakin bahwa Wacana akan bersedia menunggu satu dua hari lagi.” Yang tidak diduga oleh Rara Wulan dan Sekar Mirah adalah bahwa Kanthi itu justru telah menangis. Tetapi tangisnya tidak tertahan-tahan lagi. Ia menangis seakan-akan menuangkan segenap beban di jantungnya. Rara Wulan yang memeluknya merasa bahwa tangisnya berbeda dengan tangis Kanthi sebelumnya. Meskipun demikian Rara Wulan berusaha untuk menenangkannya, meskipun matanya sendiri juga menjadi basah. “Sudahlah Kanthi. Beristirahatlah. Kau sempat memikirkannya. Kau dapat berpikir dengan bening. Melihat bukan hanya ke masa lalu, tetapi justru ke masa depan yang masih panjang. Mudah-mudahan kau mendapat terang di hatimu dari Yang Maha Agung,” berkata Rara Wulan kemudian. Kanthi mengangguk. Bukan karena terpaksa. Tetapi nampaknya Kanthi telah menemukan jawaban di dalam dirinya, meskipun masih sempat membuatnya ragu. “Besok sore aku ingin mendengar jawabanmu. Dengan demikian Wacana tidak akan terlalu lama menunggu. Hatinya tentu masih saja dibayangi oleh saat-saat yang pahit, ketika ia sadar bahwa ia telah kehilangan.” Kanthi mengangguk. Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Meskipun Kanthi belum menjawab, tetapi Rara Wulan dan Sekar Mirah dapat berpengharapan bahwa permintaan Wacana itu akan diterima oleh Kanthi. Meskipun keduanya sadar, bahwa hati Kanthi masih belum benar-benar mapan sehingga setiap saat masih dapat berubah. Bahkan mungkin perubahan itu sangat mengejutkan. Tetapi keduanya berharap, bahwa hati Kanthi sudah tidak terguncang-guncang lagi. Malam itu, Sekar Mirah dan Rara Wulan memang tidak memaksa Kanthi untuk memberikan jawaban, meskipun mereka tahu bahwa Wacana tentu menunggu. Bahkan Rara Wulan pun kemudian berkata, “Baiklah Kanthi. marilah kita beristirahat. Mungkin setelah kau tidur, besok kau menemukan jawab yang paling baik atas pernyataan Wacana itu. Tentu saja bahwa kami semuanya, maksudku Kakang Agung Sedayu, Mbokayu Sekar Mirah, Kakang Glagah Putih, Ki Jayaraga dan aku sendiri berharap, agar Wacana tidak menjadi kecewa karenanya.” Kanthi tidak menjawab. Tetapi tangisnya telah mereda. Bahkan isaknya tinggal satu-satu. Namun sekali-sekali Kanthi masih mengusap matanya yang basah dengan lengan bajunya. Demikianlah, sejenak kemudian Kanthi pun telah berada di dalam bilik bersama Rara Wulan. Ketika mereka kemudian berbaring, maka Kanthi tiba-tiba saja bertanya di luar sadarnya, “Rara, bagaimana anggapanmu tentang kejujuran Wacana?” Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku percaya kepadanya, Kanthi. Ia sendiri pernah mengalami sebagaimana kau alami. Karena itu ia tentu dapat merasakan, sebagaimana kau rasakan. Dalam keadaan yang demikian, ia tentu tidak akan memikirkan untuk memanfaatkan keadaanmu, atau sikap-sikap licik yang lain.” Kanthi tidak menjawab. Tetapi Rara Wulan merasakan bahwa perasaan Kanthi menjadi lebih tenang. Nafasnya mulai teratur dan tubuhnya yang terbaring diam terasa bahwa Kanthi benar-benar telah menjadi tenang. Rara Wulan hanya dapat berdoa di dalam hati, mudah-mudahan niat baik Wacana itu dapat diterimanya. Sementara itu, Agung Sedayu dan Ki Jayaraga masih duduk di pendapa. Sementara Glagah Putih dan Wacana sudah tidak ada lagi di serambi gandok. Ternyata mereka telah berada di dalam sanggar. Anak yang tinggal di rumah Agung Sedayu, yang kemudian disebut Sukra, telah berada di dalam sanggar pula. Bersama Glagah Putih ia berlatih dasar-dasar ilmu bela diri. Setiap kali ia mengulangi unsur-unsur gerak yang telah dipelajarinya. Namun kemudian sedikit demi sedikit Glagah Putih telah menambah unsur yang baru pula. Wacana yang sedikit demi sedikit sudah mulai berlatih pula, malam itu hanya menunggui dan melihat bagaimana Sukra meningkatkan kemampuannya setapak demi setapak. Namun ternyata anak itu telah berlatih dengan sungguh-sungguh. Bahkan rasa-rasanya tidak mengenal lelah. Meskipun ia telah pernah dibuat jera oleh Glagah Putih, namun kadang-kadang ia masih tampak kecewa jika latihan diakhiri, meskipun ia tidak lagi berani membantah. Sebenarnyalah bahwa Glagah Putih merasa puas pula melihat perkembangan kemampuan Sukra. Namun Glagah Putih juga merasa bertanggung jawab atas tingkah laku Sukra selanjutnya, setelah ia merasa memiliki dasar-dasar kemampuan bela diri. “Anak itu tidak boleh kehilangan kekang diri,” berkata Glagah Putih di dalam hatinya. Karena itu, setiap kali Sukra akan berlatih, maka Glagah Putih selalu memberinya beberapa petunjuk agar Sukra menjadi orang yang berguna bagi sesamanya. Bukan sebaliknya. Lebih dari itu, Sukra sama sekali tidak boleh melupakan Sumber Hidupnya. Dengan berpegangan pada Sumber Hidupnya, maka seseorang akan selalu mawas diri dalam segala tingkah lakunya. Malam itu, Glagah Putih mengakhiri latihannya menjelang tengah malam. Tubuh anak itu seluruhnya telah basah oleh keringat. Dadanya yang terbuka nampak menjadi basah kuyup, seolah-olah Sukra baru saja berendam di dalam belumbang. Wacana yang menyaksikan latihan itu, sejenak telah melupakan persoalan dirinya sendiri. Ia juga merasa kagum terhadap Sukra yang masih sangat muda itu. Tetapi kemauannya agaknya telah membakar gairahnya untuk segera menguasai dasar-dasar kemampuan bela diri. Namun, meskipun gairahnya untuk berlatih tidak menyusut, tetapi tujuannya menguasai dasar-dasar kemampuan ilmu bela diri perlahan-lahan telah bergeser. Karena pengaruh petunjuk dan nasehat-nasehat Glagah Putih yang terus menerus diberikan setiap Sukra akan berlatih, telah membuat Sukra semakin mengerti arti dari kemampuan yang sedikit demi sedikit telah dimilikinya. Dengan demikian, maka sikap Sukra kepada kawan-kawannya sedikit berubah. Sukra menjadi lebih sabar dan penalarannya pun menjadi semakin terang. Malam itu, setelah berlatih serta setelah membersihkan dirinya di pakiwan, rasa-rasanya Sukra masih juga ingin melihat pliridannya yang telah dibuka sejak menjelang senja. Sementara Glagah Putih dan Wacana telah pergi ke serambi gandok, maka Sukra justru mengemasi alat-alatnya untuk dibawa ke sungai. Wacana dan Glagah Putih tidak terlalu lama duduk di serambi. Glagah Putih pun kemudian telah pergi ke pakiwan pula untuk membenahi dirinya. Ketika tubuhnya terasa menjadi segar, maka iapun telah pergi ke biliknya pula. Wacana memang tidak segera dapat tidur. Ia harus menanti jawaban Kanthi. Namun Wacana pun sadar, bahwa bagaimanapun juga, agaknya Kanthi memerlukan waktu untuk berpikir. Dalam pada itu, ketika Sukra turun ke sungai, ia terkejut melihat beberapa orang anak berkerumun di tepian. Demikian Sukra turun, maka serentak anak-anak itu segera menyesuaikan diri dengan memanggilnya Sukra pula. Sukra yang tertegun itu pun kemudian bertanya, “Kenapa kalian berkumpul di sini? Bukankah ini bukan waktunya? Saat menutup pliridan yang pertama sudah lewat, sementara masih ada beberapa waktu lagi untuk menutup pliridan yang kedua.” “Baru saja aku akan pergi memanggilmu,” berkata seorang anak yang bertubuh gemuk. “Apa yang terjadi?” bertanya Sukra. “Anak-anak dari Kademangan Wadas Ireng,” jawab anak itu. “Kenapa?” bertanya Sukra. “Mereka telah datang mengganggu kami. Mereka lewat menelusuri sungai ini, berusaha merusak beberapa pliridan tanpa sebab.” “Kenapa tiba-tiba mereka menjadi liar seperti itu?” bertanya Sukra. “Kami tidak tahu. Ketika mereka lewat, hanya ada dua orang kawan kita yang sedang bersip-siap menutup pliridannya.” “Siapa?” bertanya Sukra. “Aku dan Beja,” jawab seorang anak yang kekurus-kurusan. Sementara itu anak yang rambutnya dicukur gundul dan bernama Beja menyahut, “Mereka memukuli aku dan Siwar.” “Sekarang mereka pergi kemana?” bertanya Sukra. “Mereka justru pergi ke arah selatan,” jawab Siwar. “Bukankah Wadas Ireng terletak di sebelah utara Tanah Perdikan ini?” “Ya.” jawab Beja, “tetapi mereka pergi ke selatan. Karena itu, kami kumpulkan kawan-kawan. Mungkin mereka akan kembali lagi menyusuri sungai ini.” “Tetapi tidak terbiasa mereka berbuat seperti itu. Bukankah kita kenal beberapa orang anak dari Wadas Ireng?” desis Sukra. “Ya. Tetapi agaknya anak-anak Wadas Ireng ada yang baru dan ada yang tidak baik, seperti anak-anak Tanah Perdikan ini pula,” sahut anak yang agak gemuk itu. “Tetapi bukankah mereka atau orang tua mereka pernah mendengar tentang Tanah Perdikan ini?” bertanya Sukra. “Ya. Anak-anak itu justru menantang. Mereka mengatakan agar kita melaporkan kepada orang-orang tua kami yang katanya berilmu tinggi,” berkata Siwar. “Ini tentu tidak biasa,” berkata Sukra, “tentu ada sesuatu yang telah terjadi di Kademangan Wadas Ireng.” “Maksudmu?” bertanya anak yang agak gemuk itu. “Seperti yang terjadi di Kademangan Kleringan. Sekelompok anak muda telah terjerumus ke dalam kebiasaan minum tuak. Mereka menjadi mabuk di kedai-kedai yang menyediakan tuak dan bahkan di jalan-jalan. Mereka mengganggu orang-orang lewat, dan bahkan sama sekali tidak terkendali. Aku mendengar dari Glagah Putih, yang meskipun tidak langsung berbicara kepadaku.” “Apakah anak-anak Wadas Ireng juga mulai minum tuak?” bertanya Beja, “Mereka masih anak-anak seperti kita.” “Kalau mereka masih kanak-kanak seperti kita sudah mulai bergerombol-gerombol dan bertindak tidak wajar, apa jadinya nanti jika mereka sudah menjadi lebih besar?” desis Siwar. “Karena itu, tentu sesuatu sudah terjadi,” berkata Sukra sambil mengangguk-angguk. Gayanya menirukan gaya orang-orang dewasa yang sedang membicarakan satu persoalan bersungguh-sungguh. “Jadi, apa yang akan kita lakukan sekarang?” bertanya anak yang agak gemuk. “Kita tunggu sejenak, jika mereka lewat kita tidak usah mengganggunya. Kecuali jika mereka mengganggu kita.” Kawan-kawan Sukra mengangguk-angguk. Namun ketika Sukra mengatakan bahwa ia akan menutup pliridannya, maka Siwar itu pun berkata, “Pliridanmu dibuka tidak saja bagian atasnya, tetapi juga bagian bawahnya.” “Jadi mereka juga merusak pliridanku?” bertanya Sukra. “Ya. Semua pliridan telah dibuka,” jawab Siwar. Sukra memang menjadi marah. Tetapi perasaannya justru sudah mulai terkendali. Ia tidak segera menghentak sambil mengepalkan tinjunya. Namun Sukra hanya berkata dengan nada geram, “Kita akan menunggu mereka. Tetapi ingat, kita tidak akan mulai.” Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Meskipun Sukra bukan anak yang terbesar di antara mereka, tetapi tiba-tiba saja Sukra dengan diam-diam telah mereka anggap sebagai pemimpin mereka. Sementara sambil menunggu, maka anak-anak itu telah memperbaiki pliridan yang telah rusak. Pliridan Sukra, pliridan Beja dan Siwar dan satu pliridan lagi milik anak yang agak gemuk itu. Ketiga pliridan itu berjarak masing-masing beberapa puluh langkah, sehingga anak-anak itu pun kemudian telah tersebar. Sedangkan berjarak beberapa puluh langkah ke arah udik, terdapat pula pliridan. Tetapi karena tempatnya yang agak jauh, maka mereka tidak melihat apakah pliridan itu juga dirusak. Sebenarnyalah sekelompok anak-anak dari Kademangan Wadas Ireng telah berjalan menelusuri sungai itu. Mereka adalah anak-anak yang meningkat remaja. Seorang di antara mereka yang berpengaruh, ternyata telah berbuat hal-hal yang tidak sepantasnya dilakukan oleh anak-anak remaja. Pergaulannya dengan anak-anak muda yang lebih besar daripadanya, telah membuatnya melangkah lebih jauh dari umurnya. Remaja itu telah mengenal minuman yang disebut tuak. Bahkan tingkah laku yang kurang pantas dan sikap yang tidak terpuji. Orang-orang tua di Kademangan Wadas Ireng telah dibuat pening oleh tingkah laku beberapa orang anak muda. Mereka bahkan dibayangi oleh pertanyaan, kenapa tingkah laku yang tidak wajar itu menghinggapi anak-anak muda di beberapa Kademangan, hampir merupakan satu ledakan yang bersamaan? Bahkan kemudian anak-anak remaja pun telah dihinggapi pula cacat yang menular dari tataran usia yang lebih tua. Malam itu, anak-anak Wadas Ireng dipimpin oleh seorang remaja, yang mulai terpengaruh oleh kebiasaan buruk sekelompok kecil anak-anak muda di Kademangan Wadas Ireng, telah menelusuri sungai yang melewati padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Nampaknya anak-anak itu belum mampu membuat penilaian tentang Tanah Perdikan Menoreh. Mereka hanya sekedar menuruti kesenangan mereka dan gejolak jiwa petualangan yang tidak terarah. Seperti yang diduga anak-anak Tanah Perdikan Menoreh, maka anak-anak dari Wadas Ireng itu benar-benar kembali lewat sungai itu pula. Bahkan mereka masih saja bertingkah laku tidak sewajarnya. Mereka melemparkan batu-batu sebesar telur ayam, dan bahkan mereka berbicara yang satu dengan yang lain dengan keras, tanpa menghiraukan suasana malam di sebelah-menyebelah sungai itu. Ketika anak-anak Tanah Perdikan mendengar sekelompok anak-anak Wadas Ireng itu kembali, maka mereka pun segera berkumpul. Anak-anak Tanah Perdikan itu pun segera bersiap menghadapi segala kemungkinan. Beja dan Siwar yang telah mengalami perlakuan buruk, telah bersiap untuk membalas. “Kau tidak boleh mendendam,” desis Sukra. “He?” Beja dan Siwar heran mendengar kata-kata itu, “Maksudmu?” “Jika mereka nanti tidak berbuat apa-apa, kita juga tidak akan berbuat apa-apa. Tetapi jika mereka mendahului mengganggu kita, kita akan mempertahankan diri.” Beja dan Siwar mengerutkan dahinya. Sementara Beja berkata, “Ketika mereka lewat, kami hanya berdua saja. Mereka telah memukul kami. Kepalaku yang gundul telah ditamparnya.” “Kita harus berjiwa besar,” Sukra menirukan nasehat Glagah Putih, “tetapi seperti yang aku katakan, jika mereka mendahului, maka kita akan mempertahankan diri. Kita tidak mau dipukuli apapun alasannya.” “Jika mereka tidak memukul kita lagi?” bertanya Siwar. “Biarlah mereka lewat,” jawab Sukra. “Tetapi mereka sudah memukuli aku dan Beja,” desak Siwar. “Lupakan itu. Bukankah kita orang baik yang berjiwa besar?” jawab Sukra. Anak-anak Tanah Perdikan itu mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka berdesis, “Ya. Kita orang baik dan berjiwa besar.” Demikianlah, sejenak kemudian, dalam keremangan malam mereka melihat sekelompok anak-anak yang menyusuri sungai. Mereka sudah mendengar gemercik air yang didera oleh kaki-kaki kecil. Sekali-sekali mereka mendengar gemerasak pohon-pohon perdu yang terkena lemparan bebatuan di tepi sungai itu. Bahkan suara tertawa riang, dan kemudian percakapan yang simpang siur. Anak-anak Tanah Perdikan berdiri berjajar di tepian. Nampaknya mereka tidak ingin melanggar pesan Sukra, agar mereka menjadi anak yang baik dan berjiwa besar. Ternyata anak-anak Wadas Ireng itu menyadari, bahwa di hadapan mereka berdiri sekelompok anak-anak Tanah Perdikan, yang rata-rata sebaya dengan mereka dan jumlahnya pun tidak terpaut banyak. Tiba-tiba seorang yang paling berpengaruh di antara mereka tertawa. Katanya, “Bagus. Kita akan mendapat kawan bermain.” Anak-anak itu memang menjadi gembira. Berlari-lari mereka mendekati anak-anak Tanah Perdikan yang sudah bersiap. Untuk beberapa saat mereka berdiri dalam dua kelompok yang saling berhadapan. Tetapi untuk beberapa saat, keduanya masih saling berdiam diri. Namun kemudian anak yang terbesar di antara anak-anak Wadas Ireng itu bertanya, “He, apakah kalian sengaja mencegat kami?” Yang menjawab adalah Sukra, “Tidak.” “Kenapa kalian berkumpul di sini?” bertanya anak itu. “Kami ingin melindungi kawan-kawan kami dari kenakalan anak-anak dari padukuhan yang lain. Kami tidak mau ada kawan-kawan kami yang menjadi sasaran pemukulan,” jawab Sukra. Anak itu tertawa. Katanya, “Kami sudah memukuli dua anak di sini tadi. Seorang di antaranya anak gundul.” “Sekarang tidak lagi,” jawab Sukra, “tidak ada yang boleh dipukuli.” “Menarik sekali memukuli anak yang kepala gundul. He, berikan anak itu. Aku ingin memukulinya lagi.” “Itu namanya menantang,” jawab Sukra, “kau memang mencari persoalan.” “Kepala gundul itu menyenangkan,” jawab anak itu. “Kami sebenarnya tidak ingin berkelahi. Kami berusaha melupakan bahwa kau sudah memukuli kawan kami, karena kami adalah anak-anak yang baik dan berjiwa besar. Tetapi jika kalian akan mulai lagi, maka justru aku akan menantang berkelahi seorang lawan seorang,” berkata Sukra, “aku akan mewakili kawan-kawanku.” Sejenak anak-anak Kademangan Wadas Ireng itu terdiam. Namun tiba-tiba anak yang terbesar di antara mereka itu pun tertawa. Katanya di sela-sela suara tertawanya, “Agaknya kau memang suka bergurau. Aku senang mendengarnya. Tetapi itu tidak akan mengurungkan niat kami menampar kepala gundul itu.” “Aku tidak bergurau,” berkata Sukra, “aku menantangmu. Itu pun belum menjamin bahwa kau akan dapat menampar kepala gundul itu. Jika kalah, maka kawan-kawanku akan melindunginya, sehingga kalian harus berkelahi dahulu. Jika kami semua sudah kalian kalahkan, maka barulah kalian dapat memukuli kepala gundul itu.” Anak itu mengerutkan keningnya, namun kemudian ia berkata, “Aku setuju. Seorang di antara kita masing-masing akan berkelahi seorang melawan seorang. Aku akan mewakili kawan-kawanku. Tetapi kalian harus diwakili oleh anak yang terbesar di antara kalian.” “Tidak,” jawab Sukra, “aku yang akan mewakili kawan-kawanku. Kalian tidak berhak menentukan. Siapapun yang akan mewakili kami, itu adalah urusan kami.” “Kau akan menyesal,” berkata anak yang terbesar di antara anak-anak Wadas Ireng itu. Anak yang terbiasa bergaul dengan sekelompok kecil anak-anak muda yang mulai menempuh jalan sesat. Tetapi Sukra menjawab, “Tidak. Aku tidak akan menyesal. Apapun yang terjadi, itu sudah aku kehendaki.” “Bagus,” sahut anak itu, “bersiaplah.” Sukra memberi isyarat kawan-kawannya untuk mundur. Demikian pula anak Wadas Ireng yang akan mewakili kawan-kawannya itu. Kedua kelompok anak-anak itu membentuk lingkaran di tepian. Sementara Sukra dan anak yang terbesar di antara anak-anak Wadas Ireng itu berada di tengah. “Siapa namamu?” tiba-tiba anak Wadas Ireng itu bertanya. “Namaku Sukra. Siapa namamu?” Sukra ganti bertanya. “Namaku Lugu. Anak-anak sebayaku, bahkan anak yang lebih besar dari aku, takut kepadaku. Apalagi anak seperti kau. Kau tentu akan segera berjongkok minta ampun di hadapanku.” “Bagus,” jawab Sukra, “kita akan berkelahi. Jika ada seorang di antara kelompok kita masing-masing yang membantu, maka ia dianggap kalah. Jika paugeran ini dilanggar, maka kita akan berkelahi bersama-sama meskipun sebenarnya tidak kami kehendaki, karena sebenarnyalah bahwa kami adalah anak-anak yang baik dan berjiwa besar.” “Cukup! Bersiaplah!“ anak itu tiba-tiba membentak. Sukra tidak menjawab. Tetapi iapun segera bersiap menghadapi segala kemungkinan. Sejenak kemudian keduanya bergeser beberapa langkah. Namun Lugu itu pun segera meloncat menyerang dengan ayunan tangannya. Sukra yang sudah bersiap itu pun segera mengelak. Tangan itu terayun deras. Tetapi tidak menyentuh sasarannya. Tetapi Lugu tidak membiarkan Sukra luput dari jangkauan serangannya. Iapun segera meloncat menerkam dengan kedua tangannya yang langsung mengarah ke leher. Sukra terkejut melihat serangan itu. Serangan itu baginya tidak terlalu berbahaya. Tetapi bahwa anak itu langsung berusaha mencengkam leher adalah pertanda betapa garangnya, bahkan akibatnya akan dapat menjadi sangat mengerikan. Sukra berkisar ke samping. namun ia sempat berkata, “Kenapa kau berkelahi dengan kasar? Jika kau berhasil mencengkam leherku, apa yang akan kau lakukan?” “Mencekikmu,” jawab Lugu. “Aku dapat mati karenanya,” berkata Sukra kemudian. “Aku tidak peduli. Dalam satu perkelahian yang disepakati seorang lawan seorang, mati adalah akibat wajar, yang membunuh tidak dapat dianggap bersalah. Bahkan ia pantas mendapat kehormatan sebagai seorang pahlawan.” “Gila,” geram Sukra, “siapa yang telah meracuni otakmu dengan sikap seperti itu?” Lugu berhenti menyerang. Sambil bertolak pinggang ia berkata, “Kau menjadi ketakutan?” “Tidak. Kau tidak berbahaya bagiku. Tetapi kau adalah barbahaya bagi anak yang lain. Kau benar-benar dapat membunuh dengan caramu berkelahi itu. Apakah membunuh bagimu dapat menjadi satu kebanggaan, sementara seseorang yang telah membunuh sesamanya akan selalu dikejar oleh penyesalan?” “Para prajurit membunuh di medan perang,” jawab Lugu. “Membunuh dan berperang itu tidak sama,” jawab Sukra. “Lidahmu yang agaknya bercabang seperti lidah ular. Tetapi aku tidak perduli. mungkin kau memang akan mati dalam perkelahian ini. Tetapi sekali lagi aku katakan, mati adalah akibat yang sangat wajar.” “Bagaimana jika kau yang mati?” bertanya Sukra. Anak itu tertawa, katanya, “Hanya anak bintang yang turun dari langit yang dapat mengalahkan apalagi membunuh aku.” Namun jawab Sukra, “Bagus. Aku adalah anak bintang.” Lugu itu mengerutkan dahinya. Namun Sukra pun berkata, “Bersiaplah kau anak bayangan kegelapan. Sudah saatnya anak bintang turun dari langit.” Sikap hati Lugu membuat Sukra menjadi marah. Meskipun demikian, ia tidak pernah melupakan pesan Glagah Putih agar tidak kehilangan kendali diri. Demikianlah, sejenak kemudian Lugu sudah mulai menyerang lagi. Ia mengira bahwa Sukra menjadi takut melihat kedua tangannya yang terjulur mengarah ke lehernya. Karena itu, maka ketika serangan kakinya tidak mengenai sasaran karena Sukra menghindar, maka Lugu itu pun telah mengulangi serangannya dengan kedua tangannya terjulur ke arah leher Sukra. Namun Sukra benar-benar menjadi marah melihat serangan yang berbahaya itu. Bahkan menurut pendapat Sukra, serangan itu sangat berlebihan bagi perselisihan anak-anak. Apabila sikap Lugu bahwa ia sama sekali tidak menghargai nyawa orang lain dalam persoalan yang sebenarnya tidak berarti itu. Karena itu, ketika Sukra melihat tangan yang terjulur itu, maka iapun menggeram marah. Dengan cepat ia meloncat ke samping. Namun kemudian kakinya terayun mendatar dengan derasnya mengenai lambung. Lugu terdorong beberapa langkah ke samping, bahkan kemudian anak itu terjatuh di atas pasir tepian. Namun anak itu segera bangkit kembali. Lugu memang menyeringai menahan sakit pada lambungnya. Namun tidak lama. Sejenak kemudian iapun telah bersiap untuk berkelahi lagi. Bahkan dengan lantang iapun berkata, “He, kau telah menyakiti aku. Akibatnya akan sangat buruk bagimu.” Sukra tidak menghiraukannya. Iapun segera mempersiapkan diri untuk menghadapi lawannya yang lebih besar daripadanya itu. Demikianlah, Lugu itu telah menyerang dengan garangnya. Tangan dan kakinya terayun-ayun dengan kerasnya. Tetapi dengan tangkas Sukra menghindar. Namun sekali-sekali Sukra terpaksa menangkis serangan-serangan itu. Dalam benturan-benturan yang terjadi, maka Sukra harus mengakui bahwa kekuatan Lugu lebih besar dari kekuatannya, sehingga kadang-kadang Sukra terdorong surut. Namun Sukra yang telah mempelajari dasar-dasar kemampuan bela diri dengan tekun, memiliki kesempatan lebih baik. Lugu kadang-kadang merasa kehilangan lawannya yang berloncatan. Namun tiba-tiba Sukra telah menyerang dengan derasnya, sehingga Lugu-lah yang terdorong surut. Lugu menjadi semakin marah ketika serangan-serangan Sukra semakin lama semakin sering mengenai tubuhnya. Sekali dua kali, Lugu yang memiliki tubuh dan daya yang sangat kuat itu tidak menghiraukannya. Tetapi semakin sering Sukra mengenainya, maka perasaan sakit itu menjadi semakin terasa menyengat tubuhnya dimana-mana. Dalam pada itu, anak-anak dari Kademangan Wadas Ireng dan anak-anak padukuhan induk Tanah Perdikan itu menyaksikan perkelahian itu dengan jantung yang berdebaran. Sekali-sekali anak-anak Tanah Perdikan yang bersorak, namun di kesempatan lain, anak-anak Wadas Ireng-lah yang bersorak-sorak. Orang-orang yang sedang meronda di padukuhan induk, mendengar suara-suara ramai di tepian meskipun tidak terlalu jelas. Tetapi mereka menyangka bahwa anak-anak sedang bermain sambil menutup pliridan mereka di sungai. Mereka sama sekali tidak mengira bahwa anak-anak di tepian itu sedang menonton Sukra dan Lugu yang sedang berkelahi. Sementara itu Lugu masih mampu berkelahi dengan garangnya. Ia benar-benar menjadi keras dan bahkan kasar. Namun Sukra dengan tangkas mengimbanginya. Latihan-latihan yang berat membuatnya mampu bergerak cepat untuk mengatasi kekuatan Lugu yang sangat besar bagi anak-anak. Apalagi Lugu memang lebih tua dan lebih besar dibandingkan dengan Sukra. Meskipun demikian, ternyata semakin lama Lugu semakin mengalami kesulitan. Hanya karena daya lahannya yang tinggi serta kekuatannya yang besar sajalah yang membuatnya masih dapat bertahan terus. Sementara itu, meskipun Sukra lebih kecil dan lebih muda, tetapi tenaganya sudah terlatih. Sukra itu mampu memperhitungkan agar ia tidak kehabisan tenaganya. Dalam pada itu, semakin lama Sukra menjadi semakin sering mengenai tubuh Lugu dengan serangan-serangannya yang cepat. Tetapi perlawanan Lugu masih belum menjadi susut. Meskipun beberapa kali Lugu terdorong dan jatuh di atas pasir tepian, namun ia segera bangkit dan siap untuk berkelahi lagi. Sukra-lah yang justru mulai merasa bahwa tenaganya seakan-akan telah terlepas untuk mengimbangi kekuatan dan daya tahan lawannya yang tinggi. Karena itu, Sukra mulai merasa bahwa tenaganya telah menyusut. Karena itu, maka Sukra harus mulai mempertimbangkan benar-benar tata geraknya, agar ia tidak menjadi kelelahan dan kehabisan tenaga sebelum Lugu dapat ditundukkannya. Itulah sebabnya maka Sukra mulai memperhitungkan benar-benar sasaran serangannya. Sukra mulai mengarahkan serangan-serangannya pada bagian tubuh lawannya yang lemah, tetapi tidak membahayakannya. Dengan demikian maka Sukra semakin sering berusaha menyerang dan mengenai lambung lawannya. Tidak saja dengan tumit kakinya, tetapi dengan jari-jarinya yang terbuka dan merapat. Pada kesempatan itu, sisi telapak tangan Sukra telah menghantam pundak Lugu, sehingga sebelah tangan anak itu rasa-rasanya untuk beberapa saat telah melemah. Pada kesempatan itu, Sukra telah mengarahkan serangannya pada sisi yang lemah itu. Beberapa kali kakinya terjulur mengenai lengan dan bahu yang rasa-rasanya menjadi semakin kesakitan. Lugu mengumpat dengan kasar. Namun serangan-serangan Sukra datang beruntun seperti banjir yang mengalir tidak putus-putusnya. Serangan disusul dengan serangan, sehingga Lugu tidak sempat menangkis dan menghindar. Karena itu, Lugu itu pun telah terdorong beberapa langkah surut. Bahkan kemudian kawan-kawannya yang melingkarinya harus menyibak ketika Lugu terhuyung-huyung beberapa langkah mundur. Sukra tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Sebelum Lugu sempat memperbaiki kedudukannya, Sukra itu melenting menyerang dada Lugu dengan kakinya yang terjulur menyamping. Serangan Sukra cukup keras meskipun sebenarnya tenaganya sudah mulai menyusut. Apalagi pada saat-saat terakhir, Sukra harus mengerahkan kemampuannya untuk mengakhiri perlawanan Lugu sebelum ia sendiri kehabisan tenaga. Sukra memang menyadari, jika usahanya terakhir itu gagal sementara ia sudah kehabisan tenaga, maka Lugu-lah yang akan menguasainya, dan ia akan mengalami perlakuan yang sangat buruk. Tetapi dengan perhitungan yang baik, Sukra yakin akan dapat menundukkan lawannya itu sebelum tenaganya habis. Serangan kaki Sukra itu ternyata telah melemparkan Lugu beberapa langkah. Serangan yang cukup keras itu membuat Lugu kehilangan keseimbangannya. Karena itu, maka tubuh Lugu itu telah terdorong dan jatuh menggelepar di dalam air. Lugu memang berusaha untuk bangkit agar air sungai itu tidak terlalu banyak masuk ke dalam mulut dan hidungnya. Meskipun kemudian Lugu itu berhasil untuk berdiri, tetapi hanya sesaat. Tubuhnya yang merasa sakit dimana-mana, nafasnya yang menjadi sesak demikian dadanya terkena serangan kaki Sukra, serta tenaganya yang juga terkuras, membuat Lugu benar-benar tidak mampu lagi mempertahankan keseimbangannya. Ketika ia mencoba melangkah ke tepian, iapun telah terjatuh lagi. Tetapi Lugu telah berhasil keluar dari air sungai yang mengalir tidak terlalu deras itu. Sukra berdiri termangu-mangu. Kawan-kawannya telah bersorak meneriakkan kemenangan. Beberapa orang kawan Lugu telah berlari memburunya. Mereka berusaha untuk menolong Lugu dengan mengangkat tubuhnya dan membantunya berdiri. Lugu kemudian memang dapat berdiri. Tetapi dua orang kawannya harus membantunya. Namun Lugu masih belum mengakui kekalahannya. Dengan lantang ia berkata kepada kawan-kawannya, “Kita tidak kalah. Kita akan membuat anak-anak yang licik itu menjadi jera. Kita akan berkelahi bersama-sama.” Sukra yang nafasnya masih terengah-engah itu menjadi berdebar-debar. Meskipun menurut perhitungannya anak-anak Padukuhan induk Tanah Perdikan itu tidak akan kalah, namun ia sendiri memerlukan untuk beristirahat barang beberapa saat. Karena itu, Sukra itu pun kemudian berdiri bertolak pinggang sambil berkata, “He, apakah kalian akan berkelahi beramai-ramai?” “Kalian akan dihancurkan,“ geram Lugu yang masih belum dapat berdiri tegak. “Kalian tanpa Lugu tidak akan berarti apa-apa bagi kami. Sementara itu, kalian lihat bahwa Lugu sudah tidak berdaya. Jika aku mempunyai landasan pikiran seperti Lugu, maka aku sudah mencekiknya. Menurut Lugu, jika dalam perkelahian seseorang terlanjur mati, maka yang membunuh tidak dapat dipersalahkan.” Anak-anak Wadas Ireng itu terdiam. Ternyata ketika ancaman itu ditujukan kepada mereka, maka mereka pun menjadi sangat ngeri. Bahkan Lugu sendiri merasa ngeri mendengarnya. Namun ternyata Lugu itu masih belum juga mengakui kenyataan yang dihadapinya. Karena itu, maka iapun berkata, “Kau tidak perlu menakut-nakuti kami. Kau kira aku tidak dapat berkelahi lagi? Sebentar lagi tenagaku akan pulih. Aku akan memilin leher anak-anak padukuhan ini. Seorang demi seorang. Dan kau adalah anak yang pertama akan kuhancurkan.” Tetapi Sukra tertawa. Beberapa kali ia menarik nafas dalam-dalam. Pernafasannya sangat membantu memulihkan kekuatannya. “Kau masih juga mengigau, Lugu. Berdiripun kau sudah tidak mampu lagi. Apalagi memilin leher kami.” “Persetan kau,” geram Lugu. Tetapi ketika ia melangkahkan kakinya, maka ia masih saja terhuyung-huyung. Kawan-kawannya yang membantunya berdiri, dengan cepat menahannya agar Lugu itu tidak terjatuh. Meskipun demikian, ia masih berteriak, “Ayo kawan-kawan, kita hancurkan anak-anak yang licik itu!” Tetapi sekali lagi Sukra tertawa keras-keras. Katanya, “Sebenarnya kau mau apa, Lugu? Melangkah pun kau sudah tidak mampu lagi.” “Anak-anak Wadas Ireng bukan anak-anak cengeng!“ bentak Lugu. Lalu katanya sekali lagi kepada kavan-kawannya, “Cepat! Selesaikan mereka!” Namun tiba-tiba Sukra itu pun menggeram, “Mari. Siapa yang ingin aku patahkan lengannya? Kau lihat, aku berkata sebenarnya. Dan aku pun mampu melakukannya. Berbeda dengan Lugu. Ia hanya dapat berteriak-teriak dan membentak-bentak. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa.” Anak-anak Wadas Ireng itu memang menjadi ragu-ragu. Tetapi Lugu itu membentak lagi, “Cepat! Siapa yang tidak mau melakukannya, aku besok akan menghukumnya. Hukuman yang belum pernah aku berikan kepada kalian sebelumnya.” Anak-anak Wadas Ireng itu menjadi bingung. Mereka merasa ngeri untuk berkelahi, apalagi melawan Sukra. Tetapi mereka pun menjadi ketakutan mendengar ancaman Lugu. Jika mereka menolak untuk melakukan perintah Lugu, maka nasib mereka akan menjadi buruk untuk waktu yang lama. Kemarahan Lugu tidak hanya akan terbatas dalam satu dua hari. Tetapi ia adalah pendendam yang berkepanjangan. Sukra yang melihat anak-anak Wadas Ireng itu ragu-ragu berkata lantang, “He, apakah kalian merasa sulit untuk memilih? Berkelahi melawan kami, atau dimusuhi Lugu dan bahkan menerima hukumannya?” “Cukup! Aku koyak mulutmu!“ teriak Lugu. Tiba-tiba saja darah Sukra naik sampai ke kepala. Dengan kecepatan yang tinggi ia meloncat ke arah Lugu. Satu ayunan tangannya telah menampar mulut yang baru saja terkatup itu. Lugu berteriak kesakitan. Bibirnya menjadi pecah dan darah mulai mengalir duri luka di bibirnya itu. “Ayo, berteriaklah sekali lagi!“ bentak Sukra. Lugu memang bergeser mundur. Dua orang yang membantunya berdiri ikut bergeser pula. Tetapi keduanya menjadi gemetar melihat sikap Sukra. Bahkan Sukra itu berkata selanjutnya dengan nada marah, “Aku dapat mencekikmu, Lugu. Mengerti? Mulutmu jangan kau buka sekali lagi. Aku akan memukulimu sampai kau terdiam.” Namun ternyata harga diri Lugu itu cukup tinggi. Meskipun mulutnya terasa sakit dan bibirnya rasa-rasanya-menjadi semakin tebal bergayut di mulutnya, namun ia masih menjawab, “Kau tidak berhak memerintah aku.” Ternyata Sukra tidak hanya menggertak. Karena anak itu membuka mulutnya lagi, maka Sukra pun benar-benar memukul mulut Lugu. Sekali lagi Lugu berteriak kesakitan. Bibirnya yang berdarah menjadi semakin berdarah. Bahkan hampir saja Lugu tidak dapat menahan tangisnya. Kedua kawannya yang membantunya berdiri menjadi semakin gemetar. Tetapi Lugu benar-benar terdiam. “Jika kau tidak mau diam, maka kedua anak yang membantumu berdiri itu pun akan aku pukuli, supaya melepaskanmu. Aku akan membenamkan kepalamu ke dalam air sehingga perutmu menjadi kembung. Aku tidak peduli apakah kau akan mati atau tidak.” Lugu benar-benar terdiam. Sementara Sukra berkata sambil melangkah hilir mudik. Tangannya bergerak-gerak mengikuti irama kata-katanya yang meluncur dari mulutnya. Sukra memang sengaja menirukan sikap Agung Sedayu, yang dianggapnya lebih tua dari Glagah Putih, “Aku bersungguh-sungguh sekarang.” Tidak seorang pun yang menyahut. Namun tiba-tiba Sukra itu berhenti melangkah. Dipandanginya anak-anak Wadas Ireng yang masih berkerumun di sekitar Lugu yang kesakitan. Dipandanginya anak-anak itu dengan tatapan mata yang tajam. Tiba-tiba saja ia bertanya, “Kenapa kalian menjadi demikian takut kepada Lugu?” Anak-anak itu masih tetap berdiam diri. “Seharusnya kalian tidak takut. Mungkin kalian seorang-seorang tidak berani melawan Lugu. Tidak seorangpun di antara kalian yang dapat mengalahkannya. Tetapi jika kalian bersepakat untuk melawannya, batapapun kuatnya anak itu, tetapi kekuatannya tidak akan melebihi empat orang anak di antara kalian. Atau barangkali lima orang. Jika jumlah kalian sepuluh atau lebih, maka Lugu bukan apa-apa bagi kalian,” berkata Sukra. Anak-anak itu saling berpandangan. Namun mereka tidak mengucapkan sepatah katapun. Yang kemudian bertanya adalah justru anak padukuhan induk itu, “Bagaimana kalau Lugu mengancam anak-anak Wadas Ireng seorang demi seorang?” “Anak-anak Wadas Ireng itu bersama-sama mengancam Lugu. Jika ada satu saja di antara kawan-kawannya yang disakiti Lugu, maka Lugu akan dihajar beramai-ramai tanpa ampun. Nah, dengan demikian Lugu tidak akan pernah mengancam siapapun di Kademangan Wadas Ireng.” Anak-anak Wadas Ireng itu saling berpandangan. Kata-kata Sukra itu nampaknya dapat mereka pahami. Namun seorang anak padukuhan induk yang lain bertanya, “Bagaimana jika ada yang berkhianat? Mungkin karena keuntungan yang didapatinya, mungkin Lugu memberinya uang atau makanan atau apa saja, sehingga beberapa orang justru membantunya?” “Jumlah anak-anak yang baik tentu berlipat,” jawab Sukra. Seorang anak padukuhan induk yang lain berteriak, “Yang berkhianat akan dihukum lebih berat dari Lugu sendiri.” Wajah Lugu menjadi merah padam. Hampir saja ia berteriak oleh kemarahan yang menyesakkan dadanya. Namun baru saja ia bergeser, maka Sukra berkata, “Ingat Lugu. Jika sepatah kata saja keluar dari mulutmu, maka kedua bibirmu akan rontok.” Lugu benar-benar menjadi ketakutan oleh ancaman Sukra yang nampaknya memang tidak main-main. Namun tiba-tiba seorang anak padukuhan induk yang lain bertanya, “Bagaimana jika Lugu minta bantuan anak-anak yang lebih besar, yang agaknya menjadi latar belakang pengaruh Lugu?” “Di Kademangan Wadas Ireng terdapat banyak sekali anak-anak muda yang baik. Jauh lebih banyak dari mereka yang bertabiat buruk. Jika mereka segan turut campur, maka ada Ki Bekel di setiap padukuhan. Ada Ki Demang, para bebahu, terutama Ki Jagabaya.” Anak-anak Wadas Ireng itu mulai mengangguk-angguk. Sukra yang merasa bahwa kata-katanya mulai mengusik perasaan anak-anak Wadas Ireng itu pun kemudian berkata, “Pulanglah. Bawa Lugu pulang. Tetapi jangan dipukuli sepanjang jalan. Tetapi jika pada suatu saat ia mulai melakukan perbuatan yang buruk lagi, kalian dapat mencegahnya. Jangan takut. Ia bukan anak yang tidak terkalahkan. Kau lihat, ia tidak berdaya sekarang.” Anak-anak Wadas Ireng itu berpaling kepada Lugu yang masih sangat lemah. Pandangan mata mereka telah berubah. Anak-anak itu tidak lagi menganggap Lugu sebagai panutan yang harus diikuti segala perbuatan dan tingkah lakunya. “Pulang!“ tiba-tiba Sukra membentak, “Ingat kata-kataku. Dalam keadaan yang paling sulit bagi kalian, datanglah mengadu kepada Ki Jagabaya. Lugu dan kawan-kawannya tentu akan mendapat peringatan, dan bahkan jika perlu hukuman.” Anak-anak Wadas Ireng itu mulai beranjak. Dua orang anak yang membantu Lugu hampir saja melepaskannya. Tetapi Sukra berkata, “Bantu ia berjalan. Hati-hati.” Sejenak kemudian, maka anak-anak Wadas Ireng itu pun beringsut meninggalkan tepian. Dua orang anak masih membantu Lugu berjalan di tepian berpasir. Namun Sukra yakin bahwa kata-katanya berpengaruh terhadap anak-anak Wadas Ireng, sehingga mereka akan berani menentang setiap niat buruk Lugu, yang sebelumnya sangat berpengaruh atas anak-anak Wadas Ireng itu. Demikian anak-anak Wadas Ireng itu meninggalkan tepian, maka anak-anak padukuhan induk itu menarik nafas panjang. Mereka tidak perlu berkelahi untuk mengusir anak-anak nakal itu. Dada Sukra pun menjadi lapang. Sebenarnya ia masih merasa letih. Lugu ternyata seorang anak yang memiliki kekuatan dan daya tahan yang sangat besar. Apalagi Lugu memang lebih tua dan lebih besar dari Sukra. Namun dalam pada itu, Sukra itu pun berkata kepada kawan-kawannya, “Kita tidak perlu berkelahi. Bukankah kita orang baik dan berjiwa besar?” Tetapi seorang anak bertanya, “Tetapi kau sendiri berkelahi, Sukra.” Sukra termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Jika aku tidak berkelahi, maka kalian semua akan berkelahi. Maka menurut pendapatku, lebih baik aku berkelahi seorang diri daripada kalian semuanya.” Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Sementara Sukra berkata, “Apakah pekerjaan kita memperbaiki pliridan sudah selesai?” “Hampir,” jawab seseorang. “Kita akan menyelesaikannya sebentar. Kemudian kita akan pulang. Kita tentu tidak akan dapat menutup pliridan di dini hari ini,” berkata Sukra. Anak-anak itu pun kemudian melakukan sebagaimana dikatakan oleh Sukra. Baru setelah pekerjaan itu selesai, maka anak-anak itu pun meninggalkan tepian, naik memanjat tebing dan melintasi tanggul, pulang ke rumah masing-masing. Beberapa di antara orang tua mereka bertanya, kenapa mereka terlalu lama bermain-main di sungai. Seorang ayah dengan marah bertanya, “Apa yang kalian lakukan sampai dini hari? Bagi mereka yang mempunyai pliridan, masih dapat dimengerti seandainya mereka menunggui pliridannya atau sengaja menutup pliridannya sekali lagi. Tetapi kau tidak mempunyai pliridan lagi.” “Kami membantu memperbaiki pliridan kawan-kawan, Ayah,” jawab anak-anak itu. Tetapi ia sama sekali tidak mengatakan bahwa mereka hampir saja terlibat dalam perkelahian melawan anak-anak Wadas Ireng. Sukra yang kemudian dengan diam-diam masuk lewat pintu butulan yang langsung menuju ke biliknya, memang tidak perlu membangunkan siapapun juga. Justru karena anak itu sering pergi ke sungai, maka Agung Sadayu sengaja membuat bilik baginya dengan pintu butulan tersendiri. Ketika kemudian fajar menyingsing, anak itu sudah sibuk sebagaimana biasanya. Iapun tidak mengatakan kepada Glagah Putih, apa yang telah terjadi di tepian. Namun ternyata kemudian peristiwa itu tersebar juga di antara anak-anak, dan bahkan akhirnya terdengar juga oleh orang-orang tua. Satu dua orang pengawal yang meronda, yang mendengar suara riuh di tepian, mengira bahwa suara itu sekedar suara anak-anak yang bermain dengan pliridan di sungai. Namun baru kemudian mereka ketahui bahwa hampir saja terjadi perkelahian antara anak-anak padukuhan induk itu dengan anak-anak Kademangan Wadas Ireng. Glagah Putih yang kemudian juga mendengarnya ketika ia berada di antara para pengawal, telah memanggil Sukra demikian ia pulang dari banjar. “Kau berkelahi?” bertanya Glagah Putih. Jawab anak itu tegas, “Ya. Tetapi jika aku tidak berkelahi, maka anak-anak yang berkumpul di tepian itu akan berkelahi semuanya.” Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Tetapi jika kau masih melihat kemungkinan yang lain, maka kau tidak boleh berkelahi.” Sukra mengangguk. Tetapi sikapnya terhadap Glagah Putih memang sudah berubah. Dengan urut Sukra kemudian bercerita tentang apa yang telah terjadi di tepian. Menurut pendapatnya, jika Lugu telah dikalahkan, maka yang lain masih akan mungkin dicegah. Glagah Putih menepuk bahunya sambil berkata, “Baiklah. Kau memang mempunyai alasan yang kuat, kenapa kau harus berkelahi.” Sukra mengangguk kecil. Sukra memang merasa lega bahwa ia tidak dianggap bersalah. Ternyata peristiwa itu telah mendorong Sukra untuk berlatih lebih bersungguh-sungguh. Ia merasa bahwa ilmunya akan berarti, justru untuk mencegah kekerasan yang lebih luas. Sementara itu, pada hari itu Kanthi nampak lebih banyak merenung. Ia memang sedang mengangkat beban baru di dalam hatinya. Ia harus menjawab pernyataan Wacana yang disampaikan lewat Rara Wulan. Meskipun Kanthi berusaha untuk tetap bersikap wajar sebagaimana sikapnya sehari-hari, namun orang lain masih dapat menangkap betapa Kanthi sedang mencari-cari jawab. Wacana sendiri juga merasa tegang. Hari itu Wacana berusaha untuk tidak bertemu dengan Kanthi. Dilakukannya pekerjaan apa saja di kebun belakang. Kemudian ikut Ki Jayaraga ke sawah, dan demikian ia pulang, maka ia telah menenggelamkan dirinya di dalam sanggar. Namun Kanthi sempat juga melihat kegelisahan dan ketegangan yang mencengkam perasaan anak muda itu. Karena itu, ia sadar bahwa ia tidak boleh terlalu lama memberikan jawaban. Di malam hari setelah makan malam, sementara Agung Sedayu dan Ki Jayaraga duduk-duduk di pendapa dan Wacana bersama Glagah Putih berada di serambi gandok, Sekar Mirah dan Rara Wulan setelah membenahi mangkuk-mangkuk yang kotor serta membersihkan ruang dalam, telah duduk pula sambil berbincang. Dengan hati-hati Rara Wulan memang mencoba memancing apakah Kanthi sudah mempunyai jawaban atas pernyataan Wacana. “Tentu Wacana tidak tergesa-gesa, Kanthi, karena ia tidak akan pergi kemana-mana. Tetapi nampaknya Wacana selalu dibayangi oleh kegelisahannya menunggu jawabmu,” berkata Rara Wulan kemudian, meskipun dengan agak ragu. Sementara itu Sekar Mirah bertanya pula, “Apakah masih ada yang harus dipikirkan? Kanthi. Jika kau sudah mengiakannya, maka sudah tentu Wacana akan melamarmu kepada orang tuamu. Bukan harus Wacana sendiri yang datang, tetapi bukankah ada Kakang Agung Sedayu. Ada pula Ki Jayaraga, yang agaknya mempunyai pekerjaan baru, melibatkan diri dalam persoalan anak-anak muda dalam hubungannya dengan gadis-gadis.” Rara Wulan tersenyum, sementara Kanthi pun berusaha menyembunyikan senyumnya itu. Namun desakan-desakan Rara Wulan dan Sekar Mirah itu memang mempercepat perenungan Kanthi menanggapi pesan Wacana itu. Karena itu, maka Kanthi tidak merasa perlu lagi menunda-nunda jawabannya, karena iapun kemudian sadar bahwa semakin cepat persoalan itu selesai dengan tuntas, akan semakin baik baginya. Karena itu, sambil menundukkan wajahnya, Kanthi akhirnya mengangguk kecil sambil berdesis, “Aku akan menganggap baik mana yang Mbokayu Sekar Mirah dan Rara Wulan menganggap baik.” Wajah Rara Wulan-lah yang tiba-tiba menjadi ceria. Namun Sekar Mirah masih mendesaknya, “Aku ingin mendengar jawabmu Kanthi. Bukankah kau menerima Wacana untuk kelak bersama-sama memasuki dunia kekeluargaan?” Kanthi masih saja menunduk dalam-dalam. Sambil mengangguk pula ia menjawab, “Ya, Mbokayu.” Tiba-tiba saja Rara Wulan memeluknya. Ternyata gadis itulah yang lebih dahulu menitikkan air mata. Namun titik-titik air mata itu telah memancing air mata Kanthi pula. Sekar Mirah-lah yang kemudian tersenyum sambil berkata, “Kau telah menapak maju menjelang hari depanmu yang lebih baik, Kanthi.” Kanthi masih menunduk, sementara Rara Wulan mengguncangnya, “Tersenyumlah Kanthi. Kau akan menjadi semakin cantik.” Kanthi memang mencoba tersenyum. Tetapi justru titik air di mata Rara Wulan menjadi semakin deras, sehingga Kanthi pun tidak dapat menahan isaknya lagi. “Sudahlah,” berkata Sekar Mirah, “kita memang harus memandang hari depan dengan tengadah.” “Nanti aku akan menyampaikannya kepada Kakang Glagah Putih. Wacana harus segera mendengar jawaban ini. Aku sendiri yang akan mengatakannya kepada Wacana,” berkata Rara Wulan. Kanthi mengangguk kecil. Sementara Sekar Mirah berkata, “Katakanlah dengan hati-hati Rara.” Rara Wulan yang kemudian melepaskan Kanthi pun telah mengusap matanya. Kemudian iapun bangkit sambil berkata, “Aku akan menemui Kakang Glagah Putih. Ia tentu berada di serambi gandok.” “Atau di sanggar,” desis Sekar Mirah. “Agaknya belum, Mbokayu. Bukankah Kakang Glagah Putih baru saja selesai makan bersama kita?” sahut Rara Wulan. Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Agaknya memang belum.” Rara Wulan pun kemudian segera beranjak dari tempatnya. Ia tidak keluar lewat pringgitan, karena ia tahu Agung Sedayu dan Ki Jayaraga sedang duduk-duduk di pendapa untuk mendapatkan udara yang sejuk. Lewat pintu seketheng, Rara Wulan langsung menuju ke serambi gandok. Ketika Rara Wulan melihat Glagah Putih sedang duduk bersama Wacana, maka tiba-tiba saja timbul niatnya untuk langsung menyampaikan jawaban Kanthi saat itu juga. Tetapi lebih dahulu Rara Wulan ingin berbicara dengan Glagah Putih. Karena itu, maka ketika ia turun dari pintu seketheng, iapun kemudian mendekati kedua orang itu sambil berkata, “Kakang Glagah Putih, Mbokayu Sekar Mirah ingin berbicara sebentar. Hanya sebentar.” Glagah Putih pun kemudian bangkit berdiri. Namun Rara Wulan kemudian berkata kepada Wacana, “Kakang Wacana. Jangan pergi.” Wacana mengerutkan dahinya. Namun iapun mengangguk sambil menjawab, “Aku akan menunggu.” Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan hilang di balik seketheng, maka Wacana pun menjadi gelisah. Ia sudah menduga, bahwa Rara Wulan akan memberikan pesan-pesan Kanthi kepada Glagah Putih. Di dalam seketheng, Rara Wulan tidak mengajak Glagah Putih menemui Sekar Mirah. Tetapi ia langsung mengatakannya, bahwa Kanthi telah memberikan jawaban. “Apakah kau sependapat, jika aku sekarang menyampaikan jawaban Kanthi itu langsung kepada Wacana?” bertanya Rara Wulan. Glagah Putih mengangguk-angguk kecil. Tetapi ia kemudian berdesis, “Apakah tidak ada keseganan pada Wacana jika kau langsung mengatakan kepadanya?” “Bukankah itu lebih baik daripada harus lewat orang lain? Aku dapat menjelaskan pancaran perasaan Kanthi pada saat ia mengatakan jawabannya. Jika Wacana bertanya tentang Kanthi, maka aku akan dapat menyampaikannya langsung kepadanya.” Glagah Putih mengangguk-angguk lagi. Katanya, “Baiklah. Tetapi hati-hatilah. Kau harus menjaga perasaannya.” “Perasaan Wacana tentu lebih mapan dari perasaan Kanthi,” sahut Rara Wulan. “Agaknya memang demikian,” desis Glagah Putih. Demikianlah, keduanya telah kembali keluar lewat seketheng. Rara Wulan memang berniat langsung bertemu dan berbicara dengan Wacana. Di pendapa, Agung Sedayu dan Ki Jayaraga masih duduk menghirup udara segar di ujung malam. Lampu minyak yang berkeredipan disentuh angin mengguncang bayangan tiang-tiang yang berdiri membeku. Agung Sedayu dan Ki Jayaraga melihat Rara Wulan kemudian duduk bertiga bersama Glagah Putih dan Wacana. Mereka pun melihat Rara Wulan berbicara dengan bersungguh-sungguh. Sementara Wacana yang mendengarkannya nampak menjadi tegang. Sementara itu, Rara Wulan atas persetujuan Glagah Putih telah menyampaikan langsung jawaban Kanthi atas pesan Wacana. Ternyata Kanthi dapat menerima Wacana untuk kelak mengarungi gelombang kehidupan keluarga bersama-sama. Namun Rara Wulan itu pun berkata, “Tetapi kau harus menerimanya dengan ikhlas seperti apa adanya, Kakang Wacana. Kau sudah mengetahui sejak semula bahwa Kanthi sudah mengandung. Hendaknya hal ini tidak menjadi persoalan kelak, jika pada suatu saat sedang terjadi sedikit singgungan pada hati kalian berdua.” “Aku mengerti, Rara. Ketika tumbuh niatku untuk melamarnya, aku memang sudah mengetahuinya. Sehingga persoalan ini tidak akan menjadi sebab pertengkaran sehingga akan selalu diungkit-ungkit kembali, jika sedikit terjadi masalah di antara kami.” “Syukurlah,“ Rara Wulan mengangguk-angguk, “jika kedua belah pihak sudah mengetahui latar belakang kehidupan masing-masing, maka masing-masing akan dapat mengendalikan dirinya.” Wacana mengangguk-angguk. Sementara Glagah Putih berkata, “Aku mengucapkan selamat Wacana. Tetapi kesempatan ini bukan merupakan bagian akhir dari kehidupan masa depanmu, sehingga jalan yang akan kalian lalui berdua selanjutnya tidak selalu jalan datar yang halus dan rata. Tetapi kau dan Kanthi akan memasuki gejolak gelombang yang mengguncang hari-harimu.” “Ah, kau,” desis Rara Wulan, “darimana kau ketahui hal itu, Kakang?” Glagah Putih terkejut mendengar pertanyaan itu. Tiba-tiba saja ia tersenyum sambil berdesis, “Aku pernah menghadiri upacara pernikahan. Seorang yang berambut dan berjanggut putih telah memberikan nasehat kepada sepasang pengantin. Nah, sebagian aku tirukan nasehat itu.” Rara Wulan tertawa. Wacana yang tegang itu pun sempat tersenyum pula. “Jika hanya menirukan saja, semua orang dapat juga mengucapkannya,“ desis Rara Wulan kemudian. Wacana yang sudah tersenyum itu justru berkata, “Baiklah Glagah Putih. Aku akan mengingat nasenat itu baik-baik. Pada saatnya, aku akan menasehatkannya kepadamu kelak.” Ketiga orang itu tertawa hampir tidak tertahankan. Agung Sedayu dan Ki Jayaraga yang duduk di pendapa melihat ketiga orang yang tertawa di serambi itu. Sambil tersenyum Agung Sedayu berdesis, “Apa saja yang mereka bicarakan itu?” Ki Jayaraga tersenyum pula. Katanya, “Tentu persoalan yang menyangkut Wacana dan Kanthi. Agaknya mereka telah mendapatkan kesepakatan.” “Mudah-mudahan,” sahut Agung Sedayu, ”jika benar-benar keduanya sepakat, maka jalan itu adalah jalan yang terbaik bagi Wacana dan Kanthi.” Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, “Kita ikut mengucapkan syukur. Dua hati yang terluka, semoga dapat sembuh bersama-sama.” Agung Sedayu pun mengangguk-angguk pula. Nampaknya keduanya ikut merasa berbahagia menyertai Wacana dan Kanthi, yang hampir saja kehilangan jalan ke masa depanya. Dalam pada itu, Ki Jayaraga itu pun kemudian berkata, “Tetapi dalam waktu yang dekat ini, Angger Agung Sedayu akan disibukkan oleh pernikahan beberapa orang. Angger Prastawa, Angger Sabungsari dan kemudian Angger Wacana.” Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Mudah-mudahan tidak bersamaan waktunya dengan waktu yang diperlukan oleh Pati.” Ki Jayaraga tertawa pendek. Katanya, “Semuanya harus dilakukan segera. Jika tidak, maka waktunya memang akan diambil Kanjeng Adipati Pati.” Sementara itu, maka Wacana yang sudah mendapat jawaban dari Kanthi itu hatinya mulai mekar. Sekali-sekali memang terlintas wajah Raras yang menganggapnya sebagai kakak kandungnya sendiri. Betapa ia merasa hatinya yang pepat karena ia telah menginginkan Raras untuk menjadi sisihannya. Tetapi semuanya itu sudah lewat. Kini hatinya telah hinggap pada seorang gadis yang pernah mengalami nasib yang buruk. Namun dalam pada itu, Wacana yang masih duduk di serambi bersama Glagah Putih dan Rara Wulan itu berkata, “Tetapi siapakah yang akan pergi melamar kepada orang tua Kanthi? Keluargaku tinggal di tempat yang jauh. Ada pamanku di Mataram. Tetapi bukankah bagi keluarga Kanthi akan sama saja artinya, jika yang datang melamar itu bukan orang tuaku dan bukan pula pamanku? Tetapi Ki Lurah Agung Sedayu dan Ki Jayaraga, misalnya?” “Aku kira sama saja, apalagi bagi Kanthi yang memerlukan waktu yang tidak terlalu panjang karena keadaannya,” jawab Glagah Putih. “Ya,” sahut Rara Wulan, “semakin cepat, semakin baik.” “Apakah kalian tahu, kapan Prastawa akan menikah?” bertanya Wacana. “Belum,” jawab Glagah Putih, “keluarga Anggrenilah yang akan menentukannya. Kakang Swandaru juga menunggu sampai kabar itu datang. Agaknya dalam dua tiga hari ini keluarga Anggreni akan memberikan ketentuan waktu itu.” “Apakah kau akan mengambil ancar-ancar dari hari pernikahan Prastawa?” bertanya Rara Wulan. “Tentunya jangan sampai terjadi pada hari yang bersamaan, meskipun dalam suasana yang jauh berbeda,” jawab Wacana. “Maksudmu?” bertanya Rara Wulan. “Prastawa adalah kemanakan Kepala Tanah Perdikan Menoreh, sedangkan aku adalah orang kabur kanginan. Mungkin pernikahan Prastawa akan dilaksanakan dengan upacara adat selengkapnya serta keramaian yang meriah. Tetapi sudah tentu aku tidak akan demikian. Aku akan datang ke rumah Kanthi hanya dengan membawa tubuhku saja. Seperti kau lihat, di sini aku tidak mempunyai apa-apa.” Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Memang ada hal yang dapat dipertentangkan pada Wacana. Ia harus dengan cepat menyelesaikan ikatan pernikahannya dengan Kanthi. Tetapi sesudah itu, apa yang akan dilakukannya? Bagaimana Wacana akan dapat hidup dan menghidupi keluarganya, meskipun keluarga baru? Agaknya Wacana dapat membaca persoalan yang tumbuh di hati Glagah Putih itu. Karena itu, maka iapun berkata, “Glagah Putih. Sudah tentu setelah pernikahan, aku tidak dapat berada di sini sebagaimana sekarang ini, tanpa mempunyai landasan penghidupan sama sekali. Tetapi orang tuaku mempunyai beberapa kotak sawah yang dapat aku kerjakan untuk alas sebuah keluarga kecil yang sederhana.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun sebuah pertanyaan lain justru timbul di dalam hatinya, “Lalu aku sendiri bagaimana? Apakah aku juga harus menyebut beberapa kotak sawah Ayah di Banyu Asri, jika saatnya aku berkeluarga, sementara Ayah sendiri berada di padepokan yang ditinggalkan oleh Kiai Gringsing?” Namun pertanyaan yang timbul itu segera diredamnya di dalam hati. Demikianlah, Glagah Putih itu pun kemudian berkata pada Rara Wulan,“ Rara. Temuilah Kanthi, katakan apa yang telah kita bicarakan di sini.” Rara Wulan mengangguk. Sementara itu Wacana berkata, “Segala sesuatunya akan aku serahkan kepada Ki Lurah Agung Sedayu. Setelah semuanya selesai, aku akan segera pergi menemui keluargaku. Aku yakin bahwa tidak akan timbul masalah.” “Apakah aku juga harus menyampaikan kepada Kakang Agung Sedayu?” bertanya Glagah Putih. “Bagaimana menurut pertimbanganmu?” Wacana justru bertanya pula. “Sebaiknya besok kita bersama-sama menemuinya,” berkata Glagah Putih kemudian. Wacana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Besok kita temui Ki Lurah Agung Sedayu. Aku memang tidak dapat berbuat lain daripada menyerahkan segala-galanya kepada Ki Lurah.” Demikianlah, Rara Wulan pun kemudian telah meninggalkan serambi gandok, masuk ke ruang dalam tidak lewat pringgitan, tetapi masuk seketheng melewati longkangan dan masuk melalui pintu bululan untuk menemui Kanthi. Ternyata Kanthi masih duduk di ruang dalam bersama Sekar Mirah. Wajah Kanthi tidak lagi nampak muram. Sekali-sekali sebuah senyuman telah menghiasi bibirnya. bersambung Posted in Buku 291 - 300 ♦ Seri III Tagged Agung Sedayu, Glagah Putih, Ki Argajaya, Ki Argapati Ki Gede Menoreh / Arya Teja, Ki Jayaraga, Pandan Wangi, Prastawa, Rara Wulan, Sekar Mirah, Sukra, Swandaru, Wacana
BeliApi di bukit menoreh II di T.B sule. Promo khusus pengguna baru di aplikasi Tokopedia! Download Tokopedia App. Tentang Tokopedia Mitra Tokopedia Mulai Berjualan Promo Tokopedia Care. Kategori. Masuk Daftar. iphone 6 samsung a52 tangga lipat gantungan kunci mesin ♦ 15 Juli 2010 Tetapi sebelum Agung Sedayu sempat menyerang, tiba-tiba saja Ki Tumenggung itu bagaikan melayang dengan kaki terjulur lurus menyamping menyambar keningnya. Agung Sedayu terkejut. Dengan cepat ia memiringkan tubuhnya untuk mengelakkan sambaran kaki Ki Tumenggung. Tetapi adalah di luar dugaannya bahwa demikian cepatnya Ki Tumenggung Wimbasara mengayunkan tangannya menebas ke samping. Agung Sedayu terlambat mengelak. Kecepatan gerak Ki Tumenggung Wimbasara melampaui gerak Agung Sedayu, sehingga tangan Ki Tumenggung-lah yang kemudian menyambar kening. Agung Sedayu terhuyung-huyung sejenak. Keningnya serasa terbentur sebongkah batu hitam. Sekilas matanya menjadi kabur. Namun Agung Sedayu bukan kebanyakan orang. Dengan menghentakkan daya tahannya, maka Agung Sedayu segera menguasai keseimbangannya kembali. Namun ketika serangan berikutnya datang, Agung Sedayu meloncat mengambil jarak. Kecepatan gerak Ki Tumenggung Wimbasara memang luar biasa. Meskipun Agung Sedayu sudah mengambil jarak, namun dalam sekejap kemudian serangannya telah menghambur memburu Agung Sedayu. Kaki Ki Tumenggung sekali lagi terjulur ke arah dada Agung Sedayu. Agung Sedayu memang tidak mengelak. Namun waktu yang sekejap itu sudah cukup baginya untuk mengembangkan ilmu kebalnya. Karena itu, maka serangan Ki Tumenggung berikutnya seakan-akan tidak lagi menyakitinya. Ki Tumenggung-lah yang kemudian terkejut. Tetapi orang berilmu tinggi itu pun segera menyadari bahwa lawannya yang muda daripadanya itu memiliki ilmu kebal. “Luar biasa, Ki Lurah,” berkata Ki Tumenggung, “kau sempat mengembangkan ilmu kebalmu untuk melindungi dirimu.” Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia sadar bahwa Ki Tumenggung itu juga memiliki ilmu kebal dari jenis apapun juga. Mungkin Aji Lembu Sekilan sebagaimana dimiliki oleh lawannya kemarin. Tetapi mungkin juga Aji Tameng Waja, atau bahkan yang sebelumnya belum dikenalnya. Dengan demikian, maka pada pertempuran berikutnya kedua orang itu sudah berada pada tataran yang semakin tinggi. Seperti yang diduga oleh Agung Sedayu, orang itu pun memiliki ilmu kebal, sehingga sebagaimana serangan-serangan lawannya yang seakan-akan tidak dapat mengenai sasarannya, demikian pula serangan-serangan Agung Sedayu. Namun keduanya berusaha untuk meningkatkan ilmu mereka dan berusaha untuk menembus ilmu kebal lawan masing-masing. Tetapi kedua belah pihak telah meningkatkan ilmu kebal mereka pula. Dengan demikian, yang terjadi kemudian seakan-akan adalah sekedar benturan-benturan ilmu yang tidak berkesudahan. Namun keduanya adalah orang-orang yang berilmu sangat tinggi. Ketika keduanya menghentakkan kemampuan mereka dilambari dengan tenaga dalam yang terungkap sampai tuntas, maka serangan-serangan mereka mulai mengguncangkan ilmu kebal masing-masing. Namun justru karena itu, Ki Tumenggung Wimbasara tidak lagi mempercayakan diri kepada ilmu kebalnya. Ketika Agung Sedayu berhasil mengayunkan tangannya dan mengenai pundak Ki Tumenggung, maka Ki Tumenggung telah merasakan betapa kekuatan yang sangat besar dari Lurah prajurit Mataram itu dapat menggoyahkan ilmu kebalnya. Namun demikian kaki Ki Tumenggung menyapu betis Agung Sedayu dengan kekuatan yang luar biasa, maka Agung Sedayu seakan-akan telah tergelincir jatuh. Meskipun dengan cepat ia sempat meloncat bangkit, namun Agung Sedayu sadar bahwa ilmu kebalnya telah digoyahkan oleh lawannya. Bahkan udara yang menjadi panas di saat Agung Sedayu meningkatkan ilmu kebalnya sampai ke puncak, sama sekali tidak mempengaruhi lawannya sama sekali. Dalam pada itu, Ki Tumenggung tidak saja bertumpu pada ilmu kebalnya. Dalam pertempuran yang terjadi kemudian, Ki Tumenggung sempat membingungkan Agung Sedayu. Seakan-akan Ki Tumenggung Wimbasara itu setiap kali lenyap dari tempatnya. Namun tiba-tiba sebuah serangan datang dari arah yang tidak diduganya, dengan kekuatan yang kemampuan yang sangat tinggi, sehingga mampu menembus ilmu kebal Agung Sedayu. Beberapa kali Agung Sedayu harus menyeringai menahan sakit. Bahkan kulit dan dagingnya mulai terasa menjadi memar. Namun bukan hanya Agung Sedayu saja-lah yang menjadi kesakitan. Lawannya yang memiliki ilmu yang sangat tinggi dan pengalaman yang sangat luas pun setiap kali harus menahan desah di mulutnya. Perasaan nyeri dan sakit rasa-rasanya telah menembus sampai ke tulang. Agung Sedayu yang menyadari bahwa lawannya mampu bergerak demikian cepatnya sehingga sulit diikuti dengan penglihatan mata wadag, telah memaksa Agung Sedayu menerapkan ilmunya meringankan tubuhnya untuk mengimbangi kecepatan gerak lawannya. Sementara itu, untuk mengetahui lawannya di setiap saat agar tidak lepas dari pengamatannya, Agung Sedayu telah menerapkan ilmunya Sapta Panggraita. Meskipun lawannya seakan-akan hilang dari penglihatannya tetapi Agung Sedayu tetap mengetahui di mana lawannya itu berada. Kemampuan Agung Sedayu itu benar-benar di luar dugaan Ki Tumenggung Wimbasara. Seorang Lurah prajurit yang terhitung masih muda, ternyata sudah memiliki ilmu yang luar biasa. Para prajurit dari Pati dan para prajurit Mataram yang menyertai Panembahan Senapati memasuki halaman istana itu berdiri mematung di tempatnya. Pertempuran yang terjadi benar-benar merupakan pertarungan dua kemampuan yang sangat tinggi. Kedua orang itu mampu bergerak dengan cepat, sehingga kadang-kadang mereka terlambat mengikuti apa yang terjadi. Dengan ilmu meringankan tubuhnya, Agung Sedayu seakan-akan tidak menyentuh tanah. Sekali-sekali tangannya mengembang sambil bergerak bagaikan mengambang di udara. Sementara itu, Ki Tumenggung Wimbasara setiap kali seakan-akan hilang dari tempatnya berdiri. Namun tiba-tiba saja serangannya segera melibat lawannya seperti badai. Namun Agung Sedayu setiap kali mampu menghindar dengan kecepatan yang tidak kasat mata. Pertempuran itu pun berlangsung beberapa lama. Keduanya saling menyerang dan saling bertahan. Sekali-sekali mereka menghindar, tetapi kadang-kadang mereka dengan sengaja menangkis serangan-serangan itu sehingga terjadi benturan-benturan. Namun pertempuran dengan mengandalkan kecepatan gerak itu tidak segera dapat mereka selesaikan. Jika sekali-sekali serangan mereka menyusup pertahanan lawan dan bahkan menembus ilmu kebal mereka masing-masing, ternyata bahwa serangan itu tidak pernah berhasil melumpuhkan lawan. Karena itu, keduanya pun kemudian telah berpaling kepada kemampuan mereka yang lain. Mereka tidak lagi mengandalkan kepada kecepatan bergerak semata-mata. Tetapi mereka juga mulai mengembangkan tenaga dalam yang mereka ungkapkan sampai ke dasar. Dengan demikian, gerak mereka nampaknya menjadi semakin lamban. Tetapi setiap gerak selalu memancarkan tenaga yang sangat besar. Jika kemudian terjadi benturan-benturan, maka kedua-duanya kadang telah terdorong surut. Serangan yang sangat kuat dilandasi dengan tenaga dalam yang sangat besar telah melemparkan Agung Sedayu beberapa langkah surut. Serangan yang menyusul kemudian, telah menghantam dada Agung Sedayu. Hanya karena Agung Sedayu dilindungi dengan ilmu kebalnya saja-lah, maka iga-iganya tidak rontok di dalam dadanya. Meskipun demikian Agung Sedayu yang belum berhasil berdiri dengan mapan, telah terlempar dan terbanting jatuh di tanah. Beberapa kali Agung Sedayu berguling. Sementara itu Ki Tumenggung Wimbasara telah meloncat memburunya. Namun Agung Sedayu yang masih menerapkan ilmunya meringankan tubuh, dengan kecepatan yang tidak kasat mata telah berdiri tegak dan siap menghadapi serangan Ki Tumenggung Wimbasara. Karena itu, ketika serangan itu benar-benar datang, Agung Sedayu telah bersiap untuk menghadapinya. Yang terjadi kemudian adalah satu benturan ilmu yang keras. Dua kekuatan yang sangat besar telah saling mendera. Orang-orang yang menyaksikannya menjadi semakin tegang. Panembahan Senapati bahkan sempat menahan nafas sejenak. Serangan Ki Tumenggung Wimbasara yang datang bagaikan angin prahara itu telah membentur pertahanan Agung Sedayu yang kokoh, seperti batu karang yang tegak di tebing yang menghadap ke lautan yang ganas. Ternyata kedua orang yang telah membenturkan kekuatan dan kemampuan mereka itu pun sama-sama telah terguncang. Keduanya telah tergetar dan terdorong surut beberapa langkah. Meskipun keseimbangan mereka goyah, namun keduanya masih mampu bertahan sehingga keduanya tetap berdiri tegak. Namun kedua-duanya merasa betapa dada mereka menjadi nyeri. Untunglah bahwa kedua-duanya telah melindungi diri mereka dengan ilmu kebal dan ketahanan tubuh yang tinggi, sehingga mereka masih tetap mampu untuk bertempur. Namun keduanya tidak ingin bertempur lebih lama lagi. Keduanya adalah prajurit yang utuh. Karena itu, mereka pun telah bersiap melakukan perang tanding sampai tuntas, apapun yang bakal terjadi atas dirinya. Karena itu, ketika semua kemampuan telah tertumpah namun mereka masih belum melihat akhir dari perang tanding itu, maka Ki Tumenggung Wimbasara sampai pada keputusan untuk membuat penyelesaian terakhir. Tetapi sebagai seorang prajurit, ia tidak ingin memenangkan perang tanding dengan cara yang tidak terhormat. Apalagi lawannya adalah seorang Lurah yang masih terhitung muda. Karena itu, sesaat kemudian Ki Tumenggung Wimbasara itu pun kemudian berkata lantang, “Ki Lurah. Ternyata kemampuan Ki Lurah berada jauh di atas dugaanku. Dengan demikian, aku harus mengakui bahwa Ki Lurah sampai tataran ini mampu mengimbangi ilmuku. Karena itu aku tidak mempunyai pilihan lain. Karena perang tanding ini harus berakhir, maka aku ingin memperingatkan Ki Lurah bahwa aku akan menapak pada ilmu simpananku. Kecuali jika Ki Lurah berniat mengakhiri pertempuran ini.” “Maksud Ki Tumenggung?” bertanya Agung Sedayu. “Jika Ki Lurah mengaku kalah untuk menghindari akibat terburuk yang dapat terjadi karena ilmu simpananku, maka aku tidak akan mempergunakannya. Kewajibanku kemudian adalah perang tanding melawan Panembahan Senapati.” Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menjawab, “Bagaimana jika aku ingin menanggapi ilmu simpanan Ki Tumenggung dengan ilmu pamungkas yang pernah aku warisi dari guruku?” Ki Tumenggung mengerutkan dahinya. Dengan nada berat ia bertanya, “Apakah Ki Lurah tahu, apa yang aku maksud dengan ilmu simpananku?” “Ki Tumenggung,” jawab Ki Lurah Agung Sedayu, “kita sudah menjajagi kemampuan kita masing-masing. Tentu aku tahu apa yang Ki Tumenggung maksudkan, sebagaimana Ki Tumenggung juga mengetahui apa yang aku maksud dengan ilmu pamungkasku.” Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Bersiaplah. Aku hanya bermaksud untuk memperingatkanmu, karena aku tidak ingin disebut licik karena aku dianggap tiba-tiba saja menyerangmu.” “Aku hargai sikap Ki Tumenggung. Aku tahu bahwa Ki Tumenggung adalah seorang prajurit.” Ki Tumenggung Wimbasara itu pun kemudian telah mempersiapkan diri. Setelah bertempur beberapa lama dan agaknya akan berlangsung tanpa berkesudahan, maka Ki Tumenggung benar-benar ingin mengakhiri pertempuran itu. Sementara itu Agung Sedayu pun telah bersiap pula. Sebagai seorang yang memiliki berbagai macam ilmu, maka Agung Sedayu telah menghimpun semua tenaga dan kekuatannya. Dengan memusatkan nalar dan budinya, Agung Sedayu siap menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi dalam benturan puncak ilmunya dengan ilmu simpanan lawannya. Agung Sedayu masih menerapkan ilmu kebal untuk menghambat kemampuan ilmu lawannya. Dengan meningkatkan daya tahan tubuhnya, serta mengangkat tenaga dalamnya sampai ke dasar untuk mendukung kekuatan ilmunya, maka Agung Sedayu berdiri tegak menghadap ke arah lawannya. Sementara Ki Tumenggung Wimbasara, saudara seperguruan Kanjeng Adipati Pragola telah membangunkan ilmu simpanannya. Ki Tumenggung itu telah menggosokkan kedua telapak tangannya yang terkatup itu. Semakin lama semakin tebal. Bahkan warnanya pun kemudian menjadi kemerah-merahan. Sementara itu Agung Sedayu pun telah siap pula melepas ilmu pamungkasnya. Dengan tajamnya dipandanginya telapak tangan Ki Tumenggung Wimbasara. Agung Sedayu mengerti bahwa Ki Tumenggung akan melepaskan ilmu simpanannya dari telapak tangannya. Sebenarnyalah, sesaat kemudian Ki Tumenggung telah mengangkat tangan kanannya. Ketika ia mengayunkan tangannya untuk melontarkan ilmunya, Agung Sedayu melihat seleret sinar yang kemerah-merahan meloncat dari telapak tangan Ki Tumenggung. Bersamaan dengan itu, dari kedua mata Agung Sedayu pun telah memancar kekuatan aji pamungkasnya, membentur serangan Ki Tumenggung Wimbasara. Namun jantung Agung Sedayu terasa berdesir. Demikian ia melepaskan ilmunya dengan lambaran segenap kekuatan dan kemampuannya, barulah ia menyadari bahwa ia melihat keragu-raguan pada gerakan tangan Ki Tumenggung Wimbasara. Namun semuanya sudah terjadi. Agung Sedayu terlambat menyadari. Karena itu, ketika benturan itu terjadi, maka akibatnya sangat mendebarkan. Sebenarnyalah, pada saat terakhir Ki Tumenggung Wimbasara memang menjadi sedikit ragu. Lawannya, Lurah prajurit Mataram itu, masih terhitung muda. Jika ia mengerahkan segenap kemampuan dan kekuatan ilmunya, maka Lurah prajurit Mataram yang masih terhitung muda itu akan dapat menjadi lumat karenanya. Karena itu, pada saat terakhir, Ki Tumenggung Wimbasara sedikit mengekang ilmunya yang telah diluncurkannya. Namun hal itu berakibat sangat buruk bagi Ki Tumenggung Wimbasara. Ia tidak menyadari betapa tinggi ilmu Agung Sedayu. Karena itu, ilmunya yang dilontarkannya dengan sedikit ragu itu telah membentur puncak ilmu Agung Sedayu, yang meluncur dilambari dengan segenap kemampuan yang ada di dalam dirinya. Karena itulah, maka gelombang balik yang terjadi karena benturan itu telah menghantam Ki Tumenggung Wimbasara, yang justru sedang mengekang ilmunya yang telah meluncur. Getaran gelombang balik dari benturan itu, didorong oleh kekuatan yang dahsyat dari kekuatan ilmu Agung Sedayu, telah menghentak dan menghantam tubuh dan bahkan bagian dalam dada Ki Tumenggung Wimbasara. Dengan demikian, Ki Tumenggung Wimbasara itu pun telah terlempar beberapa langkah surut. Tubuhnya terbanting di tanah dengan derasnya. Beberapa kali ia telah berguling. Namun Ki Tumenggung tidak mampu lagi untuk bangkit berdiri. Bahkan seisi dadanya rasa-rasanya telah meledak dan pecah berserakan. Karena itulah, nafas Ki Tumenggung menjadi sesak. Pandangan matanya menjadi kabur. Beberapa orang prajuritnya segera berlari menghambur mengelilinginya. Seorang Eangga berjongkok di sampingnya sambil menggeram, “Kami akan menuntut balas kematian Ki Tumenggung.” Tetapi Tumenggung Wimbasara berkata perlahan sekali, “Tidak. Jangan. Tidak akan ada artinya lagi.” “Kesetiaan kami akan kami buktikan. Kami akan menyeret korban sebanyak-banyaknya di antara orang-orang Mataram itu.” Ki Tumenggung menggeleng lemah. Katanya, “Ternyata kesetiaan tidak selalu diujudkan dengan bela pati.” Para prajurit Pati itu termangu-mangu. Sementara Ki Tumenggung berkata, “Aku kagumi kemampuan Lurah prajurit itu.” Para prajurit Pati masih saja termangu-mangu. Sementara itu keadaan Ki Tumenggung menjadi semakin parah. Darah mulai mengalir dari sela-sela bibirnya. Namun ia masih berkata, “Jika aku tidak lagi dapat bertahan, maka kalian-lah yang harus mengatakan kepada Panembahan Senapati, bahwa Kanjeng Adipati Pragola sudah tidak ada di istana ini lagi. Tetapi katakan pula satu permohonan, agar Panembahan Senapati dapat mengendalikan prajurit-prajuritnya untuk tidak merusak dan menghancurkan istana ini.” Para prajuritnya mengangguk-angguk. Sejenak Ki Tumenggung terdiam. Nafasnya menjadi semakin sesak. Dengan suara yang sangat lemah ia berkata, “Salamku kepada Ki Lurah itu. Aku ternyata gagal untuk melakukan perang tanding melawan Panembahan Senapati.” Para prajurit Pati itu tidak sempat menjawab. Ki Tumenggung itu pun kemudian telah menutup matanya. Sementara itu, Agung Sedayu pun terbaring dengan lemahnya. Panembahan Senapati dan Ki Patih Mandaraka berlutut di sampingnya, sementara Pangeran Mangkubumi mengamati keadaan. Ia tidak boleh lengah. Masih ada sekelompok prajurit Pati di seputar tubuh Ki Tumenggung Wimbasara. “Kau harus bertahan Agung Sedayu,” desis Panembahan Senapati yang menjadi berdebar-debar melihat keadaan Agung Sedayu. “Ampun Panembahan,” berkata Agung Sedayu, “hamba mohon Panembahan mengambil sebutir obat di kantong ikat pinggang hamba yang sebelah kanan.” Panembahan Senapati pun melakukannya sebagaimana diminta oleh Agung Sedayu. Diambilnya sebutir obat yang berada di dalam sebuah bumbung kecil yang disimpannya di kantong ikat pinggangnya yang besar. Agung Sedayu itu pun berusaha untuk membuka bibirnya, sehingga Panembahan Senapati sempat memasukkan sebutir obat itu di dalam mulutnya. Obat itu pun seakan-akan telah mencair dan mengalir lewat kerongkongan Agung Sedayu. Namun demikian, keadaan Agung Sedayu masih tetap mencemaskan mereka yang mengerumuninya. Ki Patih Mandaraka bahkan menjadi sangat tegang. “Ampun Panembahan. Hamba mohon disampaikan kepada Ki Tumenggung. Hamba mengucapkan terima kasih, bahwa di saat terakhir Ki Tumenggung berusaha mengekang ilmunya. Jika tidak, maka hamba tentu sudah menjadi lumat.” “Baik, baik Agung Sedayu,” sahut Panembahan Senapati. Namun kemudian Panembahan Senapati pun mengetahui bahwa Ki Tumenggung Wimbasara telah gugur. Panembahan Senapati itu pun menarik nafas dalam-dalam. Kepada para prajurit dari Pasukan Khusus, Panembahan Senapati memerintahkan untuk membawa Agung Sedayu menepi. “Bawa Ki Lurah ke tempat yang teduh.” Ki Mandaraka-lah yang selalu berada di sisinya. Sementara Panembahan Senapati berdesis, “Paman Tumenggung memang seorang yang berilmu sangat tinggi.” Ki Patih Mandaraka hanya mengangguk-angguk saja. Sementara Panembahan Senapati pun berkata pula, “Seharusnya memang aku sendiri yang menghadapinya.” Ki Patih menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tidak Panembahan. Seandainya Agung Sedayu tidak mengakhirinya, di sini masih ada aku. Meskipun mungkin aku juga tidak dapat mengalahkannya.” “Paman Tumenggung nampaknya ragu-ragu untuk membinasakan Agung Sedayu, justru karena Agung Sedayu yang masih terhitung muda dibanding dengan Paman Tumenggung itu, sudah memiliki ilmu yang sangat tinggi. Keragu-raguannya itu telah mengakhiri perlawanannya.” Ki Patih Mandaraka mengangguk-angguk. Ia mengakui, seandainya Ki Tumenggung Wimbasara di saat terakhir tidak menjadi ragu-ragu, maka mungkin sekali kedua-duanya akan tidak mampu bertahan lebih lama lagi. Dalam pada itu, setelah Agung Sedayu dibawa ke tempat yang teduh, serta pengaruh obat yang ditelannya, maka nafasnya perlahan-lahan menjadi lebih teratur. Meskipun keadaannya masih terlalu lemah. Bahkan untuk mengangkat kepalanya Agung Sedayu mengalami kesulitan. Dalam pada itu, Panembahan Senapati sebagai seorang pemimpin, tidak dapat terikat pada keadaan Agung Sedayu. Setelah menyerahkan Agung Sedayu kepada Ki Patih Mandaraka, maka Panembahan Senapati bersama pengiringnya pun segera bergeser mendekati sekelompok perwira dan prajurit Pati yang telah meletakkan tubuh Ki Tumenggung di pendapa. Seorang Rangga yang mendapat pesan Ki Tumenggung pun segera melangkah maju menemui Panembahan Senapati untuk menyampaikan pesan itu. Panembahan Senapati mendengarkan pesan itu dengan seksama. Namun kemudian jantungnya terasa berdentang lebih keras, “Jadi Adimas Adipati telah meninggalkan istana bersama pengiringnya?” “Ya, Panembahan.” “Ke mana?” bertanya Panembahan Senapati. “Tidak seorang pun yang mengetahuinya, Panembahan” Panembahan Senapati memang menjadi sangat kecewa. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Kanjeng Adipati sudah meninggalkan istana tanpa diketahui tujuannya. Ketika Panembahan Senapati masih termangu-mangu, maka Pangeran Mangkubumi pun berkata, “Apakah kita dapat mempercayainya begitu saja?” Panembahan Senapati menggeleng. Katanya, “Tentu tidak. Kami akan melihat kebenaran keterangan prajurit ini.” “Tetapi kami tetap memohon agar istana ini tidak dihancurkan. Kami tidak akan dapat menghalangi Panembahan untuk naik dan masuk ke dalamnya.” Panembahan Senapati memandang Pangeran Mangkubumi sesaat. Namun kemudian katanya, “Perintahkan kepada para prajurit untuk berjaga-jaga di depan istana ini. Kita akan masuk ke dalamnya hanya dengan beberapa orang prajurit saja.” “Tetapi…,” nampak keragu-raguan membayang di wajah Pangeran Mangkubumi. “Aku percaya bahwa Adimas Adipati tidak akan mempergunakan akal yang licik.” Sejenak kemudian, Panembahan Senapati dan Pangeran Mangkubumi telah siap untuk memasuki Istana Pati. Tetapi mereka tidak akan meninggalkan Ki Patih Mandaraka yang masih menunggui Agung Sedayu. Ki Patih Mandaraka pun kemudian telah memerintahkan agar beberapa orang prajurit dari Pasukan Khusus membawa Agung Sedayu keluar pintu gerbang istana agar segera mendapat perawatan, meskipun Agung Sedayu sendiri telah menyediakan obat-obatan bagi dirinya sendiri sesuai dengan pengetahuan yang diwarisinya dari gurunya Kiai Gringsing, langsung atau melalui tulisan di dalam kitab yang ditinggalkannya. Demikianlah, Panembahan Senapati telah memasuki Istana Pati hanya dengan beberapa pengiringnya. Mereka telah melihat segala bilik dan ruang. Namun Kanjeng Adipati Pragola tidak dapat ditemukannya. Panembahan Senapati benar-benar menjadi kecewa. Meskipun istana itu seakan-akan sudah dikepung rapat, namun Kanjeng Adipati dengan pasukan terpilihnya masih dapat menyusup dan menghilang dari istana. Sementara itu, para prajurit Pati yang lain masih tetap berjaga-jaga di panggung dan di sudut-sudut halaman istana. Pati memang tidak menyatakan dengan resmi menyerah, meskipun Panembahan Senapati telah menduduki kota dan istana. Kekecewaan itu telah menjalar kepada seluruh prajurit dan pengawal Mataram yang menyertainya. Kekesalan itu seakan-akan memuncak, ketika Panembahan Senapati menjatuhkan perintah, bahwa hanya kelompok prajurit tertentu saja-lah yang diperkenankan memasuki dan bertugas di dalam lingkungan istana. Mereka bertugas untuk melucuti senjata para prajurit Pati yang masih bertugas di dalam istana itu. Tetapi mereka juga bertugas untuk menjaga keutuhan Istana Pati. Kekecewaan para prajurit dan pengawal dari Mataram itu tidak dapat disembunyikan lagi. Para prajurit dan pengawal yang berada di luar dinding istana, mulai menunjukkan kegelisahan mereka. Ancang-ancang yang terakhir, ternyata tidak berarti apa-apa. Mereka batal menyerang dan memasuki dinding istana Pati. Prajurit dan para pengawal dalam pasukan Mataram terdiri dari orang-orang kebanyakan sebagaimana orang-orang lain. Kelebihan mereka adalah karena mereka mendapat latihan-latihan khusus olah keprajuritan dan olah kanuragan. Namun perasaan kecewa yang bergejolak di dalam dada mereka, akhirnya meletup juga. Panembahan Senapati dan para pemimpin Mataram mengalami kesulitan untuk mengekang para prajurit dan pengawal yang kecewa itu akhirnya menjarah isi kota. Panembahan Senapati dan Ki Patih Mandaraka serta para pemimpin yang lain dengan susah payah berusaha untuk mencegah mereka. Bahkan Panembahan Senapati telah memerintahkan pasukan khusus pengawalnya untuk menahan gejolak perasaan para prajurit itu. Tetapi mereka mengalami kesulitan. Akhirnya Panembahan Senapati tidak mempunyai cara lain. Diperintahkannya seorang perwira menabuh bende Kiai Bicak. Ternyata suara bende itu benar-benar berpengaruh. Suaranya bagaikan menggetarkan seluruh kota. Sementara itu, para pemimpin Mataram telah memerintahkan seluruh pasukannya ditarik kembali ke pesanggrahan. Meskipun agak mengalami kesulitan, akhirnya para prajurit dan pengawal Mataram telah ditarik dari Pati. Meskipun demikian, masih ada kelompok-kelompok prajurit yang khusus mendapat perintah untuk mengamankan kota, karena dalam keadaan yang kalut itu para penjahat akan dapat memanfaatkan keadaannya. Sementara itu, Panembahan Senapati telah memerintahkan dua orang perwira penghubung untuk berbicara dengan para prajurit Pati yang tertawan. Jika prajurit dan pengawal Mataram meninggalkan Pati, mereka harus mengambil alih pengamanan di seluruh kota dan istana. Dalam pada itu, ketika beberapa orang mempertanyakan bunyi bende yang mereka anggap sebagai isyarat kemenangan itu, Panembahan Senapati lewat para pemimpin Mataram berkata, “Kita sudah memenangkan perang. Tetapi suara bende itu juga akan memberikan isyarat kemenangan kita terhadap nafsu yang menyerang jantung kita. Perjuangan melawan nafsu itu akan tidak kalah beratnya dari perjuangan merebut Pati. Karena itu, dengan isyarat suara bende yang bergaung di seluruh kota itu, kita telah menang melawan nafsu kita untuk menjarah Pati, meskipun hal itu sudah mulai kita lakukan.” Para prajurit hanya dapat menundukkan kepala mereka. Tetapi Pati memang sudah terlanjur menjadi porak-poranda. Banyak orang kehilangan harta benda mereka tanpa dapat bertanya kepada siapapun juga. Apalagi menuntut agar harta-benda itu dapat kembali kepada mereka. Namun mereka hanya dapat mengeluh serta melontarkan semua kesalahan kepada terjadinya perang. Panembahan Senapati yang kecewa itu pun segera memerintahkan pasukan Mataram untuk bersiap-siap. Mereka harus segera kembali ke Mataram. Mereka tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh Kanjeng Adipati Pragola. Namun sebelum pasukan Mataram itu sampai di Mataram, beberapa orang penghubung telah diperintahkan untuk mendahului kembali ke Mataram dengan berkuda. Dengan menempuh jalan yang berbeda-beda, para penghubung itu harus memberikan berita bahwa Kanjeng Adipati Pragola lepas dari tangan Panembahan Senapati. Sehingga dengan demikian, maka para prajurit yang tinggal di Mataram dapat mempersiapkan diri. Memang mungkin saja terjadi, Kanjeng Adipati Pragola membawa kelompok-kelompok prajurit terpilih memasuki Mataram. Di pesanggrahan. Agung Sedayu mendapat perawatan yang bersungguh-sungguh. Tabib yang merawatnya tidak berkeberatan Agung Sedayu itu mempergunakan obat-obatnya sendiri, karena tabib itu sudah mengetahui bahwa Agung Sedayu juga memiliki pengetahuan tentang pengobatan. Namun keadaannya memang mencemaskan. Glagah Putih yang datang ke pesanggrahan pasukan induk Mataram menungguinya siang malam. Swandaru pun banyak berada di dekatnya meskipun setiap kali Swandaru harus melihat pasukan pengawalnya. Selagi Agung Sedayu masih sangat lemah, Panembahan Senapati telah memerintahkan pasukannya untuk bersiap-siap. “Kita tidak dapat terlalu lama di sini,” berkata Panembahan Senapati kepada para panglima dan senapati, “persediaan makanan kita sudah sangat menipis, karena sebagian sudah terbakar. Untunglah bahwa kita cepat menyelesaikan pertempuran, apapun yang terjadi kemudian. Jika kita harus bertahan di sini tiga empat hari lagi sebelum kita berhasil memecah Pati, maka kita benar-benar akan kekurangan makan. Tetapi pada keadaan kita sekarang, kita masih berharap bahwa sampai nanti kita menginjakkan kaki kita kembali di bumi Mataram, kita masih belum akan menjadi kelaparan.” Para panglima dan senapati mengangguk-angguk. Mereka mempunyai perhitungan yang sama dengan Panembahan Senapati. Tetapi pertimbangan Panembahan Senapati tidak hanya agar mereka tidak kekurangan pangan. Tetapi Panembahan Senapati pun menyatakan kecemasannya pula bahwa Adipati Pragola yang hilang dari Pati justru bergerak ke Mataram. Meskipun hanya dengan pasukan yang kecil, tetapi jika Mataram lengah, maka mereka akan dapat menghancurkan kota. Meskipun sesaat kemudian mereka harus meninggalkannya. “Aku sudah memerintahkan beberapa orang penghubung untuk mendahului kembali ke Mataram. Tidak hanya dua tiga orang. Tetapi beberapa orang yang memencar,” berkata Panembahan Senapati. Maka kemudian Panembahan Senapati memerintahkan pasukannya kembali ke Mataram. Setelah merasa cukup beristirahat, maka pasukan Mataram mulai menempuh perjalanan pulang. Dengan amben bambu Agung Sedayu dibawa dalam keadaan yang sangat lemah kembali ke Mataram. Para prajurit dari Pasukan Khusus berganti-ganti telah mengusungnya. Di dalam pasukan itu, tidak hanya Agung Sedayu yang diusung dengan amben bambu. Tetapi demikian pula para prajurit yang terluka. Sedangkan para prajurit dan pengawal yang gugur, telah dikubur di tempat yang khusus dengan pertanda yang akan dapat dikenali kemudian. Sementara itu, mereka yang terluka lebih ringan telah dinaikkan ke dalam pedati yang semula terisi oleh bahan pangan, yang berjalan terguncang-guncang Semula Agung Sedayu juga minta kepada para prajuritnya untuk di tempatkan saja di sebuah pedati. Tetapi prajurit-prajuritnya tetap berniat untuk membawanya di atas sebuah amben bambu yang diberi palang bambu di bawahnya. Glagah Putih telah memberitahukan kepada Prastawa bahwa ia akan berada bersama Agung Sedayu, sehingga ia tidak dapat ikut mengawasi pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh. “Kita tinggal menempuh perjalanan pulang,” berkata Prastawa, “agaknya tidak ada persoalan yang rumit.” Glagah Putih yang sebenarnya juga masih belum pulih sepenuhnya itu, tidak lagi merasakan gangguan pada dirinya. Bahkan ia merasa seakan-akan segala-galanya telah pulih kembali seperti sediakala. Ketika pasukan itu berhenti untuk beristirahat dan bermalam di perjalanan, Swandaru sempat menunggui Agung Sedayu beberapa lama. Tetapi Swandaru tidak banyak berbicara. Ia tahu bahwa dalam keadaan demikian, sebaiknya Agung Sedayu lebih banyak beristirahat sepenuhnya. Namun kepada seorang pemimpin pengawal dari Kademangan Sangkal Putung, Swandaru sempat berkata, “Luka dalam Kakang Agung Sedayu memang agak parah. Tetapi kita masih mempunyai cukup harapan bahwa Kakang Agung Sedayu akan menjadi baik.” Pemimpin pengawal Sangkal Putung itu mengangguk-angguk. Katanya, “Untunglah Ki Lurah Agung Sedayu adalah seorang yang berilmu sangat tinggi.” Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menanggapinya. Bahkan kemudian katanya, “Kembalilah ke pasukanmu. Katakan kepada para pengawal bahwa aku masih berada di sini. Jika besok saatnya pasukan bergerak dan aku belum kembali ke pasukan, bergeraklah. Kalian tidak usah menunggu aku. Tetapi jika keadaan Kakang Agung Sedayu membaik, aku akan berada di antara kalian.” Pengawal itu mengangguk sambil menjawab, “Baiklah. Mudah-mudahan Ki Lurah segera menjadi baik.” Malam itu, Agung Sedayu masih berbaring dengan lemahnya. Perkembangan keadaannya terasa sangat lamban. Meskipun demikian, orang-orang yang menungguinya masih tetap berpengharapan. Bahkan Ki Patih yang juga selalu menjenguknya berkata, “Aliran darahnya sudah menjadi semakin lancar. Berdoa sajalah, agar Yang Maha Agung mengulurkan tangannya untuk penyembuhannya.” Glagah Putih yang menungguinya masih saja gelisah. Tubuh Agung Sedayu masih saja terasa panas. Sekali-sekali terdengar ia berdesah. Tetapi lewat tengah malam, panas Agung Sedayu mulai berkurang. Nafasnya sudah mengalir dengan teratur. Demikian pula aliran darahnya menjadi semakin lancar. Swandaru yang juga mengikuti perkembangan keadaan Agung Sedayu sempat menarik nafas panjang. Bersama beberapa orang yang menaruh perhatian sangat besar terhadap Agung Sedayu, ia duduk di serambi. Wajah-wajah mereka sudah tidak lagi terlalu tegang. Seorang Lurah prajurit pengawal yang duduk di sebelah Swandaru dengan nada rendah berdesis, “Mudah-mudahan perkembangan keadaan Ki Lurah Agung Sedayu itu berlanjut. Jika sampai esok pagi, keadaannya tidak kembali memburuk, maka segala kesulitan telah dilaluinya.” Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Malam ini adalah saat-saat paling gawat bagi Kakang Agung Sedayu.” “Ki Lurah Agung Sedayu adalah seorang yang luar biasa. Tidak ada seorang pun di antara para Lurah prajurit yang memiliki tataran kemampuan yang setingkat dan bahkan yang mendekati tingkat ilmunya. Bahkan para perwira yang lebih tinggi tingkatnya.” Swandaru mengangguk-angguk. Sementara itu, seorang yang ikut mendengarkan pembicaraan itu menyahut, “Ki Lurah Agung Sedayu pernah melakukan pengembaraan bersama Panembahan Senapati. Karena itu, meskipun tidak setinggi Panembahan Senapati sendiri, namun Ki Lurah itu mempunyai beberapa persamaan di dalam menjalani laku, sehingga iapun mampu mencapai satu tataran ilmu yang sangat tinggi.” Orang-orang yang mendengar keterangan itu mengangguk-angguk. Namun Swandaru pun kemudian berkata, “Sebenarnya Kakang Agung Sedayu dapat mencapai tataran yang lebih baik dari yang dapat dicapainya sekarang.” Beberapa orang berpaling kepadanya. Sementara Swandaru itu pun berkata selanjutnya, “Jika saja Kakang Agung Sedayu lebih tekun menempa diri berdasarkan atas ilmu yang diwariskan oleh Guru kepadanya.” “Maksudmu?” bertanya Lurah prajurit dari pasukan pengawal itu. “Sejak Kakang Agung Sedayu berada di Tanah Perdikan Menoreh, ia tidak sempat lagi memperdalam ilmunya yang sebenarnya sudah sampai di puncak. Beberapa kali aku memperingatkannya. Tetapi nampaknya Kakang Agung Sedayu telah menghabiskan waktunya untuk tugas-tugas yang diembannya.” “Apakah kau saudara Ki Lurah Agung Sedayu?” bertanya seseorang. “Aku saudara seperguruannya,” jawab Swandaru. Orang itu mengangguk-angguk. Sementara itu, seorang prajurit yang telah mengenal Swandaru sebelumnya berkata, “Ia saudara muda seperguruan Ki Lurah Agung Sedayu. Ia pemimpin pasukan pengawal Kademangan Sangkal Putung.” Orang-orang itu pun mengangguk-angguk pula. Beberapa orang memperhatikannya dengan sungguh-sungguh. Kesan yang mereka dapat dari kata-kata Swandaru itu adalah, bahwa saudara muda Ki Lurah ini masih memiliki kelebihan dari Ki Lurah Agung Sedayu. Karena itu, beberapa orang itu pun menjadi merasa segan kepada orang yang sedikit gemuk namun memang berkesan meyakinkan itu. Dalam pada itu, Glagah Putih yang menunggui Agung Sedayu hampir tanpa beringsut itu muncul dari pintu. Swandaru pun kemudian telah bangkit berdiri sambil bertanya, “Bagaimana keadaannya, Glagah Putih?” “Masih seperti tadi, Kakang,” jawab Glagah Putih. “Tetapi bukankah tidak memburuk?” “Tidak, Kakang. Bahkan Kakang Agung Sedayu sudah tidak nampak gelisah. Sekarang Kakang Agung Sedayu sedang tidur.” Swandaru mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun bertanya, “Kau akan pergi ke mana?” “Tidak ke mana-mana. Mumpung Kakang Agung Sedayu tidur, aku akan ke pakiwan sebentar,” jawab Glagah Putih. “Pergilah,” desis Swandaru, “biarlah aku menungguinya.” Ketika Swandaru kemudian masuk ke ruang dalam, maka dilihatnya Agung Sedayu memang sedang tidur. Di dekatnya duduk tabib yang merawatnya dengan penuh kesungguhan. Swandaru kemudian duduk di sebelah tabib itu sambil bertanya perlahan, “Bagaimana keadaannya?” “Kita akan melihat apa yang akan terjadi malam ini sambil berdoa. Kita sudah berusaha sejauh dapat kita lakukan. Obat-obatan dari Ki Lurah Agung Sedayu sendiri adalah obat yang terbaik menurut pendapatku. Terakhir harapan kita hanya tertuju kepada-Nya. Kita hanya dapat memohon.” Swandaru mengangguk-angguk. Namun hampir di luar sadarnya ia berdesis, “Kakang Agung Sedayu yang mendapat kepercayaan sangat tinggi dari Panembahan Senapati seharusnya lebih tekun melengkapi dirinya dengan bekal yang terbaik.” “Ia sudah memiliki bekal yang terbaik.” “Tetapi sebenarnya Kakang Agung Sedayu masih mempunyai kemungkinan untuk meningkatkan ilmunya jika ada kemauan padanya. Tetapi Kakang Agung Sedayu nampaknya tidak mempunyai waktu lagi, meskipun jika ia benar-benar ingin melakukannya, tentu ia akan dapat membagi waktunya bagaimanapun sempitnya. Aku sudah beberapa kali memperingatkannya. Beberapa kali aku menjadi cemas melihat keadaan seperti ini. Setiap kali Kakang Agung Sedayu mengalami luka perah seperti ini.” “Lawannya kali ini adalah saudara seperguruan Kanjeng Adipati Pragola,” berkata tabib itu. “Kita tahu betapa tinggi ilmu Kangjeng Adipati, meskipun masih belum menyamai Panembahan Senapati.” Swandaru mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya seakan-akan ditujukan kepada diri sendiri, “Pada saat terakhir, Ki Tumenggung itu merasa ragu.” “Sebenarnyalah bahwa Ki Tumenggung Wimbasara itu adalah seorang yang baik. Panembahan Senapati sendiri menghormatinya. Tetapi sebagai seorang prajurit ia berdiri di atas pijakan yang sangat kokoh.” Swandaru mengangguk-angguk. Tetapi katanya, “Aku mengerti. Tetapi yang aku maksudkan adalah kelemahan Kakang Agung Sedayu. Apa jadinya jika Ki Tumenggung itu tidak digelitik oleh keragu-raguan di saat terakhir? Apa jadinya dengan Kakang Agung Sedayu? Bukankah itu pertanda bahwa ilmu Ki Tumenggung itu masih lebih tinggi dari ilmu Kakang Agung Sedayu?” “Ya. Agaknya ilmu Ki Tumenggung itu memang lebih tinggi dari ilmu Ki Lurah Agung Sedayu. Namun Ki Lurah masih mendapat perlindungan dari Yang Maha Agung.” “Seandainya,” berkata Swandaru, “seandainya Kakang Agung Sedayu mau mendengarkan aku, maka ia tidak perlu bergantung pada satu kebetulan sebagaimana yang telah terjadi. Tetapi Kakang Agung Sedayu memang mampu mengimbangi lawannya karena memiliki bekal ilmu yang memadai.” Tabib yang merawat Agung Sedayu itu tidak menjawab lagi. Sementara itu terdengar Agung Sedayu berdesah dengan tarikan nafas yang dalam. Tetapi Agung Sedayu tidak terbangun. Swandaru-lah yang kemudian bergeser mendekati saudara seperguruannya. Dipandanginya wajah Agung Sedayu yang masih tidur itu. Namun wajah itu tidak lagi nampak terlalu pucat, ketika Swandaru menyentuh lehernya, makaia pun berdesis, “Badannya tidak lagi terlalu panas.” Sementara itu, malam pun menjadi semakin dalam. Di kejauhan terdengar ayam jantan berkokok bersahutan. Namun perintah Panembahan Senapati sudah sampai pada semua pimpinan kelompok prajurit, “Besok, menjelang fajar, pasukan Mataram akan melanjutkan perjalanan.” Ketika sampai dini hari keadaan Agung Sedayu tidak memburuk, maka Swandaru pun berkata kepada Glagah putih yang telah duduk di sampingnya, “Aku akan melihat pasukanku. Hati-hatilah dengan Kakang Agung Sedayu. Jika perjalanan ini harus dimulai lagi, pastikan bahwa Kakang Agung Sedayu tidak akan terganggu di perjalanan.” “Baik, Kakang,” sahut Glagah Putih. “Di perjalanan aku akan menyempatkan diri melihat keadaannya. Namun nampaknya puncak kecemasan tentang keadaannya telah lewat. Tabib itu berpendapat bahwa jika malam ini keadaannya tidak memburuk, maka Kakang Agung Sedayu akan menjadi semakin baik. Meskipun demikian, ia harus tetap mendapat perawatan terbaik.” “Ya, Kakang,” Glagah Putih mengangguk-angguk. Demikianlah, Swandaru pun telah meninggalkan rumah yang dipergunakan untuk menempatkan Agung Sedayu yang terluka parah. Demikian Swandaru pergi, seorang prajurit mendekati Glagah Putih sambil mengerutkan dahinya. Sementara orang itu berkata selanjutnya, “Saudara seperguruan Ki Lurah Agung Sedayu itu menyesali sikap Ki Lurah yang tidak sempat mengembangkan ilmunya lebih jauh.” Glagah Putih menarik nafas panjang. Ia tahu apa yang dikatakan oleh Swandaru. Tentu orang gemuk itu menyesali, seolah-olah Agung Sedayu tidak mau meningkatkan ilmunya meskipun Swandaru membiarkan kitab Kiai Gringsing ada di tangan Agung Sedayu. Tetapi Glagah Putih sama sekali tidak menjawab. Anak muda itu hanya mengangguk-angguk saja, justru karena Glagah Putih sudah mengenal dengan baik sifat Swandaru. Meskipun demikian, Glagah Putih itu melihat betapa Swandaru menjadi gelisah melihat keadaan Agung Sedayu. Dalam pada itu, beberapa orang yang menaruh perhatian sangat besar terhadap Agung Sedayu hampir tidak tidur semalam suntuk. Tabib yang merawatnya, Glagah Putih, Swandaru, dan beberapa orang prajurit dari Pasukan Khusus sama sekali tidak memejamkan mata. Tetapi tugas yang akan mereka lakukan di hari berikutnya tidak seberat saat mereka datang ke Pati, sehingga meskipun mereka tidak tidur sekejappun, mereka tidak akan terlalu terganggu. Menjelang fajar, semuanya telah bersiap. Glagah Putih merasa agak tenang bahwa keadaan Agung Sedayu tidak memburuk, sehingga dengan demikian ia berharap bahwa keadaannya akan menjadi semakin baik, meskipun masih harus ditempuh perjalanan panjang. Namun ada satu dua orang yang ternyata tidak lagi mampu bertahan. Ada dua orang yang malam itu menyusul kawan-kawannya yang telah gugur. Mereka langsung dimakamkan di padukuhan tempat pasukan itu berhenti. Meskipun Agung Sedayu masih minta untuk di tempatkan di sebuah pedati saja agar tidak sangat merepotkan para prajuritnya, namun para prajuritnya tetap berniat untuk mengusungnya agar tubuh Agung Sedayu tidak terlalu terguncang-guncang. Dalam kesibukannya, ternyata Panembahan Senapati juga menyempatkan diri melihat keadaan Agung Sedayu itu. “Bagaimana keadaanmu Agung Sedayu?” bertanya Panembahan Senapati sambil meraba tubuh Agung Sedayu. “Hamba merasa sudah menjadi semakin baik, Panembahan,” jawab Agung Sedayu. “Syukurlah. Mudah-mudahan perjalanan ini tidak memperburuk keadaanmu.” “Semoga tidak, Panembahan.” Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Ki Patih Mandaraka dan Pangeran Mangkubumi yang mengiringi Panembahan Senapati itu pun sempat memberikan beberapa pesan pula. “Kau sudah tidak terlalu pucat,” berkata Ki Patih Mandaraka. Demikianlah, ketika fajar mewarnai langit, Panembahan Senapati pun memerintahkan pasukan Mataram yang besar itu mulai bergerak. Perjalanan memang masih jauh. Tetapi para prajurit dan pengawal yang tergabung dalam pasukan Mataram itu tidak merasa terlalu tegang sebagaimana saat mereka berangkat. Bahkan mereka merasa bangga bahwa mereka telah membawa berita kemenangan, karena mereka telah berhasil memasuki kota Pati. Tetapi sementara itu, dalam perjalanan pulang, wajah Ki Patih Mandaraka nampak murung. Sama-sekali tidak mencerminkan kemenangan yang telah dicapai oleh pasukan dari Mataram itu. Sekali-sekali Ki Patih Mandaraka itu justru berjalan menyendiri. Di dalam riuhnya pasukan yang bergerak, Ki Patih merasakan satu kediaman yang mencengkam jantungnya Bahkan kadang-kadang Ki Patih Mandaraka itu berjalan kaki di antara para prajurit dari Pasukan Khusus yang mengiringi Agung Sedayu, yang ditandu dengan sebuah amben bambu. Panembahan Senapati yang melihat keadaan Ki Patih Mandaraka itu mengerti, apa yang sedang bergejolak di dalam hatinya. Bahkan sebenarnya hati Panembahan Senapati sendiri juga merasakan, betapa segala-galanya yang digelar di atas bumi ini tidak langgeng. Panembahan Senapati mengerti bahwa Ki Patih Mandaraka sekali-sekali telah diganggu oleh kenangan masa-masa yang pernah dijalaninya, saat Ki Pemanahan dan Ki Panjawi masih hidup dalam ikatan persaudaraan yang sangat rukun. Hampir setiap saat keduanya selalu bersama. Jika seseorang bertemu dengan Ki Pemanahan, maka di situ tentu ada Ki Panjawi. Kedua-duanya seakan-akan tidak pernah terpisah. Berdua mereka mendapat tugas dari Kanjeng Sultan Hadiwijaya untuk menyingkirkan Arya Penangsang. Keduanya memang berhasil. Tetapi justru karena itu, mereka telah memasuki jalan simpang. Ki Panjawi yang mendapat tanah Pati, segera dapat membangun diri, karena Pati memang sudah berujud satu lingkungan yang ramai. Ki Panjawi tidak terlalu sulit mengembangkan Pati menjadi satu daerah yang sedemikian besar. Sementara itu, Ki Pemanahan harus bekerja keras untuk membuka hutan Mantaok. Ketika kemudian Mataram menjadi daerah yang tumbuh, maka Ki Pemanahan telah disebut pula Ki Gede Mataram. Tetapi Ki Gede Mataram sama sekali tidak diganggu oleh perasaan iri hati terhadap Pati. Semuanya itu justru telah mendorong Ki Gede untuk bekerja keras bersama putranya, Raden Sutawijaya. Ki Patih Mandaraka memang tidak dapat melupakannya. Betapa Pemanahan dan Panjawi itu hidup dalam suasana yang sangat akrab. Namun anak-anaknya ternyata telah berdiri berseberangan di medan perang yang garang. Raden Sutawijaya yang bergelar Panembahan Senapati, putra Ki Gede Pemanahan, telah berperang melawan Kanjeng Adipati Pragola dari Pati, putra Ki Panjawi. Ki Patih Mandaraka, yang akrab pula dengan kedua-duanya, merasa sangat prihatin atas peristiwa itu. Tetapi bagaimanapun juga, Ki Patih sendiri telah terlibat pula di dalamnya. Ia telah berdiri di satu pihak dari keduanya yang berperang itu. Sementara itu pasukan yang besar itu berjalan terus. Panembahan Senapati sendiri tidak selalu berada di atas punggung kudanya, sebagaimana Ki Patih Mandaraka. Namun karena itu, para panglima dan senapati pun kadang-kadang telah turun pula dan berjalan di antara para prajurit dan pengawal. Sementara itu, para prajurit dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh yang ikut dalam pasukan itu, berganti-ganti mengusung Agung Sedayu yang terbaring lemah. Panas matahari yang terik menerpa tubuhnya, namun seorang prajurit memayunginya. Jika daun itu kemudian layu dibakar panasnya cahaya matahari, maka seorang prajurit yang lain telah mencari gantinya pula di padukuhan yang mereka lewati. Namun ketika mereka harus bermalam lagi di perjalanan, ternyata keadaan Agung Sedayu sudah menjadi lebih baik. Tetapi seorang lagi prajurit yang harus dilepaskan. Karena lukanya yang sangat parah, maka prajurit itu tidak dapat diselamatkan. Dalam pada itu, wajah Glagah Putih pun ikut menjadi terang. Swandaru tidak pula nampak gelisah. Harapan mereka tumbuh semakin besar, sejalan dengan keadaan Agung Sedayu yang membaik. Dalam pada itu, para penghubung berkuda yang mendapat tugas untuk mendahului pasukan telah sampai di Mataram. Mereka telah menyampaikan pesan Panembahan Senapati kepada panglima yang bertugas mengawal kota. Pangeran Singasari. Demikian pesan itu sampai, maka Mataram segera mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Dengan kekuatan yang ada, Mataram siap menghadapi segala kemungkinan. Namun para petugas yang diperintahkan untuk mengamati keadaan di luar dinding kota tidak melihat sesuatu yang mencurigakan. Bahkan beberapa orang yang dikirim agak jauh keluar kota juga tidak melihat gerak pasukan sama sekali. Apalagi pasukan yang besar. Karena itu, Pangeran Singasari mengambil kesimpulan bahwa Kanjeng Adipati Pragola tidak akan membawa pasukan ke Mataram. Meskipun demikian, Pangeran Singasari tidak lengah. Para prajurit masih berada dalam kesiagaan tertinggi. Sementara para petugas sandi masih tersebar jauh di luar kota. Sementara itu, pasukan Mataram telah merayap semakin dekat. Tetapi pasukan itu masih harus bermalam lagi di perjalanan, sementara persediaan bahan pangan menjadi semakin sedikit. Namun para pemimpin Mataram itu tidak merasa cemas. Persediaan itu masih cukup, dan dalam dua hari mereka sudah akan sampai di Mataram. Dalam pada itu, selagi pasukan Mataram masih berada di perjalanan, sebuah padepokan yang dipimpin oleh Kiai Warangka, yang terletak di dekat Kronggahan, telah diguncang oleh pertengkaran antara saudara seperguruan. Ketika tiga orang yang ditugaskan untuk melihat apakah di padepokan Kiai Warangka itu terdapat sebuah peti tembaga yang diperkirakan berisi harta benda yang sangat banyak, memberikan laporan bahwa penglihatan mata batin mereka tidak menyentuh ada sebuah peti tembaga yang besar di padepokan Kiai Warangka, maka Kiai Timbang Laras dan Ki Jatha Beri sama sekali tidak percaya. Bahkan mereka menganggap bahwa Ki Resa justru telah mencoba untuk melindungi Kiai Warangka. “Agaknya kau telah diracuni oleh kesediaan Kakang Warangka untuk memberi upah lebih banyak dari yang aku berikan,” geram Kiai Timbang Laras. “Tidak, Kiai Timbang Laras,” jawab Ki Resa, “aku adalah orang tua yang masih mempunyai harga diri. Aku masih percaya bahwa mulutku dapat berbicara dengan benar.” “Apa maksudmu dengan harga diri?” bertanya Jatha Beri. “Apakah aku akan menjual namaku serta kepercayaan orang lain kepadaku?” “Kau telah menjual harga dirimu. Ternyata kau bersedia menerima upah yang kami berikan kepadamu.” “Upah untuk apa? Bukankah upah itu Kiai berikan untuk satu tugas yang tidak bertentangan dengan paugeran Mataram? Tidak pula bertentangan dengan nuraniku sendiri. Bukankah aku diupah untuk mengetahui, apakah di padepokan itu ada sebuah peti atau tidak? Dan itu sudah aku lakukan dengan baik sesuai dengan kemampuanku.” “Di samping upah yang aku berikan, maka kau juga menerima upah dari Kakang Warangka untuk tidak mengatakan apa yang sebenarnya kau lihat.” “Kiai jangan menghina aku. Aku masih dapat mencari makan dengan cara yang lebih terhormat daripada sebuah pengkhianatan.” “Seandainya kami menghinamu, kau mau apa Ki Resa?” tiba-tiba saja Ki Jatha Beri menyahut, “Kau akan marah?” Ki Resa menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Perbatang dan Pinuji berganti-ganti. Katanya, “Bertanyalah kepada kedua orangmu itu. Apa yang mereka tangkap dengan penglihatan batin mereka. Apakah mereka melihat peti tembaga yang besar itu di padepokan Kiai Warangka. Aku selalu menangkap getar yang mereka pancarkan. Tetapi aku juga tidak pernah mendapat isyarat tentang peti tembaga itu.” Kiai Timbang Laras memandang kedua orang yang ditugaskannya menyertai Ki Resa. Namun keduanya justru menunduk. Dengan nada tinggi, Kiai Timbang Laras itu pun kemudian bertanya kepada mereka, “Apa kerja kalian di padepokan Kakang Warangka? Makan dan minum, tidur atau apa?” “Tidak, Kiai. Kami sudah berusaha sejauh dapat kami lakukan. Tetapi kami memang tidak menangkap getar adanya peti tembaga itu. Baik dengan tangkapan wadag maupun tangkapan batin, Kiai. Karena itu kami berkesimpulan, bahwa peti itu memang sudah tidak berada di padepokan itu.” “Jika tidak ada di padepokan itu, lalu dimana? Apakah kalian tidak dapat melihat? Lalu apa artinya kemampuan penglihatan batin kalian jika penglihatan kalian sama saja dengan penglihatanku?” “Kiai,” berkata Ki Resa, “kami dapat melihat geledeg, ajug-ajug, amben dan apa lagi, karena benda-benda itu ada.” “Itu penglihatan wadag kalian. Penglihatan mata kalian yang tidak berbeda dengan penglihatan mataku,” geram Kiai Timbang Laras. “Benar, Kiai. Tetapi tangkapan penglihatan batin kami pun tidak berbeda. Kami dapat menangkap getar keberadaan benda itu meskipun benda-benda itu tidak kasat mata. Tetapi jika benda-benda itu memang tidak ada, getar apakah yang dapat kami tangkap, betapapun tajamnya penglihatan batin kami? Sebagaimana kami tidak akan dapat melihat sesuatu dengan mata wadag kami betapapun tajamnya penglihatan mata kami itu, jika yang kami lihat itu memang tidak ada.” “Tetapi benda itu ada. Peti itu ada. Aku pernah melihatnya. Peti itu tidak akan dapat begitu saja lebur ke ketiadaan. Meskipun barangkali peti itu tidak ada lagi di padepokan, tetapi peti itu tentu ada di satu tempat. Nah, katakan, dimanakah peti itu berada menurut penglihatanmu.” “Kiai,” berkata Ki Resa, “Kiai tentu tahu keterbatasan kemampuan seseorang. Apakah Kiai mengartikan bahwa aku mampu melihat isi bumi ini? Apapun dan dimanapun? Tidak, Kiai. Aku tidak mempunyai kemampuan sejauh itu. Penglihatanku sangat terbatas. Seandainya peti itu memang ada, maka keberadaannya ada di luar jangkauan kemampuan penglihatanku.” “Omong kosong! Semua cerita tentang kelebihanmu tidak ada artinya sama sekali. Karena itu, maka persetujuan kita batal. Aku tidak akan mengupahmu sekeping uang pun.” Ki Resa tersenyum. Katanya, “Aku tidak akan menuntut. Aku memang harus merasa bahwa aku memang sudah gagal. Itu berarti bahwa perjanjian kita pun batal.” “Bagus,” geram Kiai Timbang Laras, “jika demikian, tidak ada gunanya lagi kau berada di padepokanku. Pergilah! Aku muak melihat wajahmu.” “Baik, Kiai. Aku minta diri. Keluargaku tentu sudah menunggu aku pulang. Mereka akan menjadi gelisah jika aku terlalu lama pergi. Perjalanan malam hari seperti ini akan sangat menyenangkan,” berkata Ki Resa. Namun katanya pula, “Meskipun demikian, aku ingin memperingatkan kepada Kiai, bahwa kedua orang yang bersamaku mencoba melihat peti tembaga itu sama sekali tidak bersalah, jika mereka tidak mengetahui di mana peti yang dicari itu berada. Mereka sudah berusaha sebagaimana aku juga berusaha. Tetapi kami telah gagal menurut penilaian Kiai.” “Cukup! Pergilah!” bentak Kiai Timbang Laras. Ki Resa tidak berbicara lagi. Iapun segera bangkit berdiri. Turun ke halaman dan mengambil kudanya. Sejenak kemudian, Ki Resa itu sudah menuntun kudanya keluar regol padepokan Kiai Timbang Laras. Namun demikian Ki Resa hilang di balik pintu regol, Kiai Timbang Laras itu pun berkata kepada Perbatang dan Pinuji, “Selesaikan orang itu. Bawa dua orang kawanmu, agar pekerjaanmu tidak terlalu sulit untuk kau lakukan. Cepat!” Perbatang dan Pinuji pun segera bangkit. Berlari-lari mereka mengambil kuda mereka sambil menyampaikan perintah Kiai Timbang Laras kepada dua orang yang berada di gandok. Mereka adalah para cantrik yang sedang bertugas berjaga-jaga bersama dengan beberapa cantrik yang lain yang berada di regol. Sejenak kemudian, empat orang telah berpacu menyusul Ki Resa yang berkuda ke arah barat. Beberapa saat keempat orang itu memacu kudanya. Mereka menyusuri jalan yang panjang dalam kegelapan malam yang telah menyelubungi wajah bumi. Tetapi setelah beberapa lama mereka memacu kuda mereka, mereka tidak segera dapat menyusul Ki Resa. Sementara itu jalan yang mereka lalui adalah jalan yang lurus yang tidak bercabang. Tidak pula ada simpangan. Ki Resa itu bagaikan hilang begitu saja ditelan gelapnya malam. “Waktu kita tidak bertaut banyak,” berkata Perbatang. “Ya,” sahut Pinuji hampir berteriak, “demikian kita mendengar derap kaki kuda Ki Resa, kita pun segera menyusulnya.” “Padahal tidak ada jalan lain.” Perbatang dan Pinuji menjadi berdebar-debar. Bukan saja karena mereka kehilangan buruan mereka. Tetapi mereka membayangkan kemarahan Kiai Timbang Laras, yang kadang-kadang tidak terbendung sehingga keputusan yang diambilnya tidak terkendali sama sekali. Tetapi mereka benar-benar tidak dapat menyusul Ki Resa. Bahkan derap kaki kudanya pun tidak mereka dengar pula. Akhirnya, Perbatang dan Pinuji serta kedua orang cantrik yang menyertai mereka itu pun berhenti. “Kita tidak mempunyai kesempatan lagi,” berkata Perbatang hampir putus asa. Pinuji menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Apa yang dapat kita lakukan sekarang?” Tetapi salah seorang cantrik yang menyertai mereka pun berkata, “Kita harus menemukan orang itu.” “Bagaimana mungkin kita dapat menemukannya,” sahut Perbatang. “Bukankah salah seorang dari kita mengetahui rumahnya? Kita datang ke rumahnya. Kita akan menyelesaikannya meskipun di hadapan keluarganya,” sahut cantrik yang lain. Perbatang dan Pinuji menjadi ragu-ragu. Hampir bergumam Pinuji berkata, “Rumahnya jauh sekali. Sehari perjalanan.” “Apa boleh buat,” jawab cantrik itu, “jika kita pulang tanpa membawa pertanda kematiannya, maka kita-lah yang akan digantung.” “Kenapa kita harus berbuat demikian sekarang? Bukankah beberapa saat yang lalu kita tidak pernah melihat, bahkan membayangkannya pun tidak, perlakukan yang demikian terhadap sesama kita?” “Tetapi keadaan sudah berubah. Kiai Timbang Laras juga sudah berubah,” jawab cantrik itu pula. “Sejak kehadiran Ki Jatha Beri,” desis Perbatang. “Tidak,” jawab salah seorang cantrik yang menyertainya, “Kiai Timbang Laras sendiri menyadari kelemahannya. Ia harus bersikap lebih baik jika ia ingin padepokannya bertambah maju. Sekarang, setelah Kiai Timbang Laras berhubungan dengan Ki Jatha Beri, ia dapat belajar daripadanya dan perubahan itu datang sedikit demi sedikit, sehingga akhirnya Kiai Timbang Laras dapat menyesuaikan diri dengan sikap yang seharusnya dari seorang pemimpin padepokan, jika padepokannya ingin menjadi besar.” Perbatang dan Pinuji termangu-mangu sejenak. Kedua orang itu adalah cantrik dari padepokannya. Namun sikapnya membuat keduanya menjadi heran. Namun Perbatang pun kemudian masih bertanya, “Bagaimana pendapat kalian berdua?” “Kita pergi ke rumah Ki Resa.” “Jika Ki Resa tidak ada di rumah?” “Kita ambil siapa saja yang ada di rumahnya. Anaknya atau cucunya atau siapa saja.” Perbatang dan Pinuji terkejut. Dengan serta-merta Perbatang pun bertanya, “Untuk apa?” Kedua cantrik itu justru menjadi heran. Seorang di antara mereka berkata, “Bukankah itu wajar? Kita bawa salah seorang keluarga mereka. Justru yang terdekat dengan Ki Resa. Kita memaksa Ki Resa untuk datang mengambilnya.” “Lalu Ki Resa kita habisi?” desis Pinuji. “Ya.” “Lalu bagaimana dengan keluarganya yang kita bawa?” “Orang itu tidak berarti apa-apa. Kita akan melepaskannya atau membunuhnya, tidak ada bedanya.” “He,” tiba-tiba Perbatang bertanya, “kau salah seorang dari sekelompok cantrik yang baru?” “Ya,” jawab cantrik itu, “aku memang baru di padepokan Kiai Timbang Laras.” “Sebelumnya kau berada di perguruan mana?” bertanya Pinuji dengan dahi yang berkerut. “Kami adalah murid Ki Jatha Beri.” “Pantas,” Perbatang mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Aku tidak setuju dengan pendapatmu. Jika kita berurusan dengan Ki Resa, maka kita akan menyelesaikannya dengan orang itu. Tidak dengan keluarganya.” “Itu hanya satu cara,” jawab cantrik itu. “Satu cara yang keji. Jika kita ingin membunuh Ki Resa, maka kita harus berhadapan dengan orangnya. Ki Resa yang terbunuh atau kita yang akan mati.” Cantrik itu tertawa. Katanya, “Kau ingin menjadi seorang laki-laki jantan? Itu sama sekali tidak perlu. Yang penting, kita dapat menyelesaikan tugas yang diberikan kepada kita. Cara apapun yang kita pergunakan.” “Tidak. Aku tidak mau,” jawab Perbatang. “Jika demikian, tunjukkan saja rumahnya. Kami akan datang dan mengambil salah seorang keluarganya. Perempuan atau anak-anak.” “Tidak. Meskipun kami sudah melihat rumahnya, tetapi kami tidak akan menunjukkan.” “Jadi kalian akan berkhianat?” bertanya salah seorang cantrik itu. Telinga Perbatang dan Pinuji menjadi panas. Dengan geram Perbatang menjawab, “Tidak, kami akan mencari Ki Resa sampai kami menemukan orangnya.” “Itu perbuatan yang sangat bodoh. Berapa lama kalian akan mencari?” “Tidak ada batasan waktu yang diberikan oleh Kiai Timbang Laras,” jawab Pinuji. Kedua cantrik itu saling berpandangan sejenak. Namun seorang di antara mereka berkata, “Sekarang, beri saja kami ancar-ancar. Biarlah kami yang menyelesaikannya.” Tetapi Perbatang berkata dengan tegas, “Tidak. Aku tahu bahwa kalian akan berbuat licik. Kalian akan menculik perempuan atau kanak-kanak. Aku tidak mau.” “Jangan membuat kami kehabisan kesabaran,” berkata salah seorang cantrik itu. Telinga Perbatang dan Pinuji bagaikan tersentuh bara. Dengan suara bergetar menahan kemarahan Perbatang berkata, “Kalian mau apa? Kami adalah orang-orang terdekat dari Kiai Timbang Laras.. Kalian adalah cantrik-cantrik baru yang harus tunduk pada perintah kami.” “Tidak,” jawab salah seorang cantrik itu, “kami bukan budak-budak kalian meskipun kami berada di padepokan Kiai Timbang Laras. Tetapi kami mendapat tugas untuk mengawasi kalian jika terjadi pengkhianatan seperti ini.” “Bagus,” geram Pinuji, “jika demikian, apa yang akan kalian lakukan? Melaporkan kami kepada Kiai Timbang Laras?” “Kami harus memaksa kalian pulang,” geram cantrik itu. “Kami adalah orang-orang bebas yang dapat menentukan sikap sendiri,” geram Pinuji. “Jika demikian, kami harus memaksa kalian dengan kekerasan. Kami tidak mempunyai pilihan lain.” Perbatang dan Pinuji pun kemudian segera mempersiapkan diri. Kemarahan mereka serasa telah membakar ubun-ubun. Sementara itu, kedua orang cantrik yang ternyata semula adalah para pengikut Ki Jatha Beri itu pun telah bersiap pula. Sejenak kemudian, pertempuran pun telah terjadi di antara mereka. Perbatang dan Pinuji masing-masing menghadapi seorang cantrik. Ternyata kedua orang cantrik yang baru itu bukannya orang yang belum berilmu. Sebagai pengikut Jatha Beri yang justru mendapat tugas untuk mengamati padepokan Kiai Timbang Laras, maka keduanya memiliki bekal yang cukup. Tetapi Perbatang dan Pinuji bukannya cantrik yang baru kemarin sore berada di padepokan itu. Untuk waktu yang lama keduanya mendapat kepercayaan dari Kiai Timbang Laras. Karena itulah, pertempuran itu pun segera meningkat menjadi semakin sengit. Para cantrik yang merasa wajib untuk bertindak atas Perbatang dan Pinuji berusaha untuk dengan cepat menangkap dan membawa mereka menghadapi Ki Jatha Beri. Namun dalam pada itu, Perbatang dan Pinuji yang marah itu pun ingin segera menyelesaikan pertempuran itu. Karena itu, maka salah seorang di antara kedua cantrik itu pun kemudian berkata, “Sebaiknya kalian berdua menyerah saja, dan bersama-sama dengan kami menghadap Kiai Timbang Laras dan Kiai Jatha Beri. Jika kalian menyerah, maka aku akan mohon agar hukuman atas pengkhianatan kalian diperingan. Seandainya kalian harus dihukum mati, maka kematian kalian adalah kematian yang terbaik. Tetapi jika kalian melawan, aku akan mengusulkan hukuman yang terberat yang dapat diberikan kepada seseorang. Jika kalian mendapat hukuman mati, kematian kalian adalah kematian yang akan kalian tempuh dengan cara yang paling sulit. Bahkan mungkin kalian harus menunggu berhari-hari untuk sampai pada batas kematian yang sebenarnya.” Pinuji yang menghadapi cantrik itu dengan serta-merta menyahut, “Kau kira kami akan segera bersimpuh di hadapanmu? Kami bukan kanak-kanak yang dapat kau takut-takuti dengan caramu.” “Persetan kau Pinuji! Jika kau tetap keras untuk melawan, kami-lah yang akan memutuskan apakah kalian akan kami bunuh atau akan kami tinggalkan di sini, agar tubuhmu yang tidak lagi dapat bangkit akan menjadi mangsa anjing liar.” “Aku sudah memutuskan bahwa kalian tidak akan pernah dapat kembali ke padepokan kami. Kalian telah mengotori padepokan Kiai Timbang Laras dengan sikap dan cara hidup yang kasar dan curang,” geram Pinuji. “Kau benar-benar pengkhianat,” sahut cantrik itu, “karena itu kau harus mati. Aku akan membunuhmu dengan caraku.” Cantrik itu pun segera menarik goloknya. Dengan tangkasnya ia memutar goloknya itu sambil berkata, “Satu-satu anggota badanmu akan terpisah dari tubuhmu. Tetapi kau tidak akan mati malam ini. Malam nanti anjing-anjing liar akan menyelesaikanmu. Baru besok sisa-sisa tubuhmu ditemukan orang yang lewat jalan ini untuk pergi ke pasar.” Tetapi cantrik itu terkejut bukan buatan. Ketika mulutmu masih bergerak, tiba-tiba saja kaki Pinuji terjulur dengan derasnya menghantam dadanya. Cantrik itu terdorong beberapa langkah surut, bahkan kemudian cantrik itu terdorong jatuh. Namun dengan cepat ia berguling menjauh, kemudian dengan cepat melenting berdiri. Dengan kasar cantrik itu mengumpat. Namun Pinuji telah berdiri tegak dengan pedang yang sudah tercabut dari wrangkanya teracu ke arahnya. Pinuji tidak berbicara lebih banyak lagi. Tetapi setapak ia bergeser maju sambil menjulurkan pedangnya menggapai tubuh lawannya. Cantrik itu bergeser mundur. Goloknya pun berputar pula dengan cepat untuk melindungi tubuhnya Namun serangan Pinuji pun kemudian datang seperti gelombang yang datang beruntun menggempur batu-batu karang di pantai. Cantrik itu bertempur semakin keras dan garang. Goloknya yang besar dan berat itu berputar semakin cepat. Namun sekali-sekali golok itu terayun menyerang ke arah leher Pinuji. Tetapi Pinuji dengan tangkas menghindar atau menebas serangan itu, sehingga tidak menyentuh sasarannya Di lingkaran pertempuran yang lain, Perbatang bertempur dengan sengitnya pula. Cantrik yang menjadi lawannya itu pun berusaha untuk menekannya. Namun ternyata Perbatang bukan anak-anak yang baru belajar berjalan. Seperti kawannya, cantrik itu pun telah menarik senjatanya pula. Sebuah pedang yang besar dan panjang. Namun demikian ia menggenggam pedangnya, Perbatang pun telah memegang pedangnya pula. Dengan demikian, Perbatang pun kemudian telah bertempur dengan mempertaruhkan ilmu pedang masing-masing. Kedua cantrik pengikut Ki Jatha Beri itu telah berusaha meningkatkan ilmu mereka. Mereka bertempur semakin lama semakin keras. Bahkan kemudian menjadi semakin kasar. Yang nampak bukan lagi cantrik dari perguruan Kiai Timbang Laras, yang mempunyai garis keturunan ilmu yang sama dengan perguruan Kiai Warangka. Tetapi unsur-unsur yang dipergunakan kemudian adalah ilmu yang mereka warisi dari Ki Jatha Beri. Ilmu yang keras dan kasar, namun sangat berbahaya. Meskipun demikian, Perbatang dan Pinuji sama sekali tidak menjadi gentar. Murid perguruan Kiai Timbang Laras itu bertempur dengan garangnya pula. Bahkan kemudian Perbatang telah berhasil mendesak lawannya. Pedangnya yang sekali-sekali menjulur mematuk ke arah tubuh lawannya mampu mendesaknya, sehingga beberapa kali cantrik itu meloncat surut. Tetapi cantrik yang bertempur dengan kasar itu telah menghentak-hentakkan serangannya. Kadang-kadang orang itu mampu mengejutkan Perbatang. Namun kemudian, serangan-serangan Perbatang terasa semakin lama menjadi semakin berbahaya. Bahkan kemudian ketika cantrik itu meloncat sambil mengayunkan pedangnya menebas ke arah leher Perbatang, dengan keras pula Perbatang membentur serangan itu. Dengan cepat Perbatang memutar pedangnya dengan hentakan yang kuat, sehingga hampir saja pedang lawannya terlepas dari tangannya. Tetapi cantrik itu menggenggam pedangnya dengan erat, betapapun telapak tangannya terasa bagaikan terbakar. Tetapi Perbatang tidak menghentikan serangannya. Demikian pedangnya berputar, dengan cepat ia meloncat ke samping. Pedangnya bergerak dengan cepat menggapai tubuh lawannya. Cantrik yang masih berdebar-debar karena pedangnya yang hampir saja terlepas dari tangannya itu, terkejut sekali. Ia mencoba menangkisnya. Meskipun ia berhasil menggeser arah serangan Perbatang, namun ujung pedang Perbatang itu masih sempat menyentuh pundaknya. Cantrik itu meloncat surut. Pundaknya terasa menjadi pedih. Cairan yang hangat kemudian telah mengalir dari lukanya. Cantrik itu mengumpat kasar. Serangannya kemudian datang bergulung-gulung seperti angin prahara. Namun pertahanan Perbatang sama sekali tidak menjadi goyah. Pertahanannya justru menjadi semakin mantap, sementara serangan-serangannya menjadi semakin berbahaya. Murid Jatha Beri itu mulai menjadi gelisah. Ternyata kemampuan Perbatang itu lebih tinggi dari perhitungannya. Bahkan setelah ia mengerahkan segenap kemampuannya pun, ia tidak mampu menguasai lawannya yang memiliki ilmu pedang yang tinggi. Sementara itu, serangan-serangan Perbatang pun justru menjadi semakin cepat dan berbahaya. Ujung pedang Perbatang itu rasa-rasanya berdesing-desing di seputar telinga cantrik yang selalu terdesak itu. Lawan Pinuji yang menggenggam golok yang besar itu mencoba mencari keseimbangan ketika ia melihat kawannya terdesak. Jika saja ia mempunyai kesempatan lebih cepat menyelesaikan Pinuji, maka berdua dengan kawannya mereka akan dengan cepat pula menyelesaikan Perbatang. Tetapi Pinuji bukan seorang yang lemah. Bahkan bukan Pinuji yang kemudian terdesak, tetapi justru cantrik itulah yang setiap kali harus bergeser surut Serangan-serangan Pinuji-lah yang kemudian mewarnai keseimbangan pertempuran itu. Pedangnya bergerak dengan cepat. Sekali terjulur menggapai tubuh lawannya, namun kemudian tiba-tiba saja telah menebas dengan derasnya. Tetapi kemudian pedang itu berputar dan mematuk seperti seekor ular. Betapapun cantrik itu berusaha mengimbangi dengan serangan-serangannya yang keras dan kasar, namun ilmu pedang Pinuji memiliki kelebihan dari kemampuan lawannya itu. Dengan demikian, keseimbangan pertempuran itu pun mulai menjadi goyah. Kedua cantrik murid Jatha Beri itu ternyata sulit mengimbangi kemampuan Perbatang dan Pinuji. Apalagi kemarahan Perbatang dan Pinuji nampaknya tidak dapat diredakan lagi. Kedua orang cantrik itu benar-benar akan membunuhnya. Bahkan dengan cara yang sangat buruk. Karena itu, Perbatang itu pun berkata dengan lantang, “Sudah saatnya kalian dimusnahkan dari padepokan Kiai Timbang Laras!” Tetapi cantrik yang bertempur melawannya tidak dengan mudah menyerah kepada keadaan. Pada saat yang paling sulit, cantrik itu telah menarik sebilah pisau belati. Dengan cepat sekali pisau itu dilemparkan ke arah dada Perbatang. Untunglah Perbatang melihat lontaran pisau itu. Dengan cepat pula Perbatang mengelak. Tetapi pisau itu masih tetap menyambar dan menggores lengannya, sehingga segores luka telah menganga di lengannya. Luka itu justru membuat Perbatang semakin marah. Dengan garangnya Perbatang meloncat sambil menjulurkan pedangnya mengarah ke dada cantrik itu. Tetapi cantrik itu masih sempat mengelak. Selangkah ia bergeser. Tetapi Perbatang itu tidak melepaskannya. Pedang yang terjulur itu segera terayun menebas dengan derasnya. Cantrik itu masih berusaha menangkis serangan itu. Namun pedang Perbatang segera berputar. Satu loncatan panjang dengan pedang yang terjulur lurus, mematuk langsung menghujam ke arah jantung. Terdengar cantrik itu berteriak sambil mengumpat kasar. Namun ia tidak mempunyai kesempatan lagi. Ujung pedang Perbatang benar-benar telah menukik melubangi jantungnya. Sejenak kemudian suara cantrik itu pun segera lenyap. Demikian tubuhnya terjatuh di tanah, maka nafasnya pun telah terhenti. Cantrik yang bertempur melawan Pinuji itu melihat kawannya yang terbunuh oleh Perbatang. Dengan demikian ia tidak berpengharapan lagi. Perbatang akan dapat bergabung dengan Pinuji melawannya bersama-sama. Karena itu, cantrik itu pun berniat untuk melarikan diri. Jika ia sempat sampai ke padepokan, maka ia akan dapat menyampaikannya kepada Ki Jatha Beri. Tetapi Pinuji sama sekali tidak memberi kesempatan. Demikian lawannya berusaha menghindar dari pertempuran, Pinuji itu dengan cepat memotong jalannya. Cantrik yang hampir berputus asa itu telah mengayunkan goloknya menebas ke arah dada. Tetapi Pinuji sempat mengelak. Demikian golok itu terayun, dengan cepat pula Pinuji meloncat. Pedangnya-lah yang kemudian terayun menyambar lambung. Cantrik itu tidak dapat mengelak. Lambungnya telah terkoyak oleh tajamnya pedang Pinuji. Sejenak kemudian dua orang cantrik itu telah terkapar di pinggir jalan. Keduanya ternyata tidak mampu mengimbangi kemampuan Perbatang dan Pinuji. Dua orang murid dari padepokan Kiai Timbang Laras. Sejenak Perbatang dan Pinuji termangu-mangu. Kedua orang itu akhirnya memutuskan untuk meninggalkan saja kedua orang cantrik yang terbunuh itu. “Biarlah besok orang-orang yang menemukan, menguburkannya,” berkata Perbatang, “kita tidak dapat melakukannya sekarang.” Pinuji mengangguk kecil. Katanya, “Baiklah. Kita akan melaporkannya kepada Kiai Timbang Laras, bahwa orang-orang Jatha Beri yang ada di padepokan kita mempunyai tugas khusus yang diberikan oleh Ki Jatha Beri itu.” Perbatang mengangguk-angguk pula. Tetapi sebelum ia menjawab, kedua orang itu terkejut Dengan cepat keduanya meloncat surut sambil mengacukan senjatanya. Yang kemudian berdiri di hadapan mereka adalah Ki Resa yang sedang mereka buru itu. “Ki Resa,” desis Perbatang. “Ya,” jawab Ki Resa, “apakah kalian sedang mencari aku?” “Ya. Kami memang sedang menyusul Ki Resa,” jawab Perbatang. “Kalian mendapat perintah untuk membunuh aku?” bertanya Ki Resa pula. “Ya.” Ki Resa menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia berkata, “Aku memang sudah memperhitungkan hal itu. Itulah sebabnya aku tidak berpacu terus. Demikian aku keluar dari padepokan, aku telah membawa kudaku bersembunyi. Aku justru berkuda di belakang kalian.” “Kau memang cerdik, Ki Resa,” sahut Pinuji. “Aku tahu bagaimana kalian berselisih dengan kedua orang cantrik itu. Aku ingin mengucapkan terima kasih kepada kalian berdua, bahwa kalian tidak mau melakukan sebagaimana akan dilakukan oleh kedua cantrik itu, yang ternyata adalah para pengikut Ki Jatha Beri.” “Sekarang kita sudah berhadapan. Kami bertekad untuk melaksanakan tugas yang dibebankan kepada kami,” berkata Perbatang. “Kau sudah terluka.” “Luka ini tidak berpengaruh sama sekali.” “Mungkin. Tetapi jika kau menghentakkan tenaga untuk bertempur, maka darah akan mengalir terus dari lukamu. Seseorang akan dapat menjadi lemah karena kekurangan darah. Karena itu, aku anjurkan kau obati dahulu lukamu itu agar menjadi mampat.” “Tidak perlu, Ki Resa. Aku akan mengobatinya setelah persoalan kita selesai. Setelah kami dapat menyelesaikan tugas kami dengan sebaik-baiknya.” “Membunuh aku?” bertanya Ki Resa. Pertanyaan itu telah menghentakkan Perbatang dan Pinuji ke dalam keadaan yang rumit. Karena itu keduanya tidak segera dapat menjawabnya. Ki Resa justru tersenyum. Katanya, “Nah, jika kalian memang akan melaksanakan perintah dengan baik, lakukanlah. Kalian tidak usah mencari aku ke mana-mana. Kalian tidak usah menculik perempuan atau kanak-kanak.” Perbatang dan Pinuji justru menjadi ragu-ragu. Mereka bukannya menjadi gentar berhadapan dengan Ki Resa. Tetapi justru mereka tahu bahwa Ki Resa telah melakukan pekerjaannya sebagaimana disanggupinya dengan baik. Jika kemudian Ki Resa itu mengambil kesimpulan bahwa peti tembaga itu tidak ada di padepokan Kiai Warangka, itu sama sekali bukan kesalahannya. Memang kedua murid dari padepokan Kiai Timbang Laras itu juga bertanya di dalam hati, apakah mungkin Ki Resa itu berbuat curang atau sengaja menyesatkan. Namun keduanya berpendapat, seandainya kecurigaan itu ada, seharusnya sejak awal Kiai Timbang Laras harus sudah memikirkannya. Kesan dari sikap Kiai Timbang Laras kemudian adalah seakan-akan Ki Resa harus memberikan jawab sebagaimana dikehendaki oleh Kiai Timbang Laras. Karena kedua orang itu termangu-mangu, maka Ki Resa pun berkata, “Perbatang dan Pinuji. Sebenarnya aku juga ingn memberikan jawaban sebagaimana dikehendaki oleh Kiai Timbang Laras. Aku memang dapat berpura-pura, memberi jawaban asal saja aku sebut di mana peti itu disembunyikan di dalam lingkungan padepokan Kiai Warangka. Tetapi sejak semula, pekerjaanku ini bukan alat untuk menipu. Karena itu, aku harus mengatakan sesuai dengan penglihatanku.” Perbatang-lah yang kemudian menjawab, “Sebenarnya sejak semula kami sudah ragu, Ki Resa. Tetapi kami tidak dapat menolak perintah Kiai Timbang Laras, meskipun kami merasa heran bahwa Kiai Timbang Laras sekarang benar-benar telah berubah. Sejak Ki Jatha Beri ada di padepokan, segala-galanya sudah lain dari sebelumnya. Aku tidak tahu, kenapa demikian besar pengaruh Ki Jatha Beri terhadap Kiai Timbang Laras.” “Jadi apakah yang akan kau lakukan?” “Kami berniat untuk kembali, menemui Kiai Timbang Laras dan melaporkan apa yang sudah terjadi.” “Bagaimana dengan Ki Jatha Beri?” “Aku akan melaporkan apa adanya. Aku justru ingin tahu tanggapan Kiai Timbang Laras dan sikap Ki Jatha Beri.” “Tetapi kalian akan dapat dihukum mati.” “Jika Kiai Timbang Laras benar-benar sudah menyimpang dari kepribadiannya, maka biarlah kami menjadi korbannya.” Ki Resa termangu-mangu sejenak. Katanya, “Baiklah. Mudah-mudahan Kiai Timbang Laras masih mempunyai kesempatan mempergunakan penalarannya menghadapi persoalan ini.” Demikianlah, Perbatang dan Pinuji pun telah meloncat ke punggung kudanya. Namun ketika mereka akan meninggalkan tempat itu, Ki Resa pun berkata, “Kau melupakan kedua orang cantrik itu.” “Kami sengaja membiarkannya.” “Jika kau memang ingin mengatakan apa yang sudah terjadi sebagaimana adanya, kenapa tidak kau bawa saja?” Perbatang dan Pinuji termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Perbatang itu pun berkata, “Baiklah. Jika Pinuji tidak berkeberatan, kami akan membawanya.” Pinuji memang agak ragu. Tetapi akhirnya ia pun berkata, “Baiklah. Kita akan membawanya.” Dengan demikian, maka Perbatang dan Pinuji itu pun telah menaikkan tubuh kedua orang cantrik itu ke atas kuda mereka masing-masing, dan kemudian menuntun kuda-kuda itu ke padepokan. Ketika Perbatang dan Pinuji memasuki padepokan, para cantrik pun segera mengerumuninya. “Apa yang telah terjadi?” para cantrik itu pun saling bertanya. Tetapi Perbatang dan Pinuji tidak mengatakan sesuatu. Keduanya melangkah menuju ke bangunan utama padepokan itu untuk langsung bertemu dengan Kiai Timbang Laras. Ki Timbang Laras memang masih berada di bangunan induk itu. Ia pun segera bangkit ketika ia melihat Perbatang dan Pinuji membawa tubuh dua orang cantrik di atas punggung kuda mereka. “Apa yang telah terjadi?” bertanya Kiai Timbang Laras. Perbatang dan Pinuji pun segera naik ke pendapa. Mereka berdua memang sudah berniat untuk mengatakan apa yang sesungguhnya terjadi kepada Kjai Timbang Laras. Bahkan seandainya Ki Jatha Beri duduk pula bersamanya Tetapi sikap Kiai Timbang Laras memang mengejutkan Perbatang dan Pinuji. Kiai Timbang Laras tidak mempertimbangkan laporan Perbatang dan Pinuji sebagai satu ancaman bagi kemandirian perguruan Kiai Timbang Laras, tetapi sebaliknya, Kiai Timbang Laras itu menjadi sangat marah. “Jadi kau bunuh saudara-saudara sendiri?” “Tetapi kami mempunyai alasan yang kuat, kenapa hal ini kami lakukan, Kiai.” “Apapun alasannya, apakah aku pernah mengajarkan kepadamu untuk membunuh saudara-saudara kita sendiri?” “Tetapi Kiai juga tidak pernah mengajarkan untuk menculik perempuan dan anak-anak.” “Itu tergantung pada kepentingannya. Kau harus menerapkan ajaranku dengan bijaksana.” Perbatang dan Pinuji menjadi berdebar-debar. Sementara itu Perbatang masih mencoba untuk menjelaskan, “Kiai. Apakah Kiai tidak merasa tersinggung jika ada orang lain yang datang ke padepokan ini justru untuk mengawasi kita? Apakah orang-orang baru yang sejak semula memang para pengikut Ki Jatha Beri itu, suatu saat tidak akan mengganggu kebebasan kita di dalam perguruan kita sendiri?” “Tutup mulutmu, Perbatang!” bentak Kiai Timbang Laras, “Aku justru memerlukan Ki Jatha Beri. Ia akan dapat memberikan terang bagi padepokan kita, serta memberikan harapan atas masa depan yang lebih baik.” Perbatang yang menyadari bahwa Kiai Timbang Laras benar-benar sudah menjadi marah, tidak berkata apapun lagi. Mereka menyadari apa yang akan terjadi atas diri mereka. Sebenarnyalah Kiai Timbang Laras telah memerintahkan untuk menangkap Perbatang dan Pinuji. Kiai Timbang Laras justru memberitahukan kepada Ki Jatha Beri, bahwa dua orang cantrik yang sejak sebelumnya adalah para pengikut Ki Jatha Beri, telah dibunuh oleh Perbatang dan Pinuji. “Mereka harus dihukum mati!” teriak Ki Jatha Beri, “Aku sendiri yang akan menghukum mereka!” “Silakan, Ki Jatha Beri,” sahut Kiai Timbang Laras. Perbatang dan Pinuji tidak mempunyai kesempatan untuk membela diri. Semula mereka berharap bahwa Kiai Timbang Laras akan melindunginya. Tetapi ternyata yang terjadi adalah sebaliknya. Karena itu, maka keduanya hanya dapat pasrah, apapun yang akan terjadi atas diri mereka. Bahkan mereka sudah membayangkan bahwa mereka akan mengalami nasib yang sangat buruk di saat kematian mereka, karena mereka akan mati di tangan Ki Jatha Beri. Ki Jatha Beri yang marah itu telah memerintahkan agar Perbatang dan Pinuji dimasukkan ke dalam bilik tertutup. Mereka akan menjalani hukuman mati di keesokan harinya. Ki Jatha Beri pun telah memerintahkan empat orang cantrik yang sejak semula adalah pengikut Ki Jatha Beri untuk menjaga bilik itu. “Dua orang di depan dan dua orang di belakang,” geram Ki Jatha Beri. Bahkan ia menambahkan, “Beri isyarat jika keduanya berusaha untuk melarikan diri. Jika kalian lengah dan keduanya terlepas, maka kalianlah akan menjadi gantinya. Besok kalian akan aku hukum mati menurut caraku.” Perbatang dan Pinuji tidak melawan. Keduanya pun kemudian telah dimasukkan ke dalam bilik dengan tangan dan kaki terikat pada tiang di dalam bilik itu. Tidak ada kemungkinan bagi keduanya untuk melarikan diri. Dalam pada itu, para cantrik yang sejak semula berada di padepokan Kiai Timbang Laras, ternyata telah tersinggung pula. Tetapi mereka tidak berani berbuat sesuatu. Kiai Timbang Laras, pemimpin dan guru mereka yang mereka hormati dan mereka takuti, justru telah menjerumuskan Perbatang dan Pinuji ke dalam keadaan yang paling sulit. Keduanya besok akan dihukum mati dengan cara yang barangkali belum pernah mereka lihat sebelumnya Malam itu Ki Jatha Beri telah memerintahkan beberapa orang cantrik yang sejak sebelum berada di padepokan adalah pengikutnya, untuk menyiapkan hukuman mati itu. Para cantrik padepokan Kiai Timbang Laras tidak tahu pasti, apa yang telah dibuat oleh orang-orang itu. Mereka membuat tiang dan kemudian menanamnya di halaman padepokan. Dua pasang patok kayu yang kuat. Tetapi para cantrik itu membayangkan bahwa besok mungkin Perbatang dan Pinuji akan diikat pada dua pasang patok kayu itu. Tangan mereka akan direntangkan. Demikian pula kaki mereka. Selanjutnya mereka tidak tahu apa yang akan terjadi. Dalam kegelisahan itu, para cantrik dari padepokan Kiai Timbang Laras hanya dapat mengusap dada bahwa Ki Jatha Beri itu masih dapat tidur nyenyak. Begitu ia marah-marah dan memerintahkan membuat alat untuk menghukum mati Perbatang dan Pinuji, orang itu langsung masuk ke dalam biliknya dan tidur mendengkur. “Begitu tidak berharganya nyawa Perbatang dan Pinuji di mata Ki Jatha Beri.” Tetapi para cantrik itu tidak dapat berbuat apa-apa. Dalam pada itu, Perbatang dan Pinuji yang terikat kaki dan tangannya di dalam sebuah bilik yang sempit benar-benar sudah pasrah. Mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa. Mereka merasakan ikatan pada tangan dan kakinya itu begitu kuat, sehingga tidak mungkin untuk dapat dilepaskan lagi. Sementara itu, ada empat orang yang berjaga-jaga di luar. Dua orang mengawasi bagian depan dan dua orang di bagian belakang bilik itu. Bagi Perbatang dan Pinuji, sisa malam itu terasa amat panjang. Mereka ingin matahari segera terbit. Jika mereka harus mati, biarlah kematian itu segera datang, meskipun mereka sadar bahwa cara yang paling buruk akan terjadi pada saat kematian mereka. Dalam pada itu, sisa malam itu terasa menjadi semakin dingin di padepokan Kiai Timbang Laras. Perasaan para cantrik bagaikan dicengkam oleh kegelisahan. Dua orang cantrik yang meronda berkeliling merasa tengkuk mereka meremang. Namun mereka berjalan terus. Untuk mengusir ketegangan yang menyusup ke dalam jantung mereka, seorang di antara mereka pun berdesis, “Kasihan Kakang Perbatang dan Kakang Pinuji.” “Ya,” yang lain menyahut, “aku tidak tahu kenapa Kiai Timbang Laras benar-benar berubah. Kakang Perbatang dan Kakang Pinuji adalah dua orang yang termasuk di antara mereka yang dekat dengan Kiai Timbang Laras. Keduanya adalah orang-orang yang dipercaya. Bahkan kedua orang itu pula yang diperintahkan untuk menyertai Ki Resa ke padepokan Kiai Warangka.” “Semuanya sudah berubah. Bahkan sikap Kiai Timbang Laras dengan saudara-saudara seperguruannya juga sudah berubah. Jika dahulu Kiai Timbang Laras sangat menghormati Kiai Warangka, sekarang sama sekali tidak. Bahkan Kiai Timbang Laras itu sempat mencurigai kakak seperguruannya itu.” “Ki Jatha Beri telah menebarkan racun di padepokan ini,” geram yang lain. Keduanya terdiam. Mereka melangkah sampai di sudut padepokan. Beberapa saat mereka berhenti. Namun kemudian seorang di antara mereka berkata, “Marilah. Kita kembali ke gardu.” Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku merasa ada ketenangan di sini. Di gardu itu ada cantrik yang baru, yang sebelumnya adalah pengikut Ki Jatha Beri. Di sana kita tidak dapat berbicara bebas seperti ini.” Kawannya mengangguk-angguk. Bahkan kemudian orang itu duduk di atas sebuah batu sambil berkata, “Baiklah. Kita beristirahat di sini sebentar.” Namun ketika kawannya juga akan duduk, mereka terkejut. Sesosok tubuh tiba-tiba muncul dari balik gerumbul, sudah di dalam dinding padepokan. Karena itu, maka kedua orang cantrik itu dengan sigap meloncat bangkit. Senjata mereka pun segera teracu kepada sosok tubuh yang tiba-tiba muncul itu. Tetapi orang itu mengacukan kedua tangannya sambil berdesis, “Sabar Ki Sanak, sabar.” “Siapa kau?” bertanya salah seorang cantrik itu. “Apakah kau tidak mengenal aku?” bertanya orang itu. “Ki Resa,” desis cantrik itu. “Ya Aku ingin mendapat keterangan tentang Perbatang dan Pinuji. Semula aku akan mencarinya sendiri. Tetapi setelah aku mendengar pembicaraan kalian, maka aku memberanikan diri untuk menemui kalian. Terus-terang, aku ingin menyelamatkan mereka.” “Maksud Ki Resa?” “Aku tidak akan melibatkan kalian. Aku hanya ingin kalian memberitahu, di mana sekarang Perbatang dan Pinuji.” “Keduanya ditahan sekarang. Besok pagi mereka akan dihukum mati. Hukuman itu akan dilakukan sendiri oleh Ki Jatha Beri dengan caranya.” “Apakah Kiai Timbang Laras tidak melindungi mereka?” “Itulah yang kami sesalkan. Kiai Timbang Laras justru ikut menghukum mereka dengan menyerahkan mereka kepada Ki Jatha Beri.” “Baiklah aku berterus terang kepada kalian. Tunjukkan kepadaku, di mana mereka ditahan. Aku akan berusaha membebaskan mereka, meskipun aku tahu bahwa usaha itu akan sangat berbahaya. Aku minta kalian tidak memberikan isyarat. Seperti sudah aku katakan, aku tidak akan melibatkan kalian.” “Isyarat apa yang Ki Resa maksudkan?” “Kalian jangan memberi isyarat kepada para cantrik bahwa seseorang telah menyusup ke dalam padepokan ini.” Cantrik itu termangu-mangu sejenak. Namun seorang di antara mereka berkata, “Baiklah. Aku tidak akan berbuat apa-apa.” Cantrik itu pun kemudian memberikan ancar-ancar di mana Perbatang dan Pinuji ditahan. “Terima kasih. Doakan agar aku berhasil menyelamatkan kedua orang saudara seperguruan kalian, yang menurut pendapatku tidak bersalah itu.” Demikianlah, Ki Resa pun segera menyusup kembali ke dalam gerumbul-gerumbul perdu. Namun kemudian, orang itu telah bergeser untuk melaksanakan rencananya. Sementara itu, langit sudah mulai dibayangi oleh cahaya fajar. Sisa malam pun menjadi semakin sempit Ketika burung-burung liar bernyanyi di pepohonan, serta ayam jantan berkokok saling bersahutan, maka padepokan itu sudah mulai menjadi sibuk. Di dapur perapian sudah menyala. Para cantrik yang bertugas sudah menjerang air untuk membuat minuman. Namun tiba-tiba padepokan Kiai Timbang Laras itu menjadi gempar. Para cantrik yang berjaga-jaga di depan dan di belakang bilik tahanan Perbatang dan Pinuji telah terbaring di tanah. Mereka sudah mati terbunuh. Nampaknya empat orang itu tidak sempat memberikan perlawanan sama sekali. Para cantrik pun menjadi sibuk. Ketika hal itu disampaikan kepada Kiai Timbang Laras dan Ki Jatha Beri, maka keduanya menjadi sangat marah. Beberapa orang pengikut Ki Jatha Beri pun telah mengumpat-umpat kasar. Empat orang di antara mereka terbunuh, setelah dua orang sebelumnya sudah dibunuh pula oleh Perbatang dan Pinuji. Ubun-ubun Ki Jatha Beri bagaikan terbakar. Dengan serta merta maka mereka yang bertugas berjaga-jaga malam itu segera dipanggil. Namun yang lebih menggemparkan lagi, ternyata Perbatang dan Pinuji sudah tidak ada di dalam bilik itu. Tali pengikat tangan dan kakinya terlepas tanpa bekas terpotong tajamnya senjata. Dua kelompok cantrik yang bertugas malam itu telah menghadap. Sekelompok yang bertugas sampai tengah malam, sedang yang sekelompok yang bertugas sejak tengah malam. Tetapi kedua kelompok cantrik itu tidak dapat memberikan penjelasan apa-apa. Mereka justru meronda mengelilingi padepokan. Adapun bilik yang dipergunakan untuk menahan Perbatang dan Pinuji berada di tengah-tengah padepokan. Sedangkan kelompok-kelompok cantrik yang bertugas itu terdiri dari cantrik yang sudah lama berada di padepokan itu bersama-sama dengan para cantrik yang baru, yang semula adalah pengikut Ki Jatha Beri. Dengan demikian, Ki Jatha Beri mengalami kesulitan untuk begitu saja menuduh para cantrik kawan-kawan Perbatang dan Pinuji-lah yang telah melepaskan kedua orang tawanan itu, karena di dalam tugas para cantrik itu sudah berbaur. Apalagi para pengikut Ki Jatha Beri itu sengaja mengawasi para cantrik yang telah lebih dahulu berada di padepokan itu. Kiai Timbang Laras pun ternyata telah ikut menjadi sangat marah. Kiai Timbang Laras sebagai pemimpin padepokan telah mengumpulkan semua cantrik. Dengan suara bergetar oleh kemarahan yang menghentak jantungnya, Kiai Timbang Laras itu telah mengancam, “Jika akhirnya aku mengetahui siapa yang telah melakukannya, maka hukuman yang belum pernah mereka bayangkan akan aku terapkan.” Para cantrik itu hanya dapat diam sambil menundukkan wajah mereka. Para cantrik itu memang menjadi ketakutan melihat kemarahan Kiai Timbang Laras dan Ki Jatha Beri. Perasaan yang sebelumnya belum pernah mereka rasakan. Dalam pada itu, Perbatang dan Pinuji masih berada dalam perjalanan. Mereka dengan cepat menjauhi padepokan yang telah mereka huni bertahun-tahun. Sementara itu, Kiai timbang Laras dan Ki Jatha Beri telah memerintahkan beberapa orang berkuda untuk mencari kedua orang yang berhasil melarikan diri dari bilik tahanannya itu. “Tangkap mereka hidup-hidup. Aku sendiri yang akan menghukum mereka,” geram Ki Jatha Beri. Tetapi Perbatang dan Pinuji sudah menjadi semakin jauh. Kiai Resa yang menyertai keduanya, berjalan sambil menuntun kudanya. “Kita sudah jauh dari padepokan,” berkata Ki Resa. “Kenapa Ki Resa berusaha membebaskan kami?” bertanya Perbatang. Ki Resa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tahu bahwa seharusnya kalian berdua tidak dihukum mati.” “Kiai Timbang Laras tidak mau melindungi kami berdua,” desis Pinuji. “Itulah yang mengherankan kami,” sambung Perbatang, “segala-galanya sudah berubah.” “Karena itu, aku berusaha untuk menyingkirkan kalian dari bilik itu.” “Apakah Ki Resa tidak memperhitungkan kemungkinan bahwa kami berdua masih tetap akan membunuh Ki Resa? Apalagi dalam keadaan terjepit seperti sekarang. Jika kami berhasil membawa Ki Resa kembali ke padepokan hidup atau mati, mungkin Kiai Timbang Laras dan Ki Jatha Beri akan memaafkan kami.” Ki Resa tertawa. Katanya, “Aku masih percaya bahwa kalian berdua bukan orang yang tidak berjantung. Namun seandainya demikian, aku pun masih percaya bahwa aku akan dapat menyelamatkan diri. Aku yakin, jika terjadi benturan kekerasan di antara kita, maka aku-lah yang akan membunuh kalian berdua.” Perbatang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mungkin Ki Resa benar. Karena itu, lebih baik kami tidak mencobanya.” Ki Resa masih tertawa. Katanya, “Kesombongan kadang-kadang memang ada gunanya.” Namun Pinuji-lah yang kemudian bertanya, “Kita akan ke mana sekarang, Ki Resa?” “Aku akan mengajak kalian pulang ke rumahku. Aku harus menyingkirkan keluargaku. Jika pikiran kedua orang yang kalian bunuh itu juga tumbuh di kepala kawan-kawannya, maka keluargaku akan terancam.” “Jika demikian, aku ingin mempersilakan Ki Resa mendahului kami. Kami juga akan pergi ke rumah Ki Resa. Tetapi sebaiknya Ki Resa cepat-cepat pulang dan menyelamatkan keluarga Ki Resa.” Ki Resa termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Aku akan mendahului kalian. Tetapi aku berharap bahwa kalian langsung menuju ke rumahku.” “Baik, Ki Resa. Kami akan langsung pergi ke rumah Ki Resa.,” sahut Perbatang. Ki Resa yang tiba-tiba saja teringat keselamatan keluarganya segera meloncat ke punggung kudanya. Sejenak kemudian, kuda itu pun telah berlari di jalan bulak yang panjang. Perbatang dan Pinuji tidak menempuh jalan yang sama. Mereka justru menyusup melalui jalan pintas. Lewat lorong-lorong kecil dan jalan setapak. Keduanya menduga bahwa Ki Jatha Beri dan Ki Timbang Laras tidak akan berdiam diri. Mereka tentu memerintahkan para cantrik untuk mencarinya. Dalam pada itu, Ki Resa memacu kudanya secepat-cepatnya. Beberapa orang yang sedang bekerja di sawah atau mereka yang sedang berjalan dan berpapasan, memandangi orang yang berpacu itu dengan dahi yang berkerut. Seorang di antara mereka yang berdiri di pematang berdesis, “Orang yang tidak tahu diri. Apa dikiranya jalan itu milik kakeknya? Jika kuda itu menyentuh orang yang sedang berjalan, akibatnya akan sangat buruk.” Demikian pula orang-orang yang berjalan kaki. Debu yang dihamburkan oleh kaki-kaki kuda itu membuat mereka terbatuk-batuk. Tetapi Ki Resa tidak menghiraukan mereka. Ia ingin segera sampai di rumahnya. Ki Resa menarik nafas panjang demikian ia memasuki halaman rumahnya. Ia tidak melihat suasana yang mencemaskan. Ia melihat keluarganya masih dalam keadaan tenang. Ki Resa tidak mau membuat keluarganya gelisah. Tetapi ia pun tidak ingin keluarganya menjadi korban. Karena itu, maka Ki Resa ingin menyampaikan persoalan yang sedang dihadapinya itu dengan berhati-hati. Betapapun Ki Resa merasa gelisah, namun ia tidak menunjukkan kegelisahannya itu. Dengan wajah jernih, Ki Resa memanggil anak perempuannya yang tinggal bersamanya. Anak perempuannya yang sudah ditinggal suaminya meninggal dunia. “Di mana ibumu?” bertanya Ki Resa “Di belakang, Ayah. Ibu sedang menampi beras.” Ki Resa menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Panggil ibumu dan panggil kedua orang anakmu.” Anak perempuan Ki Resa termangu-mangu sejenak. Namun Ki Resa berkata, “Aku menunggu di sini.” “Ada apa sebenarnya Ayah?” bertanya anak perempuannya itu. Ki Resa mencoba untuk menghapus kesan kegelisahan itu di wajahnya. Katanya, “Panggillah. Aku ingin berbicara dengan kalian.” Anak perempuannya itu tidak bertanya lagi. Ia pun segera memanggil ibunya dan kedua orang anaknya yang sedang bermain di halaman belakang, di dekat neneknya menampi beras. Sejenak kemudian, mereka pun telah terkumpul. Ki Resa, istrinya, anak perempuannya dan dua orang cucunya yang masih kecil. “Nyi,” berkata Ki Resa kepada istrinya, “bukan maksudku melibatkan kalian dalam kesulitan yang aku alami karena pekerjaanku.” Wajah istrinya berkerut. Meskipun Ki Resa berusaha untuk mengatakan dengan sangat berhati-hati, tetapi istrinya mampu menangkap kegelisahan di dalam hati suaminya. Bahkan anaknya pun telah mendesaknya, “Ada apa sebenarnya? Sebaiknya Ayah berterus terang. Kami memaklumi tugas-tugas Ayah, sehingga jika terjadi sesuatu yang akan menyangkut diri kami, sebaiknya Ayah berterus terang. Kami akan berusaha membantu menurut kemampuan kami.” Ki Resa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah. Aku akan berterus terang,” suara Ki Resa merendah, “aku ingin minta kalian meninggalkan rumah ini untuk sementara.” “Kenapa, Ayah?” bertanya anak perempuannya. “Aku berhadapan dengan seorang pemimpin padepokan yang sedang kehilangan kendali nalarnya. Mereka akan membunuh aku. Tetapi itu tidak penting. Yang membuat aku gelisah, justru karena mereka tidak berhasil membunuh aku, maka mereka akan mengambil keluargaku dan memaksa aku untuk menyerah.” Anak perempuannya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Ayah. Aku adalah anak Ayah. Bukankah Ayah pernah serba sedikit memberi petunjuk, bagaimana aku harus membela diri?” “Aku mengerti. Tetapi bagaimana dengan anak-anakmu dan ibumu?” “Biarlah ibu membawa anak-anak bersembunyi di rumah Paman di ujung padukuhan. Aku akan berada di rumah ini bersama Ayah. Kecuali jika Ayah juga ingin menghindari mereka. Aku akan menyertai Ayah.” “Yang kita hadapi adalah tidak hanya satu dua orang. Tetapi sepadepokan. Karena itu, sebaiknya kau antarkan ibumu ke rumah pamanmu. Biarlah aku menunggu di sini.” Ki Resa termangu-mangu sejenak. Dengan nada berat ia berkata, “Kau tentu tidak dapat membayangkan, siapa yang akan kita hadapi. Mereka adalah orang-orang dari padepokan Kiai Timbang Laras, yang sedang terpengaruh oleh sifat-sifat hitam Ki Jatha Beri.” Anak perempuan Ki Resa itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Siapapun mereka, Ayah. Aku tidak dapat membiarkan Ayah sendiri menghadapi mereka.” Ki Resa memang sangat bimbang. Ia tidak akan sampai hati menjerumuskan anak perempuannya ke dalam kesulitan. Bahkan mungkin hidupnya akan dihabisi dengan cara yang sangat buruk. Namun dalam pada itu, selagi mereka masih berbincang, terdengar derap kaki kuda di kejauhan. Tidak hanya satu dua ekor kuda. Tetapi beberapa. “Mereka datang,” desis Ki Resa. Anak perempuannya pun segera bangkit sambil mendorong kedua anaknya, “Ibu, bawa mereka pergi lewat regol butulan.” Nyi Resa tidak ingin terlambat. Karena itu, maka tanpa bertanya lagi kedua orang cucunya telah dibawanya menyingkir. Anak Ki Resa itu pun dengan tergesa-gesa masuk ke dalam biliknya. Ketika ia keluar lagi, maka ia telah mengenakan pakaian seorang laki-laki. Dalam pada itu, beberapa ekor kuda yang berderap di jalan padukuhan itu langsung menuju ke rumah Ki Resa. Agaknya satu dua orang cantrik telah melihat rumahnya, sehingga ia telah membawa kawan-kawannya untuk menangkap Ki Resa. Ketika mereka berangkat, Ki Jatha Beri telah meneriakkan perintah, “Tangkap Perbatang dan Pinuji! Jika Resa tidak ada di rumahnya, maka bawa anak atau istrinya atau cucunya!” Karena orang-orang berkuda itu belum menemukan Perbatang dan Pinuji, maka mereka pun telah menuju ke rumah Ki Resa. Jika mereka tidak membawa seorang pun kembali ke padepokan, maka Ki Jatha Beri dan Kiai Timbang Laras tentu akan menjadi semakin marah. Beberapa saat kemudian, sebelas orang berkuda telah memasuki halaman rumah Ki Resa. Jumlah yang tidak tanggung tanggung. Kelompok-kelompok yang dikirim untuk mencari Perbatang dan Pinuji, bahkan juga Ki Resa, harus meyakinkan mampu menangkap ketiga orang itu hidup-hidup. Sejenak kemudian halaman rumah Ki Resa itu telah penuh dengan kuda. Sementara itu di tangga rumahnya, Ki Resa dan anak perempuannya yang berpakaian seperti seorang laki-laki, berdiri tegak dengan pedang di lambung. “Ki Resa,” desis seorang cantrik. Ia termasuk seorang cantrik yang baru, tetapi sebelumnya ia adalah pengikut Ki Jatha Beri. Justru cantrik yang baru itulah yang memimpin sekelompok cantrik yang mendapat perintah untuk mencari Perbatang dan Pinuji. Tetapi kelompok itu bukan satu-satunya kelompok yang keluar dari padepokan. Tetapi ada tiga kelompok yang masing-masing terdiri dari sepuluh orang, dengan arah yang berbeda-beda. Sementara cantrik itu pun berkata selanjutnya, “Kami mendapat perintah untuk membawa Ki Resa ke padepokan.” “Kenapa?” bertanya Ki Resa. “Bertanyalah kepada Kiai Timbang Laras dan Ki Jatha Beri.” “Jika kalian ingin membawa aku, maka kalian harus dapat mengatakan apa keperluannya. Aku sangat menghargai waktuku.” “Kau tidak usah banyak bicara, Ki Resa. Kau harus menyerahkan kedua tanganmu. Kami akan mengikatnya dan membawamu menghadap Kiai Timbang Laras dan Ki Jatha Beri.” “Jangan berkata begitu Ki Sanak,” jawab Ki Resa, “aku tidak merasa mempunyai persoalan apapun dengan padepokanmu.” “Jangan banyak bicara! Kami masih harus mencari Perbatang dan Pinuji,” berkata cantrik itu. Ki Resa termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bertanya, “Kenapa dengan Perbatang dan Pinuji?” “Keduanya harus ditangkap. Mereka telah membunuh saudara-saudara kami. Mereka harus menjalani hukuman mati.” “Dengan demikian Perbatang dan Pinuji itu jelas bersalah. Tetapi apakah aku juga bersalah?” “Cukup!” bentak cantrik itu, “Menyerahlah!” Tetapi Ki Resa tertawa. Katanya, “Aku lebih senang mati di sini daripada mati di padepokan kalian. Apalagi mati di bunuh oleh Ki Jatha Beri, orang yang tidak dapat menempatkan diri. Bukankah ia berada di padepokan Kiai Timbang Laras? Tetapi seakan-akan Ki Jatha Beri-lah yang berkuasa. Tetapi menurut pendapatku, Kiai Timbang Laras juga salah. Ia terlalu lemah menghadapi sikap Ki Jatha Beri. Seharusnya Kiai Timbang Laras memberikan perlindungan kepada Perbatang dan Pinuji.” “Cukup!” bentak cantrik itu, “Kau tidak usah mengigau Ki Resa. Sekarang, serahkan tanganmu!” Adalah di luar dugaan ketika tiba-tiba Ki Resa pun berkata, “Baiklah. Marilah. Jika kalian memang ingin mengikat aku, ikatlah. Jumlah kalian memang terlalu banyak untuk dilawan..” Cantrik itu justru termangu-mangu sejenak. Ia tidak mengira bahwa begitu mudahnya Ki Resa menyerah. Sementara itu anak perempuan Ki Resa yang berpakaian laki-laki itu menjadi tegang. Tetapi ia mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Ia menduga bahwa ayahnya tidak benar-benar akan menyerah. Dalam pada itu, dengan isyarat cantrik yang memimpin sekelompok kawan-kawannya itu memberi perintah kepada kedua orang kawannya. Dua orang cantrik yang sejak semula memang pengikut Ki Jatha Beri. Ki Resa sudah menduganya menilik ujud dan sikapnya. Tetapi ia masih meyakinkan dirinya, “Aku belum pernah melihat kalian berdua.” “Tutup mulutmu!” bentak salah seorang di antara kedua orang cantrik itu. Namun kemudian iapun berkata, “Aku orang baru.” “Apakah kalian berdua semula juga murid Ki Jatha Beri?” Dengan bangga cantrik itu menjawab, “Ya. Kami adalah murid-murid Ki Jatha Beri.” Ki Resa tidak bertanya lagi. Seorang dari kedua orang cantrik itu membawa seutas tali ijuk yang kuat untuk mengikat tangan Ki Resa. Sementara Ki Resa telah menjulurkan kedua belah tangannya. “Jangan terlalu keras,” berkata Ki Resa sambil tersenyum. Tanpa berpikir panjang, seorang di antara mereka telah memegang pergelangan tangan Ki Resa, sedang yang seorang lagi melingkarkan tali ijuk itu. Namun tiba-tiba kedua orang itu menjerit. Keduanya terlempar beberapa langkah dan jatuh berguling di tanah. Demikian keduanya bangkit berdiri, tangan mereka sudah menjadi merah kehitam-hitaman, seakan-akan kedua tangan mereka telah terbakar. Beberapa orang cantrik yang masih berada di punggung kuda mereka itu pun terkejut. Ketika mereka menyadari apa yang terjadi, maka cantrik yang memimpin sekelompok orang yang akan menangkap Ki Resa itu berteriak, “Kau licik, Ki Resa! Curang dan tidak tahu diri! Kau harus menyadari bahwa perbuatanmu itu akan dapat membuatmu menjadi semakin sulit!” Tetapi Ki Resa tertawa. Katanya, “Aku sudah berada dalam kesulitan sejak semula. Karena itu, aku tidak akan menjadi cemas, bahwa aku akan menjadi semakin sulit.” “Sekarang menyerahlah! Jangan licik!” “Siapa yang licik?” sahut Ki Resa, “Apapun yang terjadi, aku sudah siap. Sudah aku katakan bahwa bagiku lebih baik mati di sini daripada mati di tangan Jatha Beri. Bukankah kalian tahu bahwa Ki Jatha Beri tidak lagi berjantung seperti kita? Jantung Ki Jatha Beri itu berbulu.” “Diam kau iblis!” geram cantrik yang menjadi pemimpin di antara mereka. Lalu tiba-tiba cantrik itu berteriak, “Kita akan menangkapnya hidup-hidup. Bunuh orang yang membantunya. Kita tidak memerlukan mereka.” Para cantrik itu pun segera berloncatan turun. Mereka menambatkan kuda-kuda mereka di halaman. Dua orang yang tangannya bagaikan terbakar itu telah bersiap pula melibatkan diri, meskipun perasaan sakit dan nyeri terasa menyengat-nyengat. Namun demikian, mereka masih dapat mempergunakan kaki mereka. Ki Resa pun telah bersiap pula menghadapi segala kemungkinan. Setidak-tidaknya masih ada delapan orang yang harus dilawannya, bersama anak perempuannya yang masih belum sepenuhnya dapat diandalkan. Jika Ki Resa kemudian menjadi cemas, bukannya karena dirinya sendiri. Tetapi justru karena anak perempuannya. Sejenak kemudian, para cantrik itu pun mulai menebar. Mereka mengurung Ki Resa agar tidak sempat melarikan diri. Namun para cantrik itu pun menyadari bahwa Ki Resa adalah seorang yang berilmu tinggi. Namun jumlah para cantrik itu terlalu banyak. Dengan senjata teracu mereka telah bersiap untuk meloncat menyerang dari beberapa arah. Dua di antara para cantrik itu mengarahkan perhatian mereka kepada anak Ki Resa yang berpakaian seperti laki-laki itu. Tetapi tidak seorang pun di antara para cantrik itu yang mengetahui bahwa anak Ki Resa itu seorang perempuan. Namun dalam pada itu, ketika mereka sudah siap untuk bertempur, tiba-tiba saja mereka terkejut. Tiba-tiba saja mereka mendengar seseorang berkata lantang, “Jadi, inikah para cantrik dari padepokan Kiai Timbang Laras?” Semua orang yang ada di halaman ini berpaling. Yang berdiri di regol halaman rumah Ki Resa itu adalah Perbatang dan Pinuji. Cantrik yang memimpin kawan-kawannya itu menjadi tegang. Namun kemudian katanya, “Kebetulan sekali, Perbatang dan Pinuji.” “Kenapa kebetulan?” bertanya Pinuji. “Kami mendapat tugas untuk menangkap kalian hidup-hidup, bersama Ki Resa.” Tetapi Pinuji tertawa. Katanya, “Untuk menangkap Ki Resa sendiri saja, belum tentu kalian mampu. Apalagi bersama kami berdua, dan barangkali ada seorang yang lain yang akan berpihak kepada Ki Resa.” “Setan kau berdua! Jangan mencoba melawan kami, jika kalian tidak ingin nasib kalian menjadi semakin buruk.” “Apa pedulimu dengan nasib kami? Kami juga tidak peduli akan nasib kalian. Biarlah kalian semuanya akan mati di sini.” Cantrik yang memimpin kelompok itu pun kemudian berteriak memberikan perintah, “Tangkap semuanya hidup-hidup! Biarlah Ki Jatha Beri dan Kiai Timbang Laras memberikan hukuman bagi mereka karena pengkhianatan mereka.” Perbatang tertawa pula. Katanya, “Pertempuran yang menarik. Agaknya kami-lah yang akan membunuh kalian. Kalian agaknya mendapat perintah untuk menangkap kami hidup-hidup. Karena itu, kami tidak akan takut mati dalam pertempuran ini. Tetapi sebaliknya kami dapat membunuh kalian sesuka hati kami.” “Licik kau! Tetapi kau tidak akan lepas dari tanganku.” Perbatang dan Pinuji tertawa pula berkepanjangan. Sementara Ki Resa menyahut, “Aku juga menjadi kasihan kepada para cantrik ini. Mereka tidak boleh membunuh, tetapi mereka boleh dibunuh.” Pemimpin dari para cantrik itu pun segera berteriak, “Cepat, tangkap mereka! Jangan sampai lepas!” Sementara itu Perbatang pun berteriak pula, “Maaf, Ki Resa! Kami akan ikut dalam permainan yang nampaknya akan sangat menarik ini!” “Silakan,” jawab Ki Resa, “bukankah mereka selain mencari aku, juga mencari kalian berdua?” Perbatang dan Pinuji pun kemudian telah mengambil jarak. Mereka pun segera bersiap dengan senjata di tangan. Mereka tidak mau ditangkap hidup-hidup oleh orang-orang yang akan dapat membawa mereka ke dalam satu malapetaka yang sangat sulit. Para cantrik itu pun mulai menyerang. Bahkan cantrik yang tangannya telah terbakar itu pun ikut pula. Mereka mencoba untuk mempergunakan kaki mereka atau tubuh mereka untuk menghalangi orang-orang buruan itu melarikan diri. Tetapi tiga dari antara para cantrik itu nampak ragu-ragu. Mereka adalah para cantrik yang sejak semula berada di padepokan Kiai Timbang Laras. Perasaan mereka menjadi demikian tertekan sehingga mereka tidak segera dapat mengambil sikap. Rasa-rasanya sulit bagi mereka untuk bertempur melawan Perbatang dan Pinuji, yang sudah sejak lama berkumpul dalam satu padepokan. Sementara para cantrik yang lain itu adalah orang-orang baru, yang justru ingin menunjukkan kekuasaan mereka. Perbatang dan Pinuji melihat keragu-raguan mereka. Meskipun mereka tidak mengatakan sesuatu, tetapi keduanya tidak dengan serta-merta menyerang mereka pula. Dengan demikian yang langsung bertempur dengan bersungguh-sungguh adalah delapan orang yang semula adalah pengikut Ki Jatha Beri, sementara dua di antara mereka sudah tidak banyak berdaya. Karena itu, pertempuran itu tidak berlangsung terlalu lama. Bahkan anak perempuan Ki Resa pun menunjukkan kemampuannya pula. Tanpa mengucapkan sapatah kata pun, anak Ki Resa itu berhasil mendesak seorang lawannya. Seorang cantrik yang bertubuh tinggi agak kekurus-kurusan. Betapapun cantrik itu menyerangnya dengan keras dan kasar, namun sulit baginya untuk mengalahkan anak Ki Resa itu, Sementara itu Ki Resa dengan cepat pula telah melumpuhkan seorang di antara para cantrik itu. Bahkan kemudian menyusul seorang lagi. Keduanya terkapar di halaman tanpa dapat bergerak lagi. Pemimpin para cantrik yang melihat ketiga orang cantrik Kiai Timbang Laras itu ragu-ragu telah berteriak, “Kalian juga akan berkhianat?” Ketiga orang cantrik itu tidak menjawab. Tetapi mereka tidak segera terjun ke medan pertempuran. Justru karena itu, maka seorang demi seorang cantrik lainnya itu pun berjatuhan. Luka yang menganga di tubuh mereka telah mengalirkan darah yang merah segar. Dalam pada itu, pemimpin dari para cantrik itu tidak lagi melihat kesempatan untuk dapat menyelesaikan tugasnya. Karena itu, ia sudah mengambil keputusan untuk meninggalkan tempat itu dengan orang-orangnya yang tersisa. Namun ia masih sempat berteriak kepada para cantrik yang ragu-ragu, “Aku akan melaporkan pengkhianatanmu ini!” Para cantrik itu tidak menjawab. Mereka masih tetap ragu-ragu untuk mengambil keputusan. Sementara itu, para cantrik yang semula adalah para pengikut Ki Jatha Beri itu sudah semakin tidak berdaya Namun dalam pada itu, selagi pertempuran itu masih berlangsung, sementara cantrik yang memimpin kawan-kawannya itu sudah mengambil keputusan untuk meninggalkah arena pertempuran, terdengar derap kaki kuda mendekati halaman rumah Ki Resa itu. Dengan demikian maka pertempuran yang berlangsung di halaman itu seakan-akan telah terhenti. Ki Resa pun menjadi berdebar-debar. Yang memasuki halaman rumahnya adalah sekelompok cantrik dari padepokan Kiai Timbang Laras, yang sebagian besar di antara mereka adalah para pengikut Ki Jatha Beri. Kedatangan mereka telah membesarkan hati para cantrik yang masih mampu bertahan. Bahkan cantrik yang memimpin kawan-kawannya yang datang lebih dahulu itu pun berteriak, “Bagus! Sekarang saatnya kita menyeret ketiga orang itu di belakang kaki kuda kita. Kita akan mengikat leher mereka dan menariknya di belakang kuda kita.” Sepuluh orang cantrik telah memasuki halaman rumah itu. Dua di antara mereka adalah cantrik yang memang sudah lama berada di padepokan Kiai Timbang Laras. “Apa yang terjadi di sini?” bertanya cantrik yang memimpin kelompok kedua itu. “Pengkhianatan,” jawab pemimpin dari sekelompok pertama. “Untunglah kami datang. Hampir saja kami mengambil arah lain dari perburuan kami. Tetapi kami ingin singgah dan melihat rumah orang yang bernama Resa itu.” “Kita tidak saja menangkap Resa, Perbatang dan Pinuji. Tiga orang cantrik yang bersamaku itu juga berkhianat.” “Mereka tidak akan kita tangkap hidup-hidup. Kita ikat kakinya dan kita akan menyeretnya di belakang kuda kita yang akan kita pacu dengan cepat.” Namun tiba-tiba saja Perbatang itu tertawa. Katanya, “Apakah kalian tahu siapakah yang dimaksud dengan pengkhianat?” “Persetan!” geram cantrik yang memimpin kelompok pertama, “Kita sudah kehilangan banyak waktu.” “Cepat! Kita selesaikan mereka! Kita tangkap Resa, Perbatang dan Pinuji hidup-hidup,” sahut cantrik yang memimpin kelompok kedua, “tetapi itu bukan berarti kalian harus membiarkan kepala kalian dibelah sekedar untuk membiarkan mereka hidup.” Ki Resa-lah yang tertawa. Katanya, “Nah, cantrik yang ini nampaknya lebih cerdik.” Cantrik yang memimpin kelompok pertama berteriak pula, “Persetan kau, Resa! Kau tidak akan mempunyai kesempatan lagi.” Sejenak kemudian, para cantrik itu pun sudah menghambur mempersiapkan diri mereka masing-masing. Mereka pun sudah memegang senjata di tangan mereka pula. Dengan garangnya mereka mengacukan senjata mereka. Namun tiga orang cantrik murid Kiai Timbang Laras yang datang lebih dahulu masih juga ragu-ragu. Dua orang cantrik Kiai Timbang Laras yang datang kemudian, yang sudah bersiap untuk bertempur pula, telah tertegun melihat sikap saudara-saudara mereka. Apalagi ketika mereka melihat Perbatang dan Pinuji. Dalam pada itu, tiba-tiba saja salah seorang cantrik dari ketiga orang yang datang bersama kelompok yang terdahulu itu berteriak, “Kakang Perbatang dan Kakang Pinuji, aku berdiri di pihakmu!” “Setan kau! Pengkhianat!” teriak cantrik yang memimpin kelompok itu, “Aku cincang kau sampai lumat!” Belum lagi gema suaranya lenyap, cantrik padepokan Kiai Timbang Laras yang datang kemudian itu pun berteriak juga, “Aku juga berdiri di pihak Kakang Perbatang dan Kakang Pinuji!” “Gila!” cantrik yang memimpin kelompok yang kedua itu berteriak marah, “Kalian akan dihukum picis.” Tetapi mereka tidak menghiraukannya. Bahkan mereka pun segera mempersiapkan senjata mereka dan siap untuk terlibat dalam pertempuran itu. Sejenak kemudian pertempuran pun terjadi dengan garangnya. Para cantrik dari padepokan Kiai Timbang Laras namun yang mengalir dari sumber yang berbeda itu, telah bertempur dengan mengerahkan segenap kemampuan mereka. Para cantrik yang merasa lebih lama berada di padepokan itu, merasa bahwa orang-orang baru itu telah mendesak mereka dengan cara yang licik. Bukan karena mereka telah menunjukkan kelebihan di bidang apapun, tetapi semata-mata karena mereka datang bersama Ki Jatha Beri. Orang-orang yang tinggal di sekitar rumah Ki Resa menjadi gempar. Mereka tahu bahwa di halaman rumah Ki Resa telah terjadi pertempuran. Tetapi mereka tidak tahu, apa yang harus mereka lakukan. Mereka tidak berani melibatkan diri ke dalam pertempuran itu. Namun mereka juga mencemaskan nasib Ki Resa, yang menurut pengertian mereka telah diserang oleh orang-orang berkuda yang jumlahnya banyak sekali. Namun dalam pada itu, Ki Resa sendiri sama sekali tidak menjadi cemas. Ia bertempur tidak terlalu jauh dari anak perempuannya. Sementara itu di beberapa tempat yang terpisah, saudara-saudara seperguruan Perbatang dan Pinuji telah bertempur di pihaknya. Para cantrik yang semula adalah para pengikut Ki Jatha Beri mengumpat-umpat tidak habis-habisnya. Mereka benar-benar merasa dikhianati oleh murid-murid Kiai Timbang Laras. Sementara itu para murid kiai timbang Laras itu pun tidak sempat memikirkan apa yang akan mereka lakukan kemudian, setelah mereka menentang perintah guru dan sekaligus pemimpin padepokannya itu. Dengan demikian maka pertempuran itu pun menjadi semakin sengit. Para pengikut Ki Jatha beri jumlahnya memang lebih banyak. Tetapi lawan mereka, terutama Perbatang dan Pinuji, memiliki banyak kelebihan dari para pengikut Ki Jatha Beri yang bertempur dengan keras dan kasar itu. Namun agaknya kedua belah pihak telah dibakar oleh kemarahan dan bahkan dendam. Perbatang dan Pinuji merasa tersisih dari padepokan yang telah dihuninya bertahun-tahun. Bahkan ketika Ki Jatha Beri berniat menghukum mati dengan cara yang paling tidak terhormat, Kiai Timbang Laras, gurunya dan bahkan pemimpinnya, sekali tidak memberinya perlindungan. Karena itu, dendamnya kepada Ki Jatha Beri dan orang-orangnya bagaikan membakar ubun-ubun. Sementara itu, para cantrik yang semula adalah pengikut Ki Jatha Beri pun menjadi dendam pula, karena mereka merasa dikhianati. Para cantrik yang pergi bersama mereka itu seakan-akan telah menusuk mereka dari belakang. Dengan demikian, maka pertempuran pun semakin lama menjadi semakin keras. Kedua belah pihak benar-benar bertempur antara hidup dan mati. Kedua belah pihak tidak lagi mempunyai pertimbangan-pertimbangan lain kecuali berusaha membunuh lawannya sebanyak-banyaknya. Semakin banyak mereka membunuh, maka mereka akan menjadi semakin banyak mendapat kepuasan. Namun ternyata Ki Resa adalah orang yang berilmu tinggi. Karena itu, maka setiap kali cantrik yang berada di sekitarnya pun telah terlempar beberapa langkah surut. Terbanting di tanah atau jatuh terjerembab. Namun kemudian lawan-lawan Ki Resa menjadi semakin parah lagi. Ki Resa terkejut ketika ia melihat anak perempuannya itu meloncat jauh untuk mengambil jarak. Bahkan kemudian jatuh berguling beberapa kali. Ketika perempuan itu bangkit maka lengannya telah terluka. Darah mulai mengalir dari lukanya itu. “Kenapa kau, he?” bertanya Ki Resa dengan cemas. Anaknya tidak menjawab. Ia tidak ingin diketahui bahwa ia adalah seorang perempuan, meskipun nampaknya lawannya mulai curiga dengan sikapnya. Namun dalam pada itu, kecemasan Ki Resa tentang anaknya, akibatnya menjadi sangat buruk bagi para pengikut Ki Jatha Beri. Ki Resa benar-benar menjadi marah bahwa anaknya telah terluka, sehingga darah mulai membasahi bajunya. Apalagi ketika kemudian melawan dua orang, anaknya itu mulai terdesak. Bahkan telah tersudut dalam bahaya. Karena itu, maka Ki Resa itu pun telah menghentakkan ilmunya. Dalam saat yang terhitung singkat, kedua orang yang bertempur melawan anaknya itu telah dilemparkannya dari arena. Keduanya terpelanting jatuh dan tidak bangkit kembali. Demikian pula Perbatang dan Pinuji yang mendendam kepada para pengikut Ki Jatha Beri. Mereka tidak pernah mempertimbangkan untuk mengampuni lawan-lawannya. Karena itu, maka seorang demi seorang para pengikut Ki Jatha Beri itu jatuh tersungkur. Para murid Kiai Timbang Laras memang tidak ingin berbuat tanggung-tanggung. Senjata mereka tidak sekedar menggores lambung atau mengoyak bahu lawannya. Tetapi senjata-senjata mereka telah membelah perut lawannya dan menukik menghunjam jantung. Para cantrik yang semula adalah para pengikut Ki Jatha Beri itu menyadari bahwa mereka tidak mempunyai harapan lagi. Lawan mereka yang jumlahnya lebih sedikit itu ternyata mampu mengalahkan mereka. Terutama karena di antara mereka terdapat Ki Resa, Perbatang dan Pinuji. Pada saat-saat terakhir, kedua orang cantrik yang memimpin kedua kelompok kawan-kawannya memburu Perbatang, Pinuji dan Ki Resa itu tidak mempunyai harapan lagi. Karena itu, mereka pun telah memutuskan untuk menghindar dari pertempuran. Apalagi setelah sebagian besar kawan-kawannya terkapar mati di halaman rumah Ki Resa itu. Kedua orang itu pun akhirnya saling memberikan isyarat yang hanya mereka ketahui di antara mereka saja. Bahkan kawan-kawan mereka tidak mengetahui isyarat itu. Namun ketika kedua orang itu dengan tangkas meloncat keluar dari arena, maka Perbatang dan Pinuji yang mencurigai sikap keduanya dengan cepat telah memotong jalan mereka. “Jangan lari Ki Sanak!” berkata Perbatang, “Kau sudah mendapat kepercayaan untuk memimpin sekelompok cantrik dari padepokan Kiai Timbang Laras. Karena itu kalian tentu termasuk orang-orang terpilih, sehingga kalian tentu memiliki kelebihan dari para cantrik yang lain, termasuk kami berdua.” “Persetan!” geram salah seorang dari mereka, “Apa maumu?” “Aku hanya ingin memperingatkanmu. Tidak sepantasnya para pemimpin melarikan diri dan membiarkan anak buahnya mati terbakar panasnya api pertempuran.” “Persetan dengan igauanmu!” geram cantrik itu sambil menyerang Perbatang. Tetapi Perbatang telah benar-benar bersiap menghadapinya. Karena itu, ia pun segera bergeser memiringkan tubuhnya. Serangan itu tidak mengenai sasarannya. Namun ketika cantrik itu bersiap untuk menyerangnya kembali, justru Perbatang-lah yang telah meloncat mendahuluinya. Tetapi cantrik itu masih sempat mengelak, sehingga serangan Perbatang pun tidak mengenai sasarannya. Sementara itu, Pinuji telah bertempur dengan cantrik yang memimpin kelompok yang lain. Pinuji yang bergerak dengan cepat dan tangkas itu memaksa lawannya untuk mengerahkan segenap kemampuannya. Tetapi sulit bagi kedua cantrik itu untuk mengimbangi kemampuan Perbatang dan Pinuji. Dengan demikian, keadaan kedua orang cantrik itu pun menjadi semakin sulit Sementara itu, kawan-kawannya menjadi semakin menyusut. Tidak seorang pun di antara para cantirk itu yang dapat lolos. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang terkapar di halaman rumah Ki Resa itu masih hidup. Tubuh-tubuh yang terbujur lintang itu sama sekali tidak lagi ada yang bernafas. Kedua orang cantrik itu melihat keadaan kawan-kawannya dengan jantung yang berdebaran. Tetapi mereka pun menyadari, apa yang akan terjadi atas diri mereka. Namun seorang di antara para cantrik itu berkata, “Jangan bangga dengan kemenangan kecilmu. Besok, kalian akan mendapat hukuman yang tidak pernah kalian bayangkan sebelumnya.” “Tidak akan ada orang yang tahu, apa yang terjadi,” berkata Perbatang. “Ki Jatha Beri mempunyai beribu telinga dan beribu pasang mata.” “Tetapi Ki Jatha Beri tidak mampu mencari kami berdua bersama Ki Resa.” “Sekarang belum. Tetapi pada saatnya pasti.” Perbatang tertawa. Katanya, “Apapun yang terjadi atas diri kami, kau sudah tidak akan melihatnya lagi, karena sebentar lagi kau akan mati. Kemudian kami semua akan bersembunyi di padepokan Kiai Warangka. He, dengar! Camkan ini! Tetapi kalian tidak akan pernah mempunyai kesempatan untuk menyampaikannya kepada Ki Jatha Beri atau kepada Kiai Timbang laras.” “Persetan kau!” geram cantrik itu. Perbatang tertawa berkepanjangan sambil bertempur dengan garangnya. Sebenarnyalah bahwa Perbatang dan Pinuji telah mendesak kedua lawannya sehingga mereka kehilangan kesempatan sama sekali. Kedua cantrik itu pun menyadari bahwa mereka tidak akan memenangkan pertempuran. Mereka pun tidak akan dapat lolos pula dari tangan Perbatang dan Pinuji. Namun mereka tidak akan menyerah, karena mereka menyadari bahwa menyerah tidak akan ada gunanya. Dengan demikian, dengan tanpa harapan kedua orang cantrik itu bertempur terus. Saat-saat terakhir itu pun akhirnya datang pula. Pinuji memang sudah tidak sabar lagi. Dengan garangnya, ia menyerang lawannya dengan putaran pedangnya yang cepat Lawannya masih berusaha untuk melawan sejauh dapat dilakukan. Tetapi kesempatannya menjadi semakin kecil. Orang-orang yang lain ternyata tidak mencampuri pertempuran itu. Para cantrik murid-murid Kiai Timbang Laras, Ki Resa dan anak perempuannya, sama sekali tidak ikut melibatkan diri. Mereka memang membiarkan Perbatang dan Pinuji bertempur seorang melawan seorang dengan kedua cantrik itu. Orang-orang yang berdiri di halaman itu menahan nafasnya ketika mereka mendengar desah tertahan. Pengikut Ki Jatha Beri yang bertempur melawan Pinuji itu terdorong beberapa langkah surut. Tangan kirinya memegangi lambungnya. Sementara darah dengan derasnya mengucur dari sela-sela jari-jarinya. Pinuji tidak membiarkan lawannya itu mengambil jarak. Ketika cantrik itu meloncat menjauh, Pinuji telah melenting memburunya. Ujung pedangnya terjulur lurus menggapai dadanya. Dengan satu hentakan yang kuat, Pinuji telah menekan pedang itu, sehingga ujungnya menghujam sampai ke jantung. Orang itu berteriak. Bukan karena kesakitan. Tetapi karena kemarahan, kebencian dan dendam yang bergejolak di dalam dadanya. Alangkah sakitnya, ketika ia sadar sepenuhnya bahwa ia tidak akan mampu membalaskan dendamnya itu. Sejenak kemudian suaranya itu pun lenyap ditelan gemeresiknya suara angin di dedaunan. Angin yang basah tiba-tiba bertiup kencang. Di langit mendung mengambang hanyut ke utara. Pinuji telah kehilangan lawannya. Cantrik itu mati terkapar di halaman sebagaimana kawan-kawannya. Namun cantrik yang bertempur melawan Perbatang pun tidak mempunyai kesempatan lagi. Perbatang memang ingin menghabisi lawannya. Dengan demikian, maka tidak seorang pun yang akan memberikan laporan kepada Ki Jatha Beri tentang peristiwa yang telah terjadi di halaman rumah Ki Resa itu. Sejenak kemudian, cantrik itu pun telah terlempar pula. Ayunan senjata Perbatang yang menyilang telah mengoyak dada lawannya, sehingga luka telah menganga. Cantrik itu pun terbanting jatuh. Ia hanya sempat menggeliat dengan berdesah. Namun kemudian, tubuhnya pun menjadi diam. Dengan demikian, pertempuran pun benar-benar telah berhenti. Langit menjadi semakin muram. Mendung menjadi semakin tebal menggantung di langit. Sejenak kemudian, titik-titik hujan pun mulai jatuh. Beberapa orang tetangga Ki Resa masih saja bertanya-tanya, apa yang terjadi. Namun tidak seorangpun di antara mereka yang memberanikan diri untuk datang dan memasuki halaman itu. Sejenak Ki Resa dan para murid Kiai Timbang Laras itu termangu-mangu. Namun akhirnya mereka mengambil keputusan untuk mengubur orang-orang yang terbunuh itu di kebun belakang. Jauh di bawah rumpun bambu yang lebat. Tempat yang jarang sekali disentuh oleh keluarga Ki Resa sendiri. Namun anak perempuan Ki Resa sempat berbisik di telinga ayahnya, “Bagaimana jika ibu mengetahuinya?” “Pada suatu saat, kita akan memindahkannya,” jawab Ki Resa, “kita akan menguburkannya di kuburan. Namun tidak sekarang.” Anak perempuannya mengangguk-angguk. Demikianlah, di bawah hujan yang akhirnya bagikan tercurah dari langit, Ki Resa, Perbatang, Pinuji dan para cantrik murid Kiai Timbang Laras itu menggali lubang, mengusung sosok tubuh orang-orang yang telah terbunuh itu ke kebun yang masih merupakan hutan bambu di belakang. Mereka telah menguburkan tubuh-tubuh itu di antara rumpun-rumpun bambu. Hujan yang lebat itu seakan-akan telah menghapus segala jejak dari pertempuran yang telah terjadi. Tetangga-tetangga Ki Resa pun harus menunggu hujan menjadi reda untuk datang dan bertanya, apa yang telah terjadi di halaman rumah itu. Namun kemudian para cantrik Kiai Timbang Laras itu harus menunggu hujan menjadi terang dengan pakaian basah kuyup. Mereka duduk di serambi sambil berbincang apa yang akan mereka lakukan kemudian. Pada suatu saat Ki Jatha Beri dan Kiai Timbang Laras akan dapat mendengar apa yang telah terjadi. meskipun mereka sudah berusaha untuk menghapuskan segala jejak. Namun Ki Resa-lah yang kemudian berkata, “Aku anjurkan kepada kalian agar kalian datang dan mohon perlindungan kepada Kiai Warangka. Aku yakin bahwa Kiai Warangka tidak akan berkeberatan sama sekali. Meskipun demikian, harus dipikirkan kemungkinan bahwa kehadiran kalian akan memperburuk hubungan antara Kiai Warangka dengan Kiai Timbang Laras.” Perbatang mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sependapat Ki Resa. Tetapi kita pun harus berterus terang tentang kemungkinan bahwa hubungan kedua orang saudara seperguruan itu akan bertambah buruk.” Pinuji-lah yang kemudian berkata, “Tetapi kita tidak mempunyai pilihan lain. Mudah-mudahan Kiai Warangka tidak berkeberatan memberi perlindungan kepada kita, karena Kiai Timbang Laras sudah tidak lagi dapat kita harapkan.” “Kalian memang harus mencoba,” berkata Ki Resa, “tetapi aku percaya bahwa Kiai Warangka akan dapat memberikan perlindungan kepada kalian.” Tetapi Perbatang pun kemudian bertanya, “Tetapi bagaimana dengan Ki Resa sendiri?” Ki Resa tertawa. Katanya, “Jangan pikirkan aku dan anakku. Kami dapat melindungi diri kami sendiri. Jika perlu, kami dapat mengungsi ke tempat yang tidak akan dapat ditemukan oleh Ki Jatha Beri dan Kiai Timbang Laras. Bahkan jika perlu kami juga akan menghubungi Kiai Warangka. Bukankah di padepokan Kiai Warangka ada seorang yang berilmu tinggi dari Tanah Perdikan’Menoreh? Jika aku terjepit karena diburu oleh Ki Jatha Beri dan Kiai Timbang Laras, aku akan dapat lari ke Tanah Perdikan Menoreh.” Perbatang dan Pinuji mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba salah seorang cantrik bertanya, “Bagaimana dengan kuda-kuda itu Kakang Perbatang? Perbatang mengerutkan dahinya. Ada banyak kuda di halaman. Kuda-kuda itu tentu akan menarik perhatian banyak orang. Namun tiba-tiba saja Perbatang itu pun berkata, “Mumpung hujan lebat. Ki Resa, apakah Ki Resa sependapat jika kuda-kuda itu aku bawa ke padepokan Kiai Warangka?” Ki Resa mengangguk sambil menjawab, “Aku kira itu lebih baik. Di sana kuda-kuda itu akan terpelihara.” “Jika demikian, mumpung hujan masih turun,” berkata Pinuji, “bahkan nampaknya telah menjadi deras lagi.” Akhirnya mereka pun sepakat. Justru pada saat hujan lebat, tidak akan banyak orang yang melihat apa yang telah merela lakukan. Demikianlah, sejenak kemudian Perbatang, Pinuji dan para cantrik pun telah bersiap untuk membawa kuda-kuda yang berada di halaman rumah itu ke padepokan Kiai Warangka. Sementara Ki Resa berniat untuk melindungi diri sendiri bersama keluarganya. Perbatang, Pinuji dan para cantrik itu pun kemudian telah membawa kuda-kuda itu menembus hujan yang lebat. Memang tidak banyak orang yang sempat melihat, karena mereka telah berlindung di dalam rumah mereka masing-masing. Perjalanan ke padepokan Kiai Warangka termasuk perjalanan yang agak panjang. Sementara itu, cuaca menjadi semakin buram. Meskipun malam belum turun, tetapi suasananya sudah melampaui suasana senja. Hari itu, Ki Jatha Beri dan Kiai Timbang Laras menunggu kedatangan orang-orang yang ditugaskan untuk memburu Perbatang dan Pinuji, bahkan Ki Resa, dengan jantung yang berdebaran. Ketika matahari mulai turun dan kemudian bersembunyi di balik mendung, mereka menjadi semakin gelisah. Sekelompok cantrik yang juga mendapat perintah untuk memburu Perbatang dan Pinuji sudah kembali ke padepokan. Mereka dengan jantung yang berdenyut semakin cepat oleh kecemasan, telah melaporkan bahwa mereka tidak berhasil menemukan Perbatang dan Pinuji. Mereka juga tidak bertemu dengan ke Resa. “Kalian tidak pergi ke rumah Ki Resa?” “Belum seorang pun di antara kami yang pernah melihat rumah Ki Resa,” jawab cantrik yang memimpin kelompok itu, yang kebetulan juga pengikut Ki Jatha Beri. Ki Jatha Beri hanya mengangguk-angguk saja. Sementara itu Kiai Timbang Laras pun bertanya, “Di mana kedua kelompok cantrik yang lain yang keluar padepokan bersama dengan kalian?” “Kami telah pergi memencar,” jawab cantrik itu, “kami mengambil arah yang berbeda-beda.” Ki Timbang Laras pun kemudian berkata, “Mudah-mudahan salah satu kelompok di antara mereka berhasil, meskipun seandainya hanya membawa Ki Resa saja.” “Tetapi yang paling bersalah adalah Perbatang dan Pinuji,” geram Ki Jatha Beri, “mereka telah membunuh saudara mereka sendiri.” Ya,” Kiai Timbang Laras mengangguk-angguk, “mereka memang harus dihukum berat.” “Hukuman mati dengan caraku. Aku yang akan melaksanakan hukuman itu sendiri.” Kiai Timbang Laras mengangguk-angguk mengiakan. Namun demikian mereka menjadi cemas. Langit menjadi semakin gelap oleh mendung yang tebal. Meskipun di padepokan Kiai Timbang Laras hujan belum turun, tetapi di sisi lain nampaknya air tercurah dari langit. Bahkan sampai malam turun, kedua kelompok cantrik yang lain masih belum kembali. Agaknya mereka benar-benar ingin kembali ke padepokan sambil membawa buruan mereka. “Mereka takut pulang sebelum mereka berhasil, meskipun hanya seorang saja di antara mereka. Atau setidak-tidaknya keluarga Ki Resa, yang dapat dipergunakan untuk memancing Ki Resa itu sendiri agar datang ke padepokan ini,” berkata Kiai Timbang Laras. Ki Jatha Beri mengangguk-angguk. Katanya, “Mudah-mudahan mereka berhasil. Betapapun kecil hasilnya.” Tetapi sampai kesabaran mereka sampai ke batas, dua kelompok para cantrik yang telah dikirim untuk memburu Perbatang dan Pinuji yang berhasil lolos dari bilik tahanan mereka, serta Ki Resa, tidak juga kembali Dalam pada itu, kedatangan Perbatang, Pinuji dan beberapa orang cantrik dari padepokan Kiai Timbang Laras memang telah mengejutkan Kiai Warangka serta Ki Jayaraga, yang untuk sementara masih berada di padepokan Kiai Warangka. Ketika kemudian Kiai Warangka mendengar dari Perbatang dan Pinuji apa yang telah terjadi di padepokan Kiai Timbang Laras, maka Kiai Warangka pun kemudian berdesis, “Aku sudah mengira, bahwa ada sesuatu yang tidak sewajarnya terjadi di padepokan Timbang Laras.” Ki Serat Waja menarik nafas panjang. Katanya, “Sayang sekali. Kenapa Kakang Timbang Laras begitu mudahnya terpengaruh oleh Ki Jatha Beri. Apa yang telah terjadi sebenarnya dengan Kakang Timbang Laras?” “Nampaknya memang tidak ada apa-apa yang terjadi,” jawab Perbatang, “hanya setiap kali Kiai Timbang Laras pergi meninggalkan padepokan untuk satu dua hari bersama Ki Jatha Beri. Namun kemudian kembali lagi. Tidak ada sesuatu yang menarik perhatian. Segalanya berjalan seperti biasanya. Namun perubahan sikap dan sifat Kiai Timbang Laras-lah yang kemudian telah menggelisahkan kami. Nampaknya pengaruh Ki Jatha Beri perlahan-lahan telah menyusup dan bahkan kemudian mencengkam jantung Kiai Timbang Laras tanpa disadari.” Kiai Warangka mendengarkan keterangan Perbatang dan Pinuji dengan seksama. Dengan nada berat Kiai Warangka itu pun kemudian berkata, “Baiklah. Kami akan memberikan perlindungan kepada kalian di sini. Tetapi jika kelak Timbang Laras datang untuk mengambil kuda-kudanya, maka biarlah kuda-kuda itu dibawanya.” “Tetapi bagaimana dengan kami?” bertanya Pinuji. “Kalian kami terima sebagai keluarga kami Jika Timbang Laras tidak lagi dapat melindungi kalian, maka biarlah kami berusaha melindungi kalian.” “Terima kasih, Kiai,” berkata Pinuji dengan nada berat, “kami memang merasa seakan-akan anak ayam yang kehilangan induk. Karena itu, kami akan merasakan kehangatan perlindungan Kiai serta keluarga padepokan ini.” “Apakah Kiai Timbang Laras dan Ki Jatha Beri mengetahui bahwa kalian berada di sini sekarang?” bertanya Ki Jayaraga. “Agaknya sekarang belum. Tetapi pada suatu saat, agaknya mereka akan mengetahuinya pula,” jawab Perbatang. “Baiklah,” desis Kiai Warangka, “apapun yang akan terjadi, itu adalah akibat dari kesediaan kami melindungi kalian. Sebenarnya perlindungan kami terutama kami tujukan terhadap perlakuan Ki Jatha Beri. Orang itu tidak berhak untuk menghukum kalian. Sementara itu Timbang Laras telah kehilangan kepribadiannya. Bahkan Timbang Laras telah datang ke padepokan ini untuk mempertanyakan peti tembaga itu.” Perbatang dan Pinuji serta para cantrik yang ikut bersama mereka merasa menjadi tenang karena kesediaan Kiai Warangka melindungi mereka. Karena dengan demikian, mereka tidak lagi merasa sebagai orang-orang liar yang tidak mempunyai tempat untuk hinggap, sedangkan burung di langit saja mempunyai sarang untuk tinggal.. “Nah, jika demikian, kalian harus mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungan ini. Cobalah hidup dengan cara dan kebiasaan sebagaimana orang-orang padepokan ini. Selain itu kalian pun harus menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu yang terjadi di sini. Meskipun sumber ilmu kalian sama dengan kami di sini, tetapi ada unsur-unsur yang arah perkembangannya berbeda dan masih harus disesuaikan,” berkata Kiai Warangka. “Terima kasih, Kiai. Kami akan berusaha sejauh dapat kami lakukan. Kami akan menyesuaikan dengan kehidupan di padepokan ini, dan kami akan mengerjakan tugas apapun yang dibebankan kepada kami.” Demikianlah, sejak hari itu beberapa orang cantrik dari padepokan Kiai Timbang Laras telah berada di padepokan Kiai Warangka. Mereka mencoba menyesuaikan diri dengan kesungguhan hati. Sementara para cantrik dari padepokan Kiai Warangka pun berusaha memberikan tempat dan kesempatan sebaik-baiknya kepada mereka. Sementara itu, Kiai Timbang Laras dan Ki Jatha Beri harus menunggu tanpa akhir kedatangan kedua kelompok cantrik yang memburu Perbatang dan Pinuji. Sementara sebagian besar dari para cantrik itu adalah justru para pengikut Ki Jatha Beri, sehingga karena kemarahan Kiai Jatha Beri maka rasa-rasanya ubun-ubunnya telah terbakar. Namun orang-orangnya itu pun tidak dapat ditemukannya pula. Namun akhirnya Ki Jatha Beri dan Kiai Timbang Laras telah mengambil kesimpulan bahwa para cantrik agaknya telah dibinasakan oleh Ki Resa. “Ternyata Ki Resa tentu tidak sendiri,” berkata Ki Jatha Beri, “ia tentu mempunyai beberapa orang pengikut, atau mungkin murid-muridnya yang telah membantunya.” “Kita harus menyelidikinya,” desis Kiai Timbang Laras. “Tetapi kita harus berhati-hati. Ki Resa tidak boleh lepas dari tangan kita, sementara kita sadari bahwa Ki Resa adalah seorang berilmu tinggi,” geram Ki Jatha Beri. Tetapi Kiai Timbang Laras dan Ki Jatha Beri tidak segera dapat menemukan Ki Resa yang hilang dari rumahnya. Bukan hanya Ki Resa sendiri, tetapi seluruh keluarganya. Demikian pula Perbatang dan Pinuji. Jejaknya sama sekali tidak tercium oleh Ki Jatha Beri dan Kiai Timbang Laras. Mereka sama sekali tidak mengira bahwa keduanya justru berada di padepokan Kiai Warangka. Namun demikian, Kiai Timbang Laras dan Ki Jatha Beri tidak menghentikan usahanya untuk mendapatkan peti tembaga yang diduga disimpan oleh Kiai Warangka. Sehingga setelah Kiai Jatha Beri dan Kiai Timbang Laras merasa tidak lagi dapat menemukan Ki Resa, Perbatang dan Pinuji, maka perhatian mereka kembali tertuju kepada peti tembaga itu. Dalam pada itu, di tanah Perdikan Menoreh, telah diselenggarakan penyambutan para pengawal yang kembali dari Mataram. Setelah mereka mendapat sambutan yang hangat di Kotaraja, para pengawal Tanah Perdikan Menoreh sebagaimana juga para pengawal dari berbagai tempat, termasuk dari para pengawal dari Kademangan Sangkal Putung, telah kembali ke tempat masing-masing. Swandaru pun telah membawa pasukan pengawalnya kembali pulang, dengan kebanggaan bahwa mereka telah ikut serta memenangkan sebuah pertempuran yang besar di Pati. Namun sebelum berpisah dengan Agung Sedayu yang masih belum pulih kembali, ia sempat berpesan, “Kakang. Tidak jemu-jemunya aku menasihatkan agar Kakang bersedia menyediakan waktu sedikit di setiap hari untuk kepentingan Kakang pribadi. Jika Kakang hanya menekuni tugas-tugas Kakang, maka rasa-rasanya memang tidak akan pernah ada waktu luang. Tetapi sebagai seorang Lurah prajurit, maka Kakang memerlukan bekal yang lebih tinggi.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sementara Swandaru berkata selanjutnya, “Dalam tugas-tugas Kakang selanjutnya, Kakang seharusnya telah meningkatkan ilmu Kakang sampai ke puncak.” Agung Sedayu masih mengangguk-angguk sambil berdesis, “Baiklah, Adi Swandaru. Aku akan menyisihkan waktu untuk itu.” Swandaru tersenyum. Katanya, “Kakang akan lekas sembuh dan pulih kembali. Tetapi sayang, aku belum mempunyai kesempatan singgah. Mungkin dalam waktu dekat aku akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.” “Kami menunggu kedatanganmu, Swandaru.” Ketika kemudian mereka berpisah, Glagah Putih pun menarik nafas dalam-dalam. Namun ia hanya dapat menahan diri. Sementara Agung Sedayu sendiri tidak pernah menyanggah pesan-pesan yang selalu diberikan oleh Swandaru. Sebenarnya Panembahan Senapati sendiri serta Ki Patih Mandaraka minta agar Agung Sedayu untuk sementara tetap berada di Mataram. Namun Agung Sedayu ingin kembali ke Tanah Perdikan Menoreh bersama dengan pasukannya. Dalam pada itu, secara khusus Panembahan Senapati telah menemui Agung Sedayu yang masih lemah. Tanpa ada orang lain, Panembahan Senapati berkata kepada Agung Sedayu, “Kita pernah melakukan pengembaraan bersama, Agung Sedayu. Aku mengenalmu dengan baik dan kau mengenal aku dengan baik. Kita pernah mencoba mencari, menerawang sisi-sisi dari kehidupan. Kita pernah belajar membaca arti dari kediaman yang sepi, tetapi juga gejolak angin prahara yang bagaikan mengguncang perbukitan. Kita pernah duduk sambil bercanda dengan hangatnya perapian di saat-saat dingin mencengkam. Tetapi kita juga pernah berlaga dengan panasnya matahari yang membakar hutan-hutan di lereng pegunungan. Bahkan juga getar panasnya api yang terpancar dari berbagai macam ilmu yang tinggi. Kita juga pernah berendam dalam tenangnya air sendang yang bening, tetapi kita juga pernah hanyut dan berenang menentang arus banjir bandang. Bukan saja banjir bandang yang tumpah dari derasnya air hujan di lereng pegunungan yang gundul karena ulah kita, tetapi banjir bandang yang menderu dari dahsyatnya ilmu kanuragan.” Agung Sedayu yang masih lemah itu hanya mengangguk-angguk saja. bersambung
Jumat 16 November 2007 Api di Bukit Menoreh 2 Tetapi yang diharapkan Untara terjadilah. Orang-orang yang bersembunyi dibalik pohon-pohin yang rimbun itu mendadak menjadi tidak sabar. Sehingga dengan demikian terdengar salah seorang diantara mereka berteriak “Siapa kalian?”
♦ 15 Juli 2010 “Jadi maksudmu aku harus memberontak kepada Mataram?” “Apa boleh buat.” “Seberapa kekuatan Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh, seandainya Ki Gede dan Kakang Agung Sedayu bersedia? Namun aku tidak akan pernah dapat membayangkan bahwa aku harus melawan Mataram. Apalagi Kakang Agung Sedayu.” “Kakang Swandaru dapat memanfaatkan adik perempuan Kakang itu. Sekar Mirah harus dapat mempengaruhi suaminya. Sementara itu, Kakang dapat berhubungan dengan orang-orang yang memang sedang kecewa terhadap Mataram. Mereka dapat Kakang manfaatkan. Selanjutnya mereka akan dapat digulung dan dihancurkan di kemudian hari.” “Wiyati, dari manakah kau mendapat gagasan itu?” Wiyati tertawa. Katanya, “Kakang tidak usah memikirkan dari mana datangnya gagasan itu.” “Ki Ambara?” Wiyati tersenyum. Katanya, “Kakek Ambara adalah salah seorang sahabat Ki Gede Pemanahan dan Ki Panjawi yang tersia-sia. Ki Juru Martani-lah yang telah mengkhianatinya. Kakek mempunyai hubungan dengan orang-orang yang kecewa itu, meskipun sebenarnya sikap dan pendirian Kakek berbeda dengan mereka. Tetapi seperti yang aku katakan, mereka dapat diperalat dan dimanfaatkan untuk kepentingan Kakang.” “Seberapa banyak orang yang kecewa itu? Sementara yang akan dihadapi adalah Mataram.” “Mataram yang sedang terluka parah.” Swandaru termangu-mangu sejenak. Sedangkan Wiyati itu pun berkata selanjutnya, “Kakang, sebenarnya Mataram bukan merupakan kekuatan yang tidak terlawan, tanpa kekuatan pendukung dari kadipaten-kadipaten yang takluk kepada Panembahan Senapati. Jika dengan tiba-tiba saja Mataram menghadapi kekuatan yang cukup besar, maka Mataram tidak akan banyak memberikan perlawanan. Sementara itu, jika Mataram sudah terlanjur kehilangan kesempatan, maka kadipaten-kadipaten itu akan segera mengingkari kuasanya.” “Ternyata banyak juga yang kau ketahui, Wiyati.” “Kakang,” berkata Wiyati, “karena itu aku mohon Kakang jangan terlalu percaya kepada Ki Lurah Agung Sedayu. Mungkin Ki Lurah memang tidak mempunyai pamrih. Tidak pula iri hati. Tetapi ia terlalu menjilat para pemimpin Mataram. Karena itu, Kakang harus pandai mengemudikan Sekar Mirah dan Pandan Wangi, agar Tanah Perdikan Menoreh, jika diperlukan, akan dapat membantu Kakang Swandaru. Bukan malah sebaliknya.” Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Ia benar-benar merasa terombang-ambing oleh sikap yang berlawanan. Swandaru itu pun kemudian duduk merenungi dirinya sendiri. Ia merasa dirinya menjadi orang yang paling bodoh di dunia. Ia tidak tahu apa yang seharusnya dilakukannya. “Sudahlah, Kakang. Jangan kau pikirkan. Biarlah surat permohonan itu tetap berada di Mataram. Dalam beberapa hari lagi, kau akan dapat pergi menemui Ki Tumenggung Wirayuda untuk menanyakannya. Berdasarkan jawabannya itulah nanti Kakang mengambil sikap.” Swandaru tidak sempat menjawab. Wiyati-pun telah menyeretnya masuk ke ruang dalam. Katanya, “Kakang tentu belum makan.” Dalam pada itu, di Tanah Perdikan Menoreh, Ki Jayaraga yang berada di sawah, duduk di gubug kecil bersama Empu Wisanata yang juga sedang beristirahat. Keduanya telah membuka bajunya yang basah oleh keringat. “Apakah Nyi Pandan Wangi masih di sini?” bertanya Empu Wisanata. “Ya. Nampaknya memang ada sesuatu yang tidak sewajarnya terjadi pada suaminya. Aku tidak pernah ikut dalam pembicaraan. Tetapi kadang-kadang Ki Lurah mengajak aku berbicara.” “Apakah Ki Lurah belum pulang?” “Seharusnya Ki Lurah tidak bermalam. Tetapi ternyata sampai pagi tadi, Ki Lurah masih belum pulang. Agaknya ia terpaksa bermalam, karena pembicaraannya menjadi berbelit-belit” “Nampaknya Ki Swandaru memang seorang yang mempunyai cita-cita yang tinggi.” “Sangat tinggi. Bahkan kadang-kadang kurang terkendali,” berkata Ki Jayaraga. Empu Wisanata mengangguk-angguk. Dengan nada berat ia pun berdesis, “Aku pernah mendengar sepintas bahwa Ki Swandaru itu pernah menyebut nama Ki Ambara. Aku tidak ingat lagi, apakah nama itu disebut oleh Ki Swandaru sendiri, atau oleh Ki Lurah Agung Sedayu atau oleh Ki Jayaraga.” “Ya. Ki Swandaru memang pernah menyebut nama seorang pedagang kuda. Ki Ambara.” Empu Wisanata mengerutkan dahinya. Seolah-olah kepada diri sendiri ia pun berkata, “Aku pernah mendengar nama itu. Ki Ambara.” “Dimana?” “Aku tidak pasti. Tetapi di lingkungan keluarga Ki Saba Lintang. Salah seorang yang berilmu tinggi. Ia tentu mempunyai pengaruh yang sangat besar pada Ki Saba Lintang.” “Jadi ia termasuk salah seorang dari lingkungan orang-orang yang mengaku akan membangun kembali perguruan Kedung Jati?” “Aku kurang pasti, Ki Jayaraga. Tetapi satu kemungkinan.” “Jika demikian, teka-teki itu akan terjawab.” “Teka-teki yang mana?” “Kami menduga bahwa seseorang telah menanamkan pengaruhnya pada Ki Swandaru untuk tujuan tertentu. Termasuk usaha Ki Swandaru mengusulkan kepada Mataram, agar Sangkal Putung ditetapkan menjadi sebuah tanah perdikan.” “Tetapi jangan tergesa-gesa mengambil kesimpulan, Ki Jayaraga.” “Tentu tidak. Aku tentu menunggu Ki Lurah dan berbicara dengan sangat berhati-hati.” Namun keterangan Empu Wisanata itu sangat berarti bagi Ki Jayaraga. Meskipun ia belum pasti, apakah keterangan itu akan dapat memecahkan persoalan yang dihadapi oleh Sangkal Putung. Dalam pada itu, Agung Sedayu dengan dua orang prajuritnya berpacu semakin cepat. Keduanya pun telah menyeberangi Kali Praga. Namun bertiga mereka langsung pergi ke barak. Baru kemudian Agung Sedayu pulang ke rumahnya Sebenarnyalah bahwa Sekar Mirah dan Pandan Wangi merasa cemas, bahwa Agung Sedayu tidak pulang di hari sebelumnya. Karena itu, demikian Agung Sedayu pulang, maka Sekar Mirah pun dengan serta-merta menyongsongnya. “Kau baik-baik saja, Kakang?” “Ya, Sekar Mirah. Tidak ada hambatan apapun di perjalanan. Bukankah tidak ada persoalan di rumah?” “Tidak, Kakang. Semuanya baik-baik saja.” Pandan Wangi yang juga menyongsongnya berdesis, “Kami merasa cemas, bahwa kemarin Kakang Agung Sedayu tidak pulang.” Sekar Mirah pun kemudian mempersilahkan Agung Sedayu itu langsung masuk ke ruang dalam. Rara Wulan pun kemudian telah menghidangkan minuman hangat. Nampaknya Agung Sedayu memang kehausan. “Kakang jadi pergi bersama beberapa orang prajurit?” “Ya. Aku pergi ke Mataram bersama dua orang prajurit,” jawab Agung Sedayu. “Agaknya Kakang terpaksa bermalam di Mataram.” “Aku tidak bermalam di Mataram.” “Dimana?” bertanya Sekar Mirah. “Di Sangkal Putung.” “Jadi Kakang langsung pergi ke Sangkal Putung?” bertanya Pandan Wangi. “Ya. Aku bersama kedua orang prajurit itu langsung pergi ke Sangkal Putung. Nanti setelah aku mandi, aku akan bercerita tentang perjalananku ke Mataram dan Sangkal Putung.” Sekar Mirah dan Pandan Wangi yang ingin segera mengetahui hasil perjalanan Agung Sedayu, tidak memaksanya untuk bercerita. Tetapi dibiarkannya Agung Sedayu menikmati minuman yang hangat serta beberapa potong makanan. Setelah keringat Agung Sedayu agak kering, maka ia pun berkata, “Aku akan pergi ke pakiwan dahulu.” Sekar Mirah mengikuti suaminya sampai ke pintu dapur. Sementara itu Agung Sedayu berdesis, “Sejak kemarin Pandan Wangi tidak pulang ke rumah Ki Gede?” Sekar Mirah mengangguk. Katanya, “Ia lebih senang di sini sambil menunggu Kakang pulang.” Agung Sedayu tidak bertanya lagi. Ia pun segera pergi ke pakiwan, sementara Rara Wulan mempersiapkan makan bagi Agung Sedayu itu. Di dekat kandang, Glagah Putih menunggui Sukra memandikan kuda yang baru saja dipakai oleh Agung Sedayu. Sambil menyirami tubuh kuda itu, Sukra pun berdesis, “Alangkah segarnya. Kau tentu letih. Ki Lurah tentu memaksamu berlari kencang. Bahkan mungkin tanpa beristirahat di jalan.” Kuda yang diusap kepalanya itu seakan-akan mengerti kata-kata Sukra. Dikibas-kibaskannya ekornya. Namun yang menjawab adalah Glagah Putih, “Kakang tentu memperhitungkan ketahanan tubuh kudanya. Jika kau yang harus mendukung Kakang berlari dari Sangkal Putung, mungkin kau tidak akan diberi kesempatan beristirahat di jalan.” Sukra justru bersungut-sungut. Katanya, “Memangnya aku kuda beban?” “Bukan begitu. Aku ingin mengatakan bahwa kau mempunyai daya tahan melampaui seekor kuda.” Sukra berpaling. Dipandanginya Glagah Putih dengan tajamnya. Namun ia tidak berkata apa-apa. Glagah Putih tertawa. Katanya, “Jangan marah. Kau akan cepat menjadi tua jika kau terlalu sering marah.” Sukra masih tetap diam saja. Namun ketika Glagah Putih melangkah meninggalkannya, maka Sukra itu pun telah memercikkan air ke pakaian Glagah Putih. Glagah Putih dengan serta-merta berhenti dan berbalik. Namun Sukra itu pun berkata, “Jangan marah. Kau akan cepat menjadi tua jika kau terlalu sering marah.” Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun kembali berbalik dan meninggalkan Sukra, sambil berkata, “Awas kau, Sukra. Aku putar telingamu nanti. Tunggu saja.” Sukra tertawa. Katanya, “Bukannya aku yang marah. Tetapi kau.” Glagah Putih tidak menghiraukannya lagi. Ia pun melangkah semakin jauh. Setelah mandi, Agung Sedayu duduk di ruang dalam. Sekar Mirah dan Pandan Wangi duduk pula bersamanya, sementara Rara Wulan telah selesai menyediakan makan bagi Agung Sedayu yang baru pulang dari perjalanan. “Makanlah, Kakang,” Sekar Mirah mempersilahkan, “mungkin Kakang sempat berhenti di kedai. Tetapi Kakang tentu sudah menjadi lapar lagi.” “Agaknya aku terlalu banyak minum. Rasa-rasanya perutku masih saja kenyang.” “Tetapi sebaiknya Kakang makan.” Agung Sedayu pun kemudian menyenduk nasi, sayur dan lauk-pauknya. Sambil menyuapi mulutnya, Agung Sedayu mulai bercerita tentang perjalanannya Namun baru setelah ia selesai makan, ia mulai bercerita tentang pertemuannya dengan Ki Tumenggung Wirayuda dan Ki Patih Mandaraka. Juga tentang perjalanannya ke Sangkal Putung untuk menemui dan berbicara dengan Swandaru. “Jadi besok Kakang Swandaru akan pergi ke Mataram, menghadap Ki Patih untuk menarik kembali surat permohonannya itu?” “Ya. Nampaknya Swandaru telah diombang-ambingkan oleh ketidak-tetapan sikapnya.” Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sebenarnya itu bukan sifat dan watak Kakang Swandaru. Biasanya ia mempunyai pendirian yang teguh. Keputusannya sulit untuk berubah, jika keputusan itu diambilnya atas satu keyakinan.” “Aku setuju, Pandan Wangi. Gagasan untuk mengajukan permohonan agar Sangkal Putung dapat ditetapkan menjadi sebuah tanah perdikan, tentu bukan gagasan yang diyakininya.” Dengan demikian, maka dugaan bahwa Swandaru telah terpengaruh oleh gagasan seseorang, menjadi semakin kuat. Bahkan Agung Sedayu hampir memastikan, bahwa ada seseorang yang masih harus dicari, di belakang Swandaru. Orang itu tentu mempunyai pamrih. Pamrih itulah yang harus dipelajari dengan sungguh-sungguh. “Baiklah,” berkata Agung Sedayu kemudian, “kita akan mencari bersama-sama dengan cara yang mungkin berbeda. Ki Demang Sangkal Putung juga masih terus berupaya. Tetapi jika Adi Swandaru besok mencabut surat permohonannya untuk menetapkan Sangkal Putung menjadi sebuah tanah perdikan, maka persoalannya tidak lagi sangat mendesak. Meskipun usaha itu masih harus tetap dilakukan, agar pengaruh itu tidak menusuk lagi ke jantung Adi Swandaru.” Sekar Mirah dan Pandan Wangi pun mengangguk-angguk. Namun kesediaan Swandaru untuk pergi ke Mataram dan mencabut surat permohonannya itu, telah membuat Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Pandan Wangi menjadi sedikit tenang. Namun pada saat yang bersamaan, di Kajoran, Swandaru ternyata sudah mengambil sikap yang lain. Swandaru telah memutuskan bukan membatalkan permohonannya, tetapi justru membatalkan kepergiannya ke Mataram. Ki Ambara sendiri agaknya telah ikut memberikan pertimbangan-pertimbangan yang ikut menentukan sikap Swandaru itu. “Besok aku tidak akan pergi,” berkata Swandaru. “Permohonan Angger Swandaru akan menjadi ujian bagi orang-orang Mataram, apakah mereka dapat menghargai orang lain atau mereka hanya dapat mengagumi diri mereka sendiri. Jika Mataram memang tidak dapat menghargai orang lain, buat apa kita tetap berkiblat ke Mataram? Angger Swandaru, mungkin lewat Angger Sekar Mirah akan dapat meyakinkan Angger Agung Sedayu, bahwa tidak ada gunanya untuk tetap setia kepada Mataram. Jika Ki Lurah itu menyadari akan dirinya, maka ia tentu akan sependapat dengan Ki Swandaru. Bukankah kemampuan baik dalam ilmu kanuragan maupun olah kajiwan, Ki Lurah itu melampaui kemampuan seorang tumenggung? Coba, tunjuk, Tumenggung siapakah yang dapat melampaui kemampuan ilmu kanuragan Angger Agung Sedayu.” “Mungkin, Ki Ambara. Meskipun sebenarnya aku masih sangat menyayangkan Kakang Agung Sedayu yang malas. Anggapan semacam itulah yang telah menyesatkan sikapnya. Ia merasa benar-benar telah mumpuni.” “Apakah ia tidak benar-benar mempunyai kelebihan yang pantas untuk mendapat penghargaan tertinggi di Mataram?” “Kesetiaan Kakang Agung Sedayu dan pengabdiannya memang dapat dibanggakan. Tetapi aku meragukan kemampuannya. Ia adalah seorang yang mudah menjadi puas, ragu-ragu, malas dan kadang-kadang acuh tak acuh terhadap ilmunya.” Ki Ambara mengerutkan dahinya. Sementara Swandaru pun berkata, “Kakang Agung Sedayu adalah saudara tua seperguruanku. Ia mempunyai kesempatan jauh lebih baik dari kesempatan yang diberikan Guru kepadaku. Pada mulanya aku sangat mengagumi Kakang Agung Sedayu itu. Tetapi pada tataran tertentu, Kakang Agung Sedayu itu berhenti. Aku mengira bahwa Kakang Agung Sedayu sedang mempersiapkan diri untuk melangkah lebih lanjut. Mungkin ia merasa terlalu letih, sehingga perlu beristirahat. Mungkin tugas-tugasnya tidak memberikan waktu kepadanya. Tetapi ternyata tidak. Kakang Agung Sedayu benar-benar telah berhenti sampai di situ.” Ki Ambara mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun berkata, “Mungkin ilmunya tidak setinggi ilmu Angger Swandaru, tetapi ia mempunyai pasukan. Jika Agung Sedayu berhasil mempengaruhi prajurit-prajuritnya, maka ia merupakan kekuatan yang akan ikut menentukan keberhasilan Angger Swandaru. Jika Mataram menolak permohonan Angger Swandaru, maka Angger Swandaru tidak hanya akan memaksa menetapkan Sangkal Putung menjadi tanah perdikan, tetapi Angger Swandaru dan Angger Pandan Wangi, dengan bantuan Agung Sedayu dan Angger Sekar Mirah, akan mengambil alih Mataram itu sendiri. Sementara itu, para pendukung tentu akan mengalir dengan sendirinya, karena kesetiaan kebanyakan orang-orang yang agak jauh dari Kotaraja adalah kesetiaan yang lamis. Jika mereka melihat sosok yang lebih baik, maka mereka akan berpaling. Sedangkan tentang darah keturunan, Panembahan Senapati juga dilahirkan dari darah keturunan pidak pedarakan.” Swandaru termangu-mangu sejenak. Sementara itu Wiyati menghidangkan minuman hangat dan beberapa potong makanan. Demikian ia meletakkan mangkuk-mangkuk minuman dan makanan, ia pun langsung duduk sambil menyandarkan tubuhnya pada Swandaru sambil berkata, “Alangkah bahagianya pada suatu saat aku sempat melihat Kakang Swandaru menjadi seorang Kepala Tanah Perdikan.” Sebelum Swandaru menjawab, Ki Ambara pun bangkit berdiri sambil berkata, “Maaf, Ngger. Aku akan pergi ke kandang.” “Pembicaraan kita belum selesai, Ki Ambara.” “Wiyati akan menemani Angger Swandaru, berbicara tentang Mataram yang menjadi semakin suram. Sepeninggal Panembahan Senapati, Mataram sudah bukan apa-apa lagi. Segalanya akan tergantung sekali kepada Ki Patih Mandaraka yang sudah mulai pikun, karena umurnya memang sudah terlalu banyak. Dahulu, dengan otaknya yang cerah tetapi lebih condong ke licik, ia mampu mengendalikan Ki Gede Pemanahan dan Ki Panjawi. Selanjutnya Panembahan Senapati itu pun berada di bawah pengaruhnya. Tetapi sekarang, Ki Patih itu sudah semakin tua dan tidak berdaya.” Ki Ambara tidak menunggu lagi. Sambil tersenyum Ki Ambara pun telah meninggalkan Swandaru duduk bersama Wiyati, sementara Wiyati masih saja menyadarkan tubuhnya. “Minumlah, Kakang,” desah Wiyati. “Bagaimana aku dapat minum?” sahut Swandaru. Wiyati tertawa manja sekali. Tetapi ia justru bangkit dan menarik tangan Swandaru masuk ke ruang dalam. “Wiyati, aku belum jadi minum.” Wiyati tidak menghiraukannya, la masih saja menarik tangan Swandaru. Hari itu Swandaru telah mendapat satu kepastian baru. Ia tidak akan pergi ke Mataram. Ia tidak akan mencabut surat permohonannya. Hari itu Swandaru pulang sampai larut malam. Ki Demang memang menunggunya. Namun akhirnya Ki Demang itu pun tertidur pula Pagi-pagi sekali Ki Demang sudah bangun. Ketika ia menyentuh pintu bilik Swandaru, pintu itu diselarak dari dalam, sehingga Ki Demang pun tahu bahwa Swandaru ada di dalam bilik itu. “Kapan ia pulang?” desis Ki Demang. Namun Ki Demang itu pun segera mengetuk pintu bilik Swandaru itu. “Swandaru, bangun. Langit sudah menjadi terang.” Tidak terdengar jawaban. Ki Demang itu pun mengulanginya lagi, “Swandaru? Swandaru?” Akhirnya Swandaru itu terbangun juga. Bahkan ia merasa sangat terganggu. “Bangun,” berkata Ki Demang kemudian. “Aku baru saja dapat tidur, Ayah,” sahut Swandaru dari dalam biliknya. “Langit sudah menjadi terang. Bukankah kau akan pergi ke Mataram?” Tetapi jawab Swandaru sangat mengejutkan ayahnya, “Tidak. Aku tidak jadi pergi, Ayah.” “Kenapa?” bertanya Ki Demang dengan serta-merta. “Tidak apa-apa. Aku memang tidak ingin pergi ke Mataram.” “Tetapi kau kemarin mengatakan bahwa hari ini kau akan pergi ke Mataram.” “Tidak, Ayah. Sudahlah. Aku akan tidur.” “Kenapa kau tidak jadi pergi?” “Aku memang tidak ingin pergi. Sudahlah. Aku akan tidur.” Tetapi Swandaru-lah yang terkejut. Tiba-tiba saja Ki Demang itu memukul pintu bilik Swandaru beberapa kali sambil membentak, “Swandaru! Bangun! Pergi atau tidak pergi, bangun! Aku akan berbicara sekarang.” Swandaru bangkit dari pembaringannya. Sementara itu Ki Demang masih memukul pintu Swandaru, “Buka pintunya! Aku akan berbicara.” Swandaru menjadi berdebar-debar. Ia pun kemudian melangkah membuka pintu biliknya. “Swandaru,” geram ayahnya, “bukankah kemarin kau berjanji akan pergi ke Mataram untuk menarik surat permohonanmu?” “Kemarin memang begitu, Ayah.” “Kenapa kau tidak pergi sekarang?” “Aku berubah pendirian, Ayah. Aku tidak akan pergi ke Mataram untuk menarik surat permohonan itu.” “Siapa yang telah mempengaruhimu?” sahut Ki Demang. “Tidak ada, Ayah.” “Siapa?” “Tidak ada.” “Kau sekarang selalu berbohong kepadaku. Berbohong kepada istrimu, dan berbohong kepada rakyat Sangkal Putung.” “Tidak, Ayah, aku tidak berbohong.” “Jika tidak, kenapa kau tidak pergi ke Mataram? Jika kau ingin berkata jujur, kenapa kau tidak mengaku, siapakah yang telah mempengaruhimu? Aku yakin bahwa bukan kau sendiri yang berniat untuk mengajukan permohonan agar Sangkal Putung menjadi sebuah tanah perdikan.” “Kenapa bukan aku, Ayah?” “Sikapmu tidak pasti. Hari ini dan kemarin sikapmu sudah berbeda. Itu bukan kebiasaanmu. Aku tahu bahwa kau adalah seorang yang teguh pada satu keyakinan. Tetapi tentang tanah perdikan itu, sikapmu seperti batang ilalang. Setiap ada angin yang berubah arah, maka arah merunduk batang ilalang pun berubah pula. Karena itu, katakan, siapa yang telah mempengaruhimu?” desak Ki Demang. “Tidak ada, Ayah. Sungguh, tidak ada.” “Kau dapat menipuku, tetapi tidak untuk selama-lamanya.” “Aku tidak menipu Ayah.” “Kau menipu aku!” suara Ki Demang meninggi. “Ayah, kenapa Ayah sekarang tidak lagi percaya kepadaku?” “Jika kau tidak berubah, aku akan selalu percaya kepadamu. Tetapi kau sudah berubah, Swandaru.” “Menurut Ayah, apa yang berubah?” “Keyakinanmu atas dirimu sendiri.” Wajah Swandaru menjadi merah. Namun ia masih juga berkata, “Ayah, yakinlah bahwa kita akan berhasil. Karena itu, aku tidak akan pergi ke Mataram.” “Kau harus pergi ke Mataram. Kau harus mencabut kembali suratmu itu.” Swandaru termangu-mangu sejenak. Nampaknya ayahnya tidak lagi mau mendengarkan alasan-alasannya. Apapun yang dikatakannya, tidak lagi didengarnya. Namun tiba-tiba saja Ki Demang itu menjadi terengah-engah. Sambil menekan dadanya ia berdesis, “Dadaku sakit. Sakit sekali.” “Ayah,” Swandaru pun kemudian telah memapah ayahnya pergi ke biliknya dan dibaringkannya. “Kenapa, Ayah?” “Swandaru,” berkata ayahnya, “dadaku sakit. Aku merasa dadaku terhimpit oleh sikapmu itu.” “Ayah.” “Pergilah ke Mataram. Aku akan sembuh.” Swandaru termangu-mangu sejenak. Ternyata ayahnya yang menahan gejolak perasaannya itu, telah sampai ke puncak kesabarannya. Karena itu, Swandaru tidak dapat berbuat lain. Ia harus pergi ke Mataram, atau dada ayahnya akan meledak oleh kemarahan yang tidak tertahankan. “Baiklah,” berkata Swandaru, “aku akan pergi ke Mataram.” Sejenak kemudian, Swandaru pun segera pergi ke pakiwan untuk mandi dan berkemas. Ketika Swandaru sudah siap, Ki Demang duduk di pringgitan sambil menghirup minuman hangat. Namun wajah Ki Demang itu masih sangat pucat. “Bukan dibuat-buat,” berkata Swandaru di dalam hatinya. Apalagi ketika ia menyentuh tubuh ayahnya yang gemetar. “Kau harus langsung pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Bawa istrimu pulang, dan Sekar Mirah serta Ki Lurah Agung Sedayu.” “Tetapi Ayah tidak apa-apa?” bertanya Swandaru. “Tidak. Aku tidak apa-apa. Jika kau bersedia berangkat, maka sakit di dadaku akan hilang.” “Baiklah, Ayah. Aku akan pergi.” Setelah menyerahkan ayahnya untuk mendapat perawatan, maka Swandaru pun segera melarikan kudanya. Tetapi Swandaru tidak langsung pergi ke Mataram. Swandaru telah singgah lebih dahulu di Kajoran. Wiyati tertawa mendengar cerita Swandaru. Katanya, “Ki Demang ternyata pandai juga berpura-pura.” “Ayah tidak berpura-pura. Aku dapat mengenalinya, dan aku mempercayainya bahwa Ayah bersungguh-sungguh.” “Baiklah. Seandainya Ki Demang bersungguh-sungguh, bukankah Kakang Swandaru juga sudah benar-benar berangkat?” “Ya. Aku benar-benar berangkat ke Mataram.” “Apakah Ki Demang dapat mengetahui, seandainya kakang Swandaru tidak pergi ke Mataram?” “Tentu. Ayah tentu akan menanyakan surat yang aku tarik dari Mataram itu. Selain itu, aku harus pergi ke Tanah Perdikan Menoreh untuk memanggil Pandan Wangi. Jika mungkin, bersama Sekar Mirah dan Kakang Agung Sedayu.” Wiyati mengangguk-angguk. Katanya, “Segala-galanya memang harus segera pasti. Kakang tidak perlu mengulur-ulur waktu terlalu lama lagi. Sebaiknya Kakang pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Kemudian ajak mereka ke Mataram untuk mendapat kepastian, apakah Mataram bersedia menetapkan Sangkal Putung untuk menjadi tanah perdikan atau tidak. Jika tidak, maka sudah waktunya Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh menunjukkan diri sebagai satu landasan kekuatan yang tidak dapat direndahkan oleh Mataram. Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh harus dengan cepat menghimpun kekuatan. Menjepit Mataram dari dua arah.” Swandaru termangu-mangu. Sementara Wiyati berkata selanjutnya, “Kakang. Kakek tidak hanya sekedar mampu berbicara tentang menjepit Mataram dari dua arah. Tetapi jika Kakang Swandaru memerlukan, kakek tentu akan dapat membantu. Ada beberapa perguruan yang pemimpinnya dikenal baik oleh kakek. Ada beberapa kelompok orang yang tidak dapat menerima kebijaksanaan Mataram yang sekarang, yang selama ini terpendam. Jika yang terpendam itu sempat disulut, maka nyalanya tentu akan sampai menyentuh bibir awan di langit.” Wajah Swandaru menjadi tegang. Tiba-tiba saja ia berdesis, “Aku akan berbicara dengan Ki Ambara.” Wiyati pun kemudian telah menemui Ki Ambara. Dengan senyum yang tersungging di bibirnya, Wiyati itu pun berkata, “Kakek, tinggal selangkah lagi. Kakang Swandaru sudah mulai terbakar.” “Tetapi sayang sekali, bahwa Tanah Perdikan Menoreh masih belum jelas.” “Kakang Swandaru harus menekan Pandan Wangi. Katakan kepadanya, jika Pandan Wangi berkeberatan, maka ia bukan seorang istri yang setia kepada suaminya.” “Tetapi bagaimana dengan Sekar Mirah dan Agung Sedayu?” bertanya Ki Ambara. “Jika perlu, Agung Sedayu harus dipaksa.” “Dipaksa? Maksudmu?” “Kakang Swandaru harus berani bertaruh. Jika Agung Sedayu menang, Kakang Swandaru akan tunduk kepadanya. Tetapi jika Agung Sedayu kalah, maka Agung Sedayu harus tunduk kepada Kakang Swandaru.” Ki Ambara mengangguk-angguk, sementara Wiyati berkata selanjutnya, “Bukankah menurut Kakang Swandaru, meskipun Agung Sedayu itu saudara tua seperguruannya, tetapi ilmunya tidak dapat menyamai ilmu Kakang Swandaru?” Ki Ambara menarik nafas dalam-dalam. Namun dengan ragu ia pun berkata, “Wiyati. Selama ini aku mendengar cerita tentang Agung Sedayu yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Orang-orang Ki Saba Lintang meyakini itu.” “Tetapi mereka belum mengetahui seberapa tinggi ilmu Kakang Swandaru. Menurut Kakang Swandaru, Agung Sedayu yang malas itu telah terhenti pada satu tataran sebelum tataran tertinggi, sebagaimana telah dicapai oleh Kakang Swandaru. Mereka bergantian memegang kitab yang memuat ilmu dari perguruan Orang Bercambuk itu. Namun pada saat terakhir, ketika Kakang Swandaru telah mencapai puncak, kitab itu telah direlakan untuk disimpan oleh Agung Sedayu. Namun ternyata ilmu Agung Sedayu juga tidak meningkat pula. Beberapa kali Kakang Swandaru memberinya petunjuk dan nasehat-nasehat. Namun Agung Sedayu masih saja tetap pada tatarannya.” “Kau yakin akan hal itu?” “Aku yakin, Kek.” “Baiklah. Jika demikian, biarlah aku berbicara dengan Swandaru.” Sejenak kemudian, maka Ki Ambara pun telah menemui Swandaru di pringitan. Sambil tersenyum seperti biasanya, Ki Ambara pun bertanya, “Ada apa Ngger?” “Aku mengalami kesulitan, Ki Ambara. Ayah memaksa aku untuk pergi ke Mataram. Jika aku tidak pergi, dada ayahku akan dapat pecah karenanya. Ia telah menahan kemarahan yang bergejolak di dalam dadanya.” Ki Ambara mengangguk-angguk. Katanya, “Pergilah, Ngger, tetapi tidak ke Mataram. Pergilah ke Tanah Perdikan. Ajak orang-orang Tanah Perdikan, termasuk Ki Gede dan Agung Sedayu, ke Mataram. Kalian memang harus menekan Ki Patih Mandaraka untuk menetapkan Sangkal Putung menjadi tanah perdikan. Justru sekarang adalah waktunya yang tepat, pada saat Panembahan Senapati yang serakah itu sakit keras. Jika Mataram menolak, maka kalian memang tidak mempunyai pilihan lain. Meskipun aku tidak lebih dari seorang pedagang kuda, namun aku mempunyai banyak kawan. Antara lain yang telah disakiti hatinya oleh Ki Patih Mandaraka, sehingga mereka tentu akan bersedia membantu, menghancurkan Mataram yang sedang kebingungan sekarang ini.” “Apakah Kakang Agung Sedayu akan begitu mudahnya bersedia membantuku? Ia adalah seorang yang setia kepada Panembahan Senapati.” “Kau harus menggelitik harga dirinya. Kau tantang ia berkelahi. Meskipun Agung Sedayu harus mengakui kelebihanmu, tetapi sebagai laki-laki ia akan sulit menolak. Taruhannya adalah apabila kau kalah, kau akan menarik permohonanmu itu. Tetapi jika kau menang, maka Agung Sedayu harus tunduk kepada perintahmu, meskipun ia saudara tuamu.” Wajah Swandaru menjadi tegang. Terasa darah di dalam tubuhnya bagaikan mendidih. Dengan nada tinggi ia pun berkata, “Baik, Ki Ambara. Aku akan menantang Agung Sedayu untuk berperang tanding. Ia memang harus dipaksa. Aku memang tidak mempunyai pilihan lain.” “Nah, jangan hiraukan ayahmu. Jika kau pulang sambil membawa hasil persetujuan Mataram untuk menetapkan Sangkal Putung menjadi sebuah tanah perdikan, maka Ki Demang akan menganggapmu sebagai pahlawan. Ia tidak akan merasa sakit lagi dadanya.” “Jika kami tidak berhasil menekan Mataram?” “Kau dapat mengatakan apa saja kepada ayahmu. Katakan bahwa pada saat kau akan menarik surat permohonanmu, orang-orang Mataram berusaha menangkapmu, atau apapun yang dapat membenarkan sikapmu untuk menyusun kekuatan di Sangkal Putung. Sementara kau perintahkan Agung Sedayu yang sudah kau kalahkan dalam taruhan itu, harus mempersiapkan Tanah Perdikan Menoreh. Pada saat yang sama, aku akan mempersiapkan orang-orangku untuk membantu kalian menghancurkan Mataram. Kau akan dapat merebut kekuasaan Mataram dari tangan Sutawijaya, anak Pemanahan, gembala kerbau itu.” Darah Swandaru serasa menjadi semakin menggelegak. Karena itu, maka katanya, “Baiklah Ki Ambara. Sekarang aku akan pergi ke Tanah Perdikan.” Swandaru pun kemudian telah minta diri pula kepada Wiyati, yang dengan nada berat berkata, “Hati-hatilah, Kakang. Kau sudah sampai ke puncak perjuanganmu. Jangan pernah mundur lagi meskipun hanya setapak.” “Aku akan merebut Mataram, Wiyati,” geram Swandaru. “Kakang akan menghancurkan lebih dahulu kekuatan Untara di Jati Anom. Tidak terlalu sulit. Kekuatan pengawal Sangkal Putung akan dibantu oleh beberapa perguruan yang dikenal baik oleh Kakek, akan dapat melumatkan kekuatan Untara dalam satu atau dua hari saja. Setelah itu, maka kekuatan itu akan mengalir ke barat, menyeberang Kali Opak. Kali Opak adalah salah satu garis pertahanan Mataram di sisi timur. Jika Kakang berhasil menyeberang Kali Opak, maka Mataram akan kehilangan benteng terdepannya. Kakang akan segera menyeberangi Kali Kuning, melintasi hutan Tambak Baya, dan memasuki Mataram dari arah timur, bersama-sama dengan kekuatan yang akan dihimpun oleh Kakek.” Swandaru menggeretakkan giginya. Katanya, “Akan datang saatnya aku menggenggam Mataram.” Demikianlah, maka Swandaru pun segera meninggalkan Kajoran menuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Sepeninggal Swandaru, Ki Ambara pun telah menghubungi Ki Saba Lintang. Sambil tersenyum Ki Ambara berkata, “Nampaknya kesabaran kita akan berhasil.” “Apa yang sudah dilakukan oleh Swandaru sekarang?” Ki Ambara pun kemudian menceritakan, bahwa Wiyati telah berhasil membakar jantung Swandaru, sehingga Swandaru telah pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. “Dalam waktu dekat, Swandaru akan mengangkat senjata. Permohonannya untuk menetapkan Sangkal Putung menjadi sebuah tanah perdikan tentu akan ditolak oleh Mataram. Sementara itu Swandaru sudah bertekad untuk memaksa Mataram menetapkan Sangkal Putung menjadi sebuah Tanah Perdikan, atau justru membelah Mataram sama sekali dan kemudian menguasainya.” Ki Saba Lintang tertawa berkepanjangan. Katanya, “Anak Sangkal Putung itu bermimpi untuk menguasai Mataram dan menggantikan Panembahan Senapati memerintah Tanah ini?” “Wiyati mengatakan kepadanya, bahwa Panembahan Senapati adalah anak Pemanahan. Seorang penggembala kerbau.” “Beritahukan pula kepadanya, bahwa Pajang pernah diperintah oleh seorang gembala dari Tingkir yang bernama Karebet. Bedanya, Karebet adalah menantu Sultan Demak, sedangkan Sutawijaya pernah diangkat menjadi anak Sultan Pajang itu. Sedangkan Swandaru sampai hari tuanya tetap saja anak Demang Sangkal Putung.” Ki Ambara pun tertawa pula. Katanya, “Bersiaplah Ki Saba Lintang. Mungkin dalam waktu dekat, kita harus membantu Swandaru menghancurkan pasukan Untara, sebelum merayap ke barat” “Bagaimana dengan Tanah Perdikan Menoreh?” “Swandaru akan memaksanya.” “Bagaimana ia dapat memaksa Agung Sedayu?” “Agung Sedayu akan ditantangnya berperang tanding. Jika Swandaru kalah, ia akan menarik permohonannya untuk menjadikan kademangan Sangkal Putung sebuah tanah perdikan. Tapi jika Agung Sedayu kalah, maka ia harus tunduk kepada semua perintah Swandaru.” Ki Saba Lintang terkejut. Katanya, “Apakah Ki Ambara tidak pernah mendengar bahwa Agung Sedayu mempunyai ilmu yang sangat tinggi?” “Aku pernah mendengarnya. Tetapi dari Swandaru sendiri aku mendengar, bahwa tataran kemampuan Agung Sedayu masih berada di bawah tataran kemampuan Swandaru, karena pada tataran tertentu sebelum sampai ke puncak, Agung Sedayu sudah berhenti. Pujian dan anggapan bahwa Agung Sedayu berilmu sangat tinggi, membuatnya menjadi sombong dan malas untuk menyempurnakan ilmunya. Beberapa kali Swandaru memperingatkannya. Bahkan ketika Swandaru sudah berada di puncak, kitab yang harus mereka miliki bersama, telah diserahkannya kepada Agung Sedayu, untuk mendorong agar Agung Sedayu mau menyempurnakan ilmunya. Tetapi ternyata kemajuan yang dicapai oleh Agung Sedayu itu lambat sekali.” Ki Saba Lintang termangu-mangu sejenak. Sementara Ki Ambara berkata, “Swandaru, saudara seperguruan Agung Sedayu, tentu mengenalnya lebih baik daripada kita. Sementara itu karena kedudukannya, Agung Sedayu mempunyai banyak kesempatan untuk menunjukkan kelebihannya. Sedangkan Swandaru yang berada di Sangkal Putung, hampir tidak pernah mendapat perhatian. Juga tataran ilmunya.” “Jadi Ki Ambara yakin bahwa Swandaru akan dapat memaksa Agung Sedayu tunduk kepada perintahnya?” “Aku yakin. Aku pun yakin bahwa Agung Sedayu akan bersikap sebagai seorang laki-laki. Baik menghadapi tantangan Swandaru, meskipun ia menyadari tataran kemampuannya, maupun pertanggung-jawabannya atas akibatnya.” “Tetapi Agung Sedayu hanya menguasai sekelompok prajurit dari Pasukan Khusus yang ada di Tanah Perdikan Menoreh. Seandainya Agung Sedayu berhasil menguasai mereka sehingga Pasukan Khusus itu bersedia berdiri di pihaknya, bagaimana dengan pengawal Tanah Perdikan Menoreh?” “Pandan Wangi adalah istri yang setia. Jika ayah Pandan Wangi itu tidak berpihak pada Swandaru, Swandaru dapat mengancam untuk menceraikan Pandan Wangi. Tentu Ki Gede tidak mau mengalami aib, bahwa anak perempuannya diusir oleh suaminya karena tidak setia.” Ki Saba Lintang menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya memang ada harapan untuk memanfaatkan Kademangan Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh. Kemudian pasukannya sendiri yang terhitung kuat akan bergabung dengan mereka. “Mataram akan dihimpit dari beberapa arah,” desis Ki Saba Lintang. “Ya. Mataram tidak akan dapat mengharapkan bantuan dari para Adipati yang sementara ini tunduk kepadanya. Jika Mataram pecah, maka mereka pun akan membebaskan diri mereka. Baru kemudian kita akan membicarakan mereka.” Ki Saba Lintang mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan mempersiapkan pasukan. Aku akan mengajari mereka untuk tidak menyebut-nyebut lagi perguruan Kedung Jati. Karena nama perguruan itu akan mengingatkan Tanah Perdikan Menoreh kepada pasukan yang pernah menyerang Tanah Perdikan itu.” Ki Ambara mengangguk-angguk. Katanya, “Bersama Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh, maka kita akan dapat menguasai Mataram. Agung Sedayu dan Swandaru tidak akan menjadi masalah di kemudian hari.” “Jangan menganggap mereka seperti pemimpin-pemimpin kelompok yang lain,” berkata Ki Saba Lintang, “tetapi tentu ada jalan untuk menyingkirkan mereka kelak. Jangan membuat kita menjadi pusing sekarang.” Ki Ambara tertawa. Namun dalam pada itu. yang jarang sekali nampak di Kajoran adalah seorang penjual dawet cendol. Dengan pikulannya yang khusus, penjual dawet cendol itu menyusuri jalan-jalan di Kajoran. Menawarkan dawet cendolnya dengan pemanis legen kelapa serta santan air matang. Wiyati ternyata tertarik untuk membeli dawet cendol itu. Namun ia sempat bertanya, “Agaknya baru kali ini kau berjualan di sini, Kek?” “Tidak, Mas Rara,” jawab penjual dawet itu, “aku sudah beberapa kali menyusuri jalan-jalan di Kajoran. Tetapi memang jarang. Biasanya di padukuhan Pengklik itu aku berhenti di bawah pohon beringin di mulut padukuhan. Dawetku jarang sekali tersisa. Namun agaknya hari ini rejekiku kurang baik. Sampai matahari turun, dawetku masih lebih dari separo.” “Kau tinggal di mana, Kek?” Wiyati mengerutkan dahinya. “Di Rawasana, Mas Rara.” “Rawasana?” “Ya, Rawasana. Apakah Mas Rara belum pernah pergi ke Rawasana?” Wiyati menggeleng. Sementara itu mangkuknya telah diisi dawet cendol dengan pemanis legen kelapa. Penjual dawet itu pun kemudian minta diri untuk melanjutkan menjajakan dawetnya yang masih banyak. Namun pada saat matahari turun, dua orang berkuda telah melarikan kudanya menuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Ki Jayaraga dan Empu Wisanata. Tetapi Swandaru telah sampai di Tanah Perdikan lebih dahulu. Swandaru itu pun langsung menuju ke rumah Ki Gede Menoreh, sementara itu Pandan Wangi masih berada di rumah Agung Sedayu. “Aku perlu berbicara dengan Pandan Wangi, Ayah,” berkata Swandaru. “Baiklah. Biarlah Prastawa menjemputnya.” “Ayah, aku minta biarlah Prastawa menjemput Pandan Wangi saja. Jika Kakang Agung Sedayu ada di rumah, biarlah ia tidak kemari bersama-sama Pandan Wangi. Demikian pula Sekar Mirah.” Jantung Ki Gede menjadi berdebar-debar. Meskipun demikian, dengan sareh Ki Gede itu pun bertanya, “Apakah ada yang penting dibicarakan?” “Ya, Ayah.” “Aku dengar hari ini kau pergi ke Mataram untuk mencabut surat permohonanmu itu?” “Jadi Ki Gede juga sudah mendengar rencana itu?” “Ya.” “Nanti aku akan membicarakannya dengan Pandan Wangi dan Ayah.” Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Biarlah Prastawa memanggilnya. Tetapi bukankah tidak tergesa-gesa? Biarlah Angger Swandaru minum minuman hangat dan makan beberapa potong makanan,” “Aku dapat minum dan makan sambil menunggu, Ayah.” Ki Gede menarik nafas panjang. Ia pun kemudian bangkit berdiri mencari Prastawa yang kebetulan berada di rumah itu pula. “Panggil Mbokayumu Pandan Wangi, Prastawa. Kakangmu Swandaru datang kemari.” “Kakang Swandaru nampak begitu gelisah, Paman.” “Mungkin ada sesuatu yang sangat penting yang menggelisahkannya.” “Baik, Paman. Aku pergi ke rumah Kakang Agung Sedayu.” “Tetapi Mbokayumu sendiri. Jangan ada yang ikut bersamanya. Kau mengerti maksudku?” Prastawa mengangguk-angguk. Katanya, “Nampaknya ada yang gawat.” Ki Gede mengangguk pula. Sejenak kemudian, Prastawa itu pun sudah melangkah ke rumah Agung Sedayu. Ketika ia sampai ke rumah itu. ternyata Agung Sedayu memang belum kembali dari baraknya. “Apakah Kakang Swandaru sudah dari Mataram?” bertanya Pandan Wangi. “Entahlah, Mbokayu, aku tidak tahu. Nampaknya Kakang Swandaru belum mengatakan apa-apa. Ia ingin berbicara dengan Mbokayu dan dengan Paman. Tetapi setelah Mbokayu datang.” Pandan Wangi menjadi berdebar-debar. Sekar Mirah dan Rara Wulan pun ikut pula menjadi berdebar-debar. “Aku minta diri, Sekar Mirah, Rara Wulan,” suara Pandan Wangi bergetar. “Berhati-hatilah menanggapi sikap Kakang Swandaru yang sedang bergejolak. Jika perlu, jangan kau sanggah, agar tidak terjadi salah paham. Nanti, bersama Kakang Agung Sedayu, semuanya dapat dibicarakan dengan baik,” jawab Sekar Mirah. Pandan Wangi mengangguk kecil. Sementara itu Prastawa pun telah minta diri pula. Bersama Prastawa, Pandan Wangi berjalan menyusuri jalan padukuhan induk. Dengan nada dalam Pandan Wangi pun bertanya—, “Kau bertemu sendiri dengan Kakangmu Swandaru?” “Tidak, Mbokayu. Paman-lah yang memerintahkan agar aku menjemput Mbokayu.” “Kau lihat Kakangmu?” “Ya.” “Apakah ia nampak gelisah, tenang atau bahkan gembira?” “Kakang Swandaru nampak gelisah, Mbokayu.” Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Seharusnya hari ini Kakangmu Swandaru pergi menghadap ke Mataram. Mungkin ia mengalami perlakuan yang telah menyinggung perasaannya.” “Kakang Swandaru memang mudah tersinggung, Mbokayu.” “Ya. Kakangmu memang mudah tersinggung.” Dengan jantung yang berdebar-debar Pandan Wangi memasuki regol rumahnya. Demikian ia melintasi halaman, dilihatnya Swandaru masih duduk di pringgitan bersama Ki Gede. “Sudah lama Kakang datang?” bertanya Pandan Wangi setelah ia duduk bersama dengan suami dan ayahnya. “Kenapa kau berada di rumah Kakang Agung Sedayu? Kenapa kau tidak berada di sini?” “Di sana aku mempunyai kawan berbincang. Di sana ada Sekar Mirah dan Rara Wulan. Sedangkan di sini aku sendiri.” “Bukankah ada Ayah?” “Tetapi lain. Aku dapat berbicara lebih terbuka dengan Sekar Mirah daripada dengan Ayah. Apalagi yang menyangkut persoalan-persoalan kami sebagai perempuan.” “Baiklah. Yang penting, sekarang kita akan berbicara.” “Kakang sudah pergi ke Mataram?” “Belum,” jawab Swandaru tegas. Wajah Pandan Wangi berkerut. Namun ia masih menahan diri. Sementara itu, Ki Gede pun berkata, “Sebaiknya kau beristirahat dahulu, Swandaru. Mungkin kau letih. Jika kau sempat beristirahat, maka kau akan menjadi lebih tenang, sehingga persoalan-persoalan yang akan kita bicarakan pun akan nampak menjadi lebih terang.” Swandaru menggelengkan kepalanya sambil berkata, “Sebaiknya sekarang saja, Ayah. Nanti aku tinggal beristirahat. Malam nanti aku akan bertemu dan berbicara dengan Kakang Agung Sedayu” Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Ia pun mencoba membujuk suaminya untuk beristirahat lebih dahulu. “Tidak, Pandan Wangi. Aku ingin semuanya serba cepat.” “Untuk apa Kakang tergesa-gesa? Bukankah waktunya masih panjang? Apapun yang ingin kita lakukan, kita tidak dibatasi oleh waktu.” “Tidak, Pandan Wangi. Kita harus menyelesaikan secepatnya. Aku sudah terlalu banyak kehilangan waktu. Selama ini kita memang berpikir bahwa kita tidak tergesa-gesa. Tetapi pikiran itu telah membuat persoalannya menjadi berlarut-larut tidak menentu.” Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah, jika Kakang menghendakinya.” “Aku akan berbicara langsung pada persoalannya.” Pandan Wangi tidak memotongnya. Demikian pula Ki Gede. Dibiarkannya saja Swandaru berbicara. “Aku hari ini memang tidak pergi ke Mataram.” Pandan Wangi mengerutkan dahinya. “Aku telah berubah pendirian. Kemarin aku memang berkata kepada Kakang Agung Sedayu bahwa aku akan pergi ke Mataram, untuk mencabut surat permohonanku. Tetapi niat itu aku batalkan.” “Kakang tentu punya alasan, kenapa Kakang merubah keputusan Kakang yang kemarin.” “Semisal orang menyeberangi sungai, aku sudah kepalang basah. Buat apa aku harus kembali? Biarlah sungai itu aku seberangi, berhasil atau tenggelam di tengah-tengahnya. Namun segala sesuatunya menjadi jelas.” “Maksud Kakang?” bertanya Pandan Wangi. “Aku akan pergi ke Mataram bersama Kakang Agung Sedayu dan Ayah. Ki Gede Menoreh.” “Untuk apa?” bertanya Pandan Wangi. “Aku ingin mendapat dukungan langsung dari Kakang Agung Sedayu dan Ki Gede Menoreh, di hadapan Ki Patih Mandaraka.” “Kakang…” suara Pandan Wangi pun merendah. “Ngger Swandaru,” berkata Ki Gede, “apa artinya kehadiranku di Mataram? Aku tidak mempunyai pengaruh apa-apa. Ada atau tidak ada aku, keputusan Ki Patih tidak akan berbeda.” “Tentu lain, Ayah. Aku tahu bahwa Ayah mempunyai hubungan yang baik dengan Ki Patih. Demikian pula Kakang Agung Sedayu.” “Seharusnya Kakang tidak melakukannya,” berkata Pandan Wangi. “Pandan Wangi,” berkata Swandaru dengan nada yang berat menekan, “kau adalah istriku. Adalah sepantasnya bahwa seorang istri membantu perjuangan suaminya. Sesuai atau tidak sesuai dengan pendapatnya sendiri.” “Bukan begitu, Kakang. Seorang istri tidak harus membenarkan kata-kata suaminya. Tetapi ia dapat saja memberikan pertimbangan-pertimbangan berdasarkan nuraninya.” Dahi Swandaru nampak berkerut. Dengan nada tinggi ia pun bertanya, “Jika sikap kita berbeda?” “Aku dapat menyatakan pendapatku, Kakang. Jika pedapat kita berbeda, itulah perbedaan di antara kita. Bukankah pendapat kita tidak harus selalu sama?” “Jika aku berkeras dengan pendapatku, dan kau berkeras dengan pendapatmu, apa yang akan terjadi?” “Bukankah kita dapat berbicara?” “Jika kita tahu bahwa pembicaraan kita tidak akan sampai pada satu titik pertemuan, buat apa kita membuang-buang waktu untuk berbicara?” Wajah Pandan Wangi menjadi tegang. Namun Ki Gede-lah yang kemudian berkata, “Jangan terjebak ke dalam prasangka yang tidak menguntungkan seperti itu, Ngger. Semuanya tentu dapat dicari jalan untuk mempertemukan pendapat yang berbeda.” “Belum tentu, Ayah. Kita sekarang akan menghadapi perbedaan pendapat yang sulit untuk dipertemukan. Titik temu itu hanya akan dapat terjadi jika salah satu di antaranya menyingkirkan pendapatnya.” “Nah, sebaiknya kita tidak usah berandai-andai. Sekarang, persoalan apakah yang sedang kau hadapi. Kita akan membicarakannya dengan hati yang dingin.” “Persoalannya sudah kita ketahui bersama, Ayah. Aku berniat untuk memohon kepada Mataram agar Sangkal Putung ditetapkan menjadi sebuah tanah perdikan.” Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jika kita berbeda pendapat, marilah kita lihat untung ruginya dari pendapat kita masing-masing. Berdasarkan pertimbangan nalar yang bening, kita cari titik temu yang paling baik.” “Tidak ada tawar-menawar lagi, Ayah.” “Bukan tawar-menawar. Tetapi landasan-landasan dari jalan pikiran kita masing-masing. Jika kita dapat memahami landasan jalan pikiran kita masing-masing, maka kita tentu akan menemukan jalan terbaik untuk keluar dari perbedaan pendapat itu.” “Aku sudah beberapa kali mengutarakan landasan jalan pikiranku, kenapa aku harus sampai pada satu langkah yang menentukan, untuk menjadikan Sangkal Putung sebuah tanah perdikan.” Pandan Wangi pun kemudian menyela, “Tetapi pada pelaksanaannya, kita tidak dapat sekedar berpegang pada landasan berpikir kita sendiri. Tetapi kita juga harus mencoba mengerti landasan berpikir orang-orang Mataram.” “Kita tidak perlu menduga-duga. Biarlah orang Mataram berpikir menurut landasan pikiran orang Mataram. Kemudian dengan landasan pikiran itu, mereka akan menjawab surat permohonanku.” Pandan Wangi masih akan menjawab. Tetapi ia pun kemudian teringat pesan Sekar Mirah, bahwa sebaiknya ia tidak usah menyanggah, agar tidak terjadi salah paham. Karena itu, maka Pandan Wangi pun memilih untuk diam. Sementara itu, Swandaru pun berkata selanjutnya, “Jika besok aku pergi ke Mataram, maka aku akan mohon Ayah dan Kakang Agung Sedayu untuk menyertaiku. Tidak untuk menarik surat permohonan itu, tetapi untuk menekan orang-orang Mataram agar permohonanku itu dipenuhi. Tidak perlu menunggu Panembahan Senapati itu sembuh. Jika harus dikeluarkan surat kekancingan, maka surat kekancingan itu dapat ditandatangani oleh Ki Patih Mandaraka.” “Seharusnya kau tahu kelemahan-kelemahan dari keinginanmu itu, Swandaru. Aku tidak mengerti, kenapa kau tidak mau melihatnya. Kau desak kami dalam satu pembicaraan yang tergesa-gesa, agar kau sendiri tidak sempat melihat apa yang sebenarnya dapat kau lihat.” Jantung Swandaru rasa-rasanya tersentuh oleh kata-kata Ki Gede. Tetapi ia tidak ingin sempat merenungi kata-kata itu. Karena itu, maka katanya, “Sudahlah, Ayah. Tidak ada pertimbangan apapun lagi. Besok kita pergi ke Mataram. Sementara itu, aku minta Pandan Wangi mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan buruk karena sikap orang-orang Mataram.” “Maksudmu?” “Ayah. Permohonanku itu dapat diterima dan dapat ditolak. Apa yang akan kita lakukan jika permohonan kita ditolak? Kita tidak mempunyai pilihan lain. Jika permohonan kita ditolak, maka kita akan memaksakan kehendak kita itu. Jika perlu dengan kekerasan.” “Kakang?” suara Pandan Wangi meninggi. “Kita tidak mempunyai pilihan lain, Pandan Wangi. Kau juga tidak mempunyai pilihan lain selain mendukung perjuanganku.” “Apa yang sebenarnya telah terjadi dengan kau, Kakang?” “Apa? Apa yang terjadi atas diriku? Aku mewakili satu batasan waktu bagi Kademangan Sangkal Putung. Jika aku tidak berhasil membuat Sangkal Putung menjadi sebuah tanah perdikan, maka aku akan merasa bersalah bagi anak cucu yang akan hidup di Sangkal Putung kemudian. Apa yang dapat kita tinggalkan bagi anak cucu? Apakah masa hidup kita tidak meninggalkan arti apa-apa bagi anak cucu?” “Banyak yang dapat kita tinggalkan bagi anak cucu kita, selain ketetapan bahwa Sangkal Putung menjadi sebuah tanah perdikan, Kakang,” berkata Pandan Wangi. “Kita tidak akan membicarakannya. Aku sudah menetapkan bahwa Sangkal Putung harus menjadi tanah perdikan.” Wajah Pandan Wangi terasa menjadi panas. Demikian pula telinga Ki Gede Menoreh. Sementara itu, Swandaru pun berkata selanjutnya, “Pandan Wangi, jika kita harus menekan Mataram dengan kekerasan, maka kita harus menyusun rencana dengan sebaik-baiknya. Kita tidak akan dapat begitu saja melakukannya. ” “Siapakah yang kau maksud dengan kita, Ngger?” bertanya Ki Gede, “Kau dengan Pandan Wangi, atau Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh?” “Aku dan Pandan Wangi. Juga Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh.” “Jika yang kau maksud kau dan Pandan Wangi, maka silahkan kalian membicarakannya. Tetapi jika itu menyangkut Tanah Perdikan Menoreh, maka aku adalah Kepala Tanah Perdikan ini.” “Aku tahu, Ayah. Tetapi Pandan Wangi adalah anak Kepala Tanah Perdikan Menoreh, la satu-satunya anaknya.” “Meskipun Pandan Wangi adalah satu-satunya anakku, tetapi segala keputusan yang menyangkut Tanah Perdikan Menoreh adalah wewenangku.” “Jadi apa artinya Pandan Wangi bagiku, jika ia tidak dapat mendukung perjuanganku? Apa artinya aku mempunyai seorang mertua yang menjadi Kepala Tanah Perdikan, jika ia tidak dapat mendukung satu pencapaian cita-cita yang tinggi? Bukankah lebih baik aku tidak mempunyai keluarga di Tanah Perdikan Menoreh?” Dada Ki Gede bagaikan diketuk dengan landean tombak. Tetapi sebagai orang tua ia tidak segera mengambil sikap menuruti gejolak perasaannya. Ia masih mengingat kepentingan Pandan Wangi, yang pada saat itu mengatupkan giginya rapat rapat. Ki Gede-lah yang kemudian berbicara, “Kita menunggu Angger Agung Sedayu. Mungkin Ki Lurah itu mempunyai pikiran yang lebih jernih dari kita semuanya.” “Baik,” berkata Swandaru, yang sudah benar benar menjadi seperti orang yang sedang mabuk, “aku akan menunggu Kakang Agung Sedayu. Tetapi jangan berharap bahwa pendirianku akan berubah.” “Sekarang, biarlah Angger Swandaru beristirahat saja dahulu. Mungkin Angger Swandaru akan pergi ke pakiwan. Nanti badannya akan segera menjadi segar kembali.” Dalam pada itu, Sekar Mirah dan Rara Wulan menjadi gelisah di rumah. Dipanggilnya Glagah Putih untuk menemani mereka berbincang. “Apa yang sebenarnya telah terjadi dengan Kakang Swandaru?” bertanya Sekar Mirah. Glagah Putih dengan ragu-ragu bertanya, “Apakah aku diijinkan pergi ke rumah Ki Gede?” “Jangan. Kau di sini saja. Kita menunggu Ki Jayaraga dan Empu Wisanata.” Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun kemudian berkata, “Jika kita di sini saja, kita tidak tahu perkembangan pembicaraan mereka.” “Biarlah nanti Kakangmu Agung Sedayu saja-lah yang datang ke sana. Itupun harus menunggu jika ia dipanggil. Jika tidak, maka kita tidak berhak mencampuri persoalan Kakang Swandaru dengan Mbokayu Pandan Wangi.” “Tetapi bukankah Mbokayu Sekar Mirah pernah mencampurinya?” “Tetapi dalam suatu keadaan yang khusus.” “Jika keadaan seperti itu terulang kembali?” Sekar Mirah memandang Glagah Putih dengan tajamnya. Namun kemudian iapun berdesis, “Mudah-mudahan tidak.” Glagah Putih terdiam. Baru beberapa saat kemudian, Agung Sedayu datang dari baraknya. Demikian ia melihat Sekar Mirah, Rara Wulan dan Glagah Putih menyongsongnya dengan wajah gelisah, maka Agung Sedayu itu pun berkata, “Ada apa?” “Silahkan naik dahulu, Kakang,” jawab Sekar Mirah. Glagah Putih-lah yang menerima kuda Agung Sedayu itu dan membawanya ke kandang. “Minumlah, Kakang,” Sekar Mirah pun mempersilahkan, setelah menghidangkan semangkuk minuman hangat. “Apa yang telah terjadi?” bertanya Agung Sedayu. “Kakang Swandaru telah datang di rumah Ki Gede. Ia memanggil Pandan Wangi untuk menemuinya, tetapi sendiri. Aku, Kakang dan yang lain tidak boleh pergi bersama Pandan Wangi.” “Ada apa lagi dengan Adi Swandaru itu? Apakah kedatangannya di Mataram mendapat sambutan yang sangat buruk?” “Kita akan pergi ke sana, Kakang?” “Ya.” “Tetapi kita harus menunggu dipanggil. Tanpa dipanggil kita, tidak dapat datang ke rumah Ki Gede.” “Jika perlu, apa salahnya kita pergi menemui Swandaru?” Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. “Apakah Ki Jayaraga sudah pulang?” bertanya Agung Sedayu pula. “Belum.” “Kita menunggu keterangannya. Mudah mudahan orang-orang tua itu tidak kelelahan di jalan dan tertidur di bawah pohon yang rindang.” “Ah. Tentu tidak. Mereka tahu, tugas yang mereka emban terhitung tugas yang penting.” “Baiklah. Kita menunggu keduanya, sambil menunggu dipanggil oleh Ki Gede.” Beberapa saat mereka masih berbicara. Glagah Putih yang ikut pula duduk bersama merek,a juga menunjukkan kecemasannya. Mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan Swandaru. Tetapi sikap Swandaru itu benar-benar mendebarkan. Sampai saatnya senja turun, belum ada utusan dari Ki Gede untuk memanggil Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Karena itu. maka keduanya pun menjadi semakin gelisah. Apakah Swandaru berselisih dengan Pandan Wangi sehingga sampai pada puncaknya, atau bahkan dengan Ki Gede Menoreh, atau apapun mungkin saja dapat terjadi. Dalam pada itu, ketika hari menjadi gelap, maka dua ekor kuda berderap di sepanjang jalan di muka rumah Agung Sedayu. Keduanya berhenti di depan regol. “Agaknya Ki Jayaraga dan Empu Wisanata,” desis Agung Sedayu. Glagah Putih-lah yang membuka pintu pringgitan. Sebenarnyalah yang datang adalah Ki Jayaraga dan Empu Wisanata. “Marilah, Ki Jayaraga, marilah Empu,” Glagah Putih mempersilahkan. Keduanya pun mengikat kuda mereka di patok-patok yang tersedia di sebelah pendapa. Rasa-rasanya mereka tidak sempat membawa kuda-kuda mereka ke kandang. Demikian mereka masuk, Sukra-lah yang kemudian menuntun kuda-kuda itu ke belakang, sambil bergeremang, “Orang-orang seisi rumah ini menjadi semakin malas. Biasanya mereka langsung membawa kuda-kuda ke kandang, sekarang mereka biarkan saja kuda-kuda itu di halaman. Lebih-lebih lagi Empu Wisanata. Ia meminjam kuda dan tidak mau mengembalikan ke kandang.” Namun dalam pada itu, Ki Jayaraga dan Empu Wisanata sudah duduk di ruang dalam bersama Agung Sedayu, Sekar Mirah, Glagah Putih dan Rara Wulan. “Apa yang Ki Jayaraga dan Empu Wisanata lihat?” Ki Jayaraga berpaling kepada Empu Wisanata, sementara itu Empu Wisanata pun berkata, “Silahkan Ki Jayaraga saja-lah yang menyampaikannya.” Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Agung Sedayu dan yang lain-lain menunggu dengan jantung yang berdebar-debar. “Ki Lurah,” berkata Ki Jayaraga, “apakah aku sebaiknya mengatakan apa adanya?” “Ya. Sudah tentu, Ki Jayaraga.” “Yang diduga Empu Wisanata ternyata benar,” berkata Ki Jayaraga, “yang disebut Ki Ambara itu pernah dikenalnya berada di dalam lingkungan kelompok Ki Saba Lintang. la seorang yang sangat berpengaruh dan berilmu tinggi ” “Apakah Ki Ambara itu ikut menyerang Tanah Perdikan Menoreh beberapa saat yang lalu?” Ki Jayaraga menggeleng. Katanya, “Tidak. Ki Ambara tidak ada di antara mereka yang datang menyerang Perdikan Menoreh.” “Bagaimana Empu Wisanata yakin, bahwa Ki Ambara itu termasuk salah seorang yang berada di dalam lingkungan kelompok Ki Saba Lintang?” “Aku dapat mengenalinya, Ki Lurah,” sahut Empu Wisanata, “aku berada di depan rumahnya sebagaimana dikatakan oleh Nyi Pandan Wangi. Aku melihat orang itu. Sementara Ki Jayaraga sempat masuk ke dalam halaman rumahnya.” “Bagaimana Ki Jayaraga dapat masuk?” “Ki Jayaraga telah membeli sepikul dawet cendol, sekaligus dengan pikulannya.” Yang mendengar jawaban itu sempat juga tersenyum, betapapun jantung mereka dicengkam oleh persoalan yang sedang mereka hadapi. “Ki Lurah,” berkata Ki Jayaraga, “aku minta Nyi Lurah juga tidak terkejut. Jika hal ini aku sampaikan juga, niatku semata-mata agar Ki Lurah dan Nyi Lurah mendapat gambaran yang utuh tentang Angger Swandaru.” “Katakan, Ki Jayaraga,” justru Sekar Mirah-lah yang menyahut. Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia pun kemudian berkata, “Di rumah itu terdapat seorang perempuan muda yang cantik. Agaknya perempuan itu tidak pernah dilihat oleh Nyi Pandan Wangi.” “Perempuan cantik?” ulang Sekar Mirah yang terkejut, sehingga ia beringsut setapak maju. “Ya, Nyi Lurah. Perempuan cantik itu keluar dari rumah Ki Ambara membeli dawet cendolku. Ia pun mengatakan bahwa jarang sekali ada orang berjualan dawet cendol lewat jalan itu. Aku mengambil kesimpulan, bahwa perempuan itu tinggal di rumah itu pula. Karena waktu kami yang sempit, maka kami tidak sempat mengetahui apakah perempuan itu mempunyai hubungan dengan Angger Swandaru atau tidak. Tetapi Empu Wisanata sempat melihat Angger Swandaru keluar dari regol halaman rumah itu.” Keringat dingin mengalir di punggung Sekar Mirah. Dugaan-dugaan, perhitungan dan firasat itu ternyata mengandung kebenaran. Memang ada orang lain yang mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap Swandaru. Hubungannya dengan pedagang kuda yang namanya dapat diingat oleh Empu Wisanata, telah sedikit membuka kabut yang menyelimuti sikap dan tindakan-tindakan yang diambil oleh Swandaru. Keyakinannya yang terasa rapuh, serta kebingungannya menghadapi alasan-alasan yang mendasar dalam setiap pembicaraan tentang tanah perdikan, menunjukkan bahwa gagasan itu memang bukan gagasan Swandaru sendiri. Tiba-tiba saja Sekar Mirah itu pun berkata, “Kita pergi ke rumah Ki Gede. Aku akan berbicara dengan Kakang Swandaru.” “Sabarlah, Mirah,” cegah Agung Sedayu, “darah kita tidak boleh terlalu cepat menggelegak. Kita masih belum mengetahui apa yang dikatakan oleh Adi Swandaru itu kepada Pandan Wangi. Kita harus bersabar. Mengamati persoalannya dengan hati yang terang. Jika sebelumnya hati kita sendiri sudah keruh, maka persoalannya akan menjadi semakin kusut.” Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk kecil ia pun berkata, “Ya, Kakang, rasa-rasanya hatiku seperti tersentuh api.” “Itulah yang aku cemaskan,” berkata Ki Jayaraga, “tetapi aku harus mengatakannya, jika kita ingin mendapat gambaran yang utuh, apa yang sebenarnya telah terjadi dengan Angger Swandaru.” “Bukankah kita harus menunggu seseorang datang memanggil kita?” bertanya Agung Sedayu. Sekar Mirah mengangguk-angguk. “Di rumah Ki Gede pun kita tidak boleh kehilangan penalaran kita, Mirah. Jika kehadiran seorang perempuan di rumah Ki Ambara itu didengar oleh Pandan Wangi, jantungnya akan terluka parah. Lukanya yang lama akan kambuh kembali, ditambah dengan luka barunya yang lebih dalam. Karena itu, maka kita pun harus mengingatnya. Jika tidak perlu, kita tidak akan berbicara tentang perempuan itu di hadapan Pandan Wangi.” Sekar Mirah masih mengangguk-angguk. “Nah, sekarang kita tinggal menunggu. Kapan kita dipanggil oleh Ki Gede,” berkata Agung Sedayu kemudian. Tetapi ternyata yang datang kemudian bukan Prastawa atau seorang pengawal yang bertugas di rumah Ki Gede. Yang datang kemudian justru Swandaru dan Pandan Wangi, diiringi oleh Prastawa yang nampak tegang. “Marilah, silahkan Adi Swandaru, Pandan Wangi dan Prastawa. Marilah duduk di pringgitan,” Agung Sedayu yang menyongsong mereka sampai di halaman mempersilahkan. “Terima kasih, Kakang,” sahut Swandaru. Namun nada suaranya terdengar mengambang. Sejenak kemudian, Swandaru, Pandan Wangi dan Prastawa itu sudah duduk di pringgitan, ditemui oleh Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Sedangkan yang lain masih tetap duduk di ruang dalam. “Kenapa mereka tidak dipersilahkan duduk di sini pula, Kakang?” berkata Swandaru. “Biarlah mereka di dalam bersama Ki Jayaraga, Adi,” jawab Agung Sedayu. Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya lampu minyak yang sudah menyala di atas Angin berhembus semilir. Namun punggung baju Swandaru telah menjadi basah oleh keringat, “Aku sudah bersiap-siap untuk pergi ke rumah Ki Gede jika aku dipanggil. Demikian pula Sekar Mirah yang sudah tidak sabar lagi. Ternyata malah kau yang datang kemari, Adi.” “Aku-lah yang mempunyai keperluan. Karena itu, aku-lah yang datang kemari.” “Aku merasa gelisah sejak Pandan Wangi kau panggil tadi, Kakang. Tetapi aku masih harus menunggu Kakang Agung Sedayu.” “Aku memang hanya ingin berbicara dengan Pandan Wangi lebih dahulu, Sekar Mirah. Setelah pembicaraanku dengan Pandan Wangi mendapat kesepakatan, maka aku baru akan berbicara dengan Kakang Agung Sedayu dan Sekar Mirah. ” “Nampaknya ada yang sangat penting, Adi Swandaru.” “Jangan berpura-pura tidak tahu, Kakang,” sahut Swandaru. Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Tetapi ia masih juga tersenyum sambil berdesis, “Aku tidak berpura-pura, Adi. Aku memang tidak tahu, apakah masih ada yang penting yang harus dibicarakan. Menurut dugaanku, setelah kau tadi pergi ke Mataram dan mencabut surat permohonanmu, maka tidak ada lagi masalah yang membuatmu gelisah.” “Aku tidak pergi ke Mataram.” “He? Kenapa?” “Aku mengambil keputusan lain, Kakang. Aku telah membatalkan niatku untuk menarik kembali surat permohonan itu.” Agung Sedayu menarik nafas panjang, sementara Sekar Mirah nampak menjadi gelisah sekali. Rasa-rasanya Sekar Mirah ingin membiarkan gejolak perasaannya meloncat keluar. Tetapi ia berusaha untuk tidak mendahului suaminya. “Kenapa pendirianmu berubah lagi, Adi Swandaru?” “Aku sudah kepalang basah, Kakang. Rasa-rasanya aku bukan laki-laki, jika aku datang menghadap para pemimpin di Mataram untuk menarik surat permohonan itu.” “Adi Swandaru. Kenapa kau berpikir bahwa menarik surat permohonan itu dapat dianggap bukan laki-laki?” “Aku sudah memutuskan untuk tidak menarik surat permohonanku itu.” “Adi. Kita dapat menilai ulang, apakah untung ruginya jika kau mengajukan permohonan untuk menetapkan Sangkal Putung menjadi sebuah tanah perdikan.” “Tidak, Kakang. Aku sudah memutuskan untuk tidak membicarakannya lagi. Aku datang ke Tanah Perdikan untuk mengajak Kakang Agung Sedayu dan Ki Gede untuk pergi ke Mataram. Aku minta Kakang Agung Sedayu dan Ki Gede memperkuat tuntutanku, agar Sangkal Putung dijadikan sebuah tanah p.” Sekar Mirah yang mendengar jawaban Swandaru itu beringsut sejengkal, namun Agung Sedayu dengan cepat mendahuluinya, “Adi Swandaru. Jika kau ingin mengajak aku dan Ki Gede Menoreh pergi ke Mataram, apakah kau kira kedatangan kami itu akan berpengaruh terhadap para pemimpin di Mataram?” “Tentu, Kakang. Aku tahu bahwa Kakang Agung Sedayu dan Ki Gede mempunyai pengaruh yang besar terhadap para pemimpin di Mataram.” “Seandainya kami mempunyai pengaruh yang besar, apakah kau kira para pemimpin itu berani mengambil keputusan?” “Tentu, kenapa tidak? Jangan berbicara lagi tentang Panembahan Senapati yang sakit. Yang sakit biarlah sakit. Persoalan Sangkal Putung harus berjalan terus.” “Adi Swandaru. Apakah Ki Gede sudah mengambil keputusan untuk pergi ke Mataram?” “Tergantung kepadamu, Kakang. Jika kau bersedia, maka Ki Gede pun akan bersedia.” “Tetapi bukankah kita sudah sepakat, bahwa kau akan menarik surat permohonanmu?” “Jangan melingkar-lingkar begitu, Kakang. Sudah aku katakan, aku tidak mau berbicara lagi tentang surat itu. Niatku sudah bulat. Pergi ke Mataram bersama Ki Gede dan Kakang Agung Sedayu.” Tiba-tiba saja Sekar Mirah, yang tidak tahan lagi, bertanya, “Siapakah yang mendorongmu untuk berbuat seperti itu, Kakang?” Swandaru terkejut sekali mendengar pertanyaan Sekar Mirah. Namun kemudian dengan tegas ia pun berkata, “Yang mendorongku adalah rakyat Sangkal Putung. Terutama bagi masa depan. Mereka harus mendapat tempat yang lebih baik dari sekarang.” “Apakah dengan meningkatkan Sangkal Putung menjadi sebuah tanah perdikan itu satu-satunya cara untuk memberikan peninggalan yang berarti bagi masa depan?” “Sudah, sudah. Aku tidak akan berbicara apa-apa. Besok kita pergi ke Mataram.” Sekar Mirah masih ingin menjawab. Tetapi Agung Sedayu pun mendahuluinya, “Adi Swandaru. Seandainya, sekali lagi seandainya, aku dan Ki Gede bersedia berangkat, tetapi jawaban Mataram justru tidak, apa yang akan kita lakukan?” “Itu tidak adil. Mataram harus mengakui pengabdian dan bahkan pengorbanan yang pernah kami berikan. Korban harta, benda dan jiwa.” “Apapun pendapat kita, tetapi jika Mataram tetap tidak mau? Meskipun mereka kita sebut tidak adil, tidak tahu diri dan segala macam sifat dengki, mereka tetap pada sikap mereka?” Wajah Swandaru menjadi merah. Sambil menggeretakkan giginya ia pun berkata, “Kakang. Aku sudah kepalang basah. Aku sudah menetapkan bahwa Sangkal Putung harus menjadi tanah perdikan. Jika Mataram tidak mau menetapkan Sangkal Putung menjadi tanah perdikan, maka biarlah aku sendiri yang menetapkan Sangkal Putung menjadi tanah perdikan.” “Kalau Mataram tidak mau mengakuinya?” “Aku-lah yang akan menentukan, apakah Mataram akan mengakuinya atau tidak.” “Kakang,” suara Sekar Mirah meninggi, “apa maksudmu?” “Jika Mataram menolak, aku tidak mempunyai pilihan lain. Aku akan datang ke Mataram dan memaksa para pemimpin Mataram mengakui, atau mengusir mereka, sehingga aku-lah yang berhak untuk menentukan, mengakui atau tidak mengakui.” “Kakang!” Sekar Mirah bahkan hampir berteriak, “Apakah kau berkata sebenarnya?” “Aku berkata sebenarnya, Sekar Mirah. Aku datang untuk membuat satu pembicaraan. Juga jika Mataram menolak.” “Kakang akan memberontak?” “Apa boleh buat.” “Kakang akan menyeret Ki Gede, Kakang Agung Sedayu dan Ayah, Demang Sangkal Putung?” “Ya. Aku sudah menghimpun kekuatan yang cukup. Jika Tanah Perdikan Menoreh dan Ki Lurah Agung Sedayu bersama pasukannya mendukung aku, maka Mataram tidak lebih dari sebuah ranti kecil yang tinggal memijatnya.” “Kakang, apakah Kakang masih waras?” Sekar Mirah berteriak lebih keras. Swandaru menjadi sangat tegang. Dipandanginya Sekar Mirah dengan sorot mata yang memancarkan kemarahan. Katanya, “Kau tahu siapa aku, Mirah?” “Ya. Kau anak Demang Sangkal Putung.” “Siapa yang dilahirkan lebih tua di antara kita? Dan siapakah yang dilahirkan menjadi laki-laki?” “Persoalannya bukan siapa yang lebih tua dan siapakah yang laki-laki. Tetapi siapakah yang masih waras dan siapakah yang sudah tidak waras lagi.” “Sekar Mirah!” bentak Swandaru, “Kau jangan membuat aku marah.” Sekar Mirah masih akan menjawab, tetapi Agung Sedayu telah memotongnya, “Kita masih mempunyai kesempatan untuk berbicara. Bukankah kita bukan kanak-kanak yang berebut kemiri dalam permainan jirak yang kacau?” Sekar Mirah mengatupkan giginya rapat-rapat. Tetapi ia mencoba menahan dirinya, meskipun dadanya justru terasa sakit. Sementara itu, Pandan Wangi tidak mengucapkan sepatah kata pun. Namun perempuan yang perkasa, yang selalu membawa pedang rangkap di lambung kiri dan kanannya jika ia berada di punggung kuda yang berlari kencang di bulak-bulak persawahan itu, mengusap matanya yang basah. “Adi Swandaru,” berkata Agung Sedayu kemudian. la masih tetap dapat menguasai dirinya, sehingga kata-katanya pun tidak terasa melonjak-lonjak, “marilah kita berbicara dengan baik. Apapun yang bergejolak di dalam jantung kita, tetapi kita bukan anak-anak lagi. Kita adalah orang-orang yang sudah mendekati masa surut menjelang senja. Apakah pantas jika kita berbicara dengan wajah yang merah dan dengan darah yang mendidih di dalam dada kita masing-masing?” “Kau selalu berkata begitu,” potong Swandaru, “sekarang sudah bukan waktunya lagi, Kakang. Jangan mencoba menghembuskan tembang-tembang merdu seperti seorang perempuan sedang menidurkan anaknya. Jika jantung kita bergejolak, biarlah bergejolak. Kita harus bersikap jujur terhadap diri kita sendiri. ” “Adi Swandaru. Apakah kau juga jujur terhadap dirimu sendiri? Tidak biasanya pendirianmu rapuh seperti sekarang ini. Kau adalah seorang yang berpegang pada keyakinan yang teguh. Tetapi tidak sekarang ini. Hatimu nampak begitu lemah, dan tidak berpijak pada alas pendirian yang kuat. Setiap kali pendirianmu berpaling. Berapa kali kau berubah pendirian. Itu satu pertanda, bahwa gagasan tentang tanah perdikan itu tidak datang dari dirimu sendiri.” “Jangan terlalu banyak berbicara, Kakang, suaramu membuat telingaku sakit. Kau tidak mempunyai pilihan lain kecuali mendukung permohonanku kepada para pemimpin di Mataram.” Tetapi Agung Sedayu justru tertawa. Katanya, “Kau jangan memaksa dirimu sendiri. Aku tahu, bahwa kau tidak mau mendengar pendapat orang lain, karena nuranimu sendiri sependapat dengan pendapat Ki Gede, pendapatku, pendapat Sekar Mirah, dan pendapat Pandan Wangi.” “Cukup! Cukup, Kakang Agung Sedayu! Sekarang jawab pertanyaanku. Besok kau mau pergi ke Mataram atau tidak?” Jawab Agung Sedayu menggetarkan jantung Swandaru. Biasanya Agung Sedayu tidak pernah berkata setegas itu. Namun saat itu, Agung Sedayu menjawab singkat, “Tidak. Aku tidak mau pergi ke Mataram bersamamu untuk kepentingan yang tidak masuk akal itu.” Sejenak Swandaru tercenung. Dipandanginya Agung Sedayu dengan sorot mata yang menyala. Ia tidak mempunyai pilihan lain, kecuali jalan terakhir yang harus ditempuhnya. Menantang Agung Sedayu untuk mengadu kemampuan ilmu. “Kakang Agung Sedayu,” berkata Swandaru, “kau adalah saudara tuaku. Tetapi kau tidak pantas untuk dihormati. Kau tidak mendukung perjuangan adik seperguruanmu, tetapi kau justru menghalanginya. Jika demikian, buat apa aku mempunyai saudara seperguruan kau, Kakang.” “Terserah kepadamu, Adi. Bagiku, kau adalah adik seperguruanku. Aku tidak akan pernah memutuskan hubungan itu. Meskipun kau tidak menganggap lagi aku sebagai saudara tua seperguruanmu, namun aku tidak akan dapat ingkar dari kenyataan, bahwa kita bersama-sama telah berguru kepada Kiai Gringsing, yang telah dipanggil kembali menghadap yang Maha Agung.” “Jika kau saudara tua seperguruanku, kau tentu mempunyai kelebihan dari aku.” “Tidak selalu, Adi Swandaru. Tidak selalu yang tua mempunyai kelebihan. Yang muda pun dapat saja mempunyai kelebihan.” “Kakang. Marilah kita tentukan, siapakah yang pantas menjadi saudara tua di antara kita. Jika kau menikah dengan adikku, maka setiap orang akan mengatakan bahwa kau adalah adik iparku. Tetapi karena kau mengaku bahwa kau saudara tua seperguruanku, maka aku pun menganggapmu sebagai saudara tua. Tetapi sekarang, marilah kita lihat, siapakah yang ilmunya lebih tinggi di antara kita. Yang ilmunya lebih tinggi itulah yang pantas disebut saudara tua.” “Maksudmu?” “Aku tantang kau, Kakang. Siapa yang kalah, harus tunduk kepada yang menang. Jika aku kalah, apapun yang kau perintahkan, akan aku lakukan. Tetapi jika kau yang kalah, maka kau harus tunduk Kau harus melakukan semua perintahku.” Pendapa rumah Agung Sedayu yang tidak begitu besar itu bagaikan bergetar. Agung Sedayu yang sudah menduga arah kata-kata dan sikap Swandaru, masih juga terkejut mendengar tantangan itu. Namun sebelum Agung Sedayu menjawab, tiba-tiba seorang anak muda muncul di halaman rumah itu. Sambil bertolak pinggang anak muda itu berkata, “Jangan kau tantang Kakang Agung Sedayu. Tantanglah aku, Glagah Putih. Jika aku kalah, aku akan terkapar mati di halaman ini. Tetapi jika kau kalah, maka kau akan aku ampuni.” Dengan serta-merta orang-orang yang duduk di pringgitan itu bangkit berdiri. Sementara itu, Ki Jayaraga telah berlari-lari mendekati Glagah Putih. Namun sebelum Ki Jayaraga mencapainya, Glagah Putih itu telah menghentakkan kekuatan ilmunya yang diwarisinya dari Ki Jayaraga. Kaki kanannya telah menghentak di atas tanah di halaman rumah Agung Sedayu itu. Glagah Putih telah menghentakkan segala kekuatan dan kemampuan ilmunya. Hentakan itu benar-benar-benar mengejutkan. Gejolak di dada Glagah Putih telah tertumpah tersalur menghentak bumi, sehingga rasa-rasanya bumi di seputar rumah Agung Sedayu itu pun bergetar. Ternyata Swandaru terkejut juga melihat dan merasakan betapa besarnya kekuatan anak muda itu dan betapa tinggi ilmunya. Namun Swandaru yang sangat yakin akan kemampuan diri itu pun berteriak pula, “Kau anak yang masih ingusan. Tarik kembali kata-katamu, atau aku benar-benar akan membunuhmu!” “Aku tidak akan menarik kata-kataku. Aku tantang kau, Swandaru Geni yang sombong, yang tidak tahu diri.” “Bagus! Aku akan membunuhmu malam ini. Besok aku akan menantang Kakang Agung Sedayu.” Ki Jayaraga yang sudah berdiri di samping Glagah Putih memegangi pundak anak muda itu, sambil berkata, “Kau tidak boleh berbuat seperti itu, Glagah Putih.” “Aku muak mendengar kata-katanya yang penuh dengan kesombongan, yang selalu menganggap Kakang Agung Sedayu bodoh, malas, lambat, dan apa lagi. Sekarang biarlah dibuktikan, siapakah yang bodoh, yang malas dan yang lambat itu.” “Tetapi kau tidak boleh mencampuri persoalan antara Kakangmu Agung Sedayu dan Ki Swandaru. Mereka adalah saudara seperguruan, sehingga biarlah mereka menyelesaikan persoalan mereka sendiri.” “Terakhir, aku dan Ayah Widura juga sudah diakui sebagai murid utama Kiai Gringsing. Itu berarti bahwa aku juga saudara seperguruan Kakang Agung Sedayu dan Kakang Swandaru. Karena itu pula, maka aku dapat ikut campur dalam persoalan yang timbul di antara murid-murid utama dari perguruan Orang Bercambuk.” “Jangan dicegah,” berkata Swandaru, “anak itu tidak pantas untuk tetap menjadi murid dari perguruan Orang Bercambuk. Karena itu, aku harus menyingkirkannya. Aku akan menerima tantangannya itu sekarang.” Pendapa dan halaman rumah Agung Sedayu itu menjadi tegang, Agung Sedayu pun menjadi bingung. Ia tidak dapat membiarkan Swandaru berperang tanding dengan Glagah Putih. Meskipun belum pasti, karena masih ada kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat terjadi di dalam dunia olah kanuragan, namun menurut perhitungan Agung Sedayu, sulit bagi Swandaru untuk dapat mengalahkan Glagah Putih. Sementara itu, kemudaan Glagah Putih akan sangat berbahaya bagi Swandaru, sebagaimana gejolak di dalam dada Swandaru pun akan sangat berbahaya bagi Glagah Putih. Karena itu, maka Agung Sedayu itu tidak mempunyai pilihan lain. Ia harus mencegah agar Swandaru dan Glagah Putih tidak berbenturan di dalam perang tanding. Sekar Mirah dan Pandan Wangi pun menjadi sangat cemas. Hentakan kaki Glagah Putih yang marah itu telah memberikan isyarat kepada mereka, bahwa ilmu anak muda itu cukup tinggi. Anak muda yang sering bermain-main dengan Raden Rangga, yang diakui sebagai salah satu murid utama Kiai Gringsing, dengan penempaan diri serta mesu raga tanpa ada jemu-jemunya itu, telah menyimpan kekuatan serta tenaga dalam yang sangat besar. Dengan cemas Sekar Mirah pun berkisar mendekati Agung Sedayu sambil berdesis, “Kakang, tolong, Kakang. Jangan biarkan benturan ini terjadi.” Agung Sedayu tidak sempat berpikir panjang. Ia sendiri sama sekali tidak bermimpi untuk membenturkan ilmunya dengan Swandaru. Tetapi untuk mencegah benturan ilmu antara Swandaru dan Glagah Putih, maka Agung Sedayu itu pun kemudian berkata lantang, “Adi Swandaru. Kau masih terikat dengan tantanganmu kepadaku. Aku belum menjawab tantangan itu, kau tidak boleh menerima tantangan orang lain.” Wajah Swandaru menjadi tegang. Sementara itu, Glagah Putih pun berkata lantang, “Tidak, Kakang. Aku akan mewakili Kakang dalam perang tanding ini.” “Glagah Putih,” potong Ki Jayaraga, “kau harus mendengarkan kata-katanya. Ia adalah kakak sepupumu. Ia juga gurumu. Kau pun harus mendengar kata-kataku, jika kau masih menganggap bahwa aku adalah seorang dari gurumu.” “Anak itu tidak patut menjilat ludahnya kembali. Ia sudah menantang aku. Karena itu, ia pun harus menghadapi aku dalam perang tanding!” “Adi Swandaru,” sahut Agung Sedayu, “kau pun sudah menantang aku lebih dahulu. Karena itu, kau harus menghadapi aku lebih dahulu. Glagah Putih mungkin saja dapat menyebut dirinya mewakili aku. Tetapi ia bukan Lurah Prajurit dari Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan Menoreh. Bukankah yang kau perlukan antara lain kekuatan prajurit dari Pasukan Khusus itu, di samping pengawal Tanah Perdikan ini?” “Ya.” “Karena itu, kau harus melawan aku lebih dahulu. Aku terima syaratmu. Jika aku kalah, maka aku akan tunduk kepadamu, termasuk pasukan yang berada di bawah kekuasaanku. Sementara itu, menurut katamu, jika aku bersedia membantumu, Ki Gede Menoreh pun akan bersedia pula melakukannya. Tetapi jika aku menang, maka kau-lah yang harus tunduk kepadaku.” Swandaru memandang Agung Sedayu dengan tajamnya. Matanya pun kemudian menyala. Sambil tersenyum ia pun berkata, “Bagus, bagus Kakang. Kita akan memperbandingkan ilmu kita. Yang kalah akan tunduk kepada yang menang. Aku setuju bahwa kita akan melakukannya lebih dahulu. Baru kemudian aku akan membungkam mulut anak itu, agar ia tahu dimana ia harus berdiri.” “Tidak!” Glagah Putih menyahut, “Kita akan melakukannya lebih dahulu!” “Tidak, Glagah Putih! Bukan kau.” “Aku tahu, Kakang Agung Sedayu hanya ingin mencegah agar tidak terjadi benturan kekuatan antara aku dan Kakang Swandaru.” Ki Jayaraga-lah yang kemudian menyela, “Dengarkan kata-kata kakakmu, Glagah Putih.” “Kakang tidak akan pernah menerima tantangan seperti ini. Selama ini Kakang Agung Sedayu selalu mengekang diri. Jika Kakang Agung Sedayu harus berkelahi melawan Kakang Swandaru, ia tentu akan mengalah.” “Sekarang tidak!” bentak Ki Jayaraga, “Taruhannya terlalu besar untuk mengalah, Glagah Putih.” “Sebelumnya, biarlah Kakang Swandaru menakar kemampuan dirinya untuk menghadapi kemampuan Kakang Agung Sedayu,” Glagah Putih masih berkeras. “Ternyata apa yang dikatakan oleh kakangmu Agung Sedayu benar,” desis Ki Jayaraga. “Apa, Guru?” “Kau masih terlalu muda untuk mewarisi ilmu puncak Sigar Bumi. Secara wadag kau memang mampu menampung beban yang timbul karena ilmu itu. Tetapi secara jiwani, kau memang belum masak untuk memilikinya.” “Guru,” desis Glagah Putih. “Kau tidak dapat berbuat lain kecuali mendengarkan perintah kakangmu Agung Sedayu, yang juga gurumu.” Glagah Putih terdiam. Tetapi terdengar dadanya berdentangan semakin cepat. Namun dalam pada itu, Swandaru pun berkata, “Aku akan tetap menjajagi kemampuanmu. Tetapi setelah aku selesai dengan Kakang Agung Sedayu. Meskipun dunia ini mencegahmu, tidak sepatutnya kau urungkan tantanganmu.” “Guru,” berkata Glagah Putih, “Guru dengar kata-katanya?” “Tetapi kau harus menunggu.” Glagah Putih menggeretakkan giginya. Sementara itu, Swandaru pun berkata, “Sekarang aku akan pulang ke rumah Ki Gede. Besok pagi, kita akan bertemu, Kakang. Aku menunggumu di Pancuran Watu Item. Kau boleh membawa saksi siapapun juga. Aku juga boleh membawa saksi seberapa aku inginkan.” Agung Sedayu tidak menjawab, sementara Swandaru tidak menunggu lebih lama lagi. Sambil melangkah ia pun berkata, “Marilah Pandan Wangi, kita pulang.” Pandan Wangi seakan-akan telah kehilangan pribadinya. Ia berpaling memandang Sekar Mirah dengan mata yang berkaca-kaca. Namun Pandan Wangi itu pun kemudian melangkah mengikuti suaminya. Sejenak kemudian, Swandaru dan Pandan Wangi telah hilang di balik regol halaman rumah Agung Sedayu. Sementara itu beberapa orang yang berada di pendapa dan di halaman masih juga berdiri dengan tegang. Namun kemudian Agung Sedayu pun berdesis, “Marilah, kita kembali ke ruang dalam.” Glagah Putih masih berdiri dengan tegang di halaman. Ki Jayaraga-lah yang kemudian menarik lengannya sambil berkata, “Marilah. Kita duduk di ruang dalam.” Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi kakinya melangkah naik ke pendapa, melintasi pringgitan masuk ke ruang dalam. “Aku tidak mempunyai pilihan,” desis Agung Sedayu. “Aku mengerti, Kakang.” “Mudah-mudahan segala sesuatunya dapat terkendali.” Glagah Putih menundukkan kepalanya. Ia harus berusaha untuk menahan diri. “Besok aku akan pergi ke Pancuran Watu Item. Pagi-pagi aku akan pergi ke barak. Pada saat matahari sepenggalah, aku sudah berada di rumah lagi. Kita akan bersama-sama pergi ke Pancuran Watu Item.” Tidak ada yang menjawab. Sementara itu Empu Wisanata yang masih berada di rumah itu pun bertanya, “Apakah kami besok boleh hadir?” “Maksud Empu Wisanata?” “Aku dan Dwani.” “Silahkan, Empu.” Empu Wisanata pun kemudian minta diri meninggalkan rumah Agung Sedayu itu. Sekar Mirah masih saja merasa tegang. Ia tahu apa yang akan terjadi. Meskipun demikian, kemungkinan lain pun dapat juga terjadi. Betapapun sabarnya Agung Sedayu, namun pada suatu saat Agung Sedayu pun dapat menjadi marah. Namun Sekar Mirah merasa bersyukur bahwa Swandaru tidak berbenturan langsung dengan Glagah Putih. Jika hal itu terjadi, maka ia tidak dapat membayangkan, siapakah yang akan terkapar di halaman rumah itu. Kedua-duanya tentu tidak akan mengekang diri lagi. Sementara itu, meskipun Glagah Putih masih muda, namun Sekar Mirah tahu bahwa tataran ilmunya pun sudah sangat tinggi. Demikian Swandaru dan Pandan Wangi sampai di rumah Ki Gede, maka Ki Gede pun menyongsong mereka dan mempersilahkan mereka duduk. Ki Gede menjadi semakin berdebar-debar melihat mata Pandan wangi yang berkaca-kaca. Swandaru-lah yang menceriterakan kepada Ki Gede hasil pembicaraannya dengan Agung Sedayu. “Besok kami akan bertemu di Pancuran Watu Item.” Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. “Besok aku minta Ayah pergi ke Pancuran Watu Item, untuk menjadi saksi apa yang akan terjadi, agar Kakang Agung Sedayu tidak mengingkari janjinya. ” Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kenapa kalian harus membenturkan ilmu kalian? Apakah tidak ada cara lain untuk mencari pemecahan?” “Sudah tidak ada jalan lain, Ayah. Tetapi cara ini cukup adil. Siapakah yang akan menang, ialah yang akan dipatuhi. ” Ki Gede hanya mengangguk-angguk saja. Sementara Swandaru pun berkata selanjutnya, “Sejak besok, Agung Sedayu itu bukan lagi saudara tuaku seperguruan. Ia harus mengakui kelebihanku. Tetapi akan terlambat bagi Agung Sedayu untuk menyesali kemalasannya, sehingga aku dapat melampaui kemampuannya.” Ki Gede meragukan pendapat Swandaru itu. Ia tahu bahwa Agung Sedayu berilmu sangat tinggi. Tetapi kemungkinan lain akan dapat terjadi. Beberapa saat kemudian, maka Swandaru pun berkata kepada Ki Gede, “Aku akan beristirahat, Ayah. Aku harus menjaga kemapanan tubuhku. Besok aku akan menunjukkan kepada Agung Sedayu, bahwa kemalasan dan keseganannya meningkatkan ilmunya, berakibat buruk bagi dirinya.” Ki Gede pun mengangguk sambil menjawab, “Baiklah. Beristirahatlah.” Setelah mencuci kakinya di pakiwan serta berganti pakaian, Swandaru pun membaringkan dirinya. Sambil tersenyum ia pun berkata kepada Pandan Wangi, “Pandan Wangi, kau besok akan menyaksikan, bahwa aku-lah yang pantas menjadi saudara tertua bagi murid-murid utama Kiai Gringsing. Besok pun aku akan menyatakan kuasaku sebagai saudara tua bagi Glagah Putih, yang telah berani menantangku.” “Apa yang akan kau lakukan atas anak itu, Kakang?” bertanya Pandan Wangi dengan suara bergetar. “Anak itu harus mohon maaf kepadaku. Jika ia berkeras kepala, maka aku tidak akan segan-segan menghukumnya dengan hukuman yang paling berat.” “Apakah maksud Kakang dengan hukuman yang paling berat?” “Aku tidak akan segan-segan membunuhnya.” “Kakang. Glagah Putih adalah adik sepupu Kakang Agung Sedayu. Jika kau membunuhnya, hubunganmu dengan Kakang Agung Sedayu akan dapat menjadi patah arang.” “Jangankan sepupu Agung Sedayu. Jika besok Agung Sedayu mengingkari janji, maka aku tidak akan segan-segan membunuhnya.” “Jika Kakang Agung Sedayu juga bersikap demikian?” “Tidak ada salahnya. Bagiku lebih baik tanpa Agung Sedayu, jika ia tidak mau membantuku.” Pandan Wangi terdiam. “Sekarang, aku akan tidur,” berkata Swandaru kemudian. Pandan Wangi masih saja berdiam diri. Ketika ia memandang wajah Swandaru yang telah memejamkan matanya, Pandan Wangi itu melihat seleret senyum di bibir Swandaru. Namun Pandan Wangi itu pun berdoa, agar Agung Sedayu masih tetap sebagaimana Agung Sedayu yang dikenalnya. Jika Agung Sedayu kehilangan kendali, Pandan Wangi tidak dapat membayangkan, apa yang akan terjadi dengan Swandaru. Berbeda dengan Swandaru yang segera tertidur, Agung Sedayu justru menjadi sulit untuk tidur. Bertarung untuk membuat perbandingan ilmu dengan adik seperguruannya yang akan terjadi esok pagi itu, sangat menggelisahkannya. Memang ada beberapa kemungkinan dapal terjadi. Namun Agung Sedayu tidak dapat meremehkan Swandaru, yang memang telah memiliki kemampuan ilmu cambuk sampai ke puncak. Menurut gelarnya, Agung Sedayu memang memiliki beberapa kelebihan. Tetapi dapat saja terjadi hal-hal di luar dugaan. “Tidurlah, Kakang,” desis Sekar Mirah, “Kakang perlu beristirahat. Bukankah Kakang besok harus bangun pagi-pagi, pergi ke barak lebih dahulu, baru pergi ke Pancuran Watu Item?” Agung Sedayu mengangguk. “Kakang,” desis Sekar Mirah, “aku yang memintakan maaf bagi Kakang Swandaru. Jika besok benturan ilmu itu terjadi, aku mohon Kakang masih dapat memaafkannya.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Swandaru adalah seorang yang berilmu sangat tinggi, Sekar Mirah. Ia telah mewarisi puncak kemampuan ilmu dari perguruan Orang Bercambuk. ” “Tetapi aku pun tahu, bahwa Kakang juga mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Kakang sudah lebih dahulu menguasai puncak ilmu perguruan Orang Bercambuk. Bedanya, Kakang swandaru dengan sengaja menunjukkan bahwa ia telah menguasai puncak ilmu itu. sementara Kakang justru sengaja menyamarkannya. ” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. “Tidurlah, Kakang,” berkata Sekar Mirah selanjutnya. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia pun kemudian memejamkan matanya. Agung Sedayu bangun pagi-pagi sekali. Ia pergi ke baraknya lebih pagi dari biasanya. Ia hanya memberitahukan, bahwa hari itu ia mempunyai keperluan yang penting, sehingga ia tidak dapat berada di barak seperti biasanya. “Besok?” bertanya seorang pembantunya. “Mudah-mudahan besok aku dapat datang.” “Kenapa mudah-mudahan, Ki Lurah?” bertanya pembantunya yang lain. Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Tidak apa-apa.” Sementara itu, Glagah Putih menunggu kedatangan Agung Sedayu itu dengan gelisah. Sebenarnyalah bahwa ia ingin sekali dapat bertemu langsung dengan Swandaru yang sangat sombong itu. Sudah cukup lama ia menahan diri. Setiap kali ia mendengar Swandaru menilai Agung Sedayu, darahnya serasa mendidih di dalam dadanya. Ketika matahari naik, maka Agung Sedayu sudah berada di rumahnya lagi. Bersama Sekar Mirah, Agung Sedayu pun pergi ke Pancuran Watu Item. “Kalian dapat segera menyusul. Tetapi jangan menarik perhatian, agar tidak ada orang lain yang juga pergi ke Pancuran Watu Item untuk melihat perbandingan ilmu ini. Sebenarnyalah aku merasa malu.” Berkuda Sekar Mirah dan Agung Sedayu pun pergi ke Pancuran Watu Item di lereng perbukitan. Tempat itu memang sepi. Hampir tidak ada orang yang sampai ke tempat itu. Sebuah dataran yang agak luas membentang di dekat pancuran yang disebut Pancuran Watu Item, karena air yang mengalir dari pancuran itu jatuh di atas sebuah batu hitam yang besar, yang karena sudah berpuluh tahun ditimpa air dari pancuran itu, maka batu itu pun telah menjadi berlekuk agak dalam. Ketika Agung Sedayu sampai ke tempat itu, Swandaru dan Pandan Wangi telah berada di tempat itu pula, bersama Ki Gede Menoreh, Prastawa dan dua orang pemimpin pengawal Tanah Perdikan. “Aku kira kau tidak datang, Ki Lurah,” berkata Swandaru. Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Dengan nada rendah Agung Sedayu bertanya, “Sebutan itu terdengar janggal di telingaku, Adi Swandaru.” “Aku sudah memutuskan, bahwa sejak hari ini aku tidak akan memanggilmu Kakang.” “Kenapa?” bertanya Agung Sedayu. “Kau akan memanggilku Kakang. Kau akan tunduk kepadaku, karena aku adalah orang pertama dari murid-murid utama dari perguruan Orang Bercambuk.” Agung Sedayu tidak menjawab. Sementara itu Empu Wisanata dan Nyi Dwani telah datang pula, hampir berbareng dengan Glagah Putih, Rara Wulan dan Ki Jayaraga. “Ki Lurah,” berkata Swandaru kemudian, “apakah kau sudah siap untuk memasuki arena?” “Sudah, Adi Swandaru,” jawab Agung Sedayu. Swandaru tertawa. Katanya, “Kau masih dapat memanggil aku Adi sekarang. Aku tidak berkeberatan, Ki Lurah, Tetapi sebentar lagi semuanya akan berubah.” Agung Sedayu masih saja berdiam diri. “Semua orang yang ada di sini akan menjadi saksi, siapakah di antara kami yang memiliki ilmu lebih tinggi. Seperti yang kita sepakati semalam, jika kau menang Ki Lurah, maka aku akan tunduk kepadamu. Tetapi jika aku yang menang, maka kau akan tunduk kepadaku. Kau harus ikut bersama aku dan Ki Gede ke Mataram untuk menekan para pemimpin di Mataram, agar mereka menyetujui permohonanku menjadikan Sangkal Putung sebuah tanah perdikan. Jika ternyata Mataram tidak mau juga menyetujui permohonanku, maka Mataram akan kita jepit dari dua arah. Dari timur dan dari barat. Di samping kekuatan yang ada di Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh, maka beberapa perguruan yang besar akan bergabung bersama kita.” Agung Sedayu sama sekali tidak menjawab. “Marilah, Ki Lurah. Kita mempersiapkan diri.” Agung Sedayu mengangguk. Katanya, “Aku sudah siap.” Suasana pun menjadi tegang. Agung Sedayu dan Swandaru pun melangkah ke tengah-tengah tanah yang cukup lapang di dekat Pancuran Watu Item itu. “Ki Lurah, kau akan menyesali kemalasanmu. Bahkan sampai sekarang kitab peninggalan Guru kita masih ada padamu. Tetapi kau sama sekali tidak memanfaatkannya. Setiap kali kau bertempur dengan orang-orang berilmu tinggi, maka kau mengalami luka parah. Hanya karena kebetulan saja kau selamat sampai sekarang. Tetapi kali ini, kemalasanmu itu akan membuatmu mengalami perubahan besar dalam susunan keluarga murid utama Kiai Gringsing. Jika saja Guru menyaksikan perbandingan ilmu kali ini, maka Guru akan menjadi sangat kecewa kepadamu, Ki Lurah.” “Aku tidak malas, Adi Swandaru,” jawab Agung Sedayu, “aku sudah berusaha. Tetapi bukankah kemampuan seseorang itu terbatas, sehingga betapapun aku berusaha, tetapi hasilnya seperti yang akan kita lihat sekarang ini.” Swandaru tertawa. Katanya, “Jika Ki Lurah sudah merasa, apakah perbandingan ilmu ini perlu kita lanjutkan atau tidak? Jika Ki Lurah menyatakan kesediaannya tunduk kepadaku, maka aku pun tidak berkeberatan untuk mengurungkan perbandingan ilmu ini.” “Tidak, Adi Swandaru,” berkata Agung Sedayu, “kita tidak akan mengurungkannya. Apapun yang terjadi, kita semuanya akan menjadi saksi.” Swandaru mengerutkan dahinya. Namun kemudian sambil tertawa ia pun berkata, “Baiklah, Ki Lurah. Kau sendiri-lah yang akan mempermalukan dirimu sendiri. Kau akan berlutut di hadapanku, untuk mengaku bahwa aku-lah yang tertua di antara murid utama Kiai Gringsing. Untuk selanjutnya kau akan tunduk kepada perintahku.” Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi Agung Sedayu itu pun telah bersiap sepenuhnya untuk menghadapi Swandaru. Meskipun Agung Sedayu dapat menduga seberapa tinggi kemampuan Swandaru, tetapi Agung Sedayu sama sekali tidak merendahkannya. Agung Sedayu menganggap bahwa segala kemungkinan dapat saja terjadi di arena olah kanuragan. “Ki Lurah!” Swandaru itu pun berkata lantang, “Aku akan menunjuk Ki Gede sebagai saksi utama dan pelerai dalam pertarungan ini. Kau dapat menunjuk seorang di antara para saksimu untuk mendampingi Ki Gede.” “Aku percaya kepada Ki Gede,” berkata Agung Sedayu. “Aku kira Ki Gede sendiri sudah cukup. Yang lain akan menjadi saksi, apa yang akan terjadi nanti.” “Bagus. Jika demikian, bersiaplah.” Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Ia telah ditunjuk untuk menjadi saksi utama dan pelerai dalam pertarungan itu. Dengan hati yang berat, maka Ki Gede pun melangkah maju dan berdiri lebih dekat dengan arena pertarungan antara dua orang saudara seperguruan itu. Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu dan Swandaru telah berdiri berhadapan. Beberapa langkah dari mereka berdua, Ki Gede berdiri termangu-mangu. “Ki Lurah,” berkata Swandaru, “aku akan mulai dari tataran yang terhitung rendah. Aku akan meningkatkan ilmuku tataran demi tataran sehingga akhirnya aku tahu, pada tataran manakah batas kemampuan Ki Lurah.” Swandaru telah sering menyinggung perasaan Agung Sedayu. Tetapi kata-katanya itu benar-benar telah menusuk jantungnya seperti ujung duri kemarung. “Baiklah, Adi Swandaru,” berkata Agung Sedayu, “aku tidak akan melakukan sebagaimana kau lakukan. Jika aku langsung sampai pada tataran puncak ilmu Orang Bercambuk, jangan salahkan aku.” Swandaru tertawa. Katanya, “Tentu tidak, Ki Lurah. Kau bebas melepaskan ilmumu pada tingkat yang kau kehendaki dan kau kuasai. Bahkan ilmu yang kau sadap dari siapapun. Juga yang kau warisi dari para pemimpin prajurit dari Pasukan Khusus, jika kau pernah mendapat latihan khusus pada saat kau diangkat untuk menjabat kedudukanmu yang sekarang.” “Baik, Adi Swandaru. Pada saat aku tidak dapat mengelak lagi seperti sekarang ini, maka aku akan mencoba untuk mengerahkan segenap kekuatan, kemampuan, tenaga dalam dan ilmuku untuk mempertahankan namaku, serta menghindarkan diri dari keharusanku tunduk kepada semua perintahmu.” Swandaru tertawa sambil berkata, “Keinginan, niat dan harapan saja tidak cukup, Ki Lurah. Dalam perbandingan ilmu, maka yang terpenting adalah penguasaan ilmu itu sendiri.” “Aku mengerti, Adi Swandaru.” “Bersiaplah.” Lalu Swandaru itu berkata kepada Ki Gede, “Aku akan mulai, Ki Gede.” “Baik,” desis Ki Gede, “mulailah.” Lalu katanya kepada Agung Sedayu, “Bersiaplah Ki Lurah.” Agung Sedayu pun menyahut, “Aku sudah siap, Ki Gede.” Demikianlah, maka kedua orang saudara seperguruan itu mulai bergeser. Mereka mulai mencari kesempatan untuk menyerang. Agung Sedayu yang tidak mau meremehkan lawannya itu benar-benar telah bersiap sejak awal. Diterapkannya ilmu kebalnya untuk melindungi dirinya dari kemungkinan buruk pada awal pertarungan itu. Dalam pada itu. orang-orang yang berada di Pancuran Watu Item itu menjadi tegang. Mereka akan menyaksikan pertarungan ilmu yang sangat tinggi dari dua orang saudara seperguruan. Glagah Putih telah menggeretakkan giginya. Ia menjadi tidak telaten melihat sikap Agung Sedayu. Ia ingin Agung Sedayu itu memberikan pukulan yang menentukan pada awal pertarungan, untuk menunjukkan tatarannya yang sebenarnya di mata Swandaru. Tetapi Agung Sedayu tidak melakukannya. Ia menunggu Swandaru mulai menyerang. Ia ingin melihat, di tataran yang manakah Swandaru itu akan mulai. Sejenak kemudian Swandaru mulai menyerang. Seperti yang dikatakannya, Swandaru mulai dari tataran yang terhitung rendah. Dengan semakin meningkatkan ilmunya, Swandaru akan dapat mengerti, pada tataran yang manakah puncak kemampuan Agung Sedayu itu. Ketika Swandaru itu mulai, maka Agung Sedayu benar-benar merasa tersinggung. Ia tidak pernah merasa direndahkan oleh adik seperguruannya itu sebagaimana saat itu. Swandaru mulai dari tataran awal dari ilmu perguruan Orang Bercambuk. “Kau boleh meremehkan aku,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya, “tetapi tidak serendah itu.” Karena itu. maka Agung Sedayu pun berniat untuk mengajari Swandaru untuk sedikit menghargainya. Demikianlah, maka sejenak kemudian pertarungan itu pun sudah benar-benar mulai, meskipun pada tataran mula sekali. Namun nampaknya Agung Sedayu tidak pernah berusaha untuk mengelakkan serangan-serangan Swandaru. Karena itu, maka serangan-serangan Swandaru itu pun dengan mudah dapat mengenai sasarannya. Beberapa kali serangan Swandaru mengenai Agung Sedayu, justru pada saat Swandaru baru mulai pada tataran awal dari ilmunya. Swandaru sendiri merasa heran. Betapapun rendahnya ilmu Agung Sedayu. tetapi ia tentu sudah berada di atas tataran itu. Swandaru itu pun mulai berpikir, apa yang dilakukan oleh Agung Sedayu itu. Beberapa kali tangan Swandaru sempat mengenai Agung Sedayu, justru di tempat-tempat yang berbahaya. Ketika Swandaru mengayunkan tangannya mendatar, maka tangannya itu langsung menyambar kening. Ayunan tangan Swandaru itu cukup keras membentur kening Agung Sedayu. Namun ternyata Agung Sedayu itu sama sekali tidak terguncang. Ia bahkan masih saja melangkah maju mendekati Swandaru. Dengan tangkasnya Swandaru pun menyerang Agung Sedayu dengan kakinya. Serangan yang keras itu tepat mengenai perut Agung Sedayu. Agung Sedayu itu sama sekali tidak berusaha untuk mengelak atau menangkis serangan itu. Dibiarkannya kaki Swandaru itu mengenai perutnya. Namun benturan kaki Swandaru yang mengenai perutnya itu sama sekali tidak menggoyahkannya. Bahkan ketika Agung Sedayu justru melangkah maju, maka Swandaru itu pun bergeser surut. Sambil mengangguk-angguk Swandaru pun berkata, “Aku tahu, Ki Lurah. Kau ingin menunjukkan betapa besarnya daya tahan tubuhmu, Serangan-seranganku sama sekali tidak menggoyahkanmu.” “Nampaknya kau belum benar-benar mulai, Adi Swandaru. Aku masih menunggu kapan kau akan mulai.” Swandaru mengeretakkan giginya. Katanya dengan nada geram, “Kau jangan mencoba meremehkan aku, Ki Lurah. Aku memang belum mulai.” “Bukankah aku juga mengatakan bahwa kau masih belum mulai? Nah, aku sudah siap jika kau benar-benar ingin mulai. Meskipun barangkali aku malas untuk meningkatkan ilmuku, tetapi tentu aku sudah melewati tataran awal.” Swandaru tiba-tiba saja tertawa. Katanya, “Kau tersinggung, Ki Lurah?” “Tidak. Karena ilmumu pada tataran awal ini sama sekali tidak menyakiti kulitku.” Swandaru memandang Agung Sedayu dengan tajamnya, sementara Agung Sedayu pun berkata, “Agaknya justru kau-lah yang tersinggung, Adi Swandaru.” Swandaru tidak menjawab. Namun ia pun segera mempersiapkan diri. Agung Sedayu melihat sorot mata Swandaru yang menyala itu. Iapun segera mempersiapkan dirinya pula. Swandaru tentu tidak akan sekedar bermain-main lagi. Sejenak kemudian Swandaru pun mulai menyerang. Serangannya terasa lebih mantap dan lebih cepat. Namun Agung Sedayu masih merasakan betapa Swandaru itu merendahkannya. Meskipun Swandaru sudah meningkatkan tataran ilmunya, namun Agung Sedayu masih merasa dirinya sangat diremehkan. Pada pertarungan berikutnya, Agung Sedayu tidak saja mengetrapkan ilmu kebalnya. Tetapi Agung Sedayu benar-benar ingin mengajarinya agar Swandaru tidak terlalu meremehkannya. Karena itu maka ketika Swandaru mulai menyerangnya lagi, Agung Sedayu yang mengetrapkan ilmu yang sama pada tataran yang lebih tinggi, telah mendahuluinya. Seperti angin pusaran Agung Sedayu melanda Swandaru. Swandaru terkejut. Tetapi ia terlambat. Serangan Agung Sedayu telah mengenai dadanya. Justru Swandaru-lah yang telah tergoncang. Pada saat Swandaru masih berada pada tataran yang lebih rendah. Wajah Swandaru menjadi merah membara ketika ia harus berusaha untuk mempertahankan keseimbangannya, la merasa telah direndahkan oleh Agung Sedayu sehingga pertahanannya berguncang. Karena itu, dengan lantang ia pun berkata, “Ki Lurah! Agaknya kau benar-benar tidak tahu diri! Baik. Baik. Aku tidak akan merunut sampai dimana tataran kemampuanmu. Jika kemudian serangan-seranganku menghancurkanmu, itu adalah tanggung jawabmu.” Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia benar-benar sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Sebenarnyalah Swandaru yang marah itu telah meningkatkan ilmunya pada tataran yang jauh lebih tinggi. Ia benar-benar ingin mempermalukan Agung Sedayu di hadapan para saksi yang ada di Pancuran Watu Item itu. Sejenak kemudian, maka serangan Swandaru pun sudah menjadi jauh berbeda dengan serangan-serangan sebelumnya. Serangannya itu pun menjadi jauh lebih cepat, lebih mantap, dilandasi dengan tenaga dalamnya yang sangat besar. Tetapi Agung Sedayu pun sudah siap sepenuhnya. Seberapa pun Swandaru berdiri pada tataran ilmunya, Agung Sedayu tidak akan mengecewakannya. Dengan demikian, maka pertempuran antara dua orang saudara seperguruan dari perguruan Orang Bercambuk itu pun segera meningkat menjadi semakin sengit. Mereka tidak lagi bertempur pada tataran awal ilmu mereka, tetapi mereka bertempur pada tataran yang jauh lebih tinggi. Swandaru yang agak kegemuk-gemukan itu berloncatan menyambar-nyambar. Tangannya terayun-ayun mengerikan. Hembusan angin yang tergetar oleh ayunan tangannya terhempas ke tubuh Agung Sedayu. Agung Sedayu pun bergerak dengan cepatnya. Ia sudah bertekad untuk mengajari adik seperguruannya itu agar menghormatinya. Karena itu, maka Agung Sedayu pun selain mengetrapkan ilmu kebalnya, telah mengetrapkan ilmu meringankan tubuh. Dengan demikian, Swandaru yang telah berada pada tataran yang tinggi itu pun kadang-kadang telah kehilangan lawannya yang bergerak sangat cepat. Berdasarkan atas alas ilmunya pada tataran yang semakin tinggi, serta didukung oleh tenaga dalamnya yang besar, ternyata Swandaru sulit untuk mengimbangi kecepatan gerak Agung Sedayu yang berada pada tataran yang sama, didukung oleh tenaga dalamnya yang sangat besar serta ilmunya meringankan tubuh. Jantung Swandaru mulai bergejolak. Namun Swandaru masih belum berada pada puncak ilmunya yang diwarisinya dari Kiai Gringsing itu. Dalam pada itu, orang-orang yang menyaksikan pertarungan yang semakin seru itu menjadi semakin tegang. Terutama Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Bagaimanapun juga Swandaru itu adalah suami Pandan Wangi dan kakak Sekar Mirah. Namun keduanya sadar, bahwa Swandaru benar-benar harus ditaklukkan. Sementara itu Glagah Putih pun berpendapat, bahwa Swandaru harus dipaksa untuk mengakui bahwa ia benar-benar kalah. Ia harus melihat kenyataan bahwa ilmu Agung Sedayu itu lebih tinggi dari ilmu Swandaru, sehingga kemenangan Agung Sedayu bukanlah semata-mata karena kebetulan. Dalam pada itu, pertempuran itu pun berlangsung semakin sengit. Swandaru yang menyerang Agung Sedayu dengan hentakan-hentakan yang kuat, cepat dan keras, sama sekali tidak berhasil mendesak Agung Sedayu, yang memiliki kecepatan gerak yang sangat tinggi serta daya tahan yang dibentengi dengan ilmu kebal. Bahkan sekali-sekali Agung Sedayu sengaja membiarkan serangan Swandaru mengenainya, justru karena Agung Sedayu mengetahui bahwa Swandaru masih belum sampai ke puncak ilmunya. Agung Sedayu tahu bahwa pada tataran itu, kekuatan tenaga Swandaru yang didukung oleh tenaga dalamnya masih belum mampu mengoyak ilmu kebalnya. Yang menyaksikan pertempuran itu terkejut ketika Agung Sedayu tidak mampu menangkis atau mengelakkan serangan kaki Swandaru yang mengarah ke dadanya, sehingga serangan itu benar-benar telah membentur dada Agung Sedayu. Namun Glagah Putih pun menarik nafas dalam-dalam ketika ternyata serangan itu tidak menggetarkan pertahanan Agung Sedayu. Bahkan serangan yang mengenai dada Agung Sedayu itu seakan-akan sama sekali tidak terasa. Swandarupun menggeram. Ia mulai membuat penilaian ulang terhadap kemampuan Agung Menurut perhitungannya, pada tataran itu serangannya sudah mampu mengguncang pertahanan Agung Sedayu. Bahkan Agung Sedayu akan kehilangan keseimbangannya atau terdorong beberapa langkah surut. Namun ternyata pertahanan Agung Sedayu sama sekali tidak goyah. “Darimana Agung Sedayu memiliki daya tahan yang demikian tingginya?” bertanya Swandaru di dalam hatinya. Menurut penglihatan Swandaru, setiap kali Agung Sedayu bertempur menghadapi orang berilmu tinggi, ia selalu terluka parah. Namun demikian, ternyata serangannya masih belum menggoyahkannya. Sejenak kemudian pertempuran pun menjadi semakin seru. Swandaru telah meningkatkan ilmu lebih tinggi lagi. Serangannya menjadi semakin bertenaga dan semakin cepat. Namun serangan-serangan itu masih belum mampu menundukkan Agung Sedayu. Agung Sedayu masih belum terpelanting jatuh sehingga tidak bangkit lagi. Bahkan serangan-serangannya yang tepat mengenai sasarannya, sama sekali tidak menggoyahkan pertahanannya. Bahkan kemudian ketika Swandaru menyerang Agung Sedayu dengan meloncat mendekat sambil menjulurkan tangannya mengarah ke dada, Agung Sedayu telah membentur serangan itu dengan menyilangkan kedua tangannya di dadanya. Yang terjadi adalah benturan dua kekuatan. Namun yang justru tergetar surut adalah Swandaru. “Gila,” geram Swandaru di dalam hatinya, “apakah Agung Sedayu sedang kerasukan iblis?” Sementara itu Agung Sedayu berdiri tegak, bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan. Swandaru yang tergetar surut tidak segera menyerangnya. Dipandanginya Agung Sedayu dari ujung kakinya sampai ke ujung ubun-ubunnya. Namun tiba-tiba Swandaru mendapatkan kesimpulan yang mendebarkan jantungnya. Nampak kerut di dahi Swandaru yang sedang termangu-mangu itu. Di dalam hatinya ia bertanya, “Apakah Ki Lurah Agung Sedayu itu memiliki ilmu kebal? Tetapi dari mana ia mendapatkannya?” Sementara itu Agung Sedayu masih berdiri di tempatnya. Ia sengaja memberi kesempatan kepada Swandaru untuk merenungi apa yang dihadapinya. Ternyata dugaan Swandaru bahwa Agung Sedayu memiliki ilmu kebal itu telah membuat jantung Swandaru itu bagaikan membara. Sehingga dengan demikian, maka Swandaru pun tidak lagi menahan diri dengan ilmunya. “Aku harus memecahkan ilmu kebal itu,” geram Swandaru di dalam hatinya, “jika kemudian Agung Sedayu itu akan terluka parah di bagian dalam tubuhnya, sama sekali bukan tanggung jawabku.” Swandaru tidak lagi mengingat bahwa ia memerlukan Agung Sedayu untuk diajaknya pergi ke Mataram. Yang kemudian bergetar di hatinya adalah melumpuhkan Agung Sedayu, yang ternyata memiliki kemampuan lebih tinggi dari yang diduganya. “Ilmu kebal itu tidak berarti lagi bagi puncak ilmuku,” berkata Swandaru di dalam hatinya. Sebenarnyalah Swandaru telah meningkatkan ilmunya sampai ke puncak. Agung Sedayu memang menjadi berdebar-debar melihat Swandaru itu berdiri tegak dengan kaki renggang sedikit merendah pada lututnya. Kedua tangannya perlahan-lahan terjulur lurus ke depan dengan telapak tangan terbuka mengarah kepada lawannya. Kemudian kedua telapak tangannya yang terbuka itu berputar menghadap ke atas, sementara sikunya ditariknya ke belakang. Perlahan-lahan kedua telapak tangan Swandarupun menutup, sehingga tangannya pun mengepal di samping tubuhnya sebelah-menyebelah. Agung Sedayu yang menyadari bahwa Swandaru telah sampai ke puncak ilmunya, telah melakukannya pula. Tetapi Agung Sedayu yang berdiri tegak dan sedikit merendah itu justru menyilangkan kedua tangannya di dada dengan telapak tangan terbuka. Orang-orang yang menyaksikan pertarungan itu menjadi semakin tegang. Mereka semuanya adalah orang-orang berilmu tinggi. Bahkan Rara Wulan pun tahu pasti, bahwa mereka telah sampai ke puncak ilmu mereka. Dua orang yang menyadap ilmu dari sumber yang sama telah saling berhadapan dalam puncak ilmu mereka. Keduanya adalah orang-orang yang berilmu tinggi dan memiliki pengalaman yang sangat luas. Demikianlah, sejenak kemudian Swandaru pun telah meloncat menyerang dengan garangnya. Sambaran anginnya seakan-akan telah menggetarkan udara di sekitar Pancuran Watu Item. Pepohonan telah bergoyang, dan dedaunan pun terguncang. Daun-daun yang telah menguning dan tidak mampu lagi berpegangan pada tangkainya, telah terlepas dan jatuh berhamburan. Namun Agung Sedayu telah bersiap sepenuhnya. Ketika serangan Swandaru itu datang bagaikan angin pusaran, Agung Sedayu tidak lagi membiarkan serangan-serangan itu mengenai tubuhnya. Agung Sedayu sadar, bahwa pada puncak ilmunya, maka kemampuan Swandaru akan dapat mengguncang ilmu kebalnya. Bahkan memecahkannya. Karena itu. dengan ilmu meringankan tubuhnya Agung Sedayu bergerak dengan cepat menghindari serangan Swandaru itu. Namun Swandaru tidak melepaskannya. Serangan-serangannya menjadi semakin cepat dan garang. Dikerahkannya segenap ilmu .dan tenaga dalamnya untuk mengimbangi kecepatan gerak Agung Sedayu dengan ilmu meringankan tubuhnya. Namun Swandaru harus melihat kenyataan itu. Ternyata Swandaru mulai digelitik oleh perasaan herannya, bahwa Agung Sedayu masih mampu mengimbangi ilmunya yang telah sampai ke puncak. Sementara keduanya saling menyerang dan menghindar, maka benturan-benturan ilmu pun tidak dapat dielakkan lagi. Agung Sedayu yang berusaha agar ilmu kebalnya tidak tertembus, telah meningkatkannya sampai ke puncak pula. Meskipun demikian, ketika Agung Sedayu mencoba dengan sengaja membentur serangan Swandaru, terasa bahwa ilmu kebalnya telah terguncang. Namun sementara itu Swandaru telah tergetar beberapa langkah surut. “Gila,” geram Swandaru hampir di luar sadarnya. Ia telah berada di puncak ilmunya. Namun ternyata bahwa justru dalam benturan ilmu itu, dirinya-lah yang terdorong surut. “Apa yang sebenarnya terjadi?” bertanya Swandaru di dalam hatinya. Apalagi ketika ia melihat bahwa Agung Sedayu yang berdiri tegak di tempatnya itu seakan-akan tidak merasakan akibat benturan yang terjadi itu. Sementara Swandaru merasa isi dadanya bagaikan terguncang, serta nafasnya tertahan beberapa saat. Bahkan Swandaru itu masih merasakan seakan-akan udara menjadi panas, sehingga keringatnya bagaikan terperas dari tubuhnya. Sebenarnyalah Agung Sedayu yang telah meningkatkan ilmu kebalnya itu, telah mempengaruhi udara di sekitarnya yang sekan-akan menjadi semakin panas. Getaran yang memancar dari dalam dirinya pada saat-saat ia mengerahkan ilmu kebalnya, seakan-akan telah memanasi udara di sekitarnya. “Ada apa sebenarnya di Pancuran Watu Item ini?” bertanya Swandaru di dalam hatinya. Sebenarnya, sebagai seorang yang berilmu tinggi, Swandaru tentu akan segera dapat mengenali ilmu lawannya, jika saja Swandaru tidak terlalu merendahkan Agung Sedayu. Swandaru sama sekali tidak menduga bahwa Agung Sedayu memiliki berbagai macam ilmu yang mendebarkan jantung. Namun akhirnya Swandaru itu pun menggeram di dalam hatinya. “Tentu ilmu kebal Agung Sedayu itulah yang membangunkan panas di sekitarnya itu. Dari mana anak cengeng itu mewarisi berbagai macam ilmu?” Namun dengan demikian, maka Swandaru benar-benar telah mengetrapkan segenap kemampuannya. Iapun harus mengerahkan daya tahan tubuhnya untuk mengatasi udara panas di seputar tubuh Agung Sedayu. Meskipun daya tahan Swandaru itu tidak akan mampu mengimbangi ilmu kebal Agung Sedayu, namun dengan mengerahkan daya tahan tubuhnya. Swandaru masih dapat bertahan menghadapi panasnya udara di sekitar tubuh Agung Sedayu. Serangan-serangannya masih tetap berbahaya. Namun jika terjadi benturan di antara mereka, ternyata Swandaru-lah yang tergetar, bahkan kadang-kadang terdorong surut. Beberapa kali Swandaru mengumpat. Ia tidak mengira bahwa yang akan terjadi sebagaimana yang terjadi itu. Swandaru sama sekali tidak menduga, bahwa Agung Sedayu mampu mengimbanginya meskipun ia sudah sampai pada puncak ilmunya. Namun Swandaru masih belum yakin. Dengan garangnya Swandaru itu pun menyerang Agung Sedayu. Tangan dan kakinya terayun-ayun dengan cepatnya. Menyambar-nyambar dengan cepatnya. Swandaru ingin dengan cepat menguasai Agung Sedayu. Memecahkan ilmu kebalnya dan memaksa Agung Sedayu menyerah dan mengakui kekalahannya, jika dadanya tidak pecah oleh serangannya. Tetapi Swandaru harus menghadapi kenyataan yang lain. Agung Sedayu itu ternyata menjadi seperti angin, yang bertiup dari segala arah menampar tubuhnya. Beberapa kali Agung Sedayu mampu menembus pertahanannya. Bahkan nampaknya Agung Sedayu dengan sengaja menyakiti Swandaru. Sudah lama Swandaru sama sekali tidak menaruh hormat kepadanya sebagai saudara tua seperguruannya. Karena itu, menurut pendapat Agung Sedayu, sudah tiba waktunya, bahkan Swandaru sendiri-lah yang menetapkannya, untuk memaksa Swandaru mengakui bahwa Agung Sedayu adalah murid tertua dari perguruan Orang Bercambuk. Agung Sedayu yang melengkapi ilmunya dengan ilmu meringankan tubuhnya, menjadikan serangan-serangan Agung Sedayu sulit untuk dibendung. Beberapa kali serangan Agung Sedayu mengenai tubuh Swandaru. Bahkan menggoncangkan keseimbangannya. Jantung Swandaru menjadi semakin berdebaran. Swandaru sendiri seakan-akan telah terlibat dalam pusaran angin yang kencang. Namun Swandaru yang memiliki pengalaman yang luas itu tidak membiarkan dirinya dikungkung oleh pusaran angin yang terasa semakin lama semakin panas. Dengan penglihatannya yang sangat tajam, ia melihat bayangan lawannya yang berputaran itu. Karena itu. maka dengan mengerahkan segenap tenaga, kekuatan dan kemampuan ilmunya, Swandaru meloncat membentur putaran gerak Agung Sedayu itu. Namun Agung Sedayu pun melihat pula ancang-ancang Swandaru itu, sehingga Agung Sedayu pun telah mengerahkan segenap tenaga, kekuatan dan kemampuannya. Benturan ilmu yang dahsyat pun telah terjadi. Agung Sedayu yang membentur kekuatan dan kemampuan Swandaru telah terguncang. Ia bergeser selangkah surut. Terasa dadanya memang tergetar. Ilmu puncak Swandaru benar-benar telah menggoyahkan ilmu kebalnya yang Karena itu. maka dada Agung Sedayu memang terasa menjadi sesak. Namun dalam pada itu. Swandaru telah terlempar beberapa langkah surut. Tubuhnya terpelanting dan jatuh terbanting di tanah. Ia tidak mampu mempertahankan keseimbangannya. Sehingga karena itu, maka Swandaru itu pun telah terkapar, tersuruk ke dalam tanah berdebu. Terasa tulang-tulang Swandaru menjadi bagaikan berpatahan. Dadanya serasa terhimpit oleh bukit padas. Matanya menjadi berkunang-kunang. Kenyataan itu terasa sangat pahit bagi Swandaru. Ia sama sekali tidak mau menerimanya. Karena itu, maka ia pun berusaha untuk segera meloncat bangkit. Tetapi terasa kepala Swandaru itu sangat pening. Hampir saja Swandaru itu terjatuh kembali. Namun gejolak perasaannya yang membara-lah yang membuat Swandaru itu berdiri tegak di tempatnya. Matanya menjadi bagaikan menyala, sementara darah di dalam tubuhnya telah mendidih. Di beberapa tempat kulitnya memang terkelupas. Tetapi Swandaru sama sekali tidak menghiraukannya. Bahkan tulang-tulangnya yang sakit, perutnya yang mual dan nafasnya yang terengah-engah. “Kau benar-benar tidak tahu diri, Agung Sedayu,” geram Swandara dengan suaranya yang bergetar. Agung Sedayu berdiri tegak dengan dada tengadah. Sikapnya di mata Swandaru jauh berbeda dengan sikapnya sehari-hari. Agung Sedayu sama sekali tidak nampak sebagai seorang laki-laki yang penuh kebingungan. Selalu cemas dan dibayangi oleh kelemahannya, dibandingkan dengan kebesaran namanya. Yang dilihat Swandaru pada waktu itu adalah seorang laki-laki yang perkasa. Berdiri tegak sambil menengadahkan dadanya, memandanginya dengan sorot mata yang bagaikan menyala. Terasa jantung Swandaru tergetar. Namun ketika ia melihat beberapa orang yang berdiri di sekitar arena, apalagi ketika ia melihat Ki Gede Menoreh yang memandanginya dengan kerut di dahi, maka darah Swandaru itu telah menggelegak lagi. Ia tidak mau menerima kenyataan, bahwa Agung Sedayu itu ternyata memiliki puncak kemampuan ilmu yang seimbang dengan puncak kemampuannya. Sementara itu, orang-orang yang berdiri di sekitar arena itu menjadi semakin tegang. Mereka berharap bahwa pertarungan itu dapat diakhiri. Mereka berharap bahwa Swandaru mengakui kelebihan Agung Sedayu, dan tetap menganggapnya sebagai saudara tuanya. Namun jantung merekapun terguncang. Bahkan Pandan Wangi pun terpekik kecil, ketika ia melihat Swandaru mengurai cambuknya. Cambuk, senjata andalan dari murid-murid Kiai Gringsing. “Kakang!” Pandan Wangi pun berlari ke arah suaminya. Dipeluknya Swandaru sambil berkata, “Kakang, jangan terlalu jauh. Agaknya Kakang sudah dapat mengambil kesimpulan dari perbandingan ilmu sampai di sini.” “Tidak!” jawab Swandaru sambil mendorong Pandan Wangi perlahan-lahan, “Jangan cemas Pandan Wangi. Aku akan menundukkan Ki Lurah Agung Sedayu, sehingga ia mengakui kemenanganku.” “Tetapi cambuk itu sangat berbahaya, Kakang.” “Ini adalah ciri senjata perguruan Orang Bercambuk. Tanpa senjata ini. maka tidak ada kekhususan apa-apa pada murid-murid Kiai Gringsing.” “Tetapi dengan cambuk itu,. yang tidak kita harapkan akan dapat terjadi.” “Itu adalah akibat yang wajar, Pandan Wangi. Minggirlah.” Pandan Wangi tidak dapat mencegahnya. Tiba-tiba saja Swandaru menghentakkan cambuknya. Suaranya meledak bagaikan mengguncangkan perbukitan. Namun ketika kemudian Swandaru mengulanginya, hentakan cambuk itu tidak lagi berbunyi. Namun getarannya terasa mengguncang isi dada. “Bersiaplah, Ki Lurah,” berkata Swandaru dengan suara yang bergetar, “kita tuntaskan perbandingan ilmu ini. Kita harus yakin, siapakah di antara kita yang terbaik.” Tidak seperti biasanya, sambil mengurai cambuknya pula Agung Sedayu pun menjawab, “Baik. Aku setuju, bahwa kita harus yakin siapakah yang terbaik di antara kita.” Jantung Sekar Mirah serasa berdentangan semakin cepat. Ia sadar bahwa Agung Sedayu agaknya sudah sampai ke puncak kesabarannya. Ia tidak lagi dapat menahan diri, setelah bertahun-tahun selalu direndahkan oleh Swandaru. Namun bagaimanapun juga, Swandaru adalah kakak kandungnya. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Akhirnya ia menjadi cemas juga melihat kesungguhan Agung Sedayu. Tanpa ragu-ragu Agung Sedayu itu pun telah menggenggam cambuknya. Tangan kanannya menggenggam tangkainya, sedangkan tangan kirinya memegangi ujung juntainya. Ki Gede Menoreh yang melihat kedua orang itu sudah menggenggam senjata, telah bergeser surut. Ia tidak mau menjadi korban dari benturan ilmu dari dua orang saudara seperguruan itu. “Bersiaplah, Ki Lurah,” geram Swandaru, “jaga dirimu baik-baik. Keselamatanmu adalah tanggung-jawabmu sendiri.” “Baik. Aku akan mempertanggung-jawabkan keselamatanku. Sebaliknya, jaga dirimu. Aku sudah muak dengan kesombonganmu.” Kata-kata itu bagaikan bara api yang menyentuh telinga Swandaru. Namun sebelum ia menjawab. Agung Sedayu itu pun berkata, “Kita akan membuktikan siapakah di antara kita yang lebih malas, yang tidak menghormati kitab peninggalan Guru, atau sebutan apapun. Sebenarnyalah bahwa sebelum aku menyimpan kitab Guru, aku sudah sampai pada tataran ini. Aku tidak ingin menyinggung perasaanmu jika hal itu aku katakan pada waktu itu, karena kau masih saja menganggap aku terlalu lambat. Tetapi sekarang, aku akan berkata jujur. Bahwa ilmuku sudah jauh lebih maju dari ilmumu.” Darah Swandaru bagaikan mendidih di jantungnya yang membara. Demikian marahnya, sehingga mulutnya justru sulit untuk mengatakan sesuatu. Yang dilakukan Swandaru adalah sekali lagi menghentakkan cambuknya. Agung Sedayu pun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Sejenak kemudian, Swandaru pun mulai bergeser sambil memutar cambuknya. Ketika Agung Sedayu juga bergeser setapak, maka Swandaru pun segera meloncat sambil menghentakkan cambuknya mengarah ke lambung. Namun dengan ilmu meringankan tubuhnya, kecepatan ujung cambuk Swandaru tidak mampu menyusul kecepatan gerak Agung Sedayu. Namun Swandaru benar-benar menguasai cambuknya. Juntai cambuknya itu seakan-akan telah menggeliat, terayun mendatar menyambar ke arah leher. Tetapi sekali lagi ujung cambuk itu tidak menyentuh sasaran. Sementara itu, ujung Cambuk Agung Sedayu yang menggelepar menyambar tubuh Swandaru. Namun Swandaru masih sempat meloncat surut. Ketika Agung Sedayu mengulangi serangannya, Swandaru meloncat selangkah ke samping. Namun tiba-tiba saja Swandaru itu meloncat mendekat sambil mengayunkan cambuknya. Tetapi cambuk itu sama sekali tidak menyentuh Agung Sedayu, yang dengan tangkasnya menghindar. Demikianlah, maka pertempuran antara dua orang yang berilmu tinggi itu menjadi semakin sengit. Keduanya berloncatan, mengayunkan cambuknya mendatar, menghentak sendai pancing, dan kadang-kadang menebas mengerikan. Namun semakin lama Swandaru menjadi semakin tertinggal oleh kecepatan gerak Agung Sedayu. Ujung cambuk Agung Sedayu itu rasa-rasanya menghentak semakin dekat dengan tubuhnya. Namun Swandaru yang telah sampai ke puncak ilmu dari perguruan Orang Bercambuk serta pengalaman yang sangat luas,, masih mampu untuk melindungi dirinya, sehingga serangan-serangan Agung Sedayu masih belum menyentuhnya. Namun ujung cambuk Swandaru sendiri masih juga belum mampu menyentuh tubuh Agung Sedayu. Yang menyaksikan pertarungan yang semakin sengit itu menjadi berdebar-debar. Mereka adalah orang-orang berilmu tinggi, sehingga mereka mampu membaca apakah yang sebenarnya telah terjadi di arena. Mereka mampu melihat lebih terang serta mengerti dengan jelas, apa yang tengah terjadi di arena, daripada mereka yang terlibat dalam pertempuran itu sendiri. Dalam pada itu, ketika ujung cambuk Swandaru berhasil menyentuh ujung kaki Agung Sedayu, terasa bahwa kekuatan ilmu Swandaru memang mampu menggetarkan ilmu kebal Agung Sedayu. Meskipun kulit Agung Sedayu tidak terluka, namun terasa sentuhan itu demikian pedihnya sampai ke tulang. Namun ketika kemudian ujung cambuk Agung Sedayu yang berhasil menyentuh kulit lengan Swandaru, maka bukan saja baju Swandaru yang terkoyak, tetapi kulitnya pun telah tergores pula, sehingga luka yang menyilang telah menganga. Swandaru yang kesakitan meloncat surut. Tetapi Swandaru tidak mengaduh sama sekali. Swandaru itu hanya berdesah tertahan sambil mengusap lukanya dengan telapak tangannya. Namun Swandaru itu terkejut. Telapak tangannya itu pun menjadi merah karenanya. “Iblis laknat!” geram Swandaru, “Kau telah melukai kulitku. Kau akan menyesal karenanya. Aku akan membalasnya sepuluh kali lipat!” Agung Sedayu tidak menjawab. Sementara itu Pandan Wangi telah menutup wajahnya dengan telapak tangannya. Terdengar ia memanggil, namun hanya dirinya sendiri-lah yang mendengarnya, “Kakang Swandaru. ” Namun yang menjadi cemas bukan saja Pandan Wangi. Sekar Mirah pun menjadi tegang. Kemarahannya kepada kakak kandungnya itu hampir tidak dapat dikekangnya sebelumnya. Namun ketika ia melihat lengan Swandaru terluka, maka ia pun menjadi sangat cemas. Agaknya kali ini Agung Sedayu benar-benar ingin mengajari adik seperguruannya agar menghormatinya. Namun betapapun sabarnya seseorang, mungkin sekali pada suatu saat ia kehilangan kesabarannya karena sudah sampai ke batas. Demikianlah, ujung cambuk Agung Sedayu rasa-rasanya bagaikan memburu. Ketika Swandaru mengayunkan cambuknya mendatar mengarah ke leher Agung Sedayu, dengan tangkasnya Agung Sedayu merendah. Cambuk itu terayun di atas kepala Agung Sedayu. Namun pada saat yang bersamaan, Agung Sedayu telah siap menyerang lambung Swandaru. Yang berada di luar arena pertempuran mampu melihat gerak tangan Agung Sedayu, justru pada saat Swandaru berusaha menguasai cambuknya. Sekar Mirah menutup mulutnya dengan telapak tangannya, sementara Glagah Putih mengatupkan giginya rapat-rapat. Jika Agung Sedayu benar-benar mengayunkan cambuknya dengan sepenuh tenaga, maka perut Swandaru tentu akan terkoyak. Pandan Wangi yang tidak dapat menahan gejolak perasaannya, tiba-tiba saja terpekik, “Kakang!” Agung Sedayu terkejut. Ia menyadari sepenuhnya apa yang terjadi. Ia memang tidak ingin mengoyak perut Swandaru tanpa mengekang diri. Ia hanya ingin menggores perut yang semakin gemuk itu dengan sentuhan ujung cambuknya saja. Namun pekik Pandan Wangi telah menghentikan geraknya sama sekali. Bahkan Agung Sedayu sempat berpaling ke arah Pandan Wangi yang wajahnya menjadi pucat pasi. Namun yang tidak terduga itu terjadi. Yang sekejap itu ternyata telah dipergunakan dengan baik oleh Swandaru. Pada saat Agung Sedayu berpaling, maka cambuk Swandaru pun menghentak sendal pancing. Terdengar Agung Sedayu berdesah tertahan. Ujung cambuk Swandaru-lah yang justru menggapai tubuh Agung Sedayu. Ternyata Agung Sedayu terlambat menghindar. Ujung cambuk Swandaru-lah yang telah mengenai lambung Agung Sedayu. Meskipun Agung Sedayu berlindung di balik ilmu kebalnya, namun ujung cambuk Swandaru itu telah mengoyak bajunya. Segores luka yang tipis telah benar-benar menggores kulit Agung Sedayu. Betapapun tipisnya, namun darah telah mengalir dari luka yang tipis itu. Pandan Wangi. Sekar Mirah, Rara Wulan dan Nyi Dwani hampir berbareng menjerit. Sementara itu, keberhasilan itu justru telah mendorong Swandaru untuk tidak memberi kesempatan kepada Agung Sedayu. Demikian Agung Sedayu meloncat surut, maka Swandaru pun telah memburunya. Sambil memburu Agung Sedayu, maka ujung cambuk Swandaru telah mematuk dengan garangnya. Agung Sedayu berusaha menggeliat, namun ujung cambuk itu masih juga mengenai pinggangnya. Namun ketika kemudian Swandaru melecut Agung Sedayu ke arah dadanya, maka Agung Sedayu itu melenting tinggi. Sekali berputar di udara, kemudian Agung Sedayu menyentuh tanah dengan kedua kakinya. Swandaru benar-benar tidak memberinya kesempatan. Dengan cepat ia meloncat memburunya. Tetapi dengan ilmu meringankan tubuhnya, maka Agung Sedayu yang menahan sakit di pinggangnya itu bergerak lebih cepat, sehingga ia pun berada di luar jangkauan serangan Swandaru. Ketika Swandaru siap menyerangnya, maka Agung Sedayu pun sudah siap menghadapinya. Tetapi justru karena itu, Swandaru pun tertegun sejenak. Namun kemudian ia pun berkata lantang, “Kau tidak mempunyai kesempatan lagi, Ki Lurah!” Agung Sedayu memandang Swandaru dengan kerut di dahi. Swandaru pun telah terluka pula. Sementara itu darah masih mengalir dari luka di lambung dan pinggangnya. Agung Sedayu tidak menjawab. Dipandanginya Swandaru dengan tajamnya. Sekar Mirah benar-benar menjadi cemas melihat sikap Agung Sedayu. Pandangan matanya yang tajam itu dapat menjadi sangat berbabaya bagi Swandaru. Dalam pada itu, Swandaru itu pun berkata, “Mumpung kau masih mempunyai kesempatan, kau harus segera mengambil keputusan.” Tetapi Agung Sedayu masih saja berdiam diri. Bahkan setapak demi setapak ia melangkah maju. Swandaru pun menggeram. Ia melihat darah membasahi pakaian Agung Sedayu. Tetapi ilmu kebalnya mampu memperingan luka akibat sentuhan ujung cambuk Swandaru. Agung Sedayu yang sudah terluka itu merasakan getar yang semakin keras bergejolak di dalam dadanya. Sementara itu, sambil menggeram Swandaru pun telah memutar cambuknya kembali. Sejenak kemudian, maka pertempuran telah menyala kembali. Swandaru benar-benar tidak lagi berusaha mengekang diri. Ia tidak peduli, akibat apapun yang akan terjadi pada Agung Sedayu. Ki Gede Menoreh berdiri semakin jauh dari arena. Ujung cambuk yang menyambar-nyambar itu sangat berbahaya baginya. Jika ujung salah satu dari kedua cambuk itu menyentuh kulitnya, maka kulit dan dagingnya tentu akan terkoyak sampai ke tulang. Agung Sedayu yang kecewa atas sikap Swandaru yang menyerang justru pada saat-saat perhatiannya berpaling dari arena itu, membuat kesabaran Agung Sedayu itu semakin terkikis. Dengan demikian, dialasi dengan ilmu kebalnya serta ilmu meringankan tubuhnya, Agung Sedayu kemudian bergerak dengan kecepatan yang tidak dapat diimbangi oleh Swandaru. Ketika ujung cambuk Agung Sedayu berputar semakin cepat, maka Swandaru pun menjadi semakin terdesak. Namun seberapa jauhpun Agung Sedayu kehilangan kesabarannya, ia masih tetap menyadari, bahwa ia berhadapan dengan adik seperguruannya. Karena itu, bagaimanapun juga Agung Sedayu masih dapat menguasai gejolak perasaannya. Meskipun demikian, serangan-serangan Agung Sedayu yang datang seperti prahara itu membuat Swandaru menjadi semakin sulit. Setiap kali Swandaru harus meloncat surut. Arena pertempuran itu rasa-rasanya telah dipenuhi dengan ujung cambuk Agung Sedayu yang menggelepar menggapai sasarannya. Swandaru berdesah tertahan ketika ujung cambuk Agung Sedayu telah menyentuh pundaknya. Luka yang timbul karena sentuhan cambuk itu telah mengalirkan darah. Swandaru itu pun mengumpat di dalam hati. Rasa-rasanya ruang geraknya benar-benar telah tertutup. Kemanapun ia bergerak, terasa ujung cambuk Agung Sedayu itu memburunya. Karena itu maka Swandaru telah meloncat untuk mengambil jarak. Ia harus membebaskan diri dari libatan cambuk Agung Sedayu, baru kemudian ia mulai menyerang, setelah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Ketika Swandaru berloncatan menjauhinya, Agung Sedayu sengaja tidak memburunya. Demikian Swandaru berdiri tegak beberapa langkah di hadapan tebing bukit, tidak terlalu jauh dari pancuran air yang jatuh ke atas sebuah batu hitam yang besar, maka Agung Sedayu pun berdiri tegak sambil memegangi cambuknya dengan kedua belah tangannya. Melihat sikap Agung Sedayu, Sekar Mirah terkejut. Hampir saja ia menjerit memanggil. Namun ketika ia teringat apa yang terjadi ketika Pandan Wangi berteriak, maka Sekar Mirah itu pun telah menutup mulutnya sendiri dengan telapak tangannya. Namun terasa jantungnya bergejolak dengan kerasnya. Ia tahu benar, apa yang akan dilakukan oleh Agung Sedayu dengan sikapnya itu. Agung Sedayu yang memiliki kemampuan menyerang dengan sorot dari matanya itu, tentu akan dapat melumatkan Swandaru, apabila ia benar-benar melakukannya. Sementara itu, Swandaru yang telah berhasil mengambil jarak dari Agung Sedayu itu telah bersiap uniuk segera menyerangnya. Cambuknya telah mulai bergetar di tangannya. Sekar Mirah masih menutup mulutnya dengan tangannya. Meskipun demikian, Sekar Mirah itu pun berdesis meskipun hanya didengarnya sendiri, “Ampuni Kakang Swandaru, Kakang.” Namun ketika Swandaru itu mulai bergerak, siap meloncat menyerang dengan cambuknya, tiba-tiba saja dari mata Agung Sedayu telah meluncur seleret sinar yang terbang secepat tatit. Sekar Mirah memalingkan wajahnya. Tangannya tidak saja menutup mulutnya, tetapi kedua telapak tangannya itu menutupi wajahnya. Orang-orang yang berdiri di sekitar arena itu pun diam mematung. Ketegangan yang sangat telah mencengkam jantung mereka. Bahkan nafas Glagah Putih itu pun bagaikan terhenti di kerongkongan. Namun mereka pun terkejut ketika mereka mendengar suara gemuruh. Gumpalan padas di tebing di belakang Swandaru itu pun tiba-tiba telah runtuh, hampir saja menimpa Swandaru. Sehingga Swandaru yang terkejut itu pun bergeser beberapa langkah menjauhi tebing padas yang berguguran itu. Sejenak Swandaru tercenung. Terasa dadanya bergejolak. Ia tidak tahu pasti apa yang telah terjadi. Swandaru memang melihat dari mata Agung Sedayu memancar semacam cahaya yang meluncur dengan kecepatan yang sangat tinggi di atas kepalanya. Kemudian tebing padas di belakangnya itu pun berguguran. bersambung Posted in Buku 321 - 330 ♦ Seri IV Tagged Agung Sedayu, Empu Wisanata, Glagah Putih, Ki Ambara, Ki Argapati Ki Gede Menoreh / Arya Teja, Ki Demang Sangkal Putung, Ki Jayaraga, Ki Saba Lintang, Pandan Wangi, Prastawa, Sekar Mirah, Sukra, Swandaru, Wiyati
  1. Зуտθруղиξ роτодраք θδег
    1. Узሰςիյу αрсегխпፓπι уሊեдрቴ
    2. Рсοյεдр εχоն յι жιчիсрሩζ
    3. Аշоч гοдо
  2. ቢвалոщакр р
BeliApi Di Bukit Menoreh Online terdekat di Jawa Tengah berkualitas dengan harga murah terbaru 2021 di Tokopedia! Pembayaran mudah, pengiriman cepat & bisa cicil 0%. Download Tokopedia App. Tentang Tokopedia Mitra Tokopedia Mulai

♦ 15 Juli 2010 Ketika pertempuran menjadi semakin sengit, maka lawan Swandaru itu semakin merasakan betapa kekuatan dan kemampuan orang yang terhitung agak gemuk itu semakin menekannya. Sekali-sekali Swandaru telah berhasil menembus pertahanan lawannya. Serangan-serangannya mulai menyentuh tubuh lawannya. Karena itu, maka lawan Swandaru itu telah meningkatkan ilmunya sampai batas kemampuannya yang tertinggi. Seperti Ki Wreksadana, maka saudara seperguruannya itu mampu pula mengetrapkan ilmunya sehingga perlahan-lahan tangannya pun telah membara. Meskipun masih berada di bawah tataran Ki Wreksadana namun telapak tangannya yang menjadi merah itu telah membuat Swandaru menjadi berdebar-debar. Sebenarnyalah bahwa pertempuran itu menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak telah meningkatkan kemampuan mereka. Swandaru harus berloncatan semakin cepat untuk menghindari sentuhan tangan lawannya, karena Swandaru segera dapat mengenali kekuatan ilmu yang nampak pada telapak tangan lawannya itu. Namun betapapun cepatnya Swandaru bergerak, tetapi dalam pertempuran yang sengit itu, ternyata bahwa telapak tangan lawannya itu sekali telah menyentuh lengan Swandaru. Terasa betapa panasnya bara telah membakar pakaian dan bahkan kulitnya pada lengannya itu. Karena itu, sambil menyeringai kesakitan, maka Swandaru meloncat mundur mengambil jarak. Terdengar orang itu tertawa. Katanya, “Kau tidak akan dapat lari Ki Sanak. Nasibmu memang buruk. Jika tanganku ini menyentuh dadamu, maka kau tidak akan dapat berharap untuk tetap hidup. Bukan hanya kulitmu yang terbakar, tetapi kekuatan hentakan tanganku akan merontokan isi dadamu.” Swandaru pun menggeram marah. Ia sadar, bahwa sulit baginya untuk melawan orang yang berilmu tinggi dengan telapak tangan yang membara itu. Jika sekali-sekali ia sempat menyerang, maka lawannya tidak akan mengelak. Tetapi ia akan membentur serangan itu, kemudian berusaha menyerang dengan telapak tangannya. Meskipun demikian, Swandaru masih mencoba beberapa saat. Ia telah mengerahkan tenaga dalamnya untuk mengatasi kecepatan gerak lawannya. Ternyata sekali dua kali Swandaru memang mampu menembus penahanan lawannya. Serangannya yang cepat dengan kaki terayun pada putaran tubuhnya sempat mengenai pundak lawannya, sehingga keseimbangan lawannya terguncang. Namun dengan cepat pula lawannya itu telah menggapai kaki Swandaru, meskipun kemudian orang itu harus terhuyung-huyung beberapa saat. Sekali lagi panas yang sangat telah menyengat pergelangan kakinya. Betapa sakitnya, sehingga kakinya itu telah terganggu oleh perasaan pedih dan nyeri. Dengan demikian kemarahan Swandaru tidak tertahankan lagi. Karena itu, maka Swandaru pun telah meloncat surut untuk mengambil jarak. Sekali lagi terdengar orang itu tertawa, justru berkepanjangan. Bahkan sejenak kemudian orang itu meloncat memburu Swandaru. Tetapi orang itu terkejut. Bahkan orang itu terpaksa surut selangkah. Di tangan lawannya yang masih terhitung muda itu kemudian telah tergenggam sebuah cambuk yang berjuntai panjang. “Kau juga bersenjata cambuk?“ bertanya orang itu. Swandaru tidak menjawab. Tetapi ia menghentakkan cambuknya. Tiba-tiba saja Swandaru tertarik oleh permainan Agung Sedayu. Ledakan cambuknya yang pertama itu terdengar bagaikan meledakkan seisi halaman. Lawannya mengerutkan dahinya. Tetapi kemudian iapun tertawa sambil berkata, “Buat apa kau pamerkan cambukmu itu, jika kau tidak lebih dari penari cambuk jalanan?” Swandaru tidak menjawab. Tetapi sekali lagi cambuknya menggelepar memekakkan telinga. “Cukup!” bentak orang itu, “Suara cambukmu menyakitkan telinga. Tetapi tidak berarti apa-apa.” Swandaru masih tetap berdiam diri. Namun agaknya lawannya pada ledakan-ledakan itu tidak merasakan ungkapan ilmu yang tinggi. Tetapi sejak ia mulai bertempur, maka orang itu sudah mengetahui bahwa lawannya yang agak gemuk itu mempunyai ilmu yang tinggi. Karena itu, maka orang itu pun kemudian telah menarik senjatanya pula. Sebilah pedang yang tidak terlalu panjang. Namun daun pedang itu bagaikan berkeredip disentuh cahaya lampu minyak yang lemah. Swandaru pun menyadari, bahwa pedang itu adalah pedang yang sangat baik. Namun Swandaru memang sangat yakin akan senjatanya itu. Demikianlah, sejenak kemudian lawan Swandaru itu mulai menjulurkan pedang di tangan kanannya. Namun telapak tangan kirinya yang terbuka masih juga mendebarkan jantung Swandaru, karena telapak tangan itu masih berwarna bara. Demikianlah, sejenak kemudian orang itu telah meloncat menyerang Swandaru. Pedangnya bergetar terjulur menggapai dada Swandaru. Namun dengan tangkasnya Swandaru mengelakkan serangan itu sambil menghentakkan cambuknya yang menggelepar memekakkan telinga. Tetapi ujung cambuk itu rasa-rasanya bergerak sangat lamban. Sehingga dengan satu loncatan menyamping, ujung cambuk itu tidak mampu mengejarnya. Bahkan dengan tangkasnya orang itu meloncat sambil mengayunkan pedangnya mendatar. Hampir saja menyambar dada Swandaru. Namun Swandaru cepat mengelak. Dengan tangkas ia bergeser sambil memiring tubuhnya. Namun ia tidak menduga bahwa demikian cepatnya tangan kiri lawannya terjulur dan berhasil menyentuh pundaknya. Sekali lagi Swandaru harus menyeringai menahan sakit. Karena itu, maka sekali lagi Swandaru mengambil jarak. Namun ia tidak lagi mau bermain-main. Justru setelah pakaiannya terkoyak oleh sentuhan telapak tangan lawannya yang membara itu. Tetapi lawannya tidak ingin memberinya kesempatan. Dengan cepat pula ia telah memburu Swandaru sambil mengayunkan pedangnya untuk menyambar kening. Tetapi Swandaru yang menyadari bahaya yang datang itu sudah tidak ingin bermain-main lagi. Luka-luka bakar di tubuhnya sudah cukup membuat darahnya mendidih. Bahkan ia telah menyesal, memberi kesempatan lawannya dengan permainan cambuknya. Karena itu, demikian lawannya meloncat, maka Swandaru dengan tangkasnya meloncat pula menghindar, tanpa menghiraukan pergelangan kakinya yang masih terasa nyeri. Tenaga dalamnya yang besar telah mendukungnya, sehingga Swandaru terlepas dari jangkauan serangan lawannya. Dengan perhitungan yang mapan, maka ketika lawannya berusaha memburunya, cambuk Swandaru telah menggelepar lagi. Tetapi juntai cambuknya tidak lagi melontarkan ledakan yang menyakitkan telinga. Justru suara cambuk itu tidak terdengar lagi. Lawan Swandaru itu terkejut. Dengan cepat ia menggeliat untuk mengurungkan serangannya. Tetapi ujung cambuk itu tidak lagi bergerak terlalu lamban sebagaimana sebelumnya. Demikian ia bergeser, ujung cambuk itu seakan-akan telah memburunya. Ternyata lawan Swandaru itu tidak dapat melepaskan diri sepenuhnya dari ujung cambuk Swandaru. Jika sentuhan sebelumnya hanya mampu membuat seleret garis merah kebiru-biruan di kulitnya, maka ujung cambuk yang justru tidak meledak itu benar-benar telah mengoyak kulitnya. Orang itu-lah yang kemudian meloncat mundur. Namun demikian ia berdiri tegak, maka pedangnya pun mulai bergetar lagi. Karena Swandaru tidak memburunya, maka orang itu-lah yang melangkah maju sambil mengacukan pedangnya yang berkeredipan itu. “Setan kau,“ geram orang itu, “kau telah menghina aku dengan permainan cambukmu. Kau mengira bahwa ledakan-lekadan cambukmu dapat menggetarkan jantungku, sehingga kau merasa tidak perlu bertempur pada tataran puncakmu.” Swandaru tidak menyahut. Tetapi ia sudah memutar cambuknya. Ketika ia menghentakkannya, maka hampir tidak terdengar suaranya sama sekali. Tetapi terasa getarannya menerpa dada lawannya itu. Dengan demikian, maka lawannya itu segera menyadari bahwa orang yang agak gemuk itu memang mempunyai ilmu yang tinggi. Sejenak kemudian, pertempuran pun telah berkobar lagi, ketika orang itu meloncat menyerang sambil menjulurkan pedangnya. Namun ia harus cepat menghindar ketika cambuk Swandaru bergetar menyambarnya. Lawan Swandaru itu pun kemudian harus mengerahkan segenap kekuatan, kemampuan dan daya tahannya untuk mengatasi serangan-serangan cambuk Swandaru. Pedangnya yang dibanggakannya itu ternyata tidak mampu memutuskan juntai cambuk lawannya. Bahkan juntai cambuk itu sekali-sekali telah membelit daun pedangnya. Dengan hentakan yang sangat kuat, hampir saja pedang itu justru terlepas dari tangannya. Namun orang itu pun memiliki bekal ilmu yang mapan. Sebagaimana Ki Wreksadana, orang itu adalah orang yang sangat garang. Sementara itu, seorang demi seorang lawan Agung Sedayu telah menyusut. Prastawa yang sekali-sekali terdesak oleh lawannya yang berilmu tinggi, tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa beberapa kali Agung Sedayu sempat menyelamatkannya. Sementara itu, Sekar Mirah memang agak kecewa bahwa ia tidak membawa tongkat baja putihnya. Namun demikian pula Pandan Wangi. Pisaunya yang rangkap benar-benar merupakan senjata yang sangat berbahaya bagi lawan-lawannya, meskipun tidak seberbahaya jika ia memegang sepasang pedang. Di sisi lain, Ki Argajaya yang sudah mulai lamban bukan saja karena umurnya, tetapi karena ia sudah terlalu lama tidak berlatih, masih tetap mampu membingungkan lawannya. Ujung tombaknya lelah berhasil menyentuh seorang lawannya yang tidak berhasil menghindari serangannya. Meskipun luka itu tidak menghentikan perlawanannya, tetapi tenaganya semakin lama telah menjadi semakin menyusut, karena darahnya yang justru semakin banyak mengalir karena orang itu masih saja terlalu banyak bergerak. Tetapi Agung Sedayu telah menghentikan perlawanan lawan-lawannya seorang demi seorang. Orang-orang yang merasa berilmu tinggi itu ternyata sulit untuk melawan ledakan cambuk Agung Sedayu, meskipun Agung Sedayu belum mengerahkan kemampuannya sampai ke puncak. Apalagi di samping Agung Sedayu, terdapat orang-orang yang berilmu tinggi pula, meskipun sebagian dari mereka adalah perempuan. Dalam pada itu, ketika jumlah lawannya sudah jauh menyusut, maka tiba-tiba saja Sekar Mirah teringat kepada Rara Wulan. Karena itu, maka Sekar Mirah itu pun berkata, “Aku akan melihat Rara yang ada di dalam rumah.” “Pergilah,“ jawab Agung Sedayu. Sekar Mirah tidak menunggu lebih lama. Iapun segera berlari ke pendapa. Di sebelah pendapa itu ia masih melihat Ki Suracala bertempur melawan saudara sepupunya, Ki Suratapa. Dalam sekilas Sekar Mirah menyaksikan bahwa kemampuan Ki Suracala ternyata tidak berada di bawah kemampuan Ki Suratapa. Tetapi Sekar Mirah tidak dapat terlalu lama memperhatikan pertempuran itu. Karena menurut perhitungannya Ki Suracala masih akan dapat bertahan lebih lama lagi, atau bahkan mampu mengatasi saudara sepupunya, maka Sekar Mirah pun segera berlari ke ruang dalam. Namun ternyata pertempuran telah terjadi di longkangan. Berlari-lari Sekar Mirah memasuki serambi samping dan langsung keluar dan turun di longkangan. Sekar Mirah termangu-mangu sejenak. Ia melihat Rara Wulan harus mengerahkan tenaga dan kemampuannya bertempur melawan Ki Suradipa. Sebenarnya menurut penilaian Sekar Mirah, Rara Wulan mampu mengimbangi ilmu Ki Suradipa. Namun nampaknya Rara Wulan sudah menjadi terlalu letih. Sebelumnya ia sudah mengerahkan segenap kemampuannya melawan tiga orang sekaligus. Kemudian ia harus menghadapi Ki Suradipa yang garang. Bahkan Sekar Mirah itu melihat, Wiradadi justru mulai berusaha untuk bangkit. Ketika ia mengetahui pamannya ada di longkangan itu pula dan bahkan sedang bertempur melawan perempuan yang menurut pendapatnya berilmu iblis itu, keberaniannya mulai tumbuh lagi. Keberaniannya telah mendorongnya untuk mengerahkan sisa tenaganya. Tetapi Wiradadi tidak sempat bangkit berdiri. Demikian ia berusaha berdiri, maka pundaknya telah ditekan oleh kekuatan yang sangat besar, namun terasa sentuhannya adalah sentuhan jari-jari yang lentik. Ketika Wiradadi berpaling, maka dilihatnya di sisinya berdiri seorang di antara tiga orang perempuan yang ikut datang sebagai utusan Ki Argajaya. “Duduklah,” berkata Sekar Mirah, “kau perlu beristirahat. Keadaanmu agaknya menjadi sangat buruk.” Wiradadi tidak menjawab. Tetapi ia tidak berani berbuat sesuatu. Ia sadar bahwa perempuan itu tentu juga berilmu iblis seperti perempuan muda yang sedang bertempur itu. Apalagi menilik pakaian perempuan itu mirip dengan pakaian perempuan muda yang sedang bertempur melawan pamannya itu. Untuk beberapa saat Sekar Mirah tidak beranjak dari tempatnya. Ia masih ingin melihat tataran kemampuan Rara Wulan jika ia benar-benar di medan. Namun Rara Wulan memang memiliki dasar ilmu yang cukup. Sekali-sekali ia justru membuat lawannya harus berloncatan surut. Tetapi Rara Wulan nampaknya memang sudah mulai letih. Dengan demikian, Ki Suradipa berusaha untuk memanfaatkan kesempatan itu. Ia berusaha untuk memaksa Rara Wulan bergerak terlalu banyak. Serangan-serangannya datang beruntun dengan langkah-langkah panjang. Demikian pula jika Ki Suradipa itu harus menghindari serangan-serangan Rara Wulan. Ternyata Rara Wulan yang belum memiliki pengalaman yang cukup itu telah terpancing. Rara Wulan justru berusaha untuk selalu memburu lawannya. Namun kemudian menghindari serangan-serangan panjang lawannya dengan loncatan-loncatan panjang pula. Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia masih membiarkan Rara Wulan bertempur terus. Namun Rara Wulan yang melihat kedatangan Sekar Mirah, tenaganya yang menyusut itu seakan-akan telah mekar kembali. Apalagi karena lawannya menjadi gelisah karenanya. Meskipun demikian, namun Ki Suradipa masih tetap berusaha untuk mengalahkan Rara Wulan, dan jika kemudian perempuan yang baru datang itu melibatkan diri, maka iapun harus dilumpuhkannya pula, agar selanjutnya ia dapat membawa Kanthi ke pendapa. Namun dalam pada itu, ketika Ki Suradipa itu berusaha untuk menghentakkan ilmunya sampai ke tataran tinggi sehingga Rara Wulan justru mulai terdesak, maka Sekar Mirah pun berkata, “Ki Sanak. Semua yang kau lakukan akan sia-sia. Kawan-kawanmu dan bahkan Ki Wreksadana dan pengawal-pengawalnya akan dihancurkan. Apakah aku masih akan bertempur terus?” Ki Suradipa memang menjadi berdebar-debar. Tetapi ia masih menjawab ketika ia mendapat kesempatan, “Omong kosong. Kawan-kawanmu akan mati terbunuh di halaman ini. Juga perempuan ini dan kau sendiri.” “Jika aku berbohong, maka aku tidak akan berada di sini,” berkata Sekar Mirah, “aku sudah kehabisan lawan di halaman depan.” “Jika kau akan bertempur bersama-sama, lakukanlah. Aku sudah mengira bahwa kelicikan kalian tidak seimbang dengan kesombongan kalian. Meskipun kalian perempuan, namun dengan sombong kalian sudah berani turun ke medan pertempuran. Namun dalam kesulitan kalian hanya dapat bertempur bersama-sama dan bahkan berkelompok.” Sekar Mirah tertawa. Ia melihat Rara Wulan menyerang lawannya. Masih dengan loncatan-loncatan panjang, sehingga nafas Rara Wulan mengalir semakin deras. “Cara yang tidak menarik untuk membuat perisai,” berkata Sekar Mirah, “dengan menyinggung harga diri kami, maka kalian berusaha untuk mencegah aku memasuki arena pertempuran.” Ki Suradipa tidak segera menjawab karena Rara Wulan tengah meloncat menyerangnya. Bahkan Ki Suradipa itu meloncat untuk menghindari serangan itu, sekaligus memancing Rara Wulan untuk bergerak lebih banyak. Rara Wulan memang masih saja terpancing. Namun kehadiran Sekar Mirah benar-benar mempengaruhi daya tahannya. Karena itu, maka rasa-rasanya tenaga Rara Wulan justru menjadi semakin segar. Sekar Mirah masih membiarkan Rara Wulan bertempur sendiri. Gadis itu memang memerlukan pengalaman. Selagi keadaannya tidak sangat berbahaya baginya. Selendang Rara Wulan masih berputaran. Sementara itu pedang Ki Suradipa bergetar di tangannya yang terjulur. Dengan tangkasnya Ki Suradipa kemudian meloncat menyerang. Pedangnya terayun mendatar menyambar ke arah dada lawannya. Tetapi dengan tangkas pula Rara Wulan menghindar. Selendangnya dengan cepat menyambar. Tetapi Suradipa sempat meloncat mengambil jarak. Sekar Mirah menarik nafas panjang. Ia menganggap bahwa kemampuan Rara Wulan cukup memadai dibandingkan dengan waktu yang dijalani selama menempa diri. Bahkan Sekar Mirah sendiri sekali-kali mengerutkan dahinya. Ia sempat melihat bagaimana gadis itu dengan cerdik mengetrapkan unsur-unsur gerak yang sudah dikembangkannya. Namun sebenarnyalah bahwa Rara Wulan telah menjadi letih. Tenaganya mulai menyusut kembali, meskipun saat kedatangan Sekar Mirah tenaga itu nampak menjadi segar. Ki Suradipa yang memiliki pengalaman jauh lebih banyak dari Rara Wulan telah memaksa gadis itu untuk lebih banyak mengerahkan tenaganya. Serangan-serangannya menjadi semakin cepat. Pedangnya berputar menggapai-gapai. Namun kemudian menebas dan menyambar-nyambar. Rara Wulan masih berusaha untuk menggetarkan pertahanan lawannya dengan putaran selendangnya. Sekali-sekali Suradipa memang terkejut. Ujung selendang itu nyaris menyambar wajahnya. Namun Rara Wulan harus berloncatan memburu Ki Suradipa yang menghindar dengan loncatan-loncatan panjang. Rara Wulan yang menjadi semakin letih itu harus mengerahkan sisa-sisa tenaganya. Namun justru karena itu, maka serangan-serangan lawannya menjadi semakin berbahaya baginya. Agaknya hal itu disadari sepenuhnya oleh Ki Suradipa. Karena itu, maka iapun telah bertempur semakin garang. Sekar Mirah yang semula menyaksikan pertempuran itu dengan tegang, kemudian justru tertawa. Sambil melangkah mendekati arena ia berkata, “Ki Suradipa memang cerdik. Ia tidak mempunyai kelebihan apa-apa darimu Rara, selain pengalaman dan kelicikan. Ia tahu bahwa kau sudah menjadi lelah sebelumnya, karena agaknya kau sudah bertempur melawan ketiga orang yang sudah tidak berdaya itu. Kemudian ia memanfaatkannya untuk menundukkanmu.” Rara Wulan mendengar kata-kata Sekar Mirah itu sebagaimana Ki Suradipa. Gadis itu memang tidak dapat ingkar, bahwa ia memang sudah menjadi letih. Tenaganya sudah menyusut dan nafasnya mengalir semakin cepat. Keringatnya sudah membasahi seluruh tubuh dan pakaiannya. Sementara itu Ki Suradipa itu pun menggeram, “Setan kau. Kau tidak usah banyak bicara. Jika kau akan ikut campur, lakukanlah. Aku tidak takut menghadapi kalian berdua.” “Jika saja Rara Wulan sejak pertama turun di pertempuran langsung harus melawanmu, maka kau tidak akan dapat bertahan terlalu lama Ki Suradipa,” berkata Sekar Mirah, “tetapi pengalamanmu dan kelicikanmu telah kau pergunakan untuk memeras tenaganya. Loncatan-loncatan panjang dan bahkan caramu menghindari serangan Rara Wulan dengan berlari-lari kecil telah membuat Rara Wulan menjadi semakin letih.” “Itu adalah karena kebodohannya!“ teriak Suradipa, “Itu sama sekali bukan kelicikan!” “Ya. Justru karena Rara Wulan kurang pengalaman,“ jawab Sekar Mirah. “Aku tidak peduli. Apakah dalam setiap pertempuran aku harus bertanya, apakah lawanku sudah berpengalaman atau belum? Jika perempuan itu sudah berani turun ke medan, maka segala akibat kebodohannya harus ditanggungnya.” “Baik. Baik. Kau benar,” berkata Sekar Mirah yang melangkah semakin dekat. Lalu katanya kepada Rara Wulan, “Beristirahatlah. Atur pernafasanmu dengan baik. Nanti kau akan meneruskan pertempuran ini.” Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Sementara itu Sekar Mirah berkata kepada Ki Suradipa, “Beri kesempatan anak itu beristirahat. Ia belum kalah. Tetapi ia akan kehabisan tenaga.” “Jangan banyak berbicara. Jika kau mau membantunya, lakukanlah. Tetapi hanya orang-orang gila yang memberi kesempatan lawannya beristirahat. Kecuali jika ia tidak menghalangi aku membawa dan menyelamatkan Kanthi.” “Tidak. Kau tidak perlu menyelamatkan Kanthi. Ia sudah berada di tangan yang paling tepat. Orang tuanya akan melindunginya.” “Aku tidak peduli. Aku akan membunuh anak ini. Aku tidak akan memberinya kesempatan untuk beristirahat.” Tetapi Sekar Mirah yang sudah berada beberapa langkah dari Rara Wulan itu berkata, “Minggirlah. Atur pernafasanmu dengan baik. Biarlah aku melayaninya sebentar, agar ia tidak harus menunggu sambil termangu-mangu.” “Tetapi aku belum kalah,“ sahut Rara Wulan. “Kau memang belum kalah. Tetapi kau kehabisan tenaga,” berkata Sekar Mirah selanjutnya. Rara Wulan tidak dapat membantah lagi. Sekar Mirah itu juga dianggap sebagai gurunya. Karena itu, maka Rara Wulan pun segera meloncat menjauhi lawannya. Tetapi lawannya tidak sempat memburunya karena Sekar Mirah pun telah bergeser semakin dekat. Bahkan seperti Rara Wulan, maka Sekar Mirah pun telah memutar selendangnya pula. Ki Suradipa mengumpat kasar. Tetapi iapun segera memusatkan perhatiannya kepada Sekar Mirah yang juga seorang perempuan, namun yang nampaknya lebih matang dari perempuan yang menjadi lawannya sebelumnya. Ki Suradipa yang marah itu maksudnya memang tidak ingin memberi kesempatan kepada Sekar Mirah. Dengan ujung pedangnya yang terjulur lurus ia berusaha untuk menggapai tubuh Sekar Mirah. Tetapi dengan tangkasnya Sekar Mirah meloncat menghindar. Ki Suradipa tidak membiarkannya. Dengan garangnya Ki Suradipa berusaha memburu lawannya dengan senjata yang berputaran, terayun-ayun dan bahkan menebas dengan derasnya. Namun Sekar Mirah sama sekali tidak terguncang oleh serangan-serangan yang semakin garang itu. Dengan tenaganya ia menghindar, bahkan hanya dengan loncatan-loncatan kecil. Namun Ki Suradipa tidak mampu menyentuhnya. Namun Sekar Mirah sendiri tidak terlalu banyak menyerang lawannya. Sekali-sekali saja ia menghentakkan selendangnya yang bagaikan ular mematuk sasarannya. Sebenarnyalah bahwa Sekar Mirah memang tidak ingin menundukkan lawannya. Ia tidak ingin mengecewakan Rara Wulan. Ia hanya ingin membuat Ki Suradipa itu memeras tenaga dan kemampuannya sehingga ia juga menjadi letih seperti Rara Wulan. Sementara Rara Wulan itu mampu beristirahat, berusaha membangunkan tenaga dan kemampuannya dengan mengatur pernafasannya. Sekar Mirah memang tidak lagi merasa diburu oleh waktu. Ia yakin bahwa orang-orang yang ada di halaman depan rumah itu akan dapat menyelesaikan pertempuran pula. Sebenarnyalah, Agung Sedayu, Pandan Wangi, yang kemudian bersama-sama dengan Ki Argajaya dan Prastawa, sudah hampir sampai pada akhir dari pertempuran. Satu demi satu lawan-lawan mereka yang semula jauh lebih banyak itu telah terlempar keluar dari arena. Mereka tidak lagi mempunyai kesempatan untuk bertempur lagi. Rasa-rasanya tulang-tulang mereka telah berpatahan dan isi dada mereka seakan-akan telah terlepas dari tangkainya. Sementara itu, orang yang berkumis lebat yang merasa dirinya berilmu tinggi, serta yang sejak semula menaruh perhatian terhadap perempuan-perempuan cantik utusan Ki Argajaya itu, masih bertempur melawan Pandan Wangi. Baginya Pandan Wangi adalah seorang yang sangat cantik. Namun ternyata di balik kecantikannya itu, Pandan Wangi juga seorang yang berilmu tinggi. Dalam pertempuran yang terjadi, orang berkumis lebat itu telah mencoba memancing agar Pandan Wangi bergeser menjauhi arena pertempuran yang dibayangi oleh getar cambuk Agung Sedayu itu. Orang itu ingin berusaha untuk menangkap perempuan itu dan menjadikannya perisai untuk melarikan diri. Bukan itu saja, jika ia berhasil membawa Pandan Wangi bersamanya, maka ia akan mendapatkan seorang perempuan yang sangat cantik meskipun agak garang. Namun orang itu akan dapat menundukkannya dengan caranya sendiri. Ketika Pandan Wangi kemudian selalu memburunya ketika ia berloncatan menjauh, maka orang itu menjadi berpengharapan. Meskipun kawan-kawannya menjadi tidak berdaya, tetapi jika saja ia berhasil menangkapnya, maka ia akan selamat, dan bahkan akan memiliki seorang perempuan yang cantik. Tetapi orang itu mulai menjadi gelisah. Perempuan itu dapat bertahan bukan karena perlindungan juntai cambuk Agung Sedayu. Tetapi perempuan itu sendiri memang memiliki kelebihan. Sebenarnyalah Pandan Wangi menyadari bahwa lawannya telah memancingnya untuk bergeser keluar dari lingkaran pertempuran, yang seakan-akan telah dipenuhi getar cambuk Agung Sedayu. Pandan Wangi memang ingin menunjukkan kepada laki-laki berkumis lebat itu, bahwa ia akan dapat melindungi dirinya sendiri. Dengan sepasang pisau belatinya Pandan Wangi bertempur melawan laki-laki berkumis lebat yang bersenjata pedang bermata rangkap. Tajamnya ada di kedua belah sisinya, sehingga kemana pun pedang itu terayun, maka tajam mata pedangnya akan dapat mengoyak kulit dan daging. Tetapi sepasang pisau belati Pandan Wangi yang jauh lebih pendek dari pedang itu ternyata mampu mengimbangi pedang lawannya. Bahkan sekali-kali Pandan Wangi mampu mengejutkan lawannya itu. Dengan pisau di tangan kanannya Pandan Wangi menepis pedang lawannya, namun kemudian dengan tangan kirinya Pandan Wangi menyerang ke arah jantung. Orang berkumis itu memang harus berloncatan menghindari ujung-ujung pisau belati yang ternyata mampu menyusup di celah-celah putaran pedangnya. Namun karena itu, maka orang berkumis lebat yang merasa dirinya memiliki kemampuan yang tinggi itu tidak mau berlama-lama. Iapun segera mengerahkan ilmu puncaknya untuk menundukkan lawannya yang seorang perempuan itu. Bahkan kemudian ia berketetapan hati, jika ia tidak dapat menangkapnya hidup-hidup, maka perempuan itu akan dibunuhnya saja. Karena itu, maka orang itu pun menjadi semakin garang. Apalagi ketika ia sadar bahwa tidak ada harapan lagi bagi kawan-kawannya untuk dapat mempertahankan diri. Dengan demikian maka kemungkinan satu-satunya untuk tetap hidup adalah melarikan diri. Perempuan yang akan dipergunakannya untuk menjadi perisai itu ternyata tidak segera dapat ditundukkannya. “Aku akan membunuhnya sebelum aku melarikan diri,” berkata orang berkumis tebal itu, meskipun sebenarnya ia merasa sangat sayang untuk melukainya. Tetapi perempuan itu semakin lama justru menjadi semakin garang terhadapnya. Ketika orang berkumis itu kemudian menghentakkan ilmunya, maka Pandan Wangi memang harus meloncat surut. Pedang orang itu tiba-tiba saja seakan-akan telah berubah menjadi beberapa helai. Gerak putaran pedang itu telah meninggalkan bayangan lembaran-lembaran pedang yang membingungkannya. Seakan-akan pedang itu sendiri-lah yang telah mekar menjadi beberapa lembar pedang. Untuk beberapa saat Pandan Wangi memang agak menjadi bingung, sehingga berloncatan mundur. Dengan ketajaman penglihatan mata batinnya, Pandan Wangi kemudian melihat dan mengetahui, bahwa kemampuan ilmu lawannya-lah yang telah membuatnya menjadi bingung. Namun kemudian ia dapat melihat kenyataan tentang pedang itu, sehingga pedang yang sebenarnya adalah ujud yang terakhir dari serentetan ujud pedang di tangan lawannya itu. Meskipun demikian, sekali-kali Pandan Wangi masih juga menjadi ragu-ragu. Ketika pedang itu berputaran dan terayun mendatar, Pandan Wangi masih juga terkecoh oleh bayangan pedang lawannya yang seolah-olah di gelar dihadapannya. Pandan Wangi terlambat menangkis serangan itu, meskipun ia masih sempat memiringkan tubuhnya. Namun ujung pedang itu sempat menggapai lengannya dan bukan saja mengoyakkan bajunya, tetapi lelah menggores kulitnya pula. Meskipun hanya goresan tipis, tetapi darah sudah mengembun sepanjang jalur merah di lengannya itu. Luka di lengan Pandan Wangi itu telah membuatnya sangat marah. Karena itu, maka Pandan Wangi pun telah memanjat pada kemampuan puncaknya pula. Dengan demikian, maka lawannya-lah yang kemudian menjadi bingung. Pandan Wangi yang mulai memahami kelebihan ilmu lawannya itu telah mengetrapkan kemampuannya, untuk menggapai sasaran melampaui ujung gapaian kewadagan yang kasat mata. Karena itu, maka lawannya terkejut ketika tiba-tiba saja terasa pedangnya membentur senjata perempuan itu, sementara ia menganggap bahwa masih ada jarak antara senjatanya dan senjata lawannya itu. Namun sebelum orang berkumis tebal itu memecahkan letak kekuatan ilmu perempuan itu, maka serangan Pandan Wangi-lah yang kemudian datang dengan cepat dan beruntun. Orang berkumis tebal itu memang menjadi bingung. Pedangnya telah membentur senjata lawannya sebelum kedua senjata itu bersentuhan menurut penglihatan matanya. Bahkan kemudian orang berkumis tebal itu tidak lagi dapat memperhitungkan dengan tepat, kapan ujung senjata lawannya itu menyentuh tubuhnya. Namun sebenarnyalah bahwa orang itu harus mengumpat sambil meloncat menjauhi lawannya, ketika ia merasa lambungnya tergores ujung pisau belati Pandan Wangi, meskipun menurut penglihatan matanya ujung pisau itu masih berjarak lebih dari sejengkal dari kulitnya. Pandan Wangi memang tidak segera memburu lawannya. Sementara itu lawannya masih saja dicengkam oleh perasaan heran dan bahkan gelisah. Luka di lambungnya itu bukan sekedar perasaannya saja. Ketika ia meraba dengan telapak tangannya, maka terasa cairan yang hangat melekat di telapak tangannya. Tanpa disadarinya, orang itu memandang lampu minyak di kejauhan. Ia masih merasa memiliki penglihatan yang tajam. Dalam keremangan cahaya lampu minyak yang berkeredipan itu ia masih merasa mampu melihat helai-helai pisau belati di tangan perempuan itu. Selangkah demi selangkah Pandan Wangi mendekati orang itu. Pandan Wangi sendiri juga sudah terluka di lengannya. Karena itu, maka jantung Pandan Wangi juga sudah menjadi panas. Tetapi lawannya itu masih belum yakin apa yang terjadi atas dirinya. Kepada dirinya sendiri ia berkata, “Mungkin tangan perempuan itu bergerak sangat cepat, sehingga mataku terlambat menangkap gerak tangannya.” Dengan demikian, maka orang itu segera mempersiapkan dirinya. Ketika ia menggerakkan pedangnya, maka lembaran-lembaran pedang nampak berjajar, bahkan seperti kipas. Jika ayunan pedang itu berbalik, maka seakan-akan lembaran-lembaran pedang itu pun menjadi berlapis. Apalagi jika pedang itu kemudian diputar di sekitar tubuhnya. Namun Pandan Wangi semakin memahami dan kemudian memudahkannya untuk mengetahui letak pedang lawannya itu yang sebenarnya. Dengan demikian, maka Pandan Wangi mampu memperhitungkan kerapatan pertahanan lawannya itu, sehingga dengan cermat ia dapat memperhitungkan celah-celah pertahanan lawannya itu. Dengan demikian, maka orang berkumis tebal itu menjadi semakin bingung ketika ujung pisau belati perempuan itu sekali lagi menyambar tubuhnya. Seleret luka telah membujur di pundaknya Orang yang berkumis tebal yang merasa berilmu tinggi itu benar-benar tidak mengerti apa yang terjadi. Karena itu, maka ia berusaha untuk dengan sungguh-sungguh menilai kemampuan perempuan yang di matanya sangat cantik itu. Namun kemudian orang itu pun mengerti, bahwa perempuan itu memiliki ilmu yang jarang ada duanya. Ia baru sadar kemudian, bahwa sentuhan senjata Pandan Wangi dan unsur kewadagannya, ternyata dapat mendahului sentuhan kawadagan itu sendiri. Dengan demikian, maka orang itu benar-benar menjadi cemas. Apalagi ketika ia menyadari bahwa kawan-kawannya sudah tidak mampu lagi melakukan perlawanan yang berarti. Karena itu, maka ia tidak mempunyai pilihan lain. Orang itu merasa lebih baik menghindar dari medan. Demikianlah, maka yang dilakukan oleh orang itu kemudian bukan lagi berusaha untuk dapat mengatasi ilmu dan kemampuan lawannya, tetapi justru satu kesempatan untuk melarikan diri. Karena itulah, maka ketika Pandan Wangi harus melompat mundur menghindari ujung senjatanya yang tajam di kedua sisi itu, maka orang berkumis tebal itu telah meloncat dan bahkan kemudian melarikan diri menuju ke regol halaman. Pandan Wangi tidak mengira bahwa lawannya akan melarikan diri. Karena itu, maka ia telah terlambat sekejap. Ketika ia menyadari bahwa lawannya melarikan diri, maka iapun berusaha untuk mengejar. Namun demikian ia keluar dari regol halaman, maka ia merasa kehilangan jejak. Yang dilihatnya hanyalah malam yang gelap. Dinding halaman dan beberapa pohon yang besar yang tumbuh di halaman-halaman di belakang dinding di seberang jalan. Pandan Wangi termangu-mangu sejenak. Tetapi ia tidak berusaha menyusulnya. Penalarannya masih berjalan dengan wajar, sehingga ia masih dapat mengekang dirinya untuk tidak berlari ke dalam kegelapan di balik dinding halaman itu, karena ia tidak tahu ke arah mana lawannya melarikan diri, serta ia tidak mengetahui pula medan yang dihadapinya. Ketika Pandan Wangi melangkah memasuki kembali halaman rumah Ki Suracala, maka iapun sempat melihat orang lain lagi melarikan diri dengan meloncati dinding di sisi yang lain. Ia melihat Prastawa berusaha untuk mengejarnya. Tetapi Agung Sedayu berteriak memanggil, “Jangan kau kejar orang itu.” Prastawa memang berhenti. Sementara yang lain memang tidak mempunyai peluang untuk melakukannya, karena mereka yang masih bertempur tidak lagi mendapat perlawanan yang berarti. Pandan Wangi mengangguk-angguk kecil. Sebaiknya Prastawa memang tidak mengejarnya, karena lawannya itu memiliki ilmu yang lebih tinggi. Namun karena bayangan cambuk Agung Sedayu sajalah, maka orang itu menjadi berputus-asa sehingga merasa lebih baik melarikan diri, meskipun sebenarnya ia yakin akan dapat mengalahkan Prastawa. Sementara itu lawan Ki Argajaya pun merasa bahwa kawan-kawannya telah tidak mampu bertahan atau melarikan diri, sehingga perlawanannya tidak akan berarti apa-apa lagi. Dengan demikian, maka ketika terbuka kesempatan, maka iapun telah melarikan dirinya pula. Karena itu, maka lingkaran pertempuran di satu sisi itu pun telah berhenti. Lawan Agung Sedayu sendiri sudah tidak berbahaya, sementara ia merasa bahwa tidak akan dapat melarikan diri lagi. Sehingga karena itu, maka iapun telah memilih untuk menyerah. Semetara itu, Swandaru juga telah semakin mendesak lawannya. Luka-luka di tubuhnya telah menderanya untuk mengerahkan kemampuannya. Ledakan-lekadan cambuk Swandaru memang tidak lagi menggelepar memekakkan telinga. Tetapi sentuhan ujung cambuknya benar-benar telah mengoyak kulit lawannya. Pedang orang itu kemudian seakan-akan sudah tidak berarti lagi. Telapak tangannya yang membara justru telah terluka. Namun panas bara api telapak tangannya itu ternyata tidak mampu membakar ujung juntai cambuk Swandaru yang hanya sekejap menyentuh telapak tangannya itu. Tetapi saudara seperguruan Ki Wreksadana itu sama sekali tidak berpikir untuk menyerah atau melarikan diri. Sementara Ki Wreksadana masih bertempur, maka iapun masih merasa terikat oleh pertempuran itu. Apapun yang akan terjadi atas dirinya. Sementara itu, Swandaru masih juga memikirkan Glagah Putih yang bertempur di sudut halaman yang gelap. Jika lawannya itu juga saudara seperguruan Ki Wreksadana yang memiliki ilmu yang setingkat dengan lawan Swandaru, maka keadaan anak itu tentu dalam keadaan bahaya. Sementara itu, Swandaru sendiri masih harus juga berpikir tentang Pandan Wangi dan bahkan Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Apalagi Swandaru mengetahui bahwa bekal Prastawa masih kurang untuk menghadapi pertempuran melawan orang-orang berilmu tinggi. Karena itulah, maka Swandaru tidak menunggu terlalu lama, Iapun telah mengerahkan kemampuannya dengan hentakan-hentakan ujung cambuknya. Lawannya benar-benar mengalami kesulitan. Seleret luka, kemudian seleret luka berikutnya dan berikutnya, telah tergores di kulitnya. Bahkan kemudian luka-luka yang lebih besar telah menganga pula. Sehingga akhirnya, betapapun besar gejolak di dadanya untuk memberikan perlawanan, namun keadaan wadagnya sudah tidak mendukung lagi. Sementara itu, juntai cambuk Swandaru masih saja terayun-ayun dan menghentak-hentak. Akhirnya saudara seperguruan Ki Wreksadana yang memiliki ilmu yang tinggi itu tidak mampu lagi meneruskan perlawanannya. Keadaan wadagnya sama sekali sudah tidak mampu mendukung gejolak kemarahannya, sehingga orang itu pun kemudian tidak berdaya lagi. Apalagi ketika juntai cambuk Swandaru sempat membelit senjata orang itu. Dengan satu hentakan, maka senjata itu telah tercabut dari tangan orang itu. Satu lecutan yang dahsyat telah menghentakkan sekali lagi. Orang itu benar-benar tidak berdaya untuk menghindar atau melawan. Sehingga lecutan ujung cambuk itu telah menyambar dan setajam ujung pedang mengoyak dada saudara seperguruan Ki Wreksadana itu. Terdengar teriakan tertahan. Orang itu menggeliat kesakitan. Namun kemudian orang itu terhuyung-huyung jatuh terhempas di tanah sambil mengerang. Swandaru berdiri termangu-mangu. Tangannya yang memegang cambuk masih bergetar. Tetapi ketika ia melihat lawannya sudah tidak berdaya, maka Swandaru telah menahan diri untuk tidak mengangkat cambuknya lagi. Yang teringat olehnya kemudian adalah Glagah Putih. Ketika ia sempat berpaling dan melihat Ki Jayaraga masih bertahan melawan Ki Wreksadana, maka perhatian Swandaru pun kemudian tertuju kepada Glagah Putih. Dengan cepat Swandaru meloncat ke sudut halaman. Pada saat-saat terakhir ia tidak sempat melihat bayangan pertempuran antara Glagah Putih dengan lawannya di sudut kegelapan. Swandaru menjadi berdebar-debar ketika ia melihat seseorang berdiri termangu-mangu dalam kegelapan, sementara samar-samar ia melihat lawannya terbaring di tanah. Kecemasan segera mencengkam jantungnya. Agaknya ia datang terlambat untuk menolong Glagah Putih. “Kakang Agung Sedayu telah melepaskan anak itu bertempur dengan orang yang memiliki ilmu jauh lebih tinggi daripadanya.“ gumam Swandaru sambil meloncat mendekati bayangan itu. Cambuk yang di tangannya telah berputar pula dengan cepatnya, sehingga anginnya telah menggetarkan sudut halaman itu. Tetapi Swandaru justru terkejut. Yang berdiri termangu-mangu itu adalah Glagah Putih, sementara lawannya menggeliat kesakitan di hadapannya. “Kau kalahkan lawanmu?“ bertanya Swandaru di luar sadarnya. Glagah Putih yang sudah mengetahui sifat dan watak Swandaru itu pun menjawab, “Nampaknya orang itu hanya ikut-ikutan saja Kakang.” “Apakah ia bukan saudara seperguruan Ki Wreksadana?“ bertanya Swandaru. “Tentu bukan Kakang. Ia tidak tahu bagaimana ia harus mempertahankan dirinya,“ jawab Glagah Putih. “Syukurlah. Aku sudah mencemaskanmu, jika lawanmu juga saudara seperguruan Ki Wreksadana sebagaimana lawanku.” Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia menjawab, “Ternyata aku masih beruntung. Jika lawan kita tertukar saat kita akan mulai, maka aku kira aku tidak akan dapat pulang kembali ke Tanah Perdikan.” Swandaru mengangguk-angguk. Ia sempat mendekati orang yang terbaring diam itu. Namun orang itu memang masih bernafas. “Agaknya ia tidak mati. Aku memang tidak ingin membunuhnya,” berkata Glagah Putih kemudian. Swandaru mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Aku ingin melihat Kakang Agung Sedayu.” Tanpa menunggu jawaban, maka Swandaru itu pun segera meninggalkan Glagah Putih menuju ke sisi lain dari halaman itu. Namun ternyata Glagah Putih telah mengikutinya. Tetapi ternyata pertempuran itu pun sudah selesai. Orang-orang yang merasa berilmu tinggi itu sudah tidak melakukan perlawanan lagi. Sebagian dari mereka telah terluka. Yang lain menyerah, sedang beberapa orang melarikan diri. Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Syukurlah jika semuanya telah selesai, selain Ki Jayaraga.” “Ya. Nampaknya memang demikian,“ jawab Agung Sedayu. Tetapi Glagah Putih yang tidak melihat Sekar Mirah dan Rara Wulan itu pun bertanya, “Dimana Mbokayu Sekar Mirah?” “Ia menyusul Rara Wulan di dalam,“ jawab Agung Sedayu, “pergilah ke ruang dalam untuk melihat mereka.” Glagah Putih tidak menunggu lagi. Iapun segera berlari untuk mencari Rara Wulan. Na mun disebelah pendapa ia tertegun sejenak. Ia melihat Ki Suratapa yang sedang merangkak menepi, sementara Ki Suracala dengan lemahnya duduk bersandar tangga pendapa. Agaknya mereka telah bertempur habis-habisan, sehingga kedua-duanya telah kehabisan tenaga. Sementara itu, Ki Jayaraga masih bertempur melawan Ki Wreksadana. Berkata Ki Jayaraga, “Sebaiknya kau menyempatkan diri untuk memperhatikan keseluruhan dari pertempuran ini. Kau tinggal seorang diri. Sementara itu persoalan yang sebenarnya bukan persoalan yang sangat mendasar.” Wajah Ki Wreksadana menjadi merah. Bukan karena ilmunya merambat dari telapak tangannya sampai ke wajahnya. Tetapi karena kemarahan yang membakar kepalanya. Dengan geram ia menjawab, “Jayaraga. Mungkin bagimu persoalan ini bukan persoalan yang mendasar, karena kau tidak lebih dari orang upahan. Tetapi bagiku persoalan ini adalah persoalan yang langsung menyangkut harga diriku.” “Aku bukan orang upahan, Premana. Ki Argajaya sekarang ada di sini. Bertanyalah kepadanya, apakah aku datang sebagai orang upahan untuk membebaskan Prastawa dari sebuah fitnah. Tetapi ketika aku berangkat, aku sama sekali tidak akan menduga bahwa aku akan bertemu dengan kau di sini.” “Cukup! Sebaiknya kau tidak usah turut campur. Aku memerlukan Kanthi. Ia harus menghadap anak perempuanku, istri Wiradadi. Ia harus minta maaf karena ia sudah merampok kesetiaan Wiradadi kepada istrinya.” “Apapun alasanmu, kau tidak akan dapat melakukannya. Kau tahu bahwa di sini ada beberapa orang yang berilmu tinggi. Mereka akan dapat dengan mudah menangkapmu.” “Aku tidak peduli. Jika kau dan mereka akan bekerja bersama melawan aku, maka aku sama sekali tidak berkeberatan.” “Dua orang pengawalmu sudah tidak berdaya. Bahkan mungkin mereka telah mati.” “Aku tidak peduli!“ Ki Wreksadana berteriak. “Kau harus perduli, karena hal itu akan menyangkut nasibmu sendiri,” berkata Ki Jayaraga. Namun Ki Wreksadana tidak menghiraukannya sama sekali. Bahkan Ki Wreksadana itu telah menghentakkan ilmu puncaknya. Bukan sekedar bara di telapak tangannya, tetapi Ki Wreksadana telah memusatkan nalar budaya untuk mengerahkan ilmu tertinggi yang dimilikinya. “Sudah bertahun-tahun aku mematangkan ilmuku. Tanganku bukan sekedar mampu mengungkapkan panasnya bara api dari perut gunung berapi, tetapi tanganku akan mampu menghancurkan ujud kewadaganmu menjadi debu. Jangankan tubuh tua-mu yang rapuh, tetapi dengan ilmuku Lebur Seketi, maka gunung pun akan runtuh, dan lautan akan menjadi kering.” Ki Jayaraga mengerutkan dahinya. Hampir di luar sadarnya ia bertanya, “Darimana kau sadap ilmu Lebu Seketi yang nggegirisi itu? Ilmu yang jarang ada duanya. Tetapi untuk menguasai ilmu itu sepenuhnya, kau memerlukan waktu puluhan tahun, kecuali orang-orang aneh seperti Angger Agung Sedayu jika saja ia mempelajarinya. Tetapi tanpa ilmu Lebur Seketi pun, kemampuannya hampir tidak terjajagi lagi.” Ki Wreksadana tertawa. Katanya, “Kau mulai menjadi ketakutan. Nah, bawa kawan-kawanmu kemari. Aku akan menghancurkan mereka dengan ilmu Lebur Seketi.” “Premana,” berkata Ki Jayaraga, “ilmu Lebur Seketi mempunyai watak, ilmu yang mengacu kepada kebenaran. Tanpa dasar kebenaran, maka ilmu Lebur Seketi tidak akan dapat memancar dengan dorongan kekuatannya yang utuh.” “Persetan,” geram Ki Wreksadana, “kau tahu apa tentang kebenaran? Juga dalam persoalan yang sedang aku hadapi sekarang dalam hubungannya dengan Kanthi?” “Aku sudah tahu seluruhnya. Tetapi justru karena itu, maka aku minta kau tidak perlu sampai pada puncak kemampuanmu. Persoalan yang sebenarnya tidak seimbang dangan ledakan kemarahanmu, sehingga merambah pada ilmu puncakmu yang justru berwatak putih. Ilmu itu akan dapat berpaling dan mencelakai dirimu sendiri.” “Aku tidak perlu sesorahmu. Sekarang, bersiaplah untuk mati. Merskipun sekarang aku sendiri, tetapi aku akan membunuh orang-orang yang berusaha mencegah aku mengambil Kanthi.” “Premana. Apakah kau menganggap bahwa persoalan yang kau hadapi sekarang ini pantas diperjuangkan sampai mempertahankan nyawa? Persoalan itu dapat diselesaikan dengan cara yang lebih baik dari mempertaruhkan nyawa.” “Persoalannya tidak lagi sekedar Kanthi dan Wiradadi. Tetapi persoalannya sudah merambah ke harga diri dan kehormatan keluargaku dan namaku. Bagiku hal itu memang pantas dipertahankan dengan mempertaruhkan nyawa.” Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, Swandaru, Agung Sedayu, Ki Argajaya dan yang lain telah mengerumuninya pula. Bahkan kemudian dari ruang dalam lewat pintu pringgitan telan muncul Glagah Putih dan Sekar Mirah. Sementara Rara Wulan masih berada di dalam untuk menunggui Kanthi yang masih ketakutan. Bahkan ibu dan saudara perempuannya masih juga dibayangi oleh ketakutan itu. Sedangkan Ki Suradipa masih berada di longkangan. Nafasnya hampir putus saat ia harus menghadapi Sekar Mirah, yang lebih banyak memancingnya berloncatan daripada bertempur. Pada saat nafasnya hampir putus, maka Rara Wulan yang sudah beristirahat bangkit untuk menghadapinya. Pada saat yang demikian, Ki Wreksadana benar-benar telah sampai pada keputusannya untuk menghancurkan lawannya dengan ilmunya yang tertinggi, Lebur Seketi. Ki Jayaraga memang menjadi heran, bahwa Ki Wreksadana mampu mendapat kesempatan untuk mewarisi ilmu Lebur Seketi. Salah satunya kemungkinan adalah bahwa orang itu telah menipu gurunya. Ki Wreksadana dapat saja bersikap seperti seorang yang berhati bersih saat ia menyadap ilmu itu. Atau pada saat itu Ki Wreksadana memang masih belum terlibat ke dalam tingkah laku yang meskipun bukan tindak kejahatan, tetapi perbuatan-perbuatan yang tidak sepantasnya dilakukan. Meskipun demikian Ki Jayaraga tidak mau terjebak karena perhitungannya yang keliru. Jika ia menganggap Premana itu tidak mewarisi ilmu Lebur Seketi dengan tuntas, maka mungkin ia akan menyesal. Karena itu, Ki Jayaraga telah mempersiapkan dirinya. Ia sadar bahwa ilmunya Sigar Bumi masih harus diuji, apakah akan mampu mengimbangi ilmu Lebur Seketi. Jika keduanya telah berada di tataran puncak, maka Ki Jayaraga hanya dapat berdoa, semoga tubuhnya tidak dihancurkan oleh kekuatan ilmu Lebur Seketi itu. Dengan demikian, maka Ki Jayaraga telah memusatkan nalar budinya. Disiapkannya puncak-puncak ilmunya. Ditrapkannya daya tahan tubuhnya pada tataran tertinggi, sedangkan tenaga dalamnya telah diangkatnya ke permukaan. Pada saat itu, Ki Wreksadana pun telah benar-benar bersiap. Lambaran tenaga dalamnya serta segala macam kekuatan yang ada di dalam dirinya, ditrapkannya untuk mengatasi ilmu Lebur Seketi yang memang nggegirisi. Ketika Ki Wreksadana sudah sampai ke puncak kekuatan dan kemampuannya sehingga kedua tangannya telah bergetar, maka iapun tiba-tiba saja telah meloncat. Tangannya terayun dengan derasnya mengarah ke dahi Ki Jayaraga. Tetapi Ki Jayaraga pun telah bersiap dengan ilmunya Sigar Bumi. Ilmu yang telah ditekuni dan diyakininya. Lebih dari itu, Ki Jayaraga merasa bahwa ia tidak sedang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai dan tatanan kehidupan dalam pergaulan hidup sesamanya. Sekejap kemudian Ki Wreksadana itu meloncat sambil mengayunkan tangannya. Demikian yakin ia akan kekuatan ilmunya, Ki Wreksadana itu sama sekali tidak menghiraukan perlawanan Ki Jayaraga. Meskipun Ki Wreksadana itu melihat Ki Jayaraga menyilangkan tangannya untuk melindungi dahinya dan sekaligus untuk melontarkan kekuatan Aji Sigar Bumi, Ki Wreksadana sama sekali tidak merubah arah serangannya. Sejenak kemudian telah terjadi satu benturan ilmu yang sangat dahsyat. Meskipun tidak kasat mata dan tidak terdengar oleh telinga, namun benturan yang terjadi benar-benar merupakan benturan yang seakan-akan telah menggetarkan seisi halaman dan bahkan seisi padukuhan. Akibat dari benturan itu memang dahsyat sekali. Ki Jayaraga terlempar beberapa langkah surut. Bahkan kemudian keseimbangannya benar-benar telah goyah. Orang tua itu tidak mampu tetap berdiri tegak, sehingga karena itu maka Ki Jayaraga pun menjadi terhuyung-huyung. Namun ketika ia terjatuh dan hampir saja menimpa tangga pendapa, sehingga tulang-tulangnya akan dapat menjadi patah karenanya, Glagah Putih dengan cepat meloncat dan menahan tubuhnya. Meskipun daya dorongnya yang besar masih juga menggoyahkan keseimbangan Glagah Putih, tetapi Glagah Putih masih sempat menempatkan dirinya ketika ia jatuh menimpa tangga pendapa, sehingga Glagah Putih sendiri tidak mengalami sesuatu. Namun agaknya Ki Jayaraga yang belum lama sembuh dari luka-luka dalamnya ketika ia melawan Resi Belahan, maka bagian dalam tubuhnya ternyata telah terluka lagi. Namun Ki Wreksadana pun terlempar pula dan terbanting jatuh di tanah. Dadanya serasa telah hangus terbakar oleh benturan yang telah terjadi. Aji Lebur Seketi telah membentur Aji Sigar Bumi yang mapan dan tanggon. Tetapi ternyata bahwa tataran Aji Lebur Seketi Ki Wreksadana masih belum tuntas. Apalagi seperti yang dikatakan oleh Ki Jayaraga, bahwa Aji Lebur Seketi adalah kekuatan yang terungkap dari tenaga dasar yang mengacu kepada kebenaran. Karena itu, maka benturan itu seakan-akan telah menghancurkan isi dada Ki Wreksadana. Karena itu, demikian ia terhempas jatuh, maka Ki Wreksadana itu hanya dapat menggeliat. Selanjutnya, rasa-rasanya malam menjadi semakin pekat. Bahkan cahaya lampu di pendapa dan di regol pun seolah-olah telah menjadi padam. Namun ternyata bahwa daya tahan Ki Wreksadana demikian kuatnya, sehingga bagian dalam tubuh Ki Wreksadana tidak menjadi hancur karenanya. Tetapi benturan yang dahsyat itu telah membuatnya pingsan. Serentak beberapa orang pun telah mengerumuni Ki Jayaraga. Namun ada pula yang memperhatikan keadaan Ki Wreksadana. Dalam keadaan terluka dalam, Ki Jayaraga masih sempat minta Glagah Putih mengambil obat di dalam kantong ikat pinggangnya yang besar. “Ambil juga sebutir. Berikan kepada Ki Wreksadana jika ia masih bertahan hidup.” Glagah Putih mengangguk. Iapun kemudian minta Prastawa mengambil air. Setelah sebutir obat ditelannya, maka keadaan Ki Jayaraga menjadi lebih baik. Sementara itu, Ki Wreksadana pun mulai menjadi sadar. Namun ternyata bahwa ia masih saja mengerang, karena bagian dalam dadanya menjadi sangat kesakitan. Namun dalam pada itu, selagi beberapa orang masih mengerumuni Ki Jayaraga dan Ki Wreksadana, serta kemudian mengangkat mereka berdua naik ke pendapa, maka beberapa orang telah memasuki regol halaman rumah itu pula. Agung Sedayu-lah yang kemudian berdiri di tangga pendapa bersama Ki Argajaya untuk menyongsong orang-orang yang berdatangan. Tidak hanya satu dua, tetapi sekelompok orang bersenjata. Agung Sedayu memang menjadi tegang sejenak. Bahkan Ki Argajaya dan kemudian Prastawa telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Namun Agung Sedayu itu pun kemudian menarik nafas dalam-dalam. Yang datang itu adalah Ki Demang Kleringan, beberapa orang berbahu serta anak-anak muda Kleringan. Ki Demang pun terkejut melihat Agung Sedayu yang berdiri di tangga. Dengan nada tinggi ia berkata, “Kau Ngger?” “Ya, Ki Demang,“ jawab Agung Sedayu. “Apa yang telah terjadi di sini?“ bertanya Ki Demang, “Aku telah mendapat laporan, bahwa terjadi pertempuran di halaman rumah ini. Tidak seorangpun yang tahu sebabnya. Tetangga-tetangga di sebelah-menyebelah hanya mendengar keributan. Mereka yang memberanikan diri mengintip dari sela-sela pintu regol melihat orang-orang bersenjata bertempur dengan sengitnya. Kerena itu maka mereka pun segera melaporkan hal itu kepadaku.” “Ceritanya panjang Ki Demang. Tetapi sebelumnya, apakah aku dapat minta tolong kepada Ki Demang?” “Minta tolong apa?“ bertanya Ki Demang. “Mengumpulkan orang-orang yang terluka untuk ditempatkan di pendapa ini.” Ki Demang termangu-mangu. Namun kemudian ia mengangguk-anguk sambil menjawab, “Baik, baik. Aku akan minta anak-anak melakukannya.” Sejenak kemudian, maka sekelompok orang yang mengikuti Ki Demang itu telah membantu mengumpulkan orang-orang yang telah terluka ke pendapa. Sementara itu, Agung Sedayu sendiri-lah yang membimbing Ki Suracala yang kehabisan tenaga itu naik, sementara Glagah Putih memapah Ki Suratapa, yang rasa-rasanya sudah tidak lagi dapat bangkit berdiri. Dari ruang dalam, Sekar Mirah telah memaksa Ki Suradipa untuk pergi ke pendapa pula, meskipun ia harus berjalan bergayut dinding. Beberapa saat kemudian, maka semua orang yang ada di halaman rumah itu telah berkumpul di pringgitan dan pendapa. Kepada Ki Demang Kleringan, Agung Sedayu telah memperkenalkan beberapa orang yang berada di pendapa itu dan masih belum dikenalnya. “Maaf Ki Demang,” berkata Swandaru, yang termasuk salah seorang yang diperkenalkan itu, “mungkin Ki Demang menganggap bahwa aku tidak tahu diri karena pakaianku. Tetapi ini bukan salahku. Orang itu-lah yang telah mengoyaknya dengan tangan apinya. Bahkan kulitku pun telah terluka bakar pula.” “O, tentu itu bukan salah Angger,“ jawab Ki Demang Kleringan. Swandaru tertawa. Katanya, “Tetapi kelak aku akan menuntut agar dibelikan baju dan kain panjang yang baru.” Ki Demang pun tertawa. Orang yang agak gemuk itu agaknya tidak merasakan sengatan luka-luka bakar pada kulitnya itu. Sementara itu, Ki Jayaraga yang terluka dalam masih merasa sangat lemah. Seperti saat ia membenturkan ilmunya melawan Resi Belahan, maka Ki Jayaraga tentu akan memerlukan beberapa hari untuk menyembuhkannya. Ternyata Ki Wreksadana yang dikenalnya bernama Premana itu telah mencapai tataran yang sangat tinggi pula. Apalagi dasar ilmunya adalah Aji Lebur Seketi. Beruntunglah bahwa orang itu masih belum mampu mengatasi ketahanan ilmu Ki Jayaraga. Jika saja Premana itu sudah sampai pada tataran tertinggi penguasaan Aji Lebur Seketi, serta mengetrapkannya dengan lambaran kebenaran dan kejernihan hati, maka keadaan Ki Jayaraga tentu akan menjadi lebih parah. Untuk beberapa saat orang-orang dari Tanah Perdikan itu masih berada di rumah Ki Suracala. Agung Sedayu-lah yang kemudian menyampaikan kepada Ki Demang Kleringan, apa yang sebenarnya telah terjadi di rumah itu. Perselisihan antara keluarga, namun yang kemudian justru telah menyangkut nama Prastawa, anak laki-laki Ki Argajaya. Ki Demang Kleringan mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian bergumam, “Bagi kami, bahwa persoalannya menyangkut Tanah Perdikan Menoreh, ternyata telah memberikan keberuntungan.” “Kenapa?” Ki Argajaya terkejut. “Maaf Ki Argajaya. Barangkali aku terlalu mementingkan diri sendiri. Tetapi maksudku, tanpa Ki Argajaya dan yang lain-lain yang datang dari Tanah Perdikan Menoreh, maka sudah tentu aku tidak akan dapat mengatasi persoalan, seandainya persoalan ini harus dipecahkan oleh para bebahu Kademangan Kleringan. Apalagi bahwa Ki Wreksadana adalah orang yang berilmu sangat tinggi.” Ki Argajaya menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian menjawab, “Aku pun ternyata harus menggantungkan penyelesaian persoalan ini kepada Ki Jayaraga.” Ki Demang mengangguk-angguk. Namun sementara itu, persoalan yang sebenarnya masih harus diselesaikan dengan tuntas. Ki Argajaya menarik nafas dalam-dalam. Sambil berpaling kepada Ki Suracala, maka iapun berkata, “Kita akan berbicara dengan Ki Suracala pula. Sementara itu, kita menunggu sampai Ki Wreksadana dapat kita ajak berbicara.” Ki Demang mengangguk-angguk. Kepada salah seorang bebahu, Ki Demang kemudian minta untuk memanggil orang-orang yang dianggap memiliki kemampuan untuk merawat dan mengobati orang-orang yang terluka. Sementara itu, Ki Wreksadana yang terluka dalam itu pun mulai menjadi tenang. Nampaknya pengaruh obat Ki Jayaraga yang diberikan kepadanya dapat mengurangi rasa sakit yang menghentak-hentak di dadanya. Meskipun demikian, rasa-rasanya tubuh Ki Wreksadana itu masih saja tidak berdaya. Bahkan ketika ia mencoba untuk menggerakkan tubuhnya, maka ia masih saja menyeringai menahan sakit. “Ki Demang,” berkata Swandaru kemudian, “bagaimanapun juga Ki Demang akan dimohon untuk dapat melindungi Ki Suracala. Saudara-saudara sepupunya sama sekali tidak berusaha membantunya memecahkan persoalan yang dihadapi oleh Ki Suracala karena keadaan anaknya itu. Tetapi bahkan mereka telah mencoba memerasnya untuk kepentingan diri sendiri. Betapa Ki Suratapa menjadi ketakutan terhadap Ki Wreksadana karena tingkah laku anaknya yang juga menantu Ki Wreksadana itu, sehingga ia sampai hati untuk mengorbankan Ki Suracala dan memfitnah Prastawa.” Ki Demang mengangguk-angguk. Katanya, “Itu memang menjadi kewajibanku Ngger. Tetapi kemampuan kami di kademangan ini sangat terbatas. Jika seseorang berilmu sangat tinggi memaksakan kehendaknya, maka kami akan berada dalam kesulitan.” “Ki Demang tidak usah merasa segan untuk menghubungi Tanah Perdikan Menoreh. Di sana ada beberapa orang yang mungkin dapat membantu Ki Demang. Sebagaimana Ki Demang lihat sekarang, Ki Wreksadana tidak mampu memaksakan kehendaknya meskipun ia berilmu tinggi. Juga beberapa orang lain yang diupah Ki Suratapa dan Ki Suradipa.” Ki Demang mengangguk-angguk. Tetapi bagi Kademangan Kleringan, persoalan itu adalah persoalan yang berat. Bahkan kenyataan yang dihadapinya, Ki Jayaraga yang berilmu sangat tinggi itu pun telah terluka pula. Dalam pada itu, masih nampak pada Ki Demang dan para bebahu Kademangan Kleringan, kecemasan bahwa di hari-hari mendatang Ki Wreksadana masih akan membuat perhitungan lagi, sehingga akan menimbulkan masalah yang gawat di Kademangan Kleringan. Namun agaknya Agung Sedayu tanggap akan hal itu. Karena itu, maka iapun berkata kepada Ki Demang, “Aku akan mencoba bertanya kepada Ki Jayaraga.” Ki Demang mengangguk-angguk, sementara yang lain pun termangu-mangu. Ki Jayaraga masih nampak sangat lemah. Namun Ki Jayaraga tidak mau membaringkan dirinya. Ia duduk bersila sambil mengatur pernafasannya. Sementara itu obat yang ditelannya telah membantunya meningkatkan daya tahannya. Ketika Ki Jayaraga itu melihat Agung Sedayu beringsut mendekatinya, maka Ki Jayaraga itu pun menarik nafas dalam-dalam. “Ki Jayaraga,“ desis Agung Sedayu, “kami ingin mendapatkan pertimbangan Ki Jayaraga. Apakah sebaiknya kami memastikan diri dengan minta agar Ki Wreksadana untuk berjanji tidak akan memaksakan kehendaknya lagi atas keluarga Ki Suracala, atau kita menunggu sampai saatnya Ki Wreksadana dapat diajak berbincang kelak?” Ki Jayaraga memandang Agung Sedayu dengan tajamnya. Namun katanya kemudian dengan suara yang lemah, “Cobalah. Ajaklah ia berbicara. Tetapi jangan terlalu banyak.” Agung Sedayu mengangguk sambil menjawab, “Baiklah Ki Jayaraga. Aku akan berbicara dengan Ki Wreksadana.” Namun Agung Sedayu pun tidak berbicara lebih banyak lagi dengan Ki Jayaraga, yang nampaknya sedang berusaha mengatasi keadaannya. Ketika kemudian Agung Sedayu beringsut dan duduk di sebelah Ki Wreksadana berbaring, maka Agung Sedayu pun menyadari bahwa keadaan Ki Wreksadana itu cukup parah. Lebih parah dari Ki Jayaraga. Namun ternyata bahwa Ki Wreksadana itu benar-benar memiliki daya tahan yang tinggi. Ia tidak terbunuh sebagaimana Ki Carang Ampel, meskipun ia telah membentur ilmu tertinggi Ki Jayaraga. Namun Agung Sedayu terkejut. Justru sebelum ia bertanya sesuatu, Ki Wreksadana yang terluka itu berdesis, “Apakah kau Angger yang datang dari Tanah Perdikan Menoreh?” “Ya, Ki Wreksadana,“ jawab Agung Sedayu. “Bagaimana keadaan Jayaraga?“ bertanya Ki Wreksadana pula. “Ki Jayaraga sudah menjadi berangsur baik,“ jawab Agung Sedayu. “Kenapa ia tidak membunuhku, tetapi justru memberikan obat itu kepadaku?” “Sudahlah, Ki Wreksadana. Jangan dipikirkan lagi. Kami memang tidak bermaksud membunuh siapapun,“ jawab Agung Sedayu. Ki Wreksadana menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Angger. Sampaikan kepada semua orang, aku mohon maaf. Aku telah melakukan satu kesalahan yang besar Apa yang dikatakan Jayaraga tentang diriku, yang disebutnya Premana, adalah benar. Tetapi apa yang terjadi sekarang, ternyata telah memaksa aku untuk menilai kembali tingkah lakuku. Juga dalam hubungannya dengan anak dan menantuku.” Pengakuan yang tiba-tiba itu memang mengejutkan. Ternyata hati Ki Wreksadana tidak sekelam yang diduganya. Hampir di luar sadarnya Agung Sedayu pun berkata, “Masih ada kesempatan untuk menilai sikap dan tingkah laku Ki Wreksadana kemudian. Kami memang berharap bahwa setelah kejadian ini, tidak akan ada lagi kejadian-kejadian yang tidak diharapkan karena persoalan yang sebenarnya dapat dibatasi ini.“ Ki Wreksadana menarik nafas dalam-dalam. Namun bagian dalam dadanya masih terasa nyeri. “Aku mengerti Ngger. Persoalan ini adalah persoalan keluarga kami. Tetapi bukan maksudku menyeret Angger dan apalagi Ki Gede Menoreh untuk ikut terlibat dalam persoalan ini. Suratapa harus melibatkan orang lain ke dalam persoalan ini untuk mengurangi kesalahan anak laki-lakinya.” “Ki Wreksadana mengetahui hal itu?“ bertanya Agung Sedayu. Ki Wreksadana itu mengangguk. Wajahnya yang pucat itu berkeringat seperti orang yang baru saja mandi. Agung Sedayu tidak bertanya lebih banyak. Tetapi ia sudah mengetahui bahwa Ki Wreksadana akan membatasi persoalannya di lingkungan keluarganya. Yang sebenarnya menyeret Prastawa dalam persoalan ini memang Ki Suratapa dan Ki Suradipa. Agung Sedayu kemudian duduk kembali. Bersama-sama, yang lain termasuk Ki Demang Kleringan dan Ki Suracala yang masih sangat lemah karena kehabisan tenaga itu, mendengarkannya dengan sungguh-sungguh. Bahkan kemudian iapun menarik nafas dalam-dalam sambil berdesis, “Syukurlah jika Ki Wreksadana dapat mengerti apa yang sebenarnya terjadi di sini.” “Ia hanya ingin menyelamatkan perasaan anak perempuannya,” berkata Ki Suracala selanjutnya dengan nafas yang masih terengah-engah, “tetapi saudara-saudara sepupuku sendiri-lah yang sebenarnya telah memancing persoalan sehingga merembet sampai ke Tanah Perdikan Menoreh.” “Kami memang merasa sangat tersinggung,“ sahut Ki Argajaya, “hampir saja aku memaksa anakku untuk memenuhi permintaan Ki Suracala.“ “Aku sudah berusaha mencegah fitnah itu, Ki Argajaya,” berkata Ki Suracaja, yang hubungannya memang sudah sangat akrab dengan Ki Argajaya, “tetapi aku tidak berdaya.” “Biarlah Ki Suratapa dan Ki Suradipa memikul tanggung jawab atas peristiwa ini. Ki Demang akan membuat penilaian kemudian. Juga berdasarkan atas pernyataan Ki Wreksadana sendiri,” sahut Agung Sedayu. Ki Demang mengangguk-angguk. Namun bahwa Ki Wreksadana bersedia membuat penilaian kembali atas persoalan yang terjadi itu, telah membuat Ki Demang menjadi agak tenang. Demikianlah, maka persoalan yang terjadi di rumah Ki Suracala itu telah diambil alih oleh Ki Demang dan para bebahu Kademangan Kleringan. Orang-orang upahan yang terluka itu pun akan berada di bawah pengawasan Ki Demang. Ki Wreksadana dan kedua orang saudara seperguruannya akan dirawat di rumah Ki Suracala itu sampai keadaan mereka membaik dan dapat kembali ke rumah mereka masing-masing. “Jika perlu beritahukan kami di Tanah Perdikan Menoreh.” “Baiklah Ngger,“ jawab Ki Demang, “kami akan mengawasi mereka sebaik-baiknya. Namun yang akan bertanggung jawab adalah Ki Suratapa. Jika ada di antara orang-orang upahannya yang tertangkap dan menyerah itu membuat ulah, maka segala sesuatunya akan kami kembalikan kepada Ki Suratapa. Sementara itu, bersedia atau tidak bersedia, Ki Suratapa dan Ki Suradipa akan kami bawa ke Kademangan.” “Bagus,” sahut Ki Suracala, “mereka harus berada di bawah pengawasan yang langsung.” Dengan demikian, maka orang-orang Tanah Perdikan Menoreh itu pun kemudian telah minta diri. Ki Demang telah memerintahkan untuk menyiapkan sebuah pedati untuk membawa Ki Jayaraga yang terluka. Ki Jayaraga tidak bersedia untuk diantar kembali di keesokan harinya karena keadaannya. “Biarlah aku kembali bersama-sama dengan orang-orang yang bersama-sama berangkat dari Tanah Perdikan Menoreh,” berkata Ki Jayaraga. Namun Swandaru pun sempat pula berkata sambil tertawa, “Aku akan dapat ikut naik pedati itu. Pergelangan kakiku masih terasa sakit oleh tangan api saudara seperguruan Ki Wreksadana itu.” Sekar Mirah-lah yang menyahut, “Perempuan-perempuan sajalah yang akan naik pedati bersama Ki Jayaraga.” Ki Demang pun kemudian bertanya, “Apakah aku harus menyiapkan dua atau tiga pedati?” “Ah, tidak,“ Ki Argajaya-lah yang menyahut. Namun agaknya ia masih akan memperingatkan, “Ki Demang masih juga harus menangani Wiradadi. Sumber dari persoalan ini.” Ki Demang mengerutkan keningnya, “Ya. Agaknya orang itu justru dilupakan. Tetapi aku akan menyelesaikannya sampai tuntas.” Dengan nada dalam Ki Argajaya masih berkata, “Tolong bantu Kanthi menemukan kembali dirinya sendiri.” Ki Demang mengangguk-angguk. Katanya, “Ia memang memerlukan bantuan. Biarlah Nyi Demang akan ikut menanganinya. Namun kedudukan Kanthi memang akan menjadi sulit di mata orang-orang padukuhan ini. Apapun sebabnya, tetapi ia akan tetap menjadi bahan pembicaraan orang. Aku tidak akan dapat membendung sikap kawan-kawan sebayanya jika mereka menjauhinya. Apalagi jika Wiradadi, karena sikap istri dan mertuanya, tidak akan dapat mengawini Kanthi yang sudah terlanjur mengandung itu.” Ki Argajaya mengangguk-angguk. Ia mengerti kesulitan Kanthi. Tetapi bagaimana mungkin ia dapat mengorbankan Prastawa. Apalagi Prastawa sudah mempunyai pilihan sendiri. Sejenak kemudian, utusan Ki Argajaya yang justru telah disusul oleh Ki Argajaya itu sendiri, meninggalkan rumah Ki Suracala. Ki Jayaraga yang terluka itu telah naik pedati yang disediakan oleh Ki Demang. Rara Wulan yang belum lama mengenal Kanthi itu merasa berat juga untuk meninggalkannya. Apalagi karena Kanthi untuk beberapa lama berpegangan tangannya dan seolah-olah mau melepaskannya. Rara Wulan bagi Kanthi adalah seseorang yang telah menyelamatkannya. Apalagi Rara Wulan itu masih sebaya dengan Kanthi sendiri. Dalam keterlanjurannya, Kanthi sempat juga membayangkan, seandainya ia dapat menjadi seorang gadis seperti Rara Wulan yang mampu melindungi dirinya sendiri. Tetapi setiap kali Kanthi itu telah terlempar kembali ke dunianya. Ia tidak dapat lari dari kenyataan, bahwa ia memang sudah mengandung. Namun akhirnya Kanthi memang harus melepaskan Rara Wulan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Namun Rara Wulan yang matanya juga menjadi basah itu berkata, “Aku akan sering berkunjung kemari, Kanthi.” “Benar Rara? Jangan berbohong,” desis Kanthi yang menangis. “Tentu,“ jawab Rara Wulan, “Tanah Perdikan Menoreh tidak terlalu jauh dari kademangan ini.” Kanthi hanya dapat mengangguk-angguk. Ia memang harus melepaskan Rara Wulan meninggalkan rumahnya. Orang-orang Tanah Perdikan Menoreh itu pun kemudian menyusuri jalan kembali. Malam rasa-rasanya menjadi sangat gelap, meskipun di langit nampak bintang gemintang yang bergayutan. Swandaru yang ternyata memang agak timpang karena kakinya yang sakit, sambil tertawa berkata kepada sais pedati itu, “He, beristirahatlah. Biarlah aku yang mengendalikannya. Sejak kanak-kanak aku sudah belajar mengendalikan lembu-lembu penarik pedati. Itulah sebabnya aku membawa cambuk ke mana-mana.” Sais pedati itu pun tidak berkeberatan. Bahkan iapun telah meloncat turun dan membiarkan Swandaru naik serta memegang kendali pedati itu. Sekar Mirah dan Pandan Wangi tertawa serentak. Bahkan Sekar Mirah itu pun berkata, “Berbaringlah anak manis. Biarlah dicarikan selimut untuk menahan dingin.” Swandaru sendiri tertawa. Tetapi ia tetap saja duduk di belakang sepasang lembu yang menarik pedati itu. Bahkan Ki Jayaraga pun telah ikut tertawa pula, betapapun dadanya masih terasa nyeri. Dalam pada itu, sepeninggal orang-orang yang kembali ke Tanah Perdikan Menoreh, maka Ki Demang dan pera bebahu Kademangan Kleringan telah mengambil alih persoalan yang menyangkut persoalan Kanthi. Kepada beberapa orang bebahu dan anak-anak muda yang menyertainya, maka Ki Demang telah memerintahkan membawa Ki Suratapa dan Ki Suradipa ke Kademangan. “Awasi dan jaga mereka dengan baik. Mereka adalah orang-orang yang memiliki ilmu, dan lebih dari itu, mungkin orang-orang upahannya akan berusaha membebaskannya.” “Baiklah Ki Demang,“ jawab Ki Jagabaya yang menyertai Ki Demang ke rumah Ki Suracala itu. Sementara itu, tabib yang paling baik di Kademangan Kleringan itu pun masih saja sibuk, dibantu oleh beberapa orang yang juga memiliki kemampuan pengobatan. Dalam pada itu, Ki Wreksadana dan kedua orang saudara seperguruannya telah ditempatkan di sebuah bilik yang agak luas di gandok sebelah kanan. Ternyata dalam keadaan yang gawat itu, Ki Wreksadana sempat membuat penilaian tentang dirinya sendiri serta tindakannya, yang diambil untuk menjaga perasaan anak gadisnya yang terluka karena suaminya telah berhubungan dengan perempuan lain, yang justru saudara misan suaminya itu sendiri. Pertemuannya dengan Ki Jayaraga, serta sikap orang-orang Tanah Perdikan Menoreh yang mampu menahan diri itu, telah mengguncang perasaannya. “Jayaraga benar,” berkata Ki Wreksadana di dalam hatinya, “aku tidak dapat mempergunakan kekuatan Aji Lebur Seketi dengan semena-mena. Ternyata aku tidak mampu mengatasi kemampuan ilmu Jayaraga.” Kesadaran yang datang itu telah membuat Ki Wreksadana menilai kembali dirinya sendiri. Ketika ia sempat memperhatikan kedua saudara seperguruannya yang terluka sangat parah, membuatnya semakin menyesal. Ia telah menyeret kedua orang itu ke dalam suatu bencana. Mungkin kedua orang itu tidak mampu untuk menerima kenyataan akan kekalahannya itu, sehingga mereka justru mendendam. “Aku harus berbicara kepada mereka, bahwa memang aku-lah yang harus bertanggung jawab,” berkata Ki Wreksadana kepada diri sendiri. Sementara itu, menjelang fajar, iring-iringan orang Tanah Perdikan Menoreh itu telah sampai ke padukuhan induk. Anak-anak muda yang meronda di padukuhan-padukuhan yang dilewati menjadi heran melihat iring-iringan yang berjalan di dini hari itu. Beberapa orang bahkan telah bertanya kepada mereka. Namun setiap kali Glagah Putih-lah yang menjawab, “Sekali-kali kami ingin meronda memutari Tanah Perdikan ini.” Seorang anak muda yang sempat bertanya saat iring-iringan itu berangkat, justru bertanya pula, “Apakah tidak ada persoalan lagi tentang perkemahan yang ditinggal para penghuninya itu?” Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya, “Tidak. Tidak ada persoalan lagi.” Anak-anak muda itu tidak bertanya lagi. Juga tidak tentang pedati yang ikut serta dalam iring-iringan itu. Di sisa malam itu, Ki Argajaya dan Prastawa langsung pulang ke rumah mereka, sementara yang lain akan singgah di rumah Agung Sedayu. Baru esok pagi mereka akan bertemu di rumah Ki Gede untuk memberikan laporan tentang persoalan yang mereka hadapi di Kademangan Kleringan. “Kami akan pulang ke rumah Ki Gede esok pagi saja,” berkata Swandaru kepada Ki Argajaya. “Malam ini aku akan beristirahat di rumah Kakang Agung Sedayu.” “Baiklah. Besok, saat matahari sepenggalah, kita bertemu di rumah Ki Gede,” berkata Argajaya. Demikianlah, menjelang fajar, orang-orang yang datang dari Kleringan itu telah beristirahat di rumah Agung Sedayu. Di pendapa, di bawah cahaya lampu minyak, Swandaru mengerutkan dahinya melihat luka bakar di lengan Glagah Putih. Melihat luka itu sama dengan luka di tubuhnya. “Apakah lawan anak itu juga saudara seperguruan Ki Wreksadana? “ pertanyaan itu timbul di hati Swandaru. Iapun berkata pula di dalam hatinya, “Tetapi apakah mungkin anak itu mampu melawan saudara seperguruan Ki Wreksadana?” Tetapi Swandaru merasa ragu untuk bertanya. Dalam pada itu, Ki Jayaraga yang kemudian berbaring di pembaringannya sempat memberikan beberapa petunjuk untuk mengobati luka bakar di tubuh Swandaru. Agung Sedayu yang juga memiliki pengetahuan obat-obatan segera mengerti pesan itu. “Aku akan mencobanya, Ki Jayaraga. Mudah-mudahan luka Adi Swandaru segera sembuh,” desis Agung Sedayu. Setelah masing-masing membersihkan diri dan berganti pakaian, maka mereka pun tidak pergi ke pembaringan, tetapi mereka duduk-duduk di ruang dalam. Sekar Mirah dan Rara Wulan telah menyiapkan minuman hangat bagi mereka. Sementara itu, Agung Sedayu pun telah sempat pula mengobati luka Swandaru sebagaimana dipesankan oleh Ki Jayaraga. Nyeri dan pedih pada luka-luka di tubuh Swandaru itu memang terasa berkurang setelah luka itu diolesi dengan obat yang telah dicairkan dengan air hangat. “Untunglah, bahwa Ki Jayaraga mampu mengimbangi kemampuan Ki Wreksadana,“ berkata Swandaru kemudian. Lalu katanya pula, “Sebenarnya aku memang agak mencemaskannya. Tetapi aku merasa segan untuk mengambil alih, karena agaknya Ki Wreksadana dan Ki Jayaraga sudah saling mengenal sebelumnya.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sementara Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. “Ki Jayaraga memang seorang yang berilmu sangat tinggi,“ Pandan Wangi-lah yang menyahut. “Tetapi sesaat sebelum pertempuran berakhir, aku sudah mencemaskannya,“ sahut Swandaru. Lalu katanya, “Beruntung pula-lah Kakang Agung Sedayu yang mendapat lawan meskipun jumlahnya banyak, tetapi tidak lebih dari orang-orang upahan yang tidak tahu diri. Ketika aku mendengar ledakan cambuk Kakang Agung Sedayu mula-mula, aku terkejut dan menjadi cemas. Namun ternyata Kakang Agung Sedayu sekedar bermain-main. Ledakan berikutnya telah menunjukkan bahwa kemampuan Kakang Agung Sedayu telah memanjat lebih tinggi. Tetapi dalam pertempuan yang berada pada tataran yang lebih tinggi, Kakang Agung Sedayu masih juga terluka parah, sebagaimana terjadi beberapa waktu yang lalu.” Glagah Putih mulai menjadi gelisah. Meskipun ia sudah sering mendengar pendapat Swandaru seperti yang diucapkannya itu, namun telinganya masih juga terasa gatal. Namun Pandan Wangi-lah yang kemudian berusaha untuk mengalihkan pembicaraan, “Apapun yang terjadi, aku merasa kasihan terhadap Kanthi.” “Ya,“ sahut Sekar Mirah, yang nampaknya tanggap akan maksud Pandan Wangi, “mungkin hari ini ia masih terhibur oleh sikap beberapa orang yang melindunginya. Tetapi esok ia akan menjadi sendiri lagi. Mungkin tidak ada lagi orang yang menakut-nakutinya, namun ia tidak dapat menghindari tatapan mata orang-orang di sekitarnya. Dan iapun akan terlempar lagi ke dalam kesendiriannya untuk mengatasi keadaannya.” “Mudah-mudahan tidak Mbokayu,“ sahut Rara Wulan, “harus ada orang yang bersedia membantu mengangkat bebannya. Ia sudah cukup menderita. Apalagi sikap Wiradadi yang sangat menyakitkan itu, bahkan dibantu oleh Ki Suratapa dan Ki Suradipa.” Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun menyahut, “Ya. Ia sudah cukup menderita.” Rara Wulan-lah yang kemudian berkata, “Rasa-rasanya aku ingin menjenguknya.” “Memang ada baiknya kita menjenguk Kanthi, Rara,” sahut Sekar Mirah, “dua atau tiga hari lagi, kita pergi ke Kademangan Kleringan.” “Tetapi kita masih harus tetap berhati-hati,” berkata Pandan Wangi, “orang-orang upahan yang terlepas dari medan pada waktu itu, mungkin saja masih akan tetap mendendam. Bahkan mungkin pula saudara-saudara seperguruan Ki Wreksadana. Dapat saja mereka masih belum tahu perkembangan jiwa Ki Wreksadana, atau bahkan mereka tidak sependapat dengan Ki Wreksadana, sehingga mereka akan mengambil langkah sendiri tanpa menghiraukan sikap Ki Wreksadana, karena mereka merasa dijerumuskan ke dalam satu keadaan yang sangat menyakitkan hati.” Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya, “Kita tentu tidak akan pergi sendiri.” Demikianlah, mereka masih saja berbincang-bincang sampai matahari memancarkan berkas-berkas sinarnya menembus dedaunan di halaman. Semalam suntuk mereka tidak tidur. Karena itu, maka mereka memang merasa letih. Ketika matahari naik semakin tinggi, maka Sekar Mirah, Rara Wulan dan Pandan Wangi telah menyiapkan makan pagi mereka. Sementara Swandaru telah membersihkan lagi dan mengobati luka-luka bakarnya, dibantu oleh Agung Sedayu. Di tempat lain, Glagah Putih juga sedang sibuk mengobati luka bakarnya. Sampai bersungut-sungut pembantu rumah itu membantu Glagah Putih mengoleskan obat di lukanya. “Kau terlalu banyak berkelahi,” berkata anak itu. “Aku tidak pernah berkelahi,“ jawab Glagah Putih, “yang aku lakukan adalah membela diri, atau membantu orang yang mengalami kesulitan karena perbuatan orang lain yang menyinggung rasa keadilanku.” “Apapun alasannya, kau telah berkelahi dan terluka,” berkata anak itu. “Yang penting justru alasannya kenapa perkelahian itu terjadi,” jawab Glagah Putih. Anak itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian tangannya telah bergerak lagi mengoleskan obat yang sudah dicairkan pada luka-luka bakar di tubuh Glagah Putih. Namun kemudian, setelah Glagah Putih selesai mengobati luka-lukanya, maka iapun telah membersihkan ikat pinggangnya yang ternyata ternoda oleh percikan darah lawannya. Dalam pertempuran yang terjadi di halaman rumah Ki Suracala, Glagah Putih memang telah mempergunakan ikat pinggangnya untuk menghentikan perlawanan saudara seperguruan Ki Wreksadana. Ternyata tanpa mempergunakan kemampuan puncaknya, Glagah Putih mampu mengatasi permainan api saudara seperguruan Ki Wreksadana. Ketika matahari naik semakin tinggi, maka Agung Sedayu, dan Swandaru suami istri telah siap untuk pergi menghadap Ki Gede. Mereka akan bertemu dengan Ki Argajaya dan Prastawa di rumah Ki Gede itu, untuk bersama-sama melaporkan kunjungan mereka ke Kademangan Kleringan. Namun Agung Sedayu telah minta agar Glagah Putih dan Rara Wulan tinggal di rumah untuk menemani Ki Jayaraga yang terluka lagi, dan Wacana yang sudah menjadi semakin baik. Demikianlah, seperti direncanakan maka menjelang matahari sepenggalah, Agung Sedayu dan Swandaru suami istri telah berangkat ke rumah Ki Gede. Ketika mereka sampai di rumah Ki Gede, maka ternyata Ki Gede sudah duduk di pendapa bersama Ki Argajaya dan Prastawa. Dalam pada itu, Wacana yang tinggal di rumah Agung Sedayu sudah dapat berjalan-jalan di halaman. Ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka Wacana itu pun duduk di serambi ditemani oleh Glagah Putih, yang masih saja merasa letih setelah semalaman tidak tidur sama sekali, dan bahkan telah bertempur melawan saudara seperguruan Ki Wreksadana. Selama mereka berbincang tentang berbagai macam hal, maka akhirnya Wacana bertanya, apa yang telah terjadi di Kademangan Kleringan. Glagah Putih yang menganggap bahwa persoalannya telah selesai, telah menceritakan segala persoalan yang menyangkut Prastawa yang namanya telah dicemarkan. Sementara itu, Kanthi menjadi semakin menderita karena persoalan yang menyangkut dirinya, telah menjadi persoalan yang justru membengkak menyangkut nama orang yang tidak bersalah sama sekali. “Kenapa justru Prastawa yang dilibatkan dalam persoalan itu?“ bertanya Wacana. “Prastawa memang sudah saling mengenal dengan Kanthi. Hubungan mereka cukup akrab, sebagaimana hubungan Ki Argajaya dengan Ki Suracala, ayah Kanthi. Bahkan kedua orang tua itu pernah membicarakan kemungkinan untuk mempertemukan anak-anak mereka. Tetapi ternyata Prastawa telah mempunyai pilihan sendiri, sehingga niat itu tidak dapat diujudkan. Sementara itu Kanthi telah benar-benar terpikat oleh Prastawa.” Wacana mendengarkan cerita Glagah Putih itu dengan sungguh-sungguh. Sementara Glagah Putih telah menceritakan pula hadirnya Wiradadi di saat hati Kanthi menjadi kosong, setelah ia mengetahui bahwa Prastawa tidak mencintainya. “Wiradadi telah memanfaatkan saat-saat hati Kanthi terbanting hancur menghadapi kenyataan sikap Prastawa,“ desis Glagah Putih. Wacana menarik nafas panjang. Cerita tentang Kanthi itu sangat menarik perhatiannya. Dengan nada berat Wacana itu berkata, “Kasihan gadis itu. Ia harus menanggung luka hati yang berkepanjangan. Bahkan tanpa ada seseorang yang membantunya, maka ia akan merasa dirinya tidak berharga sepanjang hidupnya.” “Bukan hanya Kanthi sendiri,“ desis Glagah Putih, “anak yang akan lahir itu pun akan mengalami nasib yang buruk.” “Harus ada orang yang bersedia menolongnya,“ desis Wacana. “Maksudmu?“ bertanya Glagah Putih. “Harus ada orang yang menariknya dari pusaran kehinaan yang akan membelitnya seumur hidupnya,” berkata Wacana. Glagah Putih mengangguk-angguk kecil. Ia mengerti maksud Wacana. Tetapi tentu sulit untuk mendapatkan seseorang yang bersedia menolongnya dengan tuntas. Keduanya pun kemudian terdiam untuk sesaat. Wacana nampak merenungi dedaunan yang bergerak disentuh angin yang lembut. Sehelai-sehelai daun yang kuning terlepas dari pegangan tangkainya yang melemah. Dalam pada itu di rumah Ki Gede, Ki Argajaya telah melaporkan peristiwa yang terjadi di Kademangan Kleringan. Ki Argajaya pun telah memberitahukan bahwa segala sesuatunya telah diambil alih oleh Ki Demang. Namun sudah tentu dalam keadaan yang rumit, Ki Demang memerlukan kesediaan Tanah Perdikan Menoreh untuk membantunya. “Keadaan yang rumit yang bagaimana yang kau maksudkan?“ bertanya Ki Gede. “Jika orang-orang berilmu tinggi itu bergerak,“ jawab Ki Argajaya. Ki Gede mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia menjawab, “Ya. Jika terjadi demikian, maka Kademangan Kleringan memang memerlukan bantuan. Tetapi sudah tentu bahwa kita akan membantu sesuai dengan kemampuan yang ada pada kita.” Demikianlah, bagaimanapun juga Tanah Perdikan Menoreh tidak dapat melepaskan persoalan itu sepenuhnya. Meskipun mula-mula Tanah Perdikan itu hanya terseret oleh fitnah orang yang tidak bertanggung jawab atas tingkah lakunya, namun persoalannya benar-benar telah menusuk menikam para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh. Dengan demikian, maka Ki Gede masih berpesan agar mereka tetap bersiaga jika setiap saat Kademangan Kleringan memerlukan bantuan mereka. Namun dalam pada itu, seperti juga pembicaraan antara Glagah Putih dan Wacana, maka Ki Gede pun merasa kasihan kepada Kanthi, yang telah menjadi korban dari kekecewaannya sendiri yang sangat mendalam karena sikap Prastawa, sehingga gadis itu telah terlempar ke dalam dunia yang tidak dikenalnya. Kanthi kemudian telah terlepas dari pribadinya dan jatuh ke dalam mulut seekor buaya yang sangat rakus. Lewat tengah hari, maka Ki Argajaya pun telah minta diri, sementara Prastawa akan tetap berada di rumah Ki Gede. “Ia sudah dapat menjalankan tugas-tugasnya dengan tenang,” berkata Ki Argajaya. Ketika kemudian Agung sedayu dan Sekar Mirah juga minta diri, maka Ki Gede masih juga menahan mereka untuk makan siang lebih dahulu. Demikianlah, persoalan yang menyangkut Prastawa itu pada dasarnya sudah dapat dianggap selesai, sehingga Prastawa tidak lagi merasa selalu dibayangi oleh keinginan ayahnya. Prastawa telah merasa bebas untuk menentukan pilihannya sendiri atas seorang gadis yang akan menjadi sisihannya kelak. Jalan yang sudah dirintisnya agaknya sudah menjadi semakin datar. Meskipun demikian, Prastawa juga sulit untuk begitu saja melupakan Kanthi, justru karena Prastawa merasa kasihan pula kepadanya. Prastawa memang merasa bersalah, bahwa ia telah mematahkan kuncup yang mulai bersemi di hati gadis itu. Tetapi keterbatasan sifat manusianya yang masih selalu memanjakan kepentingan diri sendiri tidak mampu dilawannya. Di perjalanan pulang, Agung Sedayu dan Sekar Mirah juga menyinggung hubungan antara Glagah Putih dan Rara Wulan. Keduanya menyadari bahwa seandainya ada satu cara, maka lebih baik keduanya tidak tinggal di bawah satu atap. “Mungkin untuk beberapa lama masih belum ada masalah. Tetapi jika ada satu saja orang yang mempertanyakannya, maka semua tetangga tentu akan mempertanyakan pula. Mereka pula yang akan mereka-reka jawabnya, sehingga persoalannya semakin lama akan menjadi semakin berkembang,” berkata Sekar Mirah. Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Memang ada baiknya keduanya tidak berada di satu rumah. Tetapi kita memerlukan waktu untuk mencari jawabnya.” Sekar Mirah mengangguk. Memang mereka tidak dapat memisahkan keduanya dengan serta-merta sebelum menemukan cara yang paling baik. Meskipun Agung Sedayu dan Sekar Mirah percaya bahwa Glagah Putih dan Rara Wulan mampu menempatkan diri, tetapi kadang-kadang orang lain selalu merasa berhak untuk mencampurinya. Sementara itu, dalam hubungan di antara sesama, mereka tidak akan dapat menganggap bahwa sikap orang lain itu tidak perlu dihiraukan. Karena bagaimanapun juga mereka berada di satu lingkungan dengan orang lain itu dalam tatanan kehidupan. Agung Sedayu dan Sekar Mirah itu pun kemudian sepakat, meskipun tidak terlalu tergesa-gesa, tetapi mereka harus mencari jalan keluar agar Glagah Putih dan Rara Wulan dapat tinggal di rumah yang terpisah. Bagi Prastawa, maka jalan yang terbentang di hadapannya memang terasa menjadi lapang. Bahkan Ki Argajaya telah minta kepadanya agar segala sesuatunya segera diselesaikan, karena Prastawa sudah sepantasnya untuk berumah tangga. Bukan hanya Ki Argajaya, tetapi Ki Gede dan bahkan Pandan Wangi yang masih berada di Tanah Perdikan Menoreh menganjurkan agar Prastawa tidak menunda-nunda lagi niatnya. Bahkan Swandaru itu pun berkata kepadanya, “Mumpung aku masih tinggal beberapa hari di sini. Jika kau perlukan, aku dan Mbokayumu Pandan Wangi akan bersedia menjadi utusan. Tentu saja dalam suasana yang berbeda dari saat kami pergi ke rumah Ki Suracala.” Prastawa tersenyum sambil menunduk. Tetapi ia menjawab, “Pada saatnya aku akan mohon Kakang Swandaru berdua untuk pergi melamar.” “Jangan menunggu aku kembali ke Sangkal Putung, Supaya aku tidak usah hilir mudik,“ jawab Swandaru. Prastawa menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Kami memerlukan persiapan, Kakang.” Swandaru tertawa. Katanya, “Apa yang harus dipersiapkan? Umurmu sudah cukup. Barangkali gadis itu juga sudah dewasa. Landasan hidup berumah tangga sudah cukup pula. Kedudukan, kau sudah punya. Apalagi?” Prastawa mengagguk-angguk. Dengan ragu ia berdesis, “Kami harus membuat persiapan jiwani. Perkawinan bukan saja loncatan dalam bentuk lahiriah dari kehidupan seorang anak muda dan seorang gadis yang kemudian menjadi suami istri. Tetapi, menurut Paman Argapati, perkawinan memerlukan kesiapan jiwani yang matang sehingga akan ada keselarasan hidup.” Swandaru dan Pandan Wangi tertawa. Dengan nada tinggi Pandan Wangi berkata, “Kau sudah pintar Prastawa.” “Sudah aku katakan, menurut Ki Gede.” Ki Gede juga tertawa. Katanya, “Benar. Aku pernah mengatakannya. Aku harap bahwa kau sekarang telah matang sebagaimana aku maksudkan. Juga bakal istrimu. Bukankah kau sudah saling mengenal untuk waktu yang lama?” “Ya, Paman,“ jawab Prastawa, “tetapi kami harus berbicara lebih jauh. Selama ini aku masih saja dibayangi oleh kemauan Ayah yang agak lain dari kemauanku.” “Tetapi bukankah sekarang sudah tidak lagi?“ bertanya Swandaru. “Tetapi kepastian itu baru saja aku dapatkan, Kakang. Meskipun demikian, aku akan mencobanya. Jika kesempatan itu terbuka, maka aku akan memberitahukan kepada Kakang dan Paman.” “Tetapi kau tidak perlu tergesa-gesa, Prastawa. Bertindaklah sewajarnya saja, agar justru tidak menimbulkan persoalan,” berkata Ki Gele. “Ya Paman. Mudah-mudahan setelah persoalan di Kleringan itu selesai, maka segalanya akan dapat berjalan dengan rancak.” Namun dorongan-dorongan itu telah mendesak agar Prastawa segera melangkah lebih jauh. Memang sudah waktunya bagi keluarga Prastawa untuk datang melamar gadis itu. Gadis yang justru termasuk penghuni Tanah Perdikan Menoreh, meskipun terhitung masih belum terlalu lama. Baru beberapa tahun gadis itu bersama keluarganya pindah dari Mangir. Tetapi kakek dan nenek gadis itu memang berasal dan tinggal di Tanah Perdikan Menoreh. Karena kakek dan neneknya sudah menjadi tua, sedangkan tidak ada anak yang lain kecuali orang tua gadis itu, maka keluarga gadis itu diminta untuk pindah ke Tanah Perdikan Menoreh. Sawah dan pategalan yang terhitung luas memang harus ada yang mengurusnya. Tetapi hubungan Prastawa dengan gadis yang terhitung pendatang itu telah mengecewakan beberapa orang gadis Tanah Perdikan yang lain. Seperti Kanthi, maka ada beberapa orang gadis yang merasa kehilangan. Bahkan seorang di antaranya, yang merasa bahwa ia mempunyai harapan seperti juga Kanthi, menjadi sakit karenanya. Tetapi gadis itu mampu mengatasi gejolak perasaannya, sehingga ia tidak terjerumus dalam kesulitan sebagaimana Kanthi. Prastawa memang seorang anak muda yang banyak mendapat perhatian dari gadis-gadis. Mungkin karena ujudnya, tetapi mungkin juga karena sikap dan kedudukannya, atau karena ia adalah kemenakan Ki Gede Menoreh. Karena desakan-desakan itulah, maka di hari berikutnya Prastawa telah pergi menemui gadis itu. Seorang gadis yang sedang tumbuh dewasa. Gadis yang memang cantik sebagaimana Kanthi. Tetapi gadis dari Mangir iru nampak lebih ceria. Ia memandang langit dengan senyum di bibirnya. Ketika langit menjadi kelabu dan senja turun, maka warna-warna ungu di bibir mega membuatnya tersenyum pula. Demikian juga jika malam yang gelap turun. Bintang-bintang di langit atau kunang-kunang di sawah telah membuatnya tersenyum juga. Hatinya yang gembira membuat hidupnya menjadi tegar. Senyum yang tidak pernah lepas dari bibirnya itulah yang telah mendesak Prastawa lebih dekat dengan gadis itu daripada Kanthi. Meskipun Prastawa sama sekali tidak berniat untuk menyakiti hati Kanthi, namun akhirnya demikianlah yang terjadi. Berkuda Prastawa menyusuri jalan-jalan padukuhan menuju ke regol rumah gadis itu. Sudah berpuluh kali ia datang ke rumah itu. Ia selalu disambut dengan senyum ceria oleh Anggreni, gadis yang telah memikat hati Prastawa itu. Bahkan kedua orang tua gadis itu pun selalu menyambutnya dengan ramah. Nampaknya kedua orang tua Anggreni memang tidak berkeberatan sama sekali atas hubungan anaknya dengan Prastawa. Di muka pintu regol yang sedikit terbuka Prastawa menghentikan kudanya, kemudian iapun turun. Sejenak Prastawa termangu-mangu, namun kemudian iapun menuntun kudanya memasuki halaman rumah yang tidak terlalu luas, namun nampak bersih dan terawat dengan baik. Seperti biasanya Prastawa mengikat kudanya pada patok yang tersedia di sebelah pendapa. Kemudian melangkah ke pintu seketheng. Tetapi sebelum Prastawa mengetuk pintu, ia mendengar pintu pringgitan terbuka. Seorang gadis muncul dari pintu pringgitan. Ketika Prastawa berpaling, dilihatnya seleret senyum di bibir Anggreni. “Marilah Kakang. Naiklah,“ Anggreni mempersilahkan. Prastawa mengerutkan keningnya. Anggreni memang tersenyum seperti biasanya. Tetapi nampak sesuatu yang lain dari biasanya. Mata Anggreni tidak bersinar seperti yang biasa dilihatnya. Tetapi Prastawa tidak tergesa-gesa bertanya. Iapun kemudian naik ke pendapa dan segera duduk di pringgitan. “Darimana saja kau Kakang?“ bertanya Anggreni. “Dari rumah Paman Argapati, Anggreni,“ jawab Prastawa yang beringsut setapak. Namun Prastawa semakin menangkap satu suasana yang lain pada gadis itu. Untuk menghilangkan kesan itu, maka Prastawa pun bertanya, “Apakah ayah dan ibumu ada di rumah?” Anggreni mengangguk sambil menjawab, “Ya. Keduanya ada di dalam. Apakah Kakang akan menemui Ayah?” “Tidak,“ jawab Prastawa, “aku hanya merasakan suasana yang lengang di rumah ini.” “Ibu baru masak. Ayah baru saja pulang dari sawah, membuka pematang, menaikkan air untuk mengairi padi yang baru mulai tumbuh.” “Apakah tidak ada orang lain yang melakukannya, sehingga ayahmu sendiri yang membuka pematang?“ bertanya Prastawa. “Bukankah biasanya juga Ayah sendiri yang pergi ke sawah? Hanya untuk pekerjaan yang terlalu berat, Ayah minta orang lain membantunya. Itu pun Ayah juga ikut mengerjakannya,“ jawab Anggreni sambil mengerutkan dahinya. Prastawa mengangguk-angguk. Ia masih bertanya tentang sawah yang baru saja ditanami. Prastawa tahu bahwa sawah kakek Anggreni memang terhitung luas. Demikian juga pategalannya. Dan sawah yang luas itu kemudian telah diserahkan kepada orang tua Anggreni, setelah kakek dan neneknya merasa tidak mampu lagi mengurusnya, sementara ayah Anggreni adalah anak tunggal dari kakek dan neneknya itu. Tetapi perbedaan sikap Anggreni justru semakin terasa. Biasanya Anggreni menjawab pertanyaan-pertanyaan Prastawa dengan cerita yang panjang, diselingi suara tertawanya yang tertahan. Tetapi senyumnya memang tidak pernah pudar dari bibirnya. Tetapi saat itu, meskipun Anggreni masih juga tersenyum, namun senyumnya tidak merekah seperti biasanya. Tetapi Prastawa masih belum menanyakan sebabnya. Prastawa masih berusaha untuk meyakinkan, apakah tanggapannya atas sikap Anggreni itu benar. Namun nampaknya Anggreni sendiri tidak dapat menahan diri terlalu lama. Sebenarnyalah memang ada sesuatu yang menggelitik perasaannya. Dengan sedikit ragu, Anggreni itu pun bertanya, “Kakang, dalam beberapa hari ini Kakang tidak datang kemari?” Prastawa termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menjawab, “Ya, Anggreni. Tugasku agak banyak. Kakang Swandaru dan Mbokayu Pandan Wangi dari Sangkal Putung datang pula mengunjungi Paman Argapati, sehingga aku harus ikut menemuinya dan menemani mereka dalam beberapa hal.“ Anggreni mengangguk-angguk. Tetapi kemudian iapun bertanya, “Apakah Kakang sibuk hanya karena ada tamu dari Sangkal Putung?” Prastawa termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bertanya, “Apakah maksudmu Anggreni?” “Kakang. Aku mendengar kicau burung di semilirnya angin dari barat. Kakimu terantuk ketika kau berjalan-jalan ke seberang pegunungan.” Jantung Prastawa berdesir. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Aku tidak tahu maksudmu, Anggreni. Katakan dengan jelas, apa yang sebenarnya kau maksudkan?” “Kakang. Aku mendengar cerita hubunganmu dengan seorang gadis Kleringan yang bernama Kanthi,” berkata Anggreni kemudian. Jantung Prastawa terasa berdenyut semakin cepat. Namun Prastawa masih berusaha menguasai perasaannya. Bahkan kemudian iapun bertanya, “Apa yang kau dengar tentang gadis yang bernama Kanthi itu? Siapa pula yang telah menyampaikan kabar itu kepadamu?” “Kakang, jika hal ini aku sampaikan kepadamu, karena aku ingin mendengar langsung dari Kakang. Aku sadar bahwa aku tidak boleh mempercayai setiap kabar yang aku dengar, sebelum aku mendapat penjelasan serta keterangan yang lebih pasti,” berkata Anggreni. Prastawa menarik nafas dalam-dalam. Ternyata persoalan yang terjadi di Kleringan itu sudah sampai ke telinga Anggreni. Untunglah bahwa Anggreni cukup dewasa menanggapi berita itu. Meskipun nampak kegelisahan membayang di wajahnya, tetapi gadis itu masih sempat mengendalikan perasaannya dengan penalarannya. Dengan nada rendah Prastawa kemudian bertanya, “Apa yang telah kau dengar tentang gadis Kleringan itu Anggreni? Aku ingin mengetahui sejauh mana berita itu menjalar dari mulut ke mulut. Apakah kau ingat, kapan kau mendengar berita itu, dan barangkali dari siapa?” “Aku sudah mendengar berita ini empat hari yang lalu. Tetapi sejak berita ini aku dengar, kau baru hari ini datang Kakang. Karena itu, aku tidak segera dapat menyampaikannya kepadamu.” Prastawa mengangguk-angguk. Tetapi ia masih bertanya, “Dari siapa kau mendengarnya?” “Dari Ibu,“ jawab Anggreni. Prastawa benar-benar terkejut. Di luar sadarnya ia mengulangi, “Dari Ibu? Tetapi tentu ada orang yang menyampaikannya kepada ibumu?” Anggreni mengangguk. Katanya, “Ya. Memang ada orang yang menyampaikannya kepada Ibu.” “Nah, aku sekarang ingin mendengarnya.” “Seorang perempuan yang tidak Ibu kenal menjumpainya di pasar. Seakan-akan dengan tidak sengaja perempuan itu bercerita, bahwa kemenakan Ki Gede Menoreh telah menodai seorang gadis Kleringan. Namun persoalannya menjadi berkepanjangan karena kemenakan Ki Gede tidak mau bertanggung jawab.” Prastawa mengangguk-angguk. Betapapun jantungnya bergejolak, tetapi ia berusaha untuk menguasai perasaannya. “Anggreni, jika demikian, aku perlu berbicara dengan ibu, dan barangkali juga ayahmu. Aku ingin menjelaskan persoalan ini agar tidak terjadi salah paham,” berkata Prastawa kemudian. Anggreni menarik nafas panjang. Namun ia sependapat, bahwa karena persoalan ini didengarnya dari ibunya, maka ibunya tentu juga perlu mendengar penjelasan Prastawa, karena bagaimanapun juga ayah dan ibunya sudah mengetahui hubungannya dengan kemenakan Ki Gede Menoreh itu. Karena itu, maka Anggreni itu pun kemudian berkata, “Baiklah, Kakang. Aku akan memanggil Ayah dan Ibu.” Prastawa menjadi berdebar-debar. Ia berharap bahwa penjelasannya dapat meyakinkan kedua orang tua Anggreni. Jika tidak, maka persoalannya akan dapat menjadi gawat. Beberapa saat kemudian, ayah dan ibu Anggreni memang keluar dari pintu pringgitan. Namun wajah mereka memang tidak secerah hari-hari sebelumnya. Dengan demikian, maka Prastawa sudah menduga bahwa mereka tentu mendengar cerita yang buram dari Kleringan dalam hubungannya dengan Kanthi. Demikian Ayah Anggreni itu duduk, maka iapun langsung berkata, “Kami memang memerlukan penjelasan Ngger.” Prastawa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baik Paman. Aku memang ingin memberikan penjelasan. Anggreni telah memberitahukan kepadaku, bahwa Paman dan Bibi telah mendengar cerita dari Kademangan Kleringan tentang hubunganku dengan seorang gadis Kleringan yang bernama Kanthi.” “Ya. Bibimu sendiri telah mendengarnya. Seorang yang sedang berbelanja tanpa disengaja telah bercerita tentang tetangganya yang mempunyai seorang anak gadis yang bernama Kanthi. Gadis itu mengandung karena hubungannya dengan Angger Prastawa. Tetapi Angger Prastawa tidak mau bertanggung jawab, karena Angger Prastawa sudah menentukan pilihannya. Seorang gadis Tanah Perdikan Menoreh.” Prastawa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Paman, aku ingin menjelaskan tentang hal ini. Persoalan ini sudah diselesaikan tiga hari yang lalu. Sehari setelah bibi mendengar cerita itu dari seorang yang seakan-akan tidak sengaja itu.” “Maksud Angger? Bagaimana bentuk penyelesaian itu? Maaf Ngger. Kami ingin mengetahuinya, karena Angger mempunyai hubungan dengan anakku. Apakah penyelesaian itu berarti bahwa Angger harus menikahinya, atau dengan syarat telah meninggalkan gadis itu menjadi layu dan runtuh sendiri dari tangkainya, atau Angger telah menemukan seseorang yang bersedia menikahinya dengan imbalan tertentu?” “Tidak, Paman. Karena sebenarnya aku tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan kehamilan gadis itu.” “Angger. Angger adalah kemanakan seseorang pemimpin yang disegani bukan saja di Tanah Perdikan ini, tetapi juga di lingkungan sekitarnya. Apakah Ki Gede yang mengambil keputusan bahwa Angger tidak bersalah, kemudian keputusan Ki Gede itu menjadi sah dan berlaku tanpa dapat diganggu-gugat?” Prastawa memang tersinggung. Tetapi ia berhadapan dengan ayah Anggreni. Karena itu, maka ia harus menahan dirinya. Dengan dada yang terasa mulai pepat, Prastawa bertanya, “Apakah Paman dan Bibi mempercayai cerita orang yang seolah-olah tidak sengaja itu?” “Kenapa seolah-olah?“ bertanya ibu Anggreni. “Justru karena orang itu tahu bahwa ia berbicara dengan Bibi. Dengan ibu Anggreni.” Dahi ibu Anggreni itu berkerut. Dengan nada tinggi ia berkata, “Kenapa jika ia mengetahui bahwa ia berbicara dengan aku, dengan ibu Anggreni?” “Dengan demikian orang itu yakin, bahwa akan terjadi persoalan di sini, di rumah ini. Orang itu tentu berharap bahwa keluarga Anggreni akan terpengaruh.” “Apakah keuntungan orang itu?“ bertanya ibu Anggreni. “Jika orang itu sengaja dikirim dari Kleringan, maka tujuannya tentu jelas,“ jawab Prastawa. Ibu Anggreni menarik nafas dalam-dalam. Namun ayah Anggreni-lah yang bertanya, “Jadi kau menduga bahwa orang itu dikirim oleh keluarga gadis yang dikatakan hamil itu?” “Menurut penalarannya memang demikian. Tetapi ternyata tidak. Gadis itu sendiri serta orang tuanya tidak pernah berniat memfitnah aku. Tetapi justru orang lain,“ jawab Prastawa. Kedua orang tua Anggreni itu pun nampak manjadi bingung. Demikian pula Anggreni sendiri. Namun dalam pada itu, maka Prastawa pun segera menceritakan apa yang telah terjadi di Kleringan. Justru sehari setelah berita fitnah itu sampai ke telinga keluarga Anggreni. Dengan demikian maka fitnah yang direncanakan dengan baik itu telah melengkapi fitnah dan ancaman Ki Suratapa dan Ki Suradipa. “Jadi Angger benar-benar tidak ada sangkut pautnya dengan kehamilan gadis itu?” Prastawa menggeleng. Katanya, “Jika masih ada keragu-raguan, maka biarlah aku mempertemukan Anggreni dan Kanthi, atau ayah dan ibunya.” “Tidak Kakang,“ Anggreni dengan serta merta menyahut, “jika aku bersedia melakukannya, maka aku telah menambah derita yang sedang dialaminya. Aku akan menambah luka yang menganga di hatinya. Gadis itu sudah cukup menderita.” Prastawa tidak segera menyahut. Di luar sadarnya, ia membayangkan kembali penderitaan yang dialami oleh Kanthi yang telah salah melangkah. Tetapi Prastawa itu tidak dapat menolongnya jika ia tidak bersedia mengorbankan dirinya sendiri, serta mengorbankan pula perasaan Anggreni yang mungkin akan dapat terjerumus seperti Kanthi itu pula. Sesaat suasana menjadi hening. Ayah, ibu, serta Anggreni sendiri tengah merenungi peristiwa yang terjadi di Kademangan Kleringan. Agaknya keluarga Ki Suratapa dan Ki Suradipa itu telah menempuh segala cara untuk menjebak Prastawa. Dalam keheningan itu, kemudian terdengar suara ayah Anggreni dengan nada berat, “Aku minta maaf Ngger, bahwa aku sudah berprasangka buruk.” “Tidak hanya Paman dan Bibi yang sudah berprasangka buruk terhadapku,“ jawab Prastawa, “bahkan ayah dan keluargaku sendiri pun telah berprasangka buruk. Bahkan Ayah hampir saja menjatuhkan hukuman atasku karena fitnah itu. Untunglah bahwa Kanthi sendiri bersikap jujur. Jika Kanthi ikut memfitnahku, maka habislah kesempatanku untuk mengharapkan satu masa depan yang cerah.” Ayah dan ibu Anggreni itu mengangguk-angguk, sementara Anggreni justru merenung. “Nah, sudahlah Ngger,” berkata ayah Anggreni kemudian, “sekali lagi aku minta maaf. Kami sekeluarga hampir saja termakan oleh fitnah itu.“ “Kita akan melupakannya Paman. Aku pun berusaha untuk melupakan pengalaman pahit itu,“ jawab Prastawa. Dengan demikian, maka ayah dan ibu Anggreni itu pun mempersilahkan Prastawa untuk duduk bersama Anggreni. “Aku akan menyelesaikan pekerjaanku, Angger,” berkata ayah Anggreni itu. Sepeninggal ayah dan ibunya, maka Anggreni itu pun berdesis, “Kasihan gadis itu Kakang.” “Ya. Tetapi aku tidak dapat berbuat sesuatu,“ jawab Prastawa dengan dahi yang berkerut. “Aku merasa ikut bersalah,” berkata Anggreni kemudian. “Kenapa kau merasa ikut bersalah?“ bertanya Prastawa. “Aku merasa seakan-akan aku telah merampasmu dari gadis itu,“ jawab Anggreni. “Kau boleh saja merasa seakan-akan telah melakukannya. Karena seakan-akan adalah tidak mengandung arti satu kenyataan,” sahut Prastawa. Anggreni itu menarik nafas dalam-dalam. Ia juga pernah mendengar tentang seorang gadis yang jatuh sakit ketika ia menyadari bahwa Prastawa tidak mencintainya. Yang lain menjadi gadis perenung untuk beberapa lama. Namun Kanthi benar-benar menjadi berputus asa. Tetapi keputus-asaannya itu telah menyeretnya ke dalam kesulitan yang lebih parah. “Tetapi apakah sudah sewajarnya kita menyalahkan diri sendiri? Jika demikian, setiap langkah kita telah membuat kesalahan. Dengan demikian maka kita akan merasa hidup di dalam pengapnya bayangan kesalahan-kesalahan itu, sehingga kita akan tenggelam tanpa dapat bangkit lagi,” berkata Prastawa kemudian. Anggreni mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti sikap Prastawa itu. Sehingga dengan demikian, maka ia tidak akan selalu dibayangi oleh perasaan takut salah untuk mengambil keputusan. Dengan demikian, maka segalanya menjadi jelas bagi Anggreni. Prastawa memang bukan orang yang terlibat langsung dalam persoalan gadis Kleringan itu. Namun karena pembicaraan itu, Prastawa yang ingin berbicara lebih jauh tentang hubungan mereka, terpaksa menunda niatnya. Suasananya agaknya kurang memungkinkan jika ia bertanya kepada Anggreni apakah orang tuanya atau utusannya dapat dalam waktu dekat datang untuk dengan resmi mengajukan lamaran, serta membicarakan hari-hari perkawinan mereka. Tetapi setelah penjelasan yang diberikan Prastawa itu, maka hubungan Anggreni dan Prastawa selanjutnya telah menjadi pulih kembali. Wajah Anggreni kembali selalu nampak ceria oleh senyum yang selalu menghiasi bibirnya. Namun dalam pada itu, keadaan Kanthi justru sebaliknya. Meskipun Ki Demang Kleringan telah berhasil menyelesaikan persoalan yang menyangkut keluarga Kanthi, keluarga Ki Suratapa dan keluarga Ki Wreksadana, apalagi karena Ki Wreksadana nampaknya menyadari keterlanjuran mereka, namun keadaan Kanthi sendiri masih belum terselesaikan. Ki Wreksadana dan kedua orang saudara seperguruannya yang sudah menjadi sedikit membaik telah meninggalkan rumah Ki Suracala. Kedua saudara seperguruan Ki Wreksadana pun ternyata dapat menahan diri, setelah Ki Wreksadana memberikan penjelasan kepada mereka. Bahkan Ki Wreksadana itu telah menyatakan kesediaannya untuk menyelesaikan persoalan Wiradadi. Namun bagaimanapun juga, masih tidak terlalu memuaskan bagi keluarga Ki Suracala. Apalagi ketika Kanthi sendiri menyatakan bahwa ia tidak mau lagi berhubungan dengan Wiradadi, apapun yang akan terjadi atas dirinya. Dengan demikian, maka yang tinggal di Kleringan adalah keluarga Kanthi yang disaput oleh keprihatinan. Sementara itu dari hari ke hari, perubahan yang terjadi atas tubuh Kanthi pun menjadi semakin jelas. Keluarga Ki Suracala tidak akan lagi mampu menyembunyikan rahasia tentang anak gadisnya. Sementara Kanthi sendiri sudah tidak pernah lagi keluar dari halaman rumahnya. Suasana yang suram itu berlangsung dari hari ke hari tanpa melihat secerah sinar pun yang akan dapat menerangi hari-hari yang datang kemudian. Namun ternyata bahwa Rara Wulan tidak mengingkari janjinya. Ia telah mengajak Glagah Putih untuk melihat keadaan Kanthi. Ketika hal itu disampaikan kepada Agung Sedayu, maka Agung Sedayu memang menjadi ragu-ragu. Jika masih ada dendam tersangkut di Kademangan Kleringan, maka keduanya akan dapat menemui kesulitan. Karena itu, maka Agung Sedayu pun telah menyampaikan hal itu kepada Ki Jayaraga, yang telah berangsur baik kembali. “Jika Angger Rara Wulan dan Glagah Putih bersedia menunggu dua tiga hari lagi, aku akan mengantarkan mereka,“ jawab Ki Jayaraga. “Apakah Ki Jayaraga merasa sudah pulih kembali?“ bertanya Agung Sedayu. “Dua tiga hari lagi, aku benar-benar telah pulih. Sejak kemarin aku sudah mulai berada di sanggar. Rasa-rasanya keadaanku sudah menjadi baik kembali. Bahkan rasa-rasanya segala sesuatunya sudah pulih seperti sediakala.” “Syukurlah,“ Agung Sedayu mengangguk-angguk, “tetapi jika Ki Jayaraga masih ingin beristirahat, biarlah orang lain mengantarnya. Keadaan tentu sudah berubah.” “Dalam dua tiga hari lagi, aku benar-benar sudah baik,“ jawab Ki Jayaraga. Dengan demikian maka Agung Sedayu pun telah minta kepada Glagah Putih dan Rara Wulan untuk menunda kepergian mereka sampai dua atau tiga hari lagi. Ketika Glagah Putih menyampaikan hal itu kepada Rara Wulan, maka Rara Wulan itu pun berkata, “Rasa-rasanya aku sudah ingin meloncat sekarang juga.” “Tetapi ada baiknya kita mendengarkan petunjuk orang-orang tua, Rara.” “Kenapa kita harus menungu Ki Jayaraga? Bukankah tidak akan ada gangguan di perjalanan?“ bertanya Rara Wulan. “Orang-orang tua biasanya terlalu berhati-hati. Tetapi jika kita tidak mau mendengarkan mereka, jika terjadi sesuatu maka kesalahan kita akan menjadi ganda.” Rara Wulan tidak dapat memaksakan kehendaknya. Bagaimanapun juga ia memang harus menghormati pendapat Agung Sedayu. Karena itu maka katanya, “Kita menunda kepergian kita tiga hari. Tetapi tidak akan diperpanjang lagi. Rasa-rasanya aku ingin segera menemui Kanthi. Apalagi aku sudah berjanji. Kanthi akan dapat menganggap aku mengingkari janji itu.” Yang tiga hari itu rasa-rasanya lama sekali bagi Rara Wulan. Sementara itu dalam waktu tiga hari, Ki Jayaraga meyakinkan dirinya, bahwa ia benar-benar telah menjadi pulih kembali, sehingga iapun telah siap untuk pergi ke Kademangan Kleringan di keesokan harinya. Dalam pada itu, malam itu Prastawa telah berbicara dengan Swandaru dan Pandan Wangi. Hari itu ia sudah berbicara dengan Anggreni, bahwa Anggreni sendiri sudah siap untuk menerima lamaran keluarga Prastawa. “Bagaimana dengan kedua orang tuanya?“ bertanya Swandaru. “Anggreni akan menyampaikannya kepada ayah dan ibunya, bahwa dalam waktu dekat akan datang utusan dari Ayah untuk menghadap ayah dan ibunya itu.” Swandaru dan Pandan Wangi mengangguk-angguk. Dengan senyum di bibirnya Swandaru berkata, “Jika demikian, aku akan menunda rencanaku untuk kembali ke Sangkal Putung. Mudah-mudahan tidak ada persoalan yang mendesak.” “Aku memang akan minta Kakang untuk bersabar,” berkata Prastawa kemudian. “Tetapi aku minta Paman segera mengambil keputusan, kapan aku harus pergi melamar. Jangan terlalu lama. Jika tiba-tiba ada tugas memanggil sehingga aku harus pulang, maka aku dan Mbokayumu tentu juga merasa kecewa.” “Baiklah Kakang. Aku akan berbicara dengan Ayah nanti. Besok pagi aku akan menghadap Paman Argapati, dan sudah tentu aku minta Kakang dan Mbokayu ikut berbicara pula,“ jawab Prastawa. “Kali ini kami akan benar-benar melamar,” berkata Swandaru, “tentu saja dengan harapan tidak terjadi keributan seperti di Kleringan.” “Tentu tidak Kakang,“ jawab Prastawa, “segala pihak telah menyetujui. Agaknya juga tidak ada pihak lain yang akan dapat menjadi hambatan setelah persoalan di Kleringan itu diselesaikan, meskipun dengan cara yang tidak diharapkan.” Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, “Nah, segeralah minta keputusan Paman Argajaya. Bagi kami, semakin cepat tentu semakin baik.” Di rumah Agung Sedayu, Wacana yang sudah menjadi semakin baik itu duduk di serambi. Udara memang agak panas di dalam. Glagah Putih duduk menemaninya. Di serambi memang terasa angin bertiup perlahan menyapu kulit wajah kedua orang anak muda itu. Lampu minyak di pendapa tampak menggeliat mengguncang bayangan tiang-tiang yang berdiri tegak membeku. Dalam heningnya malam yang semakin dalam, Wacana bertanya, “Apakah kau jadi akan pergi ke Kleringan?” “Ya,“ jawab Glagah Putih, “mengantar Rara Wulan yang sudah berjanji untuk mengunjungi Kanthi.” “Kapan?“ bertanya Wacana. “Sebenarnya kami sudah akan pergi. Tetapi Ki Jayaraga minta kami menunda sampai tiga hari.” “Tiga hari sejak kapan?“ bertanya Wacana kemudian. “Sejak kemarin lusa. Jadi besok adalah hari penundaan yang terakhir. Dengan demikian, maka besok lusa kami akan pergi.” Wacana menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Besok lusa keadaanku tentu sudah baik pula.” Glagah Putih mengerutkan dahinya. Hampir di luar sadarnya ia bertanya, “Maksudmu?” Wacana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian dengan ragu-ragu ia berkata, “Sebenarnya aku juga ingin berjalan-jalan agar keadaanku segera menjadi pulih kembali. Jika aku hanya berada di rumah atau di halaman ini saja, maka tenagaku akan lambat sekali dapat tumbuh kembali.” “Ya. Aku sependapat. Tetapi tentu dari sedikit. Kau tidak dapat dengan serta-merta menempuh perjalanan ke Kleringan.” “Tetapi bukankah Kleringan tidak tarlalu jauh?” “Jika kau tidak dalam keadaan seperti sekarang, tentu Kleringan dapat kau tempuh dalam beberapa saat saja. Kita hanya sedikit meloncat bukit. Tetapi kau harus mengingat keadaanmu.” Wacana mengangguk-angguk. Katanya, “Aku terlambat bangkit. Jika sejak beberapa hari yang lalu aku mulai berjalan-jalan setiap pagi dan sore, maka sekarang aku tentu sudah sehat kembali. Ki Jayaraga sudah mengalami luka di dalam sampai dua kali. Sekarang Ki Jayaraga sudah sembuh pula.” “Keadaanmu berbeda dengan keadaan Ki Jayaraga, Wacana. Selebihnya, lukamu memang lebih parah dari luka Ki Jayaraga, yang memiliki dasar ketahanan tubuh yang luar biasa, yang agaknya sudah ditempa berpuluh tahun sejalan dengan umurnya.” Wacana mengangguk-angguk. Sementara Glagah Putih berkata selanjutnya, “Tetapi kau tidak terlambat, Wacana. Aku lihat kau setiap kali sudah berjalan-jalan di halaman. Wajahmu juga sudah tidak nampak pucat, sementara anggota tubuhmu mulai bergerak dengan wajar. Kau juga tidak nampak terlalu kurus seperti beberapa hari yang lalu.” Wacana mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Aku juga sudah merasa jauh lebih baik.” “Tetapi belum cukup baik untuk berjalan ke Kleringan,“ sahut Glagah Putih dengan serta-merta. Wacana masih mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya dengan nada dalam, “Aku masih juga merasa kasihan kepada Kanthi.” “O,“ Glagah Putih mengerutkan dahinya. Kemudian katanya, “Rara Wulan juga tidak pernah dapat melupakannya. Karena itu maka ia berkeras untuk pergi ke Kleringan.” “Apalagi nampaknya masih belum terbayang satu penyelesaian yang tuntas,“ desis Wacana. “Ya. Tetapi entahlah sekarang. Mudah-mudahan ada cara untuk menyelamatkan hari depannya,“ jawab Glagah Putih. “Sekali ia tergelincir,” desis Wacana, “seharusnya belum berarti pintu masa depannya diselarak tanpa dapat dibuka sama sekali.” Glagah Putih tidak segera menjawab. Tetapi kepalanya terangguk-angguk kecil. Untuk beberapa saat keduanya pun terdiam. Masing-masing dengan angan-angannya. Namun keduanya masih saja memikirkan tentang keadaan Kanthi yang diayun-diayunkan oleh nasibnya yang belum menentu. Namun dalam pada itu, ketika malam menjadi semakin dalam, maka Glagah Putih pun berkata, “Wacana. Kau masih harus banyak beristirahat. Hari sudah larut malam. Tidurlah. Agaknya angin malam yang terlalu banyak masih harus kau hindari.” Wacana mengangguk-angguk. “Di dalam, udara terasa terlalu panas.” “Mungkin sekarang sudah tidak lagi,“ jawab Glagah Putih. Wacana mengangguk-angguk. Kemudian iapun bangkit berdiri sambil berkata, “Baiklah. Aku akan tidur.” Dalam pada itu Glagah Putih pun telah bangkit pula. Ketika Wacana masuk ke ruang dalam, maka Glagah Putih pun telah melingkar lewat seketheng. Ia sudah mengira bahwa anak yang membantu di rumah itu tentu sudah bersiap-siap pergi ke sungai. Namun agaknya anak yang baru bangun dari tidurnya itu masih mengantuk. Sambil menggosok matanya, iapun menguap lebar-lebar. “He,“ sapa Glagah Putih, “jangan pergi ke sungai sambil tidur.” Anak itu berpaling. Di luar sadarnya ia berkata, “Apakah kau juga akan pergi ke sungai?” “Baiklah,“ jawab Glagah Putih, “kali ini aku ikut pergi ke sungai.” Anak itu mengangguk-angguk kecil. Katanya kemudian, “Bawa icir itu. Aku membawa cangkul dan kepis.” Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun menjawab, “Hamba, Sang Pangeran.” Tetapi anak yang sudah mulai melangkah itu pun berhenti. Bahkan kemudian ia memutar tubuhnya menghadap Glagah Putih. Namun sebelum anak itu berkata sesuatu, Glagah Putih telah mendahului, “Ayolah. Jangan terlalu malam.” Anak yang sudah akan membuka mulutnya itu urung mengatakan sesuatu. Tetapi ia melangkah sambil memanggul cangkul dan menjinjing kepis. Glagah Putih tersenyum sambil berjalan mengikutinya. Ketika mereka hampir sampai di sungai, maka dua kawannya pun sedang turun pula sambil membawa cangkul, icir dan kepis. Glagah Putih berjalan beberapa langkah di belakang ketiga orang anak itu. Namun ia mendengar anak-anak itu berbincang di antara mereka. “Anak itu keras kepala,” berkata salah seorang dari kedua orang anak itu. “Bukankah kita tidak banyak berkepentingan dengan anak itu, sehingga kita dapat menjauhinya?” berkata anak yang tinggal di rumah Agung Sedayu itu. “Tetapi anak itu selalu saja mengganggu,“ jawab kawannya. “Kita jauhi saja anak itu,“ jawab anak yang tinggal di rumah Agung Sedayu itu. Glagah Putih justru terkejut mendengar jawab anak itu. Selama ini anak yang tinggal bersamanya itu kadang-kadang sulit dikendalikan. Ia termasuk anak yang sering berkelahi. Namun tiba-tiba ia mendengar jawaban yang tidak diduganya. “Mudah-mudahan pribadinya berkembang semakin baik,” desis Glagah Putih, yang kemudian seakan-akan berkata kepada diri sendiri, “jika kelak ia ternyata mampu menahan dirinya dalam pergaulannya dengan kawan-kawannya, aku akan mengajarinya ilmu bela diri lebih banyak lagi.” Sementara itu kawannya pun berkata pula, “Jika ia turun ke sungai, maka ia tentu akan menimbulkan persoalan lagi.” “Kita beritahukan saja kepada Pinang. Bukankah anak itu tamu keluarga Pinang? Biarlah Pinang sedikit mengekangnya,” berkata anak yang tinggal di rumah Agung Sedayu itu. “Agaknya Pinang mengalami kesulitan. Apalagi anak itu nampaknya sudah terbiasa dibiarkan berbuat apa saja. Mungkin ia termasuk anak manja. Kakaknya juga sangat memanjakannya. Menurut Pinang, jika Pinang berusaha mencegah kenakalannya, kakaknya justru membantunya dan menyalahkan Pinang.” “Maksudmu, kakak Pinang atau kakak anak itu?” “Kakak anak itu. Bukankah ia sekeluarga menjadi tamu Pinang untuk beberapa hari?” “Untuk apa ia berada di rumah Pinang sampai beberapa hari?” “Entahlah,“ jawab kawannya, “menurut Pinang, nampaknya saudara-saudara ayahnya sedang sibuk membagi warisan.” Anak yang tinggal bersama Glagah Putih itu mengangguk-angguk. Namun kemudian mereka tidak memperpanjang pembicaraan mereka, karena mereka sudah berada di tepian. Karena itu maka mereka pun telah pergi ke pliridan mereka masing-masing. Ketika Glagah Putih yang membawa icir itu kemudian memasangnya sementara anak itu menutup pintu pliridan, maka Glagah Putih sempat bertanya, “Kenapa anak itu dikatakan nakal?” “Ia sering mengganggu anak-anak yang sedang bermain. Bahkan kadang-kadang menyakiti, sehingga anak-anak yang lebih kecil sering menangis ketakutan.” “Apakah anak-anak yang lebih besar tidak mencegahnya?” bertanya Glagah Putih. Anak itu tidak menjawab. Ia sibuk mengayunkan cangkulnya menutup pintu air yang masuk ke dalam pliridannya. Baru kemudian ia menjawab, “Aku tidak pernah bermain bersamanya sejak ia datang ke rumah Pinang. Aku juga belum pernah melihat kakaknya yang selalu membantunya. Agaknya anak-anak yang lebih besar segan mencampurinya justru karena kakaknya.” “Seberapa besar kakaknya itu?“ bertanya Glagah Putih pula. Anak itu meletakkan cangkulnya. Sambil bertolak pinggang ia menjawab, “Bukankah aku belum pernah melihatnya.” “O, maaf,” Glagah Putih pun tersenyum melihat anak yang bertolak pinggang itu. Namun demikian anak itu pun menyelesaikan pekerjaannya, sementara Glagah Putih juga sudah selesai memasang icir. Dengan demikian maka anak itu pun segera menggiring ikan dari mulut pliridannya yang sudah tertutup menuju ke tempat icir dipasang di bagian bawah. Namun pekerjaan itu ternyata telah terganggu. Mereka mendengar suara ribut di bagian atas tikungan sungai itu. Agaknya suara itu antara lain adalah suara kedua orang kawannya yang turun bersama-samanya tadi. “Apa yang terjadi?“ bertanya Glagah Putih. “Bagaimana aku tahu? Kita bersama-sama ada di sini,“ jawab anak itu. Glagah Putih hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Namun dalam pada itu, anak itu pun kemudian berkata, “Aku ingin melihat apa yang terjadi di sebelah tikungan.” Tanpa menunggu lagi, anak itu pun segera berlari meninggalkan pliridannya. Sementara itu, ia masih belum selesai menggiring ikan di pliridannya yang airnya tinggal sedikit itu. Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian telah melangkah ke tikungan pula. Glagah Putih menjadi cemas bahwa anak-anak itu terlibat dalam perselisihan. Demikian Glagah Putih sampai di tikungan, ia memang melihat beberapa orang yang sedang ribut. Seorang anak yang gemuk sedang mengumpati kedua orang anak yang sedang menutup pliridan. “Kenapa aku tidak boleh mengambil ikan di sungai? Apa ini sungai milikmu?“ bertanya anak yang gemuk itu. “Tetapi ini pliridanku,“ jawab salah seorang dari kedua orang anak yang sedang menutup pliridan itu, “kami membuatnya dengan susah payah. Kami membukanya di sore hari dan sekarang kami yang berhak menutup dan mengambil ikannya.” “Aku tidak peduli,“ jawab anak yang gemuk itu, “aku mengambil ikan di sungai. Semua orang boleh mengambilnya.” “Tetapi pliridan ini miliknya, Wikan. Di sini ada semacam kesepakatan, bahwa ikan yang ada di pliridan seseorang, adalah hak dari mereka yang membuat pliridan itu,“ seorang anak yang sedikit lebih besar mencoba menjelaskan. Ternyata anak itu adalah Pinang. “Omong kosong,” berkata anak yang gemuk yang disebut Wikan itu, “dimana-mana tentu akan diakui bahwa ikan di sungai itu milik siapa saja yang dapat menangkapnya.” “Benar,“ jawab Pinang, “pliridan adalah alat untuk menangkap ikan. Karena itu, ikan yang sudah terperangkap di pliridan adalah hak mereka yang mempunyai alat tersebut. Sebagaimana seseorang yang menjala ikan. Maka ikan yang terjerat jalanya adalah hak orang itu.” “Tidak sama. Pliridan seperti ini justru melanggar hak orang banyak. Kenapa ia membuat pematang di tepian dan kemudian berusaha membendung agar air sungai ini mengalir ke dalamnya?“ jawab Wikan. “Mungkin kesepakatan ini tidak sama dengan kesepakatan di tempat tinggalmu. Tetapi karena sungai ini ada di sini, maka yang berlaku di sini adalah kesepakatan di Tanah Perdikan Menoreh ini,” berkata Pinang. “Aku tidak mengakui kesepakatan itu, “jawab Wikan, “aku akan mengambil ikan di sungai ini.” “Jangan Wikan,” cegah Pinang. Namun tiba-tiba seorang anak muda yang berdiri di tanggul sungai itu berkata, “Biarkan anak-anak itu menyelesaikan persoalan mereka sendiri, Pinang.” Pinang berpaling. Dilihatnya anak muda yang berdiri bertolak pinggang itu. “Tetapi Wikan telah melanggar kesepakatan yang berlaku di sini, Wasis,“ jawab Pinang. “Justru Wikan bukan anak dari Tanah Perdikan ini, ia tidak terikat pada kesepakatan yang berlaku di sini,” berkata Wasis yang berdiri di atas tanggul itu. “Menurut pendapatku, itu justru terbalik. Karena sekarang Wikan berada di sini, ia harus menurut kesepakatan yang berlaku di sini,” jawab Pinang. “Sudahlah Pinang, kau tidak usah berpihak. Biarlah Wikan menyelesaikan persoalannya dengan anak-anak itu. Bukankah kau justru diminta Wikan untuk mengantarnya melihat-lihat sungai ini di malam hari?“ berkata Wasis. “Ya, justru di siang hari Wikan melihat beberapa pliridan dan bertanya tentang pliridan itu,“ jawab Pinang. “Naik sajalah Pinang. Biarkan Wikan berbuat sesuatu dengan kehendaknya.” “Juga jika sikapnya bertentangan dengan kesepakatan orang banyak?“ bertanya Pinang. Wasis termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Wikan mempunyai sikap sendiri terhadap kesepakatan itu.” “Jadi aku harus membiarkan saja apa yang akan terjadi?“ bertanya Pinang. “Ya,“ jawab Wasis. “Baiklah. Jika demikian, aku tidak akan ikut campur,” berkata Pinang sambil bergeser menjauh. “Nah, sekarang kalian mau apa?“ tiba-tiba Wikan bertanya kepada anak-anak itu. Kedua orang anak yang sedang menutup pliridan itu termangu-mangu. Mereka mengetahui bahwa Wasis itu selalu turut campur jika terjadi persoalan antara adiknya dengan anak-anak Tanah Perdikan. Anak-anak itu juga masih merasa segan, justru karena Wikan bagi mereka adalah tamu yang pantas mendapat perlakuan yang baik. Anak-anak itu juga segan terhadap Pinang, yang bagi anak-anak kawan sepermainannya dianggap anak yang ramah dan suka membantu kawan-kawannya yang sedang dalam kesulitan. Untuk beberapa saat kedua orang itu masih saja termangu-mangu. Sementara itu Wikan berkata, “Kalian jangan mencoba menghalangi aku lagi. Aku akan mencari ikan di sungai ini. Salah kalian, kenapa kalian membuat pliridan di sini, sementara sungai itu adalah milik semua orang.” Namun tiba-tiba saja anak yang tinggal di rumah Agung Sedayu itu-lah yang menjawab, “Tidak. Kau tidak boleh mencari ikan di dalam sebuah pliridan. Apalagi pliridan yang sedang ditutup. Aku sekarang juga menutup pliridan. Dan kau juga tidak boleh mencari ikan di dalam pliridanku itu.” Anak yang gemuk itu berpaling. Wajahnya menegang. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Kenapa kau ikut campur?“ bertanya anak yang gemuk itu. “Aku anak padukuhan induk Tanah Perdikan ini. Aku tahu benar kesepakatan yang berlaku di sini. Tidak seorangpun boleh melanggarnya. Juga seorang tamu. Karena itu, urungkan niatmu mencari ikan di dalam pliridan yang sudah tertutup itu.” “Siapa kau?” bentak anak yang gemuk itu. “Sudah aku katakan. Aku salah seorang anak padukuhan induk ini. Siapapun aku, sikapku akan sama dengan sikap anak-anak yang lain.” “Kau berani melarang aku?“ bertanya anak yang gemuk itu. Anak yang tinggal di rumah Agung Sedayu itu justru melangkah mendekat. Namun Glagah Putih sempat berdesis, “Berbicaralah dengan baik.” Anak itu berpalingpun tidak. Semakin lama ia menjadi semakin dekat dengan anak yang gemuk itu. Meskipun anak yang tinggal di rumah Agung Sedayu itu agak lebih kecil dan lebih muda dari anak yang gemuk itu, namun ia sama sekali tidak merasa ragu untuk mendekatinya sambil berkata, “Tinggalkan pliridan kawanku ini. Jika kau memaksa untuk mengambil ikan dari pliridan yang sudah ditutup ini, maka aku akan memaksamu pergi.” Wajah Wikan itu menjadi tegang. Dipandanginya anak yang menegurnya itu dengan tajamnya. Kemudian iapun bersikap untuk berkelahi sambil berkata, “Tidak ada orang yang berani melawanku. Jika kau paksa aku berkelahi, maka aku akan mematahkan tanganmu.” Glagah Putih menjadi tegang. Anak yang dapat menasehati kawan-kawannya itu ternyata tidak dapat mengekang dirinya ketika rasa keadilannya tersinggung. Bahkan kemudian ia tidak menunggu lebih lama lagi. Demikian anak yang gemuk itu bersikap, maka iapun segera menyerangnya. Wikan terkejut. Tetapi ia terlambat. Kedua tangan lawannya yang kecil itu telah memukul wajahnya berganti-ganti, sehingga Wikan yang gemuk itu terhuyung-huyung beberapa langkah surut. Namun kemudian kemarahannya telah membakar kepalanya, sehingga sambil berteriak keras-keras ia berlari menyerang dengan tangan yang mengembang. Glagah Putih hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Perkelahian itu sudah terjadi. Ketika ia melihat serangan anak yang gemuk itu, Glagah Putih pun menahan nafasnya. Anak itu tentu memiliki kekuatan yang sangat besar, sehingga ia lebih senang bergulat daripada berkelahi pada satu jarak tertentu. Namun anak yang tinggal bersama Glagah Putih itu ternyata tidak membiarkan dirinya dicengkam kedua tangan lawannya. Ia tidak ingin berkelahi tanpa jarak. Anak yang sedikit lebih tua daripadanya itu tentu memiliki kekuatan yang lebih besar. Apalagi tubuhnya yang gemuk itu memberikan kesan bahwa ia akan dapat memilin tubuh lawannya sehingga tidak dapat bergerak lagi. Karena itu, maka anak itu pun berusaha berkelahi pada jarak tertentu. Ketika Wikan menyerang dengan tangan yang mengembang siap untuk menerkam pinggangnya dan menekannya sehingga tidak dapat bernafas, maka dengan tangkasnya anak itu pun telah meloncat menyerang. Dengan cepat ia melenting menyamping. Kakinya terjulur lurus langsung menghantam dada. Anak yang gemuk itu terkejut. Sekali lagi ia terdorong surut beberapa langkah. Namun sebelum ia sempat memperbaiki keadaannya, maka sekali lagi lawannya meluncur dengan derasnya. Sekali lagi kakinya terjulur menghantam dadanya. Ternyata Wikan tidak mampu mempertahankan keseimbangannya lagi. Iapun kemudian telah terlempar jatuh terlentang. Dengan agak susah karena tubuhnya yang gemuk, Wikan berusaha untuk bangkit. Sementara itu lawannya yang lebih kecil itu ternyata masih mampu menahan diri, sehingga ia tidak menyerangnya saat Wikan mempersiapkan dirinya. Dengan wajah yang merah menyala Wikan itu berkata lantang, “Anak yang tidak tahu diri. Kau telah menyerang aku dengan tiba-tiba sebelum aku bersiap. Tetapi kau jangan bermimpi dapat mengulanginya lagi.” Namun demikian mulutnya terkatup, anak yang tinggal di rumah Agung Sedayu itu telah meloncat menyerang. Ia tidak mempergunakan kakinya. Tetapi ia meloncat mendekati anak yang gemuk itu. Dengan pangkal telapak tangannya ia menyerang dagu Wikan. Dengan cepat dan tiba-tiba, sehingga Wikan tidak sempat mengelak dan tidak pula sempat menangkis. Kepala Wikan terangkat. Kesempatan itu dipergunakan oleh lawannya yang kecil itu untuk menyerang perutnya. Sambil melangkah maju, tangannya yang sebelah telah memukul perut anak yang gemuk itu. Pukulan anak itu terhitung keras. Karena itu, maka Wikan pun mengaduh sambil menunduk. Namun lawannya tidak melepaskan kesempatan itu. Tangannya sekali lagi terayun dengan derasnya. Namun pada saat-saat terakhir tangannya itu telah berubah arah. Ia tidak memukul tengkuk anak yang gemuk itu. Tetapi ia hanya memukul pundaknya saja. Tetapi pukulan itu sangat kerasnya, sehingga mendorong Wikan jatuh tertelungkup di atas pasir tepian. Wajahnya tersuruk ke dalam pasir, sehingga butir-butir pasir telah masuk ke dalam matanya dan juga ke dalam mulutnya. Lawannya yang melihat Wikan terjerembab tidak menyerangnya lagi. Ia justru telah melangkah surut. Sekali lagi dengan susah payah anak gemuk itu bangkit. Matanya memang terasa pedih, sementara mulutnya bagaikan disumbat dengan pasir. Karena itu, maka terhuyung-huyung ia justru melangkah ke air. Dengan serta-merta ia menyurukkan kepalanya ke dalam aliran air di bagian tepi sungai itu. Namun ketika wajahnya sudah menjadi bersih lagi, anak itu seakan-akan tidak mengenal jera. Ketika ia kemudian berdiri tegak, maka iapun kemudian telah melangkah mendekati lawannya sambil menggeram, “Anak iblis kau. Aku patahkan lehermu jika sekali lagi kau berani menyerang.” Lawannya yang telah menyerangnya dan mengenainya beberapa kali itu mengerutkan dahinya. Beberapa kali ia berhasil mengenai. Tetapi anak yang gemuk itu seakan-akan tidak mengalami apa-apa. Bahkan kakaknya yang berdiri di tanggul berkata, “Jangan ragu-ragu. Buat anak itu menjadi jera.” Wikan itu berpaling, kemudian katanya, “Baik Kakang. Aku akan memilin lehernya sampai patah.” Anak yang tinggal bersama Glagah Putih itu termangu-mangu sejenak. Ia sudah sering berkelahi, serba sedikit ia pernah belajar dari Glagah Putih bagaimana ia harus membela dirinya. Karena itu, maka iapun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Sementara anak yang gemuk itu melangkah semakin dekat. Glagah Pudh memang menjadi berdebar-debar. Wikan yang gemuk itu agaknya memiliki kekuatan yang besar ditimbang dengan umurnya. Bahkan juga daya tahannya. Namun justru karena itu, ia ingin melihat apa yang dapat dilakukan anak yang tinggal bersamanya itu. Anak itu memang menjadi semakin berhati-hati. Ia sadar bahwa anak yang gemuk itu sulit dikalahkan. Namun ia yakin bahwa ia akan dapat melakukannya. Sementara itu, ia masih tetap berusaha untuk tidak dapat ditangkap oleh anak yang gemuk itu. Ketika Wikan yang gemuk itu menjadi semakin dekat, maka anak itu pun segera bergeser setapak menyamping. Ia sudah bersiap sepenuhnya menghadapinya. Namun Wikan nampaknya juga menjadi semakin berhati-hati. Ketika Wikan menjadi semakin dekat, maka lawannya yang lebih kecil itu pun telah bersiap untuk meloncat. Namun ketika Wikan itu mengembangkan tangannya, maka lawannya itu justru meloncat ke samping. Demikian Wikan berputar, dengan sigap lawannya itu meloncat menyerang. Tetapi serangan yang agak tergesa-gesa itu tidak mengguncang keseimbangan Wikan. Bahkan Wikan masih saja melangkah maju. Dengan tergesa-gesa lawannya yang kecil itu telah mengayunkan tangannya mengarah ke dada. Untuk memberi tekanan pada pukulannya, maka anak itu telah mempergunakan berat badannya pula. Tetapi ternyata Wikan yang benar-benar sudah bersiap itu tidak melepaskan kesempatan itu. Demikian lawannya mendekat dan memukul dadanya, maka tangannya pun telah ikut terdekap pula. Ketika Wikan menekan lawannya ke dadanya, maka rasa-rasanya anak itu tidak lagi dapat bernafas. Glagah Putih yang menyaksikan perkelahian itu menjadi berdebar-debar. Ia sadar bahwa Wikan memiliki kekuatan yang lebih besar dari lawannya yang lebih kecil itu. Sementara itu Wasis, kakaknya yang berdiri di tanggul berteriak, “Jangan lepaskan lagi! Ia harus menjadi jera. Jika kakaknya atau pamannya membantunya, biarlah aku yang menyelesaikannya.” Wikan tidak menjawab. Tetapi ia menjadi semakin mantap. Tangannya semakin keras menekan lawannya yang lebih kecil dan lebih muda itu sehingga nafasnya menjadi sesak. Anak itu berusaha untuk meronta. Tetapi tangan Wikan justru menjadi semakin mencekam. Rasa-rasanya tidak ada jalan lain untuk melepaskan diri. Namun anak yang tinggal di rumah Agung Sedayu itu tidak menyerah. Dengan mengerahkan segenap kekuatannya ia masih tetap berusaha. Glagah Putih menjadi berdebar-debar. Ia memang melihat anak itu dalam kesulitan. Tetapi ia tidak dapat langsung membantunya. Anak itu akan dapat menjadi marah kepadanya meskipun ia benar-benar dalam kesulitan. Selain itu, maka persoalannya akan dapat menjadi berkepanjangan. Justru Wasis tentu akan ikut campur. Karena itu, maka Glagah Putih masih menunggu beberapa saat. Jika anak itu memang tidak dapat mengatasinya, maka apa boleh buat. Mungkin ia harus merebutnya dan membawanya lari. Ia sendiri segan untuk berkelahi, karena Glagah Putih tentu merasa tidak sepantasnya. Namun dalam pada itu, anak itu benar-benar tidak mau menyerah. Dengan lututnya ia justru mencoba menyerang bagian bawah perut lawannya seberapa jauh dapat dilakukan. Agaknya serangan-serangannya itu memang berpengaruh. Namun Wikan justru menjadi semakin marah. Ia menekan lawannya yang lebih kecil itu semakin keras, sehingga nafas anak itu menjadi semakin sesak. Tetapi pada saat-saat terakhir, ketika rasa-rasanya nafasnya hampir terputus, maka ia tidak saja menyerang dengan lututnya. Karena tangannya ikut terdekap oleh tangan Wikan yang kuat, dengan tidak disangka-sangka anak itu telah membenturkan dahinya ke wajah Wikan. Beberapa kali dahi anak itu mengenai hidung Wikan. Demikian kerasnya sehingga Wikan harus menyeringai kesakitan. Justru pada saat yang demikian, maka anak itu telah menekuk kakinya pada lututnya, sehingga lututnya itu menekan perut Wikan yang gemuk itu. Wikan-lah yang kemudian mengalami kesulitan untuk tetap menyekap lawannya yang kecil itu. Beberapa kali dahinya masih tetap membentur wajah Wikan, justru semakin lama rasa-rasanya semakin menyakitkan. Sedangkan anak yang telah berhasil menekuk lututnya dengan tiba-tiba itu rasa-rasanya semakin menekan perutnya. Dalam keadaan yang demikian, maka sekapan tangan Wikan menjadi sedikit longgar. Kesempatan itulah yang dipergunakan oleh anak itu. Dengan mengerahkan segenap tenaganya, maka anak itu pun meronta. Demikian tiba-tiba, sehingga tangan kanannya dapat menyusup lepas dari dekapan. Dengan sekuat tenaga, maka pangkal telapak tangannya telah menekan dagu Wikan, sementara lututnya berusaha menekan semakin keras. Hentakan itu mengejutkannya. Dan kesempatan berikutnya telah dipergunakan anak itu sebaik-baiknya. Dengan sekuat tenaga maka ia berhasil melepaskan diri dari tangan Wikan yang kuat itu. Wikan menggeram marah. Tetapi ternyata hidungnya sudah mulai berdarah. Meskipun lawannya yang kecil itu juga merasa pening karena beberapa kali ia membenturkan dahinya pada wajah lawannya, namun anak itu masih tetap mampu menguasai dan mengendalikan dirinya. Demikian anak itu lepas dari dekapan Wikan, maka dengan serta-merta anak itu pun siap menyerang. Wikan yang tidak mau melepaskan lawannya, berusaha untuk menangkapnya lagi. Namun ketika ia berlari memburu lawannya dengan tangannya yang mengembang, maka lawannya itu telah menjatuhkan diri. Wikan justru jatuh terjerembab karena kakinya terantuk kaki lawannya, sedangkan lawannya yang kecil itu berguling menjauhinya. Dengan cepat anak itu bangkit berdiri dan bersiap menghadapi segala kemungkinan. Kedua orang kawannya yang mempunyai pliridan itu berdiri mematung. Sementara itu Pinang justru berpihak kepadanya. Ia ingin melihat Wikan itu kesakitan dan menjadi jera. Namun Pinang itu menjadi berdebar-debar ketika ia teringat kepada Wasis yang berdiri di atas tanggul. Wasis itu tentu akan ikut campur jika ia melihat adiknya mengalami kesakitan. Namun Pinang pun kemudian menarik nafas panjang ketika ia melihat Glagah Putih berdiri di tikungan. “Bagi Glagah Putih, Wasis tentu tidak lebih berbahaya dari seekor cacing,” berkata Pinang di dalam hatinya, karena ia sudah mendengar serba sedikit tentang Glagah Putih. Meskipun ia tidak tahu pasti, tetapi setiap orang mengatakan bahwa Glagah Putih adalah seorang yang berilmu tinggi. Bahkan ia telah ikut serta dalam pertempuran-pertempuran di antara orang-orang yang memiliki kelebihan dari sesamanya. Sementara itu anak yang tinggal bersama Agung Sedayu itu telah menjadi sangat marah, bahkan hampir saja nafasnya telah putus karena dekapan lawannya. Karena itu, maka iapun telah bertekad untuk membuat Wikan benar-benar menjadi jera. Dalam pada itu, Wikan memang bergerak lebih lamban. Ketika ia berusaha bangkit berdiri, lawannya yang bertubuh lebih kecil dan umurnya yang lebih muda itu telah bersiap sepenuhnya untuk menghadapinya. bersambung Posted in Buku 291 - 300 ♦ Seri III Tagged Agung Sedayu, Glagah Putih, Ki Argajaya, Ki Argapati Ki Gede Menoreh / Arya Teja, Ki Jayaraga, Pandan Wangi, Prastawa, Rara Wulan, Sekar Mirah, Sukra, Swandaru, Wacana

Kitaharus berdaya upaya agar pedang ini jatuh ke tangan pendekar yang layak menerimanya. 331. agar sepasang pedang ini dapat dipergunakan untuk menentang kejahatan. Setidaknya sebuah di antara kedua pedang ini, harus jatuh ke tangan orang yang layak.”. Isterinya mengangguk, “Engkau benar.
♦ 15 Juli 2010 “Senang atau tidak senang, tetapi kita memang harus menunggu sampai sore nanti. Kita tidak dapat memaksa anak-anak ini mengatakan apa yang tidak mereka ketahui. Atau bukan menjadi wewenangnya untuk mengatakannya.” “Aku menjadi tidak sabar lagi. Apa sebenarnya yang dikehendaki oleh Ki Argajaya? Bahkan ia telah mengirimkan seorang anak kecil dan seorang perempuan kemari?” geram orang bertubuh tinggi kekar itu. “Ki Argajaya hanya ingin menunjukkan bahwa ia tidak bermaksud apa-apa. Anak-anak menunjukkan satu sikap jujur dan tidak dibuat-buat, sedang seorang perempuan menampakkan niatnya untuk bersikap baik, damai dan tanpa kekerasan.” “Itulah yang sangat licik,“ berkata orang yang lebih tua itu, “ia ingin berlindung di belakang isyaratnya itu untuk menutupi kesalahan yang telah dilakukan oleh anaknya. Untuk menghindari tanggung jawab, ia ingin dianggap jujur dan damai. Damai dalam keadaan seperti sekarang akan sama artinya dengan meletakkan tali di leher Kanthi. Setiap saat hal itu akan dapat menyeretnya dan membunuhnya.” Ki Suracala menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya, “Bagaimanapun juga aku hargai niat baik Ki Argajaya. Aku berterima kasih bahwa ia telah mengirimkan utusan pagi ini untuk memberitahukan sore nanti akan datang utusan resmi.” Orang yang bertubuh tinggi kekar itu berkata, “Ki Argajaya telah memanfaatkan kelemahan Kakang itu.” Ki Suracala memandang orang yang bertubuh tinggi kekar itu sambil berkata, “Suradipa. Bertanyalah kepada dirimu sendiri. Apakah yang kau katakan itu benar?” Wajah orang itu menjadi merah. Katanya dengan nada keras, “Kakang tidak usah berkata seperti itu. Tidak akan ada gunanya sama sekali.” “Dan kau tidak perlu memperlakukan anak-anak ini dengan caramu itu,“ sahut Ki Suracala. Orang yang bertubuh tinggi kekar dan disebut Suradipa itu pun tiba-tiba membentak Glagah Putih, “Pergilah! Katakan kepada Argajaya. Jika ia mengirimkan orang kemari, sebaiknya mereka hanya membawa pesan satu kalimat. Jawaban dari pertanyaan, kapan pernikahan anaknya dan anak Kakang Suracala dilakukan. Itu saja. Jika mereka membawa cerita panjang lebar, maka semuanya itu tidak akan ada gunanya.” Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun ia masih bertanya kepada Ki Suracala, “Apakah Ki Suracala akan memberikan pesan bagi Ki Argajaya?” “Sampaikan salamku kepada Ki Argajaya dan keluarganya. Aku menunggu kehadiran utusannya sore nanti.” “Terima kasih, Ki Suracala,“ sahut Glagah Putih, yang kemudian berkata selanjutnya, “jika demikian, kami akan mohon diri. Kami akan menyampaikan pesan Ki Suracala kepada Paman Argajaya.” Demikianlah, maka Glagah Putih dan Rara Wulan segera bangkit berdiri dan meninggalkan pringgitan itu. Namun mereka sama sekali tidak mengetahui bahwa beberapa pasang mata sedang mengikutinya. Seorang laki-laki yang berwajah garang, yang sehari sebelumnya melihat Glagah Putih dan Rara Wulan lewat. Sedang seorang yang lain adalah seorang laki-laki yang masih terhitung muda, serta seorang yang bertubuh pendek tetapi otot-ototnya nampak menjalari wajah kulitnya dari dahi sampai ke ujung jari-jari kakinya. Ternyata laki-laki yang berwajah garang itu masih mengenali Glagah Putih dan Rara Wulan. Karena itu, maka iapun telah menceritakannya kepada laki-laki yang masih terhitung muda itu. “Memang mencurigakan,“ berkata laki-laki muda itu, “tetapi perempuan itu cantik sekali. Menurut penghitunganku, lebih cantik dari kanthi.” Orang yang bertubuh pendek itu pun berkata, “Kau selalu mengatakan perempuan yang kau lihat lebih cantik dari perempuan yang sebelumnya pernah kau kenal. Kau juga mengatakan bahwa Kanthi lebih cantik dari istrimu ketika itu.” “Aku koyak mulutmu,” geram laki-laki muda itu. Namun kemudian katanya, “Tetapi ia pantas dicurigai jika kemarin ia sudah lewat di depan regol halaman ini. Apalagi dengan pakaian keseharian. Tentu mereka mempunyai maksud tertentu.” “Lalu, apa yang akan kita lakukan?” bertanya orang yang berwajah garang. “Kita harus mengetahui, apa maksud kedatangannya kemarin,“ berkata laki-laki muda itu, “kita akan menemui mereka di bulak pategalan.” Kedua orang yang lain tidak menjawab. Demikian laki-laki muda itu bergerak, keduanya pun ikut pula bergerak. Dalam pada itu Glagah Putih dan Rara Wulan telah meninggalkan padukuhan tempat tinggal Ki Suracala. Mereka menelusuri jalan yang kemarin mereka lalui. Tetapi mereka tidak sempat sampai ke simpang tiga tempat mereka menunggu Kanthi sambil membeli dawet cendol. Demikian mereka keluar dari padukuhan, maka mereka telah berjalan di tepi sebuah bulak yang tidak terlalu luas. Sebuah jalan simpang berbelok ke kiri. Jalan itu agaknya juga menuju ke sungai, lewat pategalan yang agak luas yang sedang ditanami ketela pohon yang tumbuh di sela-sela pohon buah-buahan. Glagah Putih dan Rara Wulan mulai tertarik melihat tiga orang berdiri di mulut lorong. Nampaknya mereka memang sedang menunggu. Bahkan Glagah Putih pun kemudian berdesis, “Kau kenal salah seorang dari mereka?” “Ya,” jawab Rara Wulan, “orang yang kemarin berada di regol halaman ketika perempuan yang mencari Kanthi keluar dari halaman rumah Ki Suracala.” “Berhati-hatilah,“ berkata Glagah Putih, “nampaknya mereka bukan orang yang ramah.” Rara Wulan mengangguk. Katanya, “Untung kita tidak mengikuti jalan pikiran Kakang Agung Sedayu.” “Tetapi Kakang Agung Sedayu dapat mengerti bahwa kita bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.” Rara Wulan mengangguk-angguk pula. Namun ia tidak sempat menjawab, karena mereka menjadi semakin dekat dengan ketiga orang itu. Sebenarnyalah, ketika mereka lewat di depan mulut lorong itu, laki-laki muda salah seorang dari ketiga orang itu berkata dengan nada keras, “Berbeloklah. Jangan macam-macam, agar kami tidak menyakiti kalian.” “Berbelok kemana?” Rara Wulan-lah yang bertanya, “kami akan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.” “Aku tidak peduli kalian akan pergi ke mana. Tetapi berbeloklah. Kita akan berbicara di pategalan.” “Kami harus segera pulang, Ki Sanak,“ berkata Glagah Putih kemudian. “Aku tidak mau mendengar jawab kalian. Aku perintahkan berbelok. Lakukan, atau kami akan melakukan kekerasan.” Glagah Putih yang sudah berdiri di sisi Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun agaknya ketiga orang itu bersungguh-sungguh ingin memaksa mereka membelok mengikuti lorong itu. Glagah Putih sempat memperhatikan jalan yang dilaluinya. Beberapa orang lewat memperhatikan mereka. Agaknya mereka mengira bahwa Glagah Putih dan Rara Wulan itu bertemu dengan kawan-kawannya, sehingga keduanya berhenti sejenak untuk berbincang-bincang. “Cepat,” geram orang yang masih terhitung muda itu. Glagah Putih dan Rara Wulan berpandangan sejenak. Namun ternyata Rara Wulan-lah yang menjawab, “Baiklah. Kami akan berbelok. Tetapi kami tidak mempunyai banyak waktu. Karena itu, kami minta apa yang ingin kalian katakan, cepat katakan.” “Berbeloklah. Berbelok masuk ke dalam lorong. Jangan berbicara saja di situ.” Orang itu nampak tidak sabar lagi. Rara Wulan dan Glagah Putih memang tidak berbicara lagi. Keduanya pun kemudian berjalan memasuki lorong kecil menuju ke pategalan. Semakin dalam mereka memasuki lorong kecil itu, terasa bahwa lingkungannya menjadi semakin sepi. Lorong itu menjadi semakin sempìt dihimpit oleh pagar pategalan. Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi semakin berhati-hati. Mereka tahu bahwa ketiga orang itu tentu bermaksud tidak baik atas diri mereka berdua. Sebenarnyalah, ketika mereka menjadi semakin jauh dari jalan yang cukup ramai itu, orang yang masih terhitung muda itu dengan serta merta lelah menangkap lengan Rara Wulan dan menariknya lewat pintu pagar, masuk ke pategalan yang sedang ditanami ketela pohon di sela-sela pohon buah-buahan itu. “Jangan ribut,” geram orang itu. Rara Wulan terkejut. Ia memang tersentak ke dalam pategalan dan segera menyeruak di antara batang-batang ketela pohon yang berdaun rimbun. Tetapi Raia Wulan itu berusaha mengibaskan tangannya. Selangkah ia mundur sambil berkata lantang, “Apa artinya ini?” Orang yang masih terhitung muda itu memandangnya dengan tajamnya. Namun kemudian ia berkata kepada kedua orang kawannya, “Kendalikan anak muda itu. Aku akan menjinakkan gadis ini.” Wajah Rara Wulan menjadi merah. Namun orang itu berkata, “Aku hanya ingin tahu, apa yang sebenarnya kalian lakukan di sini berdua.” “Kami datang untuk menyampaikan pesan Paman Argajaya, bahkan sore nanti Paman akan mengirimkan utusannya untuk menemui Ki Suracala,” jawab Rara Wulan lantang. “Bohong,“ sahut orang itu, “jika demikian, kenapa kemarin kau juga datang kemari?” Tetapi ternyata Rara Wulan cukup tangkas untuk menjawab, “Kami belum pernah melihat rumah Ki Suracala. Karena itu kami harus mencari dan menemukannya lebih dahulu. Baru kemudian kami datng untuk menemuinya.” Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menggeleng sambil berkata, “Aku tidak percaya. Jika demikian, kenapa kemarin kau memakai pakaian yang berbeda sama sekali dengan pakaian yang kau kenakan sekarang?” “Bukankah kemarin kami hanya sekedar mencari untuk mengetahui letak rumah Ki Suracala? Nah, sekarang kami akan datang menemuinya. Bukankah kami harus berpakaian lebih sopan?” “Kau tidak dapat membohongi aku. Kalian berdua tentu mempunyai maksud tertentu. Nah, sebelum kau mengatakannya, maka kalian berdua tidak akan dapat meninggalkan tempat ini,“ berkata orang itu. “Aku tidak dapat mengatakan yang lain,” jawab Rara Wulan. Sementara itu Glagah Putih pun berkata, “Ia berkata sebenarnya.” “Diam kau!” bentak orang itu, “Aku tidak bertanya kepadamu. Tetapi aku bertanya kepada gadis ini.” Glagah Putih hanya menarik nafas panjang, sementara itu dua orang yang lain bergeser mendekatinya dari kedua sisi. Orang yang masih muda itu pun kemudian berkata, “Marilah. Kita berbicara di gubug itu.” “Tidak,“ sahut Rara Wulan. “Kau tidak dapat menolak,“ berkata orang itu. “Tidak ada lagi yang akan dibicarakan,” jawab Rara Wulan. “Masih banyak yang dapat kita bicarakan. Mungkin persoalan yang lain yang tidak menegangkan,“ berkata orang itu. “Tetapi siapakah sebenarnya kau? Apakah kau berkepentingan dengan persoalan yang sedang dibicarakan antara keluarga Paman Argajaya dan Ki Suracala?” “Tentu. Aku keluarga dekat Paman Suracala,” jawab orang itu. Wajah Rara Wulan berkerut. Orang itu menyebut Paman pada Ki Suracala. Karena itu, tiba-tiba saja Rara Wulan teringat kepada anak sepupu Ki Suracala. Bahkan hampir di luar sadarnya Rara Wulan bertanya, “Kau saudara misan Kanthi? Anak saudara sepupu Ki Suracala?” Wajah orang itu menjadi merah justru karena Rara Wulan menyebut nama Kanthi. Untuk beberapa saat orang itu justru terdiam. Tetapi kemudian ia menjawab, “Ya. Aku saudara misan Kanthi. Karena itu, aku berkepentingan dengan persoalan yang terjadi di rumah Paman Suracala.” Wajah Kara Wulan menegang. Demikian pula Glagah Putih. Ternyata mereka berhadapan dengan orang yang licik tetapi buas seperti seekor serigala. Pertemuan yang tidak terduga itu membuat jantung Rara Wulan bergejolak. Ia mulai membayangkan nasib Kanthi yang tidak menentu. Sebagai seorang gadis, maka Rara Wulan dapat membayangkan derita yang disandang oleh Kanthi, sementara Kanthi tidak mempunyai kemampuan untuk memecahkannya. Selagi Rara Wulan merenung, maka orang itu telah memegang pergelangan tangan Rara Wulan sambil berkata, “Marilah, kita berbicara di gubug itu. Kita akan dapat berbincang tanpa ketegangan, serta tidak akan terganggu oleh siapapun juga.” Ternyata Rara Wulan tidak menolak. Ketika orang itu menarik tangannya, Rara Wulan mengikuti saja tanpa melawan. Glagah Putih mengerutkan dahinya. Tetapi ia tahu maksud Rara Wulan. Dan itulah yang dicemaskan oleh Agung Sedayu, justru Rara Wulan tidak berusaha menghindarinya. Tetapi Glagah Putih sendiri bahkan sependapat dengan Rara Wulan. Karena itu, maka ia sama sekali tidak berusaha mencegahnya. Bahkan iapun telah berjalan pula mengikuti Rara Wulan yang tangannya masih saja ditarik oleh orang itu. Sambil berjalan Rara Wulan sempat berkata, “Siapa namamu, Ki Sanak?” “O,” orang itu tergagap, “namaku Wiradadi. Kenapa?” “Tidak apa-apa,” jawab Rara Wulan, “aku hanya ingin tahu.” Wiradadi tidak berbicara lagi. Ia berjalan semakin cepat sambil menarik tangan Rara Wulan. Kesannya memang sangat tergesa-gesa, sehingga Rara Wulan harus berlari-lari kecil. Beberapa puluh langkah di hadapan mereka memang terdapat sebuah gubug yang tidak terlalu kecil. Di bawah sebatang pohon belimbing lingir yang besar dan berbuah lebat. Di depan gubug itu terdapat tanah yang luang, seakan-akan merupakan halaman bagi gubug itu. “Marilah. Kita akan berbicara di dalam,“ berkata Wiradadi. Rara Wulan tidak menjawab. Ia berjalan saja di belakang Wiradadi, sementara orang itu masih memegang pergelangan tangannya. Di halaman yang sempit itu Wiradadi berhenti sejenak. Sambil berpaling ia berkata kepada kedua orang kawannya yang berjalan di sebelah-menyebelah Glagah Putih, “Biarlah anak itu menunggu aku diluar. Aku akan berbicara dengan gadis ini tanpa diganggu oleh siapapun juga.” Kedua orang itu dengan serta-merta telah memegangi lengan Glagah Putih sebelah-menyebelah pula. Orang yang berwajah garang itu berkata, “Berhenti. Kau tunggu di sini.” Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia memang berhenti. Dipandanginya saja Rara Wulan yang masih saja dibimbing oleh Wiradadi menuju ke pintu gubug kecil itu. Namun ketika mereka sampai di halaman kecil di depan gubug itu, maka Rara Wulan tiba-tiba berhenti sambil mengibaskan tangannya. Demikian tiba-tiba sehingga pegangan Wiradadi pun telah terlepas. “Kenapa?“ berkata Wiradadi. “Kita dapat berbicara di sini,“ berkata Rara Wulan. “Tidak,” jawab Wiradadi, “kita berbicara di dalam.” “Sama saja,“ berkata Rara Wulan kemudian, “di sini pun kita dapat berbicara dengan tenang tanpa ketegangan. Nah, katakan, apa yang akan kau katakan.” “Tidak. Aku akan mengatakannya setelah kita duduk di dalam. Di dalam gubug itu ada sebuah amben bambu, yang di atasnya digelari pandan yang bersih,“ berkata Wiradadi. “Tidak banyak yang akan kita bicarakan. Bicaralah di sini,“ sahut Rara Wulan. “Tidak, Anak Manis. Marilah kita berbicara di dalam,“ berkata Wiradadi sambil menggapai pergelangan tangan Rara Wulan. Tetapi Rara Wulan melangkah surut sambil berkata, “Sekali lagi aku katakan, bahwa aku hanya akan berbicara di sini.” “Kau jangan keras kepala. Kau tidak mempunyai pilihan lain. Kau hanya dapat melakukan perintahku.” “Aku dapat berteriak,“ berkata Rara Wulan. Tetapi Wiradadi tertawa. Katanya, “Kita ada di tengah-tengah pategalan. Seandainya kau berteriak sekeras guntur di langit, maka tidak akan ada yang mendengarnya.” “Jika demikian, tempat ini baik sekali bagiku. Jika kau nanti berteriak-teriak minta tolong, maka tidak akan ada orang yang mendengar dan datang menolongmu,“ berkata Rara Wulan. Dahi orang itu berkerut. Namun kemudian ia bertanya, “Apa yang kau katakan?” “Tempat ini merupakan tempat yang baik untuk menghukummu. Seandainya kau berteriak-teriak memanggil orang-orangmu, maka mereka tentu tidak akan mendengar,” jawab Rara Wulan. Orang itu menjadi semakin bingung. Sementara itu Rara Wulan berkata, “Wiradadi. Aku-lah yang akan menghukummu. Aku tahu apa yang akan kau lakukan atasku di gubug itu. Karena itu, maka kau harus dihukum. Juga tingkah lakumu yang tidak tahu diri.” Glagah Putih yang sudah menduga apa yang akan dikatakan oleh Rara Wulan justru mendahului, “Kami datang hanya untuk menyampaikan pesan Paman Argajaya. Itu saja. Karena itu, maka kami tidak mempunyai kepentingan yang lain di sini.” Wiradadi memang menjadi bingung. Justru karena itu, untuk sesaat ia terdiam. Sementara Wiradadi kebingungan, maka Glagah Putih pun berkata, “Karena itu, kami tidak mempunyai kepentingan apa-apa di sini. Dengan demikian, maka biarkan kami pergi.” Ki Wiradadi memang seperti orang mimpi. Namun ia masih juga berkata, “Kalian tidak boleh pergi. Aku memerlukan gadis ini.” Lalu katanya kepada kedua pengikutnya, “Jaga anak itu.” Tetapi Wiradadi itu menjadi kebingungan lagi ketika Rara Wulan berkata sambil bertolak pinggang dan menunjuk ujung ibu jari kakinya, “Wiradadi. Berjongkok di hadapanku. Menyembah dan memohon ampun atas perlakuan gilamu terhadapku.” Wiradadi justru terdiam. Dipandanginya wajah Rara Wulan. Gadis itu memang cantik, tetapi Wiradadi jadi berpikir lain. Apakah mungkin gadis itu syarafnya agak terganggu? Sementara itu Rara Wulan berkata lagi. Lebih keras, “Cepat. Berjongkok di hadapanku dan mohon ampun. Jika pikiranku berubah, aku tidak akan memberimu ampun lagi.” Wiradadi tidak mau membiarkan dirinya kebingungan. Karena itu, maka iapun menggeram, “Gila. Jadi kau gadis yang begitu mudah kehilangan akal dan bahkan terganggu kesadaranmu?” “Aku tidak peduli. Lakukan perintahku sebelum kau menyesal,“ berkata Rara Wulan. “Persetan,” geram Wiradadi. Namun kemudian iapun berkata, “Aku tidak peduli bahwa kau gila. Tetapi kau gadis cantik. Mari, ikut aku. Masuk ke dalam gubug itu.” Namun Wiradadi terkejut. Ternyata Rara Wulan sudah menampar mulutnya. Wiradadi mengumpat kasar. Namun ia menjadi semakin bingung ketika ia melihat Rara Wulan yang marah itu menyingsingkan kainnya sambil bergeser mendekat. “Agaknya gadis ini benar-benar gadis gila,“ berkata Wiradadi di dalam hatinya. Namun Wiradadi itu kemudian menyadari jenis gadis yang dihadapinya ketika kemudian ia melihat pakaian khusus Rara Wulan yang dipakai di bawah pakaian luarnya. Wiradadi melangkah surut. Sementara Rara Wulan berkata, “Aku memang ingin mendapat kesempatan seperti ini Wiradadi. Aku datang sekedar melakukan tugas kami, diutus oleh Paman Argajaya. Namun ternyata bahwa kau bersikap seperti seekor srigala. Tingkah lakumu yang liar itu telah memberitahukan kepadaku, apa yang telah terjadi atas Kanthi.” “Sudahlah,“ berkata Glagah Putih yang kedua lengannya masih dipegang oleh kedua orang pengikut Wiradadi, “kita tidak perlu memperpanjang persoalan ini.” Lalu katanya kepada Wiradadi, “Ki Sanak. Biarkan kami kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Kita anggap bahwa tidak ada persoalan di antara kita.” Tetapi Rara Wulan menyahut, “Ia sudah menghina aku. Aku tidak mau begitu saja berlalu tanpa memberikan hukuman kepadanya sesuai dengan kesalahannya.” “Gila. Kalian memang gila,” geram Wiradadi, “kau kira kami ini, apa he? Dengar, kalian akan menyesal karena kesombongan kalian. Apapun yang akan terjadi kemudian atas kalian, maka itu adalah akibat dari kesalahan kalian sendiri.” “Aku juga akan berkata seperti itu,“ jawab Rara Wulan, “apapun yang akan terjadi atasmu, itu adalah akibat dari kegilaanmu sendiri.” Kesabaran Wiradadi benar-benar sudah sampai ke batas. Perempuan cantik itu sudah keterlaluan. Bahkan ia sudah menampar pipinya pula. Karena itu, maka ia tidak mau lebih banyak berbicara lagi. Ia akan menundukkan gadis itu dan memperlakukannya menurut keinginannya. Maka iapun segera bersiap untuk menangkap gadis itu. Kepada kedua pengikutnya ia berkata, “Jaga anak muda itu. Aku akan menyelesaikan perempuan liar ini.” Kata-kata Wiradadi itu hampir tidak selesai diucapkan. Sekali lagi tangan Rara Wulan menampar mulut Wiradadi. Wiradadi tidak menunggu lagi. Iapun segera meloncat menyerang Rara Wulan. Tetapi dengan tangkasnya Rara Wulan mengelak. Meskipun agak lama ia berbaring di pembaringan dan baru satu dua kali ia berlatih di sanggar setelah ia sembuh dari lukanya, namun ternyata bahwa Rara Wulan memang memiliki kelebihan dari Wiradadi. Meskipun Wiradadi agaknya juga memiliki kemampuan dalam olah kanuragan, tetapi ketika Rara Wulan yang marah itu menyerang seperti badai yang berhembus dari arah lautan, maka Wiradadi itu pun segera terdesak. Rara Wulan tidak memberinya kesempatan. Ketika Wiradadi meloncat mundur menghindari serangan tangannya, maka dengan cepat Rara Wulan meloncat. Ia tidak menyerang dengan tangannya lagi. Tetapi kakinya pun terjulur lurus menghantam dada. Wiradadi terlempar beberapa langkah surut, sehingga punggungnya menghantam dinding gubug itu, sehingga dinding itu terkoyak. Ketika Wiradadi berusaha untuk bangkit, maka Rara Wulan telah berdiri bertolak pinggang sambil berkata, “Nah, sekarang lakukan perintahku. Berjongkok di hadapanku. Menyembah dan mohon maaf kepadaku.” Harga diri Wiradadi benar-benar tersinggung. Namun ketika ia akan meneriakkan perintah kepada kedua orang pengikutnya, ia melihat keduanya telah terbaring diam di sebelah-menyebelah anak muda itu. Pingsan tanpa diketahui sebabnya. Dengan sorot mata yang aneh Wiradadi memandang Glagah Putih yang berdiri diam. Seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu pada dirinya meskipun dua orang yang memegangi lengannya itu pingsan. Namun Wiradadi tidak mau dihinakan oleh Rara Wulan. Karena itu. maka ia tidak mempunyai pilihan lain. Demikian ia berdiri tegak, maka tangannya telah menarik parangnya. “Anak-anak iblis. Kau apakan kedua orang kawanku itu?“ geram Wiradadi. Glagah Putih menggeleng. Katanya, “Entahlah. Tiba-tiba saja mereka melepaskan lenganku dan jatuh pingsan.” “Ternyata kau memiliki ilmu iblis. Tetapi kau akan menyesal karena kalian berdua akan mati di pategalan ini.” “Jangan banyak bicara,” Rara Wulan, “berjongkoklah dan mohon ampun kepadaku.” Wiradadi tidak menjawab lagi. Tetapi parangnya pun segera berputar. Katanya, “Marilah, majulah bersama-sama. Aku akan memenggal kepala kalian dan menguburkan kalian di sini.” “Tetapi jika aku tidak pulang siang ini, maka orang-orang Tanah Perdikan Menoreh akan mengetahui bahwa aku menemui bencana di Kleringan. Maka Ki Gede tidak akan mempunyai pilihan lain. Kau, orang tuamu, anak istrimu, pamanmu dan semua keluargamu akan dihancurkan oleh Ki Gede dengan pasukannya. Prastawa akan datang tidak sebagai seorang yang akan diadili di sini. Tetapi ia akan membawa pasukan segelar-sepapan. Kleringan akan menjadi karang abang, Kemana pun kau akan lari, maka kau akan diburu. Bahkan sampai ke liang semut sekalipun.” Wajah Wiradadi menjadi tegang. Namun Rara Wulan tidak ingin Wiradadi ketakutan serta melarikan diri. Ia ingin mencoba untuk berkelahi dan mengalahkannya. Menghukumnya, dan lebih dari itu mempermalukannya. Dendam Kanthi seakan-akan telah menjalar di hatinya pula. Karena itu, maka tiba-tiba saja Rara Wulan berteriak, “Cepat! Berjongkok!” “Jangan berteriak,” Glagah Putih memperingatkan. “Tidak apa-apa. Srigala licik ini mengatakan bahwa seandainya aku berteriak sekeras guntur sekalipun, tidak akan ada orang yang mendengarnya,” jawab Rara Wulan. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Rara Wulan memang tidak dapat menahan gejolak perasaannya. Karena itu. sulit baginya untuk mencegah perkelahian yang memang diinginkan oleh Rara Wulan. Wiradadi yang berkali-kali merasa tersinggung harga dirinya dan bahkan dengan sengaja dihinakan oleh Rara Wulan, juga tidak dapat menahan diri. Karena itu, maka iapun mulai menyerang dengan garangnya. Parangnya berputaran dan terayun-ayun mengerikan. Beberapa kali Rara Wulan memang berloncatan surut. Namun tiba-tiba saja ia telah melepas selendang yang dipinjamnya dari Sekar Merah. Wiradadi semula tidak menghiraukan selendang itu, namun ketika selendang itu berputar semakin cepat dan terdengar suaranya berdesing disertai getar angin yang menerpa wajahnya, maka hatinya mulai tergetar. Tetapi ia tidak mempunyai banyak pilihan. Ujung selendang itu tiba-tiba telah mulai menyentuh kulitnya. Wiradadi meloncat surut. Kulitnya terasa pedih oleh sentuhan ujung selendang itu. Bahkan kemudian ternyata bahwa kulitnya menjadi merah kehitam-hitaman. Baru kemudian Wiradadi sadar, bahwa selendang itu memang sejenis senjata yang sangat berbahaya. Demikianlah, maka Wiradadi yang marah itu harus menjadi semakin berhati-hati. Sekali dua kali, ujung selendang itu telah menyengat kulitnya. Semakin lama terasa semakin sering. Wiradadi mulai menjadi semakin cemas. Sentuhan itu terasa semakin sakit dikulitnya. Bahkan kemudian sentuhan-sentuhan itu menjadi semakin sering dirasakannya. Tetapi Wiradadi tidak mendapat kesempatan untuk membalas. Betapapun ia berusaha menyerang dengan ujung parangnya, tetapi usahanya selalu sia-sia saja. Rara Wulan itu baginya bagaikan bayangan yang tidak dapat disentuh sama sekali. Ketika ujung selendang Rara Wulan semakin sering menyakitinya, maka Wiradadi menjadi semakin gelisah. Tiba-tiba saja ujung selendang yang digantungi bandul timah-timah kecil itu menyambar keningnya, sehingga rasa-rasanya matanya menjadi berkunang-kunang. Wiradadi itu terhuyung-huyung beberapa langkah surut. Keningnya bukan saja menjadi sakit. Tetapi rasa-rasanya tulang pelipisnya menjadi retak Tetapi sebelum Wiradadi sempat memperbaiki kedudukannya, maka bandul timah di ujung selendang itu telah menghantam punggungnya. Wiradadi-lah yang kemudian berteriak keras-keras karena kemarahan yang mencengkam jantungnya. Tetapi sebelum mulutnya terkatup rapat, maka ujung selendang Rara Wulan justru telah menghantam mulutnya. Terasa bibirnya menjadi pecah. Sebuah giginya tanggal, dan darah pun mulai mengalir dari mulutnya. Jantung Wiradadi terasa bagaikan membara. Namun ia memang tidak dapat berbuat banyak. Parangnya seakan-akan tidak berarti sama sekali. Selendang itu memang lebih panjang dari parang di tangannya, sehingga sebelum parangnya menggapai sasaran, ujung selendang itu telah mengenai tubuhnya lagi. Bahkan semakin lama semakin sering. Dengan demikian, perasaan sakit dan nyeri rasa-rasanya sudah menjalar di seluruh tubuhnya. Pada kulitnya terdapat noda-noda merah biru. Bahkan beberapa gores luka dan berdarah sebagaimana darah mengalir dari mulutnya. Akhirnya Ki Wiradadi itu menjadi tidak tahan lagi. Ia harus mengakui kenyataan, bahwa gadis itu tidak akan dapat dilawannya. Jika ia bertahan untuk bertempur terus, maka ia akan dapat menjadi pingsan seperti kedua orang pengikutnya itu. Karena itu, maka Ki Wiradadi itu pun dengan sisa tenaganya telah berusaha untuk melarikan diri. Namun demikian ia berusaha meloncat berlari meninggalkan arena, maka ujung selendang Rara Wulan telah terjulur menggapai kakinya, sehingga Wiradadi itu telah jatuh terjerembab. Wiradadi tidak sempat lagi melarikan diri. Ketika ia berusaha untuk bangkit, maka ia melihat sepasang kaki yang renggang di depan matanya. Kaki Rara Wulan. “Bangkit dan berjongkok,“ perintah Rara Wulan. Wiradadi menggeram. Namun ujung selendang Rara Wulan tiba-tiba saja telah menghantam punggungnya. Wiradadi mengaduh kesakitan. Namun yang didengarnya adalah suara Rara Wulan, “Berjongkok dan mohon ampun kepadaku. Tidak ada sangkut-pautnya dengan persoalan Kanthi. Tetapi justru karena kau telah menghina aku. Dengan demikian aku mengerti, bahkan kau pun telah memperlakukan gadis-gadis lain sebagaimana akan kau lakukan atas aku.” “Tidak. Aku tidak pernah melakukannya sebelumnya,” jawab Wiradadi. “Tetapi sesudahnya?” bertanya Rara Wulan. “Aku berjanji untuk tidak melakukannya,” jawab Wiradadi. Namun Rara Wulan dengan cepat menyahut, “Omong kosong. Orang-orang seperti kau ini tidak akan dapat dipercaya.” “Sungguh, aku bersumpah,“ berkata Wiradadi. Tetapi Rara Wulan membentak, “Aku tidak memerlukan sumpahmu! Cepat berjongkok dan minta ampun kepadaku!” Tetapi Wiradadi yang masih mengingat harga dirinya tidak segera melakukannya. Namun Rara Wulan pun menjadi seperti orang yang telah kehilangan nalarnya. Sekali lagi selendangnya terayun dan menghantam punggung Wiradadi, sehingga terdengar Wiradadi itu mengaduh kesakitan. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Bahkan kemudian ia memberi isyarat agar Rara Wulan meninggalkan Wiradadi yang kesakitan itu. Tetapi Rara Wulan justru menjawab lantang, “Tidak. Ia harus berjongkok dan mohon ampun. Jika tidak, maka ia akan mati di sini. Dua orang yang pingsan itu akan mati juga, sehingga tidak akan ada saksi, apa yang telah aku lakukan di sini.” Glagah Putih memang menjadi gelisah. Persoalannya tentu akan berkembang semakin buruk. Ia tidak dapat membayangkan, apa yang akan terjadi sore nanti jika Ki Jayaraga, Agung Sedayu dan Swandaru suami istri datang ke rumah Ki Suracala. Sementara itu, Rara Wulan masih juga mengayunkan selendangnya ke punggung Wiradadi, sehingga orang itu mengaduh kesakitan. “Aku akan menghitung sampai lima. Jika kau masih juga tidak mau berjongkok dan mohon ampun kepadaku, maka aku akan melecutmu dengan selendangku ini sampai kau mati. Aku tidak peduli apa yang akan terjadi. Jika perlu, maka Kakang Prastawa aku minta untuk mengerahkan pasukan menghancurkan semua isi Kademangan Kleringan. Apalagi jika Kademangan ini berusaha melindungi keluargamu.” Seperti yang dikatakan, maka Rara Wulan benar-benar mulai menghitung. Namun sampai kehitungan ketiga, maka Wiradadi pun telah memaksa dirinya untuk berjongkok di depan Rara Wulan sambil berkata, “Baik. Baik. Aku akan minta maaf kepadamu.” “Mohon ampun. Bukan minta maaf. Cepat lakukan, sebelum aku mencambukmu lagi.” “Aku mohon ampun,“ suara Wiradadi hampir tidak terdengar. “Aku tidak mendengar suaramu. Ulangi!” bentak Rara Wulan. Wiradadi terpaksa mengulanginya. Ternyata ia benar-benar berhadapan dengan seorang gadis yang garang, dan lebih dari itu, ilmunya ternyata lebih tinggi dari ilmunya. Karena itu, maka Wiradadi pun terpaksa mengulangi dengan kata-kata yang lebih keras, “Aku mohon ampun.” Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun telah bergeser dan berkata, “Marilah, kita tinggalkan tikus-tikus cecurut itu.” Glagah Putih mengangguk. Namun ia berkata, “Benahi pakaianmu.” Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun melangkah masuk ke dalam gubug, meskipun ia tetap berhati-hati. Ketika ia memasuki pintu gubug itu ia berhenti sejenak, berpaling kepada Wiradadi sambil berkata, “Kau juga akan ikut masuk?” Wiradadi tidak berani menjawab. Tetapi ia mengumpat-umpat di dalam hati. Rara Wulan pun kemudian membenahi pakaiannya di dalam gubug itu. Hanya beberapa saat, ia-un segera keluar lagi. Dikenakannya selendangnya seperti semula, sebagaimana seorang perempuan mengenakan selendang. Kemudian tanpa mengatakan sepatah katapun, Rara Wulan melangkah meninggalkan pategalan itu, diikuti oleh Glagah Putih. Ketika mereka keluar dan mulut lorong, maka Glagah Putih berdesis, “Kau bersikap terlalu keras Rara.” “Kau dapat berkata begitu karena kau tidak mengalami penghinaan yang mendasar. Kau tahu apa yang akan dilakukannya atas diriku? Tidak ada ampun bagi siapapun yang demikian. Untung aku masih mampu mengendalikan diri dan tidak membunuhnya.” “Tetapi bukankah tidak terjadi apa-apa?” bertanya Glagah Putih. “Tetapi itu sudah terjadi di kepala orang itu. Itu satu kenyataan bagi angan-angannya. Dan karena itu sudah sepantasnya ia menerima hukuman, yang seharusnya jauh lebih berat dari yang aku lakukan,” jawab Rara Wulan. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya, “Kau dapat membayangkan apa yang akan terjadi sore nanti.” “Aku akan ikut. Jika aku harus mempertanggung-jawabkan perbuatanku, aku akan melakukannya,” jawab Rara Wulan. “Kakang Agung Sedayu dan Kakang Swandaru tentu tidak akan mengijinkan kau ikut sore nanti.” “Kenapa? Bukankah yang terjadi tadi harus dipertanggung-jawabkan? Bukankah aku akan dapat menjadi saksi atas sifat dan watak orang itu?“ sahut Rara Wulan. Glagah Putih tidak menjawab lagi. Ia tahu bahwa perasaan Rara Wulan sudah menjadi gelap, sehingga sulit baginya untuk dapat berbicara dengan tenang. Namun dalam pada itu, Glagah Putih pun berkata, “Kita akan mengambil jalan lain. Bukan jalan yang paling baik yang menuju ke Tanah Perdikan.” “Kenapa?” bertanya Rara Wulan. “Wiradadi dapat menjadi gila. Ia akan dapat mengerahkan banyak orang untuk memburu kita dan mencegat kita sebelum kita memasuki Tanah Perdikan. Karena itu, kita memilih jalan yang lain, sehingga jika ada sekelompok orang yang menyusul kita, mereka tidak akan segera menemukan kita, sehingga kita mencapai batas Tanah Perdikan. Di Tanah Perdikan, kita akan dapat berbuat lebih banyak.” “Apa salahnya jika sekelompok orang dungu itu menyusul kita?“ bertanya Rara Wulan “Bukankah lebih baik jika kita tidak bertemu dengan mereka, yang sudah dapat kita bayangkan akibatnya?” bertanya Glagah Putih dengan kata-kata yang berat menekan. Rara Wulan tidak menjawab. Namun ketika Glagah Putih mengajaknya berbelok melalui jalan kecil, mereka pun berbelok. Meskipun Glagah Putih belum pernah melalui jalan-jalan sempit di Kademangan Kleringan, namun dengan mengenali arah perjalanannya, maka Glagah Putih tidak mengalami kesulitan untuk sampai ke perbatasan Tanah Perdikan Menoreh di lereng pegunungan. Untunglah bahwa kawan perjalanannya bukan seorang gadis sebagaimana gadis kebanyakan. Ketika mereka melewati jalan berbatu padas dan bahkan kemudian mulai miring di kaki pegunungan, maka Rara Wulan tidak lagi menghiraukan pakaiannya. Ia telah menyingsingkan lagi kain panjangnya, sehingga pakaian khususnya-lah yang nampak dikenakannya. Namun ternyata bahwa Wiradadi tidak mengerahkan orang-orangnya untuk mengejar Glagah Putih dan Rara Wulan. Tubuhnya terasa nyeri, sedangkan tulang punggungnya bagaikan menjadi retak. Dua orang pengikutnya yang pingsan itu pun mulai menjadi sadar kembali. Perlahan-lahan mereka mulai menemukan ingatannya, apa yang telah terjadi atas diri mereka. Namun mereka tetap tidak mengetahui, apa yang diperbuat oleh anak muda itu. Ketika mereka siap untuk memaksa anak muda itu agar tidak berbuat sesuatu, tiba-tiba saja mata mereka menjadi berkunang-kunang dan akhirnya semuanya menjadi gelap. Demikian kedua orang itu melihat Wiradadi yang kesakitan, maka mereka menjadi gugup. Orang yang bertubuh pendek itu bertanya dengan kata-kata yang terbata-bata, “Apa yang terjadi?” Mata Wiradadi menjadi merah oleh kemarahan yang membakar ubun-ubunnya. Sambil menyeringai menahan sakit, Wiradadi yang masih merasa sakit untuk berdiri tegak itu berkata, “Ternyata kalian memang tikus cecurut seperti yang dikatakan perempuan liar itu. Apa yang kalian lakukan, sehingga tiba-tiba saja kalian berdua pingsan?” “Anak itu mempunyai ilmu iblis,“ desis orang yang berwajah garang. “Omong kosong! Kalian mencoba untuk menutupi kedunguan kalian!“ bentak Wiradadi. “Kami benar-benar tidak mempunyai kesempatan,“ berkata orang yang bertubuh pendek. Namun kemudian iapun bertanya, “Tetapi apa yang terjadi dengan Ki Wiradadi?” “Tutup mulutmu!” bentak Wiradadi. Ia mencoba untuk melangkah meninggalkan tempat itu. Namun ketika ia menggerakkan kakinya, maka terasa nyeri yang sangat telah menyengat punggungnya. Meskipun demikian, Wiradadi memaksa dirinya untuk melangkah meninggalkan tempat itu. Tetapi ia tidak segera kembali. Untuk mengurangi kesan buruk atas dirinya, maka Wiradadi telah turun ke sungai untuk mandi. Ia harus menghapus titik-titik darah yang meleleh dari mulutnya, serta balur-balur luka di tubuhnya. Jika ia mandi, maka tubuhnya akan nampak segar kembali, meskipun mula-mula tentu terasa perih. Namun Wiradadi tetap saja merasa ragu. Apakah ia harus mengatakan apa yang telah terjadi atas dirinya, atau tidak. Tetapi rasa-rasanya dendam telah membuat jantungnya membara. Ketika Wiradadi kemudian pulang ke rumah Ki Suracala, maka keadaannya memang nampak lebih baik. Bekas-bekas perkelahiannya tidak lagi nampak jelas. Dengan demikian maka orang-orang yang bertemu di jalan pulang, tidak mengetahui bahwa Wiradadi baru saja mengalami kesulitan menghadapi seorang gadis yang garang. Namun Wiradadi ingin memberitahukan apa yang telah terjadi atas dirinya kepada ayahnya. Kepada pamannya, dan kepada orang-orang lain yang ada di rumahnya, meskipun harus dibumbuinya dengan kebohongan. Jika sore nanti benar-benar utusan Ki Argajaya datang, maka mereka harus mengalami perlakuan yang sama sebagaimana gadis itu memperlakukan dirinya. Sebenarnyalah, ketika Wiradadi itu sampai di rumah, iapun langsung bertemu dengan ayahnya, dengan Ki Suracala dan dengan seorang pamannya yang lain. Ki Suradipa. “Apa yang terjadi atas dirimu?” bertanya Ki Suratapa, ayahnya. Ia adalah sepupu Ki Suracala, yang ikut menemui Glagah Putih dan Rara Wulan. Umurnya memang lebih tua dari Ki Suracala, meskipun tidak terpaut terlalu banyak. Sedangkan seorang lagi sepupu Ki Suracala adalah orang yang bertubuh tinggi kekar, yang sikapnya justru sangat keras terhadap keluarga Ki Argajaya. Wiradadi memang ragu-ragu menceritakan, bahwa ia telah dikalahkan oleh seorang perempuan. Ia merasa malu, terutama kepada Ki Suracala sendiri. Karena itu, ketika ia berjalan pulang, dua orang pengikutnya telah dibekalinya dengan cerita dusta, sebagaimana diceritakannya kepada ayah dan paman-pamannya. “Kami tahu bahwa kedua orang itu kemarin sudah mengamati rumah ini,“ berkata Wiradadi, “karena itu, aku berniat untuk bertanya kepada mereka, untuk apa mereka kemarin datang kemari dan kemudian hari ini mereka datang pula. Ketika kami menemui mereka di luar padukuhan, ternyata mereka membawa beberapa orang kawan.” “Jadi mereka tidak hanya berdua?” bertanya Ki Suratapa. “Ya. Lebih dari lima orang. Mereka membawa aku ke pategalan. Dan mereka telah memperlakukan aku dengan sewenang-wenang.” “Dan kau biarkan dirimu diperlakukan seperti itu?” bertanya Ki Suratapa. “Aku, maksudmu kami bertiga, telah melawan. Tetapi jumlah mereka lebih banyak, sehingga kami berada dalam kesulitan,” jawab Wiradadi. “Kenapa salah seorang dari kalian tidak memberitahukan kepada kami?” bertanya Ki Suradipa. “Ternyata bahwa kami tidak perlu melakukannya, Paman,” jawab Wiradadi, “mereka telah melarikan diri.” “Dan kalian tidak mengejarnya dan menangkap seorang dari mereka?” bertanya Ki Suradipa. “Mereka telah berlari memencar. Sementara itu, kami memang tidak ingin membuat padukuhan ini, dan apalagi kademangan ini, menjadi gaduh,” jawab Wiradadi. “Tetapi bukankah ada di antara mereka seorang perempuan?” bertanya Ki Suratapa. “Ketika terjadi perkelahian, maka perempuan dan anak muda yang datang kemari itu sudah pergi. Mereka meninggalkan kawan-kawannya, sehingga sulit bagi kami untuk melacak jejaknya.” Ki Suratapa itu pun menggeram. Dengan nada garang ia berkata, “Iblis yang tidak tahu diri. Tentu siasat Argajaya yang licik.” “Siapa yang licik di antara kita dan keluarga Ki Argajaya?” bertanya Ki Suracala. “Kau juga gila,” geram Suratapa, “kita sudah sepakat untuk memilih jalan terbaik. Kenapa kau masih ragu-ragu?” “Apakah benar kita sudah sepakat?” bertanya Ki Suracala. “Jadi kau mau apa? Kau akan membiarkan cucumu lahir tanpa ayah?” bertanya Ki Suratapa. “Bukankah aku mengatakan bahwa hal itu akan lebih baik daripada menyangkutkan keluarga Ki Argajaya?” “Kau masih saja dungu,” geram Ki Suratapa, “aku bermaksud baik. Jika Prastawa kawin dengan anakmu, maka kau akan dapat berharap ikut berkuasa di Tanah Perdikan Menoreh. Anak Argapati itu tentu akan lebih senang mengikuti suaminya di Sangkal Putung dan akan mengabaikan tugasnya di Tanah Perdikan Menoreh. Nah, hanya tinggal Prastawa yang ada di antara keluarga Ki Argapati.” “Tetapi Ki Argajaya bukan sejenis lembu perahan yang akan menurut saja diperas tanpa berbuat sesuatu. Ia akan dapat berbuat banyak sebagai adik Kepala Tanah Perdikan Menoreh.” “Menoreh tidak akan mempergunakan kekuatan Tanah Perdikan. Jika demikian maka mereka akan berhadapan dengan Kademangan Kleringan. Kau kira Tanah Perdikan berani menghadapi Kademangan Kleringan? Aku yakin, bahwa aku akan dapat mempengaruhi Ki Demang Kleringan, jika Argajaya berniat menggerakkan kekuatan Tanah Perdikan Menoreh untuk kepentingan pribadinya. Aku pun mengira, bahwa Ki Argapati tidak akan memberikan kesempatan Argajaya berbuat demikian. Nama Argajaya itu sendiri di Tanah Perdikan Menoreh sudah tersisih sejak ia memberontak melawan kakaknya. Namun ternyata bahwa anaknya masih dianggap seorang pemimpin yang baik di Tanah Perdikan.” “Ternyata kau tidak dapat membaca keadaan di Tanah Perdikan Menoreh. Kau kira Ki Demang Kleringan berani melawan Tanah Perdikan Menoreh? Kecuali jika Ki Demang ingin melebur Kademangan ini menjadi debu,“ berkata Ki Suracala. “Kami akan membatasi persoalan ini sebagai persoalan keluarga. Kami akan menyinggung harga diri keluarga Ki Argajaya agar tidak mempergunakan kekuatan Tanah Perdikan. Nah, kita akan mencobanya sore nanti,” desis Suradipa. Wajah Ki Suracala menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia berkata, “Apa yang akan kalian lakukan sore nanti?” “Kita akan melihat, apakah keterangan mereka memuaskan atau tidak. Jika mereka masih berbelit-belit dan tidak mau dengan tangan terbuka menerima tawaran kita agar Prastawa segera menikah dengan Kanthi, maka kita akan memperlakukan mereka sebagaimana orang-orang Argajaya memperlakukan Wiradadi,“ berkata Ki Suratapa. “Itu tidak adil,“ berkata Ki Suracala. “Apa yang tidak adil? Bukankah itu justru adil sekali?” Ki Suradipa justru bertanya. “Terus terang, aku tidak yakin akan kebenaran cerita Wiradadi,“ berkata Ki Suracala. “Kau selalu berprasangka buruk,” geram Ki Suratapa. “Aku peringatkan, bahwa kau tidak mempunyai kesempatan apapun untuk menentukan sikap. Kau berada di bawah kekuasaan kami. Kau harus mengakui kenyataan buruk tentang anakmu. Ia telah menjerat Wiradadi yang sudah beristri. Seharusnya ia tahu, bahwa tingkah lakunya sangat tercela bagi seorang gadis. Lebih dari itu, maka anakmu harus mengetahui bahwa tidak boleh terjadi perkawinan di antara saudara pada keturunan ketiga. Sedangkan keturunan kedua justru tidak ada keberatannya. Perkawinan antara saudara sepupu tidak menjadi pantangan bagi kita.“ Ki Suratapa itu berhenti sejenak. Namun kemudian katanya dengan nada berat, “Suracala. Kau harus mempertimbangkan satu kemungkinan bahwa sebenarnya Kanthi memang sudah merasa mulai mengandung karena hubungannya dengan Prastawa. Baru kemudian karena Prastawa ingkar, maka ia telah menjebak Wiradadi, kakangnya sendiri. Namun sayang, justru pada keturunan ketiga.” “Tidak. Bohong. Itu fitnah. Anakku tidak pernah berhubungan dengan Prastawa lebih dari hubungan persahabatan, sebagaimana aku dengan Adi Prastawa,” jawab Ki Suracala. “Apakah kau tidak pernah mendengar pengakuan kanthi, bahwa ia memang mencintai Prastawa?” bertanya Ki Suradipa. “Seandainya demikian, mereka tentu tidak akan melakukan larangan itu,” jawab Ki Suracala Ki Suratapa dan Ki Suradipa tertawa. Dengan nada tinggi Ki Suratapa berkata, “Kau memang keras kepala. Karena itu, kami akan menentukan kehendak kami tanpa minta persetujuanmu. Ingat, kau tidak akan dapat melawan kehendak kami. karena kami bermaksud baik terhadap Kanthi. Kami memang merasa kasihan kepadanya.” Ki Suracala menarik nafas dalam-dalam. Ia memang tidak mempunyai kekuatan apapun untuk mendukung sikapnya. Tetapi ia yakin bahwa Prastawa memang tidak bersalah. Namun Ki Suracala memang menjadi cemas, bahwa sore nanti akan terjadi sesuatu yang tidak diharapkan. Utusan Ki Argajaya akan dapat mengalami kesulitan. Bahkan mungkin bencana. “Wiradadi memang iblis,” geram Ki Suracala di dalam hatinya. Namun Ki Suracala pun memperhitungkan bahwa Ki Argajaya tidak akan dapat berbuat banyak. Seandainya ia mengalami kesulitan, maka kakaknya, Ki Argapati, belum tentu akan mau ikut campur, meskipun Prastawa terhitung salah seorang di antara para pemimpin pengawal di Tanah Perdikan. Ki Argajaya yang sudah bertahun-tahun tersisih, agaknya tidak akan dapat menggerakkan hati Ki Gede. Bahkan mungkin Prastawa justru akan dapat disisihkan, karena fitnah yang dilemparkan oleh keluarga Wiradadi yang menyangkut anak gadisnya, Kanthi. Ki Suracala memang menjadi bingung. Rasa-rasanya ia ingin berteriak keras-keras, melontarkan gejolak di dalam hatinya. Ingin rasa-rasanya ia meneriakkan kebenaran yang terjadi atas anak gadisnya yang ternyata memang sedang mengandung itu. Tetapi suaranya tidak dapat meluncur dari sela-sela bibirnya. Yang dapat dilakukan memang hanya menunggu dengan berdebar-debar, apa yang akan terjadi sore nanti, jika utusan Ki Argajaya benar-benar datang ke rumahnya. Dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa Ki Suratapa telah mempersiapkan sekelompok orang yang dapat membalas sakit hati anaknya. Tetapi Ki Suratapa sudah berpesan, agar mereka tidak bertindak lebih dahulu sebelum ada perintahnya. Ia harus mendengar lebih dahulu, hasil pembicaraan yang akan dilakukan. “Jika hasilnya baik, sehingga perkawinan itu akan segera dapat dilaksanakan, maka kita akan melupakan kesalahan mereka atas Wiradadi. Tetapi jika mereka masih menunda-nunda, maka mereka akan mengalami nasib buruk,“ berkata Ki Suratapa. Orang yang rambutnya mulai ditumbuhi uban, namun tubuhnya masih nampak kuat dan kekar menjawab, “Kami sudah cukup sabar menunggu. Jangan kecewakan cantrik-cantrikku.” “Aku mengerti,” jawab Ki Suratapa, “tetapi ingat, bahwa di Tanah Perdikan terdapat orang-orang berilmu tinggi. Aku sendiri tidak tahu seberapa tinggi tataran ilmu mereka, karena sudah agak lama aku meninggalkan Kleringan. Jika sekarang aku kembali, itu adalah karena ada persoalan yang menyangkut anakku di sini.” “Kemana kau pergi selama ini? Bukankah kau hanya bergeser sedikit ke barat dan tinggal di Pringsurat?” “Ya,” jawab Suratapa, “meskipun tidak terlalu jauh, tetapi perhatianku sama sekali tidak pernah lagi tertuju pada Kademangan ini, apalagi Tanah Perdikan Menoreh.” “Jangan cemas. Padepokanku tidak akan mengecewakanmu. Terserah kepadamu, percaya atau tidak.” Ki Suratapa mengangguk-angguk. Tetapi iapun kemudian berkata, “Bagaimanapun juga, menghadapi orang-orang Tanah Perdikan Menoreh kita harus berhati-hati. Seandainya mata kita buta, tetapi kuping kita tentu mendengar. Sebaliknya seandainya kuping kita tuli, kita pun dapat melihat, bahwa di Tanah Perdikan Menoreh terdapat orang-orang berilmu tinggi.” “Apakah kau memperkirakan bahwa Ki Argajaya akan memanfaatkan kedudukan kakaknya?” bertanya orang itu. “Aku kira tidak. Bagaimanapun juga ia masih mempunyai harga diri. Kecuali itu, Ki Gede tidak akan mudah melupakan pengkhianatan adiknya itu, sehingga mungkin justru Prastawa-lah yang akan disingkirkan,” jawab Ki Suratapa. “Segala kemungkinan dapat terjadi. Tetapi satu hal yang sudah pernah aku katakan dan masih tetap berlaku. Aku tidak bertanggung jawab jika Tanah Perdikan mengerahkan pasukan pengawalnya. Padepokanku, bahkan bergabung dengan Kademangan Kleringan sekalipun, tidak akan mampu berbuat apa-apa. Tetapi jika hanya sekelompok orang, apalagi keluarga dekat Ki Argajaya atau orang-orang upahannya, aku akan menghancurkan mereka.” “Tetapi jika benar kata-kata Wiradadi, agaknya Argajaya sudah benar-benar menjadi gila,“ berkata Suratapa. “Jika hanya kelompok-kelompok kecil seperti itu, maka persoalannya akan mudah diatasi. Bahkan jika perlu, kita ambil saja Argajaya itu sendiri, untuk memaksa Prastawa memenuhi keinginanmu serta keluarga Suracala.” “Kakang Suracala juga hampir menjadi gila,” geram Suratapa. “Suracala bukan apa-apa,” jawab orang itu. “Nah, hati-hatilah. Bersiaplah. Aku tidak tahu berapa jumlah utusan Ki Argajaya. Tetapi sudah tentu tidak sejumlah pengawal di Tanah Perdikan Menoreh,“ berkata Suratapa. Orang itu tertawa. Katanya, “Kau nampak sangat cemas.” “Kita harus membuat perhitungan yang cermat. Argajaya tidak akan berani berbuat gila dengan mengirimkan orang kemari dan menyerang Wiradadi, jika ia tidak merasa memiliki kekuatan.” ”Kenapa ia menyerang Wiradadi? Apakah ia mengetahui persoalan yang menyangkut Wiradadi?” bertanya kawan Suratapa itu. “Seharusnya tidak. Tetapi mungkin justru Wiradadi-lah yang dijumpainya, sehingga secara kebetulan ia menjadi sasaran kegilaan Argajaya, atau bahkan Prastawa.” “Apakah mungkin mereka termasuk para pengawal Tanah Perdikan Menoreh? Justru pengawal terpilih yang dikirim oleh Prastawa untuk menakut-nakuti kalian, karena kalian telah menakut-nakuti ayahnya. Sementara itu Prastawa merasa pasti bahwa ia tidak bersalah?” “Nah, bukan aku yang menjadi cemas. Tetapi kau sudah menjadi ragu-ragu pula,“ berkata Ki Suratapa. “Tidak, aku tidak ragu-ragu. Bebanku ringan. Jika persoalannya kemudian melibatkan Tanah Perdikan Menoreh, aku tidak bertanggung jawab. Aku dapat pergi begitu saja dan membiarkan kademangan ini digilas oleh kekuatan Tanah Perdikan.” “Setan kau,” geram Suratapa. Orang itu tertawa. Namun katanya kemudian, “Jangan cemas. Jika utusannya sore nanti tidak membuat persoalannya menjadi jernih, maka kami akan melakukan apa yang sebaiknya kami lakukan. Kami telah menyiapkan sepuluh orang berilmu tinggi. Lima orang dari perguruanku sendiri, sedangkan lima orang dari perguruan lain. Bukan karena aku tidak mempunyai orang cukup, tetapi melibatkan perguruan lain akan mempunyai pengaruh yang baik jika terjadi permusuhan yang panjang di kemudian hari. Setidak-tidaknya ada kawan untuk memanggul beban. Nanti sore aku akan melibatkan tiga perguruan yang besar dari barat.” Ki Suratapa mengangguk-angguk. Namun orang itu kemudian berkata, “Tetapi seperti yang kau janjikan. Kami akan mendapat imbalan yang cukup.” Ki Suratapa mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mempunyai berpuluh-puluh ekor lembu dan kerbau. Kau tahu itu. Sementara itu keluarga Wiradadi perlu diselamatkan.“ Ki Suratapa itu berhenti sejenak, lalu katanya, “Bukankah kau tahu, siapakah mertua Wiradadi itu?” “Ya. Tetapi kenapa ia tidak kau libatkan sekarang?” bertanya orang itu. “Untuk sementara mereka tidak usah mengetahui apa yang terjadi di sini. Tetapi jika perlu, maka kami dapat membohonginya, sebagaimana kami membohongi Argajaya. Jika. mertua Wiradadi sudah termakan, maka persoalannya akan meluas.” Orang itu mengangguk-angguk. Tetapi iapun mengerti, kenapa Ki Suratapa belum melibatkan mertua Wiradadi. Agaknya jika mungkin, persoalan antara Wiradadi dan Kanthi akan disembunyikan saja. Namun jika tidak mungkin, maka fitnah atas Prastawa akan diperluas lagi. Demikianlah, maka semua persiapan dilakukan seandainya pembicaraan Ki Suracala dengan utusan Ki Argajaya itu gagal. Mereka akan memperlakukan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh itu dengan tindak kekerasan, sebagaimana mereka lakukan atas Wiradadi sesuai dengan laporan Wiradadi itu sendiri. Dalam pada itu, maka Glagah Putih dan Rara Wulan telah berada di rumahnya. Mereka telah memberitahukan apa yang terjadi di Kademangan Kleringan itu kepada Ki Jayaraga. “Nanti sore aku akan ikut,“ berkata Rara Wulan dengan tegas. Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Sekar Mirah yang ikut mendengarkan laporan Rara Wulan dan Glagah Putih itu pun menjadi berdebar-debar. Ternyata persoalannya menjadi semakin rumit. “Tetapi itu bukan salah kami, Mbokayu,“ berkata Rara Wulan kemudian kepada Sekar Mirah. “Mereka mencegat kami.” Sekar Mirah mengangguk-angguk sambil menjawab, “Ya. Memang bukan salah kalian.” “Karena itu, nanti sore aku harus ikut. Aku akan menjelaskan kepada keluarga Ki Suracala, bahwa orang yang bernama Wiradadi itu memang srigala.” “Tetapi kita tidak akan dapat mengatakan bahwa kau telah bertemu dengan Kanthi,“ berkata Sekar Mirah. “Kenapa? Aku tidak takut. Biarlah hal itu dikatakan. Jika mereka mendendam kami berdua, kami tidak keberatan,” jawab Rara Wulan. “Aku percaya. Tetapi yang juga akan mengalami kesulitan adalah Kanthi itu sendiri. Bukankah ayahnya tidak lagi mampu melindunginya karena tingkah laku saudara sepupunya itu?“ sahut Sekar Mirah. Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Sementara Ki Jayaraga berkata, “Mbokayumu benar, Rara. Kau dan Angger Glagah Putih, dan berangkali kita semuanya, akan dapat meninggalkan mereka dan kembali ke Tanah Perdikan ini. Tetapi bagaimana dengan Kanthi? Bagaimana pula dengan Ki Suracala?” Rara Wulan mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia berkata, “Memang, kasihan Kanthi.” “Karena itu, kita tidak dapat membawa-bawa nama Kanthi. Tetapi kita sudah mengetahui kebenaran dari persoalan yang kami hadapi. Jelasnya, Prastawa tidak bersalah,“ berkata Sekar Mirah. Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara Sekar Mirah berkata selanjurnya, “Tentang apakah kau dapat ikut atau tidak, sebaiknya kita bicarakan nanti dengan Kakangmu Agung Sedayu dan Kakang Swandaru.” “Tetapi bagaimana dengan pendapat Mbokayu sendiri? Dan bagaimana dengan Ki Jayaraga?” bertanya Rara Wulan. “Apa sebenarnya keberatannya jika aku ikut? Aku tidak akan mengganggu pembicaraan Ki Jayaraga. Tetapi jika mereka berdusta, aku dapat menjadi saksi.” “Berdusta tentang apa? Tentang peristiwa yang baru saja terjadi, atau tentang Prastawa?” bekerja Sekar Mirah. Rara Wulan memang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Tentang semuanya. Tentang semuanya.” Sekar Mirah menarik nafas panjang. Rara Wulan nampaknya benar-benar tersinggung oleh perlakuan Wiradadi atasnya, sehingga kemarahannya masih saja melonjak-lonjak. Sambil mengangguk-angguk Sekar Mirah pun berkata, “Baiklah. Kita menunggu Kakang Agung Sedayu. Kakang sudah mengatakan bahwa ia akan pulang lebih awal, agar kita tidak terlalu malam sampai di Kleringan.” Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi wajahnya masih nampak gelap. Sementara itu Sekar Mirah berkata, “Sekarang, beristirahatlah Rara. Kau tentu letih.” Rara Wulan mengangguk kecil. Iapun kemudian telah pergi ke biliknya. Namun Rara Wulan sama sekali tidak beristirahat, Ia justru memasuki sanggar seorang diri. Tetapi Sekar Mirah, Ki Jayaraga dan Glagah Putih tidak mencegahnya. Mereka tahu bahwa Rara Wulan ingin melepaskan gejolak yang menghimpit jantung di dadanya. Sebenarnyalah Rara Wulan pun telah melakukan latihan-latihan berat seorang diri. Seakan-akan ia ingin tahu puncak kemampuannya selama ia berguru kepada Sekar Mirah. Bahkan kemudian, iapun telah berlatih dengan selendang yang masih belum dikembalikan kepada Sekar Mirah, karena ia tahu bahwa Sekar Mirah tidak hanya memiliki selembar. Seperti yang dikatakan, ternyata Agung Sedayu pulang lebih awal dari biasanya. Iapun segera minta agar Glagah Putih pergi menemui Swandaru untuk mengatakan bahwa Agung Sedayu telah berada di rumah. “Sebentar lagi kami akan datang. Kita akan segera berangkat ke Kleringan,“ pesan Agung Sedayu. Lalu katanya pula, “Karena itu, kami minta Swandaru berdua mempersiapkan diri.” Demikian Glagah Putih berangkat ke rumah Ki Gede untuk menemui Swandaru, maka Sekar Mirah pun telah memberitahukan persoalan yang dihadapi Rara Wulan dan Glagah Putih di perjalanan. “Orang itu memang keterlaluan, “desis Agung Sedayu. “Sore ini Rara Wulan memaksa untuk ikut,“ berkata Sekar Mirah pula, “nampaknya kemarahannya masih memanasi jantungnya.” “Dimana ia sekarang?” bertanya Agung Sedayu. “Ia berada di sanggar. Sudah cukup lama,” jawab Sekar Mirah. Kepada Ki Jayaraga Agung Sedayu pun minta pertimbangan, bagaimana sebaiknya dengan Rara Wulan. “Seandainya kita melarangnya, mungkin ia akan menyusul meskipun hanya sendiri,“ berkata Ki Jayaraga. “Apakah Glagah Putih tidak dapat mencegahnya?” bertanya Agung Sedayu pula. “Agaknya terlalu sulit untuk menahan agar anak itu tidak pergi,” jawab Ki Jayaraga. Agung Sedayu memang menjadi bingung. Dengan ragu-ragu ia bertanya kepada Ki Jayaraga, “Apakah lebih baik anak itu kita bawa, daripada ia berbuat sesuatu di luar pengetahuan kita?” Ki Jayaraga mengangguk sambil menjawab, “Aku kira memang demikian. Tetapi ia harus berjanji bahwa ia akan menurut perintah kita. Gadis itu tidak boleh berbuat menurut kehendaknya sendiri.” Namun Sekar Mirah pun berkata, “Nampaknya pembicaraan akan menjadi keras.” “Aku juga menduga demikian. Bahkan seandainya Rara Wulan tidak terlibat dalam perkelahian sekalipun, persoalannya akan menjadi rumit. Mereka menghendaki kita memberikan jawaban hanya soal waktu. Kapan pernikahan dilaksanakan. Padahal Prastawa tidak akan menikahinya, karena ia memang tidak seharusnya bertanggung jawab.” “Memang nampaknya tidak ada pilihan lain. Kita tidak tahu, apakah mereka sudah mempersiapkan sekelompok orang untuk menyambut kedatangan kita dengan caranya,“ berkata Ki Jayaraga. “Kita memang harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya,“ berkata Agung Sedayu kemudian. Agung Sedayu pun kemudian minta agar Sekar Mirah memanggil Rara Wulan. Jika ia memang akan ikut, sebaiknya ia mandi dan berbenah diri. “Kita akan segera berangkat. Jika kita terlalu lama, maka Swandaru akan terlalu lama menunggu,“ berkata Agung Sedayu. Demikianlah, maka Sekar Mirah pun segera memanggil Rara Wulan yang berada di dalam sanggar. Ketika Sekar Mirah memberitahukan bahwa Agung Sedayu telah datang, maka Rara Wulan pun segera akan berlari. “Kau mau kemana, Rara?” bertanya Sekar Mirah. “Aku akan minta kepada Kakang Agung Sedayu agar diperkenankan untuk ikut pergi ke Kleringan,” jawab Rara Wulan. “Aku sudah mengatakannya,” jawab Sekar Mirah. “Lalu?” wajah Rara Wulan menadi tegang. Sekar Mirah termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Kakangmu tidak berkeberatan.” “Jadi aku boleh ikut?” bertanya Rara Wulan. “Ya. Kau boleh ikut,” jawab Sekar Mirah. Rara Wulan pun segera meloncat memeluk Sekar Mirah dan menciumnya sambil berkata, “Terima kasih. Aku akan berkemas.” “Tetapi ada syaratnya, Rara,“ berkata Sekar Mirah kemudian. “Syaratnya apa?” bertanya Rara Wulan dengan dahi berkerut. “Rara harus menurut segala perintah Ki Jayaraga,” jawab sekar Mirah, “karena Ki Jayaraga adalah orang yang diserahi memimpin kita semuanya sebagai utusan Ki Argajaya.” Rara Wulan mengangguk. Katanya, “Ya. Aku berjanji.” Demikianlah, maka Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun telah berpakaian rapi pula. Karena Rara Wulan akan ikut, maka Glagah Putih pun akan ikut pula. Kepada anak yang tinggal di rumahnya, Agung Sedayu berpesan agar ia melayani Wacana sebaik-baiknya. “Bantulah jika diperlukan, keadaannya sudah berangsur baik,” berkata Agung Sedayu. Ketika Agung Sedayu minta diri, Wacana yang sudah dapat duduk dan bahkan berjalan selangkah-selangkah itu bertanya, “Apakah kalian akan pergi ke sebuah peralatan?” “Tidak,” jawab Agung Sedayu. “Kami sedang diutus oleh Ki Argajaya untuk membicarakan anaknya, Prastawa.” “Melamar?” bertanya Wacana pula. “Juga tidak,” jawab Agung Sedayu sambil tersenyum. “Jadi?” desak Wacana yang keheranan. “Justru membatalkan satu pembicaraan tentang pernikahan Prastawa. Tetapi sejak pertama, pembicaraan tentang pernikahan itu sudah tidak wajar,” jawab Agung Sedayu. Wacana hanya mengangguk-angguk saja. Persoalan yang dibawa oleh Agung Sedayu itu tentu berbelit, sehingga untuk menjelaskannya diperlukan waktu. Demikianlah, maka beberapa saat kemudian seisi rumah itu pun telah berangkat. Mereka lebih dahulu singgah di rumah Ki Gede. Kemudian bersama-sama dengan Swandaru dan Pandan Wangi, mereka berangkat ke Kademangan Kleringan. Namun sebelum mereka berangkat, maka Agung Sedayu telah memberikan sedikit cerita tentang peristiwa yang terjadi atas Rara Wulan, sehingga mereka pun harus bersiap menghadapi kemungkinan yang paling buruk sekalipun. Tetapi Swandaru tersenyum sambil berkata, “Pandan Wangi telah bersiap menghadapinya. Karena persoalannya telah jelas. Kita tidak dapat memenuhi keinginan mereka. Sementara itu, bagi mereka sikap ini berarti kekerasan.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tetapi betapapun beban itu memberati keberangkatan kita, tetapi kita harus berusaha. Sejauh dapat kita lakukan.” Swandaru justru tertawa. Katanya, “Satu harapan yang sia-sia. Sebaiknya kita tidak mempertimbangkan kemungkinan itu. Meskipun demikian, tidak ada di antara kita yang menunjukkan sikap seperti itu. Kita semuanya tidak ada yang semata-mata membawa senjata.“ Agung Sedayu mengangguk-angguk. Senjata Agung Sedayu dan Swandaru memang tidak nampak karena berada di bawah baju mereka. Sementara itu. Sekar Mirah dan Rara Wulan membawa selendang, Sedangkan Pandan Wangi membawa sepasang pisau belati di lambung, di bawah bajunya yang longgar. Pisau belati memang hanya pendek saja, sehingga sama sekali tidak nampak justru karena Pandan Wangi memakai baju yang longgar. Adapun Glagah Putih telah mengenakan ikat pinggang kulitnya, yang juga merupakan senjatanya yang diandalkannya. Hanya Ki Jayaraga saja-lah yang memang tidak membawa senjata. Tetapi ia memiliki kemampuan untuk mempergunakan ikat kepalanya, baik sebagai perisai maupun sebagai senjata, jika diperlukan. Meskipun Ki Jayaraga tidak memiliki ikat kepala khusus sebagaimana Ki Waskita. Ki Gede yang sudah mendapat penjelasan tentang keadaan yang akan dihadapi oleh sekelompok orang yang pergi ke Kademangan Kleringan itu, memang menjadi berdebar-debar. Namun Ki Gede memang tidak menawarkan kekuatan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh, karena persoalannya menurut Ki Gede memang persoalan pribadi. “Berhati-hatilah,” pesan Ki Gede, “namun bagaimanapun juga kalian harus berusaha untuk dapat menyelesaikan persoalan ini tanpa harus mempergunakan kekerasan. Mungkin Angger Swandaru benar, bahwa harapan itu akan sia-sia. Tetapi segala sesuatunya yang belum terjadi itu tidak lebih dari satu kemungkinan, yang masih dipengaruhi oleh keadaan terakhir dari persoalan itu sendiri. Tetapi juga mungkin sekali pengaruh lain.” Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Tetapi karena yang mengatakannya adalah mertuanya, maka ia tidak mengatakan sesuatu. Demikianlah, beberapa saat kemudian, sekelompok kecil utusan Ki Argajaya itu telah berangkat. Prastawa sendiri tidak ikut bersama utusan itu. Namun ketika ia berdiri di regol saat utusan itu berangkat, Prastawa sempat bertanya kepada Agung Sedayu, “Apakah aku harus mempersiapkan sekelompok pengawal terpilih dan memasuki Kademangan Kleringan?” “Jangan,“ berkata Agung Sedayu, “jika hal itu kau lakukan, maka persoalannya akan menjadi semakin rumit. Ki Demang Kleringan akan dapat tersinggung.” “Jika Ki Demang Kleringan tersinggung, ia mau apa? Jika ia melibatkan diri dalam persoalan ini, maka aku akan menggilas Kleringan dengan kekuatan Tanah Perdikan Menoreh.” “Tidak. Itu tidak perlu. Serahkan segala-galanya kepada kami. Kami akan berusaha membuat penyelesaian terbaik.” Prastawa menarik nafas dalam-dalam. Tetapi bagaimanapun juga, ia merasa cemas atas keselamatan orang-orang yang telah dipilih menjadi utusan ayahnya untuk pergi ke Kleringan itu. Namun Prastawa berusaha untuk meyakini bahwa yang pergi ke Kademangan Kleringan itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Sementara itu menurut perhitungannya, Ki Demang Kleringan tentu tidak akan melibatkan dirinya. Bahkan mungkin Ki Demang tidak tahu menahu persoalan yang menyangkut dirinya itu. Keberangkatan beberapa orang ke Kademangan Kleringan itu memang menarik perhatian. Orang-orang yang berpapasan selalu bertanya, mereka akan pergi kemana. “Kami akan pergi ke Kleringan,” jawab Agung Sedayu, “ada persoalan sedikit menyangkut hubungan Kleringan dan Tanah Perdikan, setelah orang-orang di perkemahan itu terusir.” “Apakah orang-orang Kleringan akan membuat persoalan?” bertanya seorang anak muda. “Tidak. Bukan itu. Tetapi bagaimana kita akan bersama-sama menangani perkemahan yang ditinggalkan oleh para penghuninya, karena sebagian dari perkemahan itu berada di Tanah Perdikan, tetapi ada pula yang berada di Kademangan Kleringan.” “Kenapa Ki Gede tidak memanggil saja Ki Demang Kleringan, sehingga beberapa orang Tanah Perdikan harus pergi kesana?” bertanya anak muda yang lain. “Karena selain pembicaraan yang sungguh-sungguh, kami akan melihat keadaannya,” jawab Agung Sedayu pula. Jawaban itu agaknya dapat memberi kepuasan sedikit kepada anak-anak muda di Tanah Perdikan itu. Sementara itu. Ki Suratapa benar-benar telah mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang tidak dikehendakinya. Kawannya sudah mempersiapkan sepuluh orang berilmu tinggi untuk melakukan tindak kekerasan, jika pembicaraan yang akan dilakukan itu gagal. Dengan kesadaran bahwa di Tanah Perdikan ada orang-orang yang berilmu tinggi, maka sepuluh orang yang dipilih adalah orang-orang yang menurut perhitungan mereka adalah orang-orang yang tidak terkalahkan. Mereka bukan sekelompok orang dari satu perguruan. Tetapi kawan Ki Suratapa itu telah membawa orang-orang terbaik dari tiga perguruan yang lain. “Seandainya yang datang sebagai utusan Ki Argajaya itu berjumlah dua puluh orang sekalipun, maka kami tentu akan dapat mengatasinya,“ berkata kawan Ki Suratapa itu. “Aku dan Suradipa tentu tidak hanya akan tinggal diam,“ berkata Ki Suratapa. “Hanya Suracala saja-lah yang tidak dapat kami harapkan. Wiradadi dan kedua orang kawannya, yang tadi siang sudah harus menghalau sekelompok orang dari Tanah Perdikan, tentu masih mendendam.” “Kalian tidak perlu turut campur,“ berkata kawan Ki Suradipa itu, namun katanya selanjutnya, “kecuali jika kalian sendiri menginginkan untuk membalas dendam dengan tangan kalian sendiri.” “Ya,” jawab Suratapa, “Wiradadi tentu ingin menangkap orang yang siang tadi telah memperlakukannya dengan kasar. Atau salah seorang dari mereka, jika nanti ikut datang kemari.” Kawan Ki Suratapa itu mengangguk-angguk. Katanya, “Kami akan berada di luar padukuhan. Jika kami harus bertindak, maka kami akan lebih bebas melakukannya. Karena itu, maka apapun yang harus kami lakukan, kau harus mengirimkan orangmu menemui kami di bulak di luar padukuhan.” “Sekali lagi aku ingatkan meskipun kalian sudah mengerti, bahwa di Tanah Perdikan banyak terdapat orang berilmu tinggi.” “Ya. Tetapi kami sudah siap. Meskipun demikian, kami tetap ragu-ragu bahwa Ki Gede akan membantu adiknya yang telah mengkhianatinya. Meskipun demikian, aku pun ingin mengingatkanmu, bahwa kami tidak bertanggung jawab jika Tanah Perdikan langsung melibatkan pasukan pengawalnya.” “Menurut perhitunganku, hal itu tidak mungkin dilakukan,” jawab Ki Suratapa. “Baiklah. Apapun yang akan terjadi kemudian adalah tanggung jawabmu Suratapa. Tetapi jangan cemaskan tentang orang-orang yang bakal datang sore ini.” Dengan demikian, maka sepuluh orang yang sudah dipersiapkan itu telah mengambil tempat di luar padukuhan. Mereka berada di pategalan. Namun dua orang di antara mereka duduk di pinggir jalan, untuk melihat siapa saja yang bakal datang ke rumah Ki Suracala. Ketika matahari menjadi semakin rendah di sisi barat, maka seorang yang ditugaskan oleh Ki Suratapa untuk melihat-lihat keadaan, dengan bergegas lewat jalan bulak yang menuju ke padukuhan itu. Ketika kedua orang yang menunggu itu melihatnya, maka orang itu pun dihentikannya. “Apakah mereka sudah datang?” bertanya salah seorang dari mereka. “Ya, aku sudah melihat mereka,” jawab orang itu. “Berapa orang?” “Belum jelas. Tetapi kurang dari sepuluh. Separuh dari mereka adalah perempuan,” jawab orang itu. “Perempuan?” “Ya. Mereka nampaknya utusan resmi Ki Argajaya. Menilik pakaiannya, mereka seperti orang yang sedang pergi melamar. Resmi sekali.” “Licik. Ki Argajaya bersembunyi di belakang punggung perempuan. Tadi pagi ia mengutus anak-anak. Bahkan seorang di antaranya juga perempuan. Agaknya ia tidak mempunyai cara yang lebih jantan untuk membuat penyelesaian masalahnya.” “Sudahlah,“ berkata orang itu, “aku akan menyampaikan kabar ini kepada Ki Suratapa.” Kedua orang itu tidak mencegahnya, sehingga orang itu pun segera berlari-lari kecil menuju ke padukuhan. Kedua orang itu pun segera memberitahukan kedatangan orang-orang Tanah Perdikan itu kepada kawan-kawannya. Mereka memang menjadi sangat kecewa, bahkan ada yang mengumpat-umpat ketika mereka tahu bahwa yang datang separuh di antaranya adalah perempuan, sehingga dengan demikian, maka kemungkinan terjadinya kekerasan menjadi kecil. “Aku sudah kehilangan banyak waktu. Tetapi jika tidak terjadi apa-apa di sini, maka waktu yang hilang itu benar-benar tidak berarti lagi.” “Kita masih menunggu. Jika perlu, maka perempuan-perempuan itu justru akan dapat menjadi bahan taruhan jika Ki Argajaya menjadi keras kepala.” Orang-orang itu mengangguk-angguk. Tetapi seorang yang berkumis lebat berkata dengan suaranya yang mengguntur, “Sudah aku katakan, bahwa aku akan berbuat apa saja menurut kehendakku. Jika mereka membawa perempuan kepadaku, itu salah mereka.” “Apapun yang dapat kita lakukan, tetapi kita masih tetap terikat pada tugas yang sudah kita bicarakan dengan Suratapa. Karena itu, maka kita harus menunggu, apa saja yang dapat kita lakukan atas orang-orang yang datang ke padukuhan itu.” “Jika aku berbuat atas tanggung jawabku sendiri, maka tidak seorang pun yang mampu mencegah aku,” jawab orang berkumis lebat itu. “Kau dapat melakukannya setelah tugas pokok kita selesai. Ingat, yang menentukan adalah Suratapa.” Orang itu tidak menjawab. Sementara orang yang berkepala botak berkata, “Kita lihat, siapa saja yang lewat.” “Jika kita semuanya turun ke jalan, maka mereka tentu akan membuat perhitungan tentang kehadiran kita.” “Tetapi mereka sudah ada di sini. Mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Jika mereka akan kembali, kita justru akan menggiring mereka agar mereka berjalan terus.” Ternyata yang lain pun sependapat. Karena itu, maka sepuluh orang itu pun telah pergi ke pinggir jalan. Namun mereka masih juga berusaha untuk tidak semata-mata berkumpul sepuluh orang. Tetapi mereka berusaha untuk menebar. Sebenarnyalah, beberapa saat kemudian, lewat sebuah iring-iringan kecil. Mereka adalah Ki Jayaraga, Agung Sedayu, Swandaru, Glagah Putih, Sekar Mirah, Pandan Wangi dan Rara Wulan. Ketika mereka melewati beberapa orang yang duduk di pinggir jalan meskipun menebar, panggraita mereka sudah tersentuh. Nampaknya orang-orang yang duduk di pinggir jalan itu bukan para petani yang memiliki kotak-kotak sawah di sebelah-menyebelah jalan itu. Tetapi sepanjang orang-orang itu tidak berbuat sesuatu, maka Ki Jayaraga dan para pengiringnya sama sekali tidak menghiraukan mereka. Dengan tenangnya orang-orang dari Tanah Perdikan Menoreh itu melintasi mereka, orang-orang yang menebar di pinggir jalan sambil memperhatikan sekelompok orang yang lewat itu dengan mata yang hampir tidak berkedip. Di antara utusan Ki Argajaya itu terdapat tiga orang perempuan. Seorang di antaranya masih terlalu muda. Sedangkan yang dua orang, adalah perempuan yang mulai menjadi masak. Yang sangat menarik perhatian, ketiganya adalah perempuan-perempuan yang cantik. Justru mereka menggunakan pakaian yang terpilih. Sehingga dengan demikian maka utusan Ki Argajaya itu nampaknya benar-benar utusan yang resmi. Demikian iring-iringan itu lewat, maka sepuluh orang yang menebar itu telah berkumpul kembali. Orang yang berkumis lebat itu berkata, “Aku dapat dibuat gila karenanya.” “Ki Argajaya memang cerdik sekali. Ia mengirim utusan resmi yang separuh di antaranya adalah perempuan. Dengan demikian, sulit bagi Ki Suratapa untuk bertindak dengan kekerasan jika ia masih mempunyai harga diri,“ berkata kawan Ki Suratapa. “Kenapa?” bertanya orang yang berkumis lebat, “Bukankah itu salah Argajaya sendiri? Bagiku, kita tidak akan peduli siapapun yang datang. Jika mereka tidak memenuhi keinginan Ki Suracala, maka mereka akan dibereskan di sini.” “Tentu tidak semudah itu. Meskipun Ki Suratapa sudah berjanji bahwa akibat yang timbul dari rencananya ini bukan tanggung jawab kita, tetapi apakah kita akan melakukan kekerasan terhadap sekelompok utusan resmi, yang separuhnya terdiri dari perempuan?” “Aku berpikir sebaliknya,“ berkata seorang yang bertubuh agak pendek tetapi sedikit gemuk, “perempuan itu akan dapat menjadi taruhan. Jika Argajaya tidak memenuhi tuntutan Suratapa, maka perempuan-perempuan itu tidak akan pulang ke rumah mereka.” “Jika demikian, maka harga diri Tanah Perdikan Menoreh-lah yang tersinggung. Keluarga Suratapa akan dapat digilas sampai lumat. Bahkan keluarganya yang berada di Pringsurat sekalipun.” “Bukankah jika terjadi demikian bukan tanggung jawab kita?” bertanya orang yang berkumis lebat. “Itu menyalahi pembicaraan kita dengan Ki Suratapa. Kecuali jika Ki Suratapa menghendaki demikian.” Orang berkumis lebat itu tidak menjawab. Tetapi agaknya ia tidak menghiraukan pembicaraan itu. Tiga orang perempuan yang ada di dalam iring-iringan itu adalah perempuan-perempuan yang sangat cantik. Bahkan seandainya ia diberi hak untuk memilih, maka ia akan mengalami kesulitan. Sementara itu, ketujuh orang utusan Ki Argajaya itu sudah mendekati padukuhan. Ketika mereka kemudian memasuki regol, maka dari belakang dinding halaman di sudut padukuhan, Wiradadi dan kedua orang pengikutnya ternyata telah mengintip mereka dari balik rumpun bambu. Jantungnya menjadi berdebar-debar ketika ia melihat anak muda dan gadis yang pagi tadi datang ke padukuhan itu, telah ikut pula bersama sekelompok utusan Ki Argajaya. “Setan anak itu,” geram Wiradadi. “Bukankah satu kebetulan,“ berkata orang yang berwajah garang itu, “kita akan dapat membalas dendam.” “Apakah kau masih berani bertempur melawan mereka?” bertanya Wiradadi. “Ada sepuluh orang di bulak. Kita bergabung dengan mereka.” jawab orang yang berwajah garang itu. Wiradadi mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Perempuan yang telah mempermalukan aku itu harus menyesali perbuatannya. Ia tidak akan terlepas dari tanganku.” Sementara itu, ketujuh orang utusan Ki Argajaya itu telah mendekati rumah Ki Suracala. Glagah Putih yang sudah mengetahui letak rumah itu, berjalan di depan. Dalam pada itu. Ki Suracala sudah mendapat pemberitahuan bahwa utusan dari Tanah Perdikan sudah datang. Karena itu, maka iapun telah bersiap-siap untuk menyambut kedatangan mereka. Untuk menghormati tamunya, maka Ki Suracala telah mengenakan pakaian yang pantas. Bagaimanapun juga, ia tidak ingin dianggap seorang yang tidak mengenal unggah-ungguh. “Buat apa kau memakai pakaian lengkap seperti itu?” bertanya Ki Suratapa. “Bukankah utusan Ki Argajaya juga mengenakan pakaian yang baik dan pantas? Bahkan kedua orang anak yang datang pagi tadi pun berpakaian rapi sesuai dengan tugas mereka.” “Aku tidak peduli,“ berkata Ki Suradipa. “Itu terserah kepadamu,” jawab Ki Suracala, “tetapi aku peduli atas kedatangan mereka.” “Tetapi ingat Suracala,” geram Suratapa, “kau harus tahu diri. Keselamatan keluargamu tergantung pada sikapmu sekarang ini. Apalagi jika mertua Wiradadi mengetahui apa yang terjadi. Mungkin seluruh keluargamu sudah dibunuhnya, karena ia tentu tidak mau nama keluarga anaknya tercemar karena tingkah laku gadis liarmu itu.” “Tidak, itu fitnah,” geram Ki Suracala. “Sekali lagi aku peringatkan. Keselamatan keluargamu tergantung pada sikapmu. Hidup mati Kanthi berada di ujung lidahmu,“ berkata Ki Suratapa. Wajah Ki Suracala menjadi tegang. Tetapi ia tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa keselamatan Kanthi, dan bahkan seluruh keluarganya, tergantung pada sikapnya. Ki Suracala memang mempercayainya. Bahkan mertua Wiradadi yang garang akan dapat berbuat apa saja atas Kanthi, yang dianggapnya dengan sengaja mengganggu ketenangan keluarga anaknya itu. Saudara sepupunya yang bengis itu, untuk melindungi keselamatan anak lelakinya, akan dapat saja melemparkan fitnah, seakan-akan Kanthi sengaja menggodanya sehingga perbuatan yang tercela itu telah terjadi. Namun demikian, sebenarnya hati Ki Suracala tidak membenarkan langkah yang diambil oleh sepupunya itu dengan mengorbankan Prastawa, anak Ki Argajaya, justru karena Ki Argajaya sejak lama tersisih dari keluarga Tanah Perdikan Menoreh karena pengkhianatannya yang menelan banyak korban itu. Namun bagaimanapun juga, Ki Suracala harus melihat kenyataan yang dihadapinya. Ki Suratapa sudah menyiapkan segala sesuatunya untuk memaksakan kehendaknya. Dalam pada itu, sejenak kemudian, utusan Ki Argajaya dari Tanah Perdikan Menoreh itu telah sampai ke depan regol halaman rumahnya. Seseorang yang diperintahkan oleh Ki Suracala menunggu, segera mempersilahkan mereka masuk. Ki Suracala sudah mempersiapkan diri untuk menerima mereka. Ki Suradipa juga sudah berada di pendapa pula. Dengan ramah dan dengan unggah-ungguh yang utuh, Ki Suracala menerima utusan Ki Argajaya. Mereka pun kemudian dipersilakan untuk naik dan duduk di pendapa. Sementara itu, Ki Suratapa dan Ki Suradipa juga ikut menerima tamu-tamu itu. Ki Suracala pun kemudian telah mempertanyakan keselamatan tamunya di perjalanan, serta keluarga yang mereka tinggalkan. Baru kemudian Ki Suracala telah memperkenalkan kedua orang saudara sepupunya itu. Ki Jayaraga yang ditugaskan untuk memimpin utusan itu pun telah memperkenalkan diri pula. Disebutnya dirinya sendiri sebagai saudara sepupu Ki Argajaya. Kemudian diperkenalkannya orang-orang yang menyertainya seorang demi seorang. Ketika Ki Jayaraga menyebut nama Pandan Wangi, istri Swandaru, sebagai putri Ki Gede Menoreh, maka Ki Suratapa, Ki Suradipa dan bahkan Ki Suracala sendiri menjadi berdebar-debar. Bagaimanapun juga anak Ki Gede Menoreh itu tentu datang atas sepengetahuan Ki Gede. Jika terjadi sesuatu atas anak perempuannya, sudah tentu Ki Gede tidak akan tinggal diam. Ki Suratapa sudah mulai merasa bahwa perhitungannya tidak seluruhnya benar. Ia mengira bahwa Ki Gede dan keluarganya tidak akan mempedulikan nasib Ki Argajaya, dan bahkan nasib Prastawa. Namun ternyata bahwa anak perempuan Ki Gede itu sendiri telah datang ke rumah Ki Suracala. Kedatangan Pandan Wangi agaknya benar-benar berpengaruh. Bagaimanapun juga mereka harus memperhitungkan sikap Ki Gede di belakang utusan yang datang itu. Tetapi Ki Suratapa masih mempunyai satu jalan. Mengungkit harga diri keluarga Ki Argajaya, sehingga tidak berlindung di bawah kekuatan Tanah Perdikan Menoreh. Karena persoalannya sangat terbatas pada persoalan pribadi dan harga diri sebuah keluarga. Beberapa saat Ki Suracala masih belum menyinggung persoalan yang sebenarnya. Ia masih saja berbicara tentang berbagai hal di Tanah Perdikan dan di Kademangan Kleringan. Bahkan mereka juga berbicara tentang orang-orang yang ada di perkemahan, yang terusir oleh kekuatan dari Tanah Perdikan Menoreh. Beberapa saat kemudian, maka minuman dan makanan pun telah dihidangkan, sehingga pembicaraan pun terputus untuk beberapa saat. Baru kemudian, setelah minum beberapa teguk, maka Ki Suracala pun telah bertanya, “Ki Sanak. Sebagaimana Ki Sanak katakan tadi, bahwa kedatangan Ki Sanak adalah mengemban tugas dari Ki Argajaya. Nah, barangkali Ki Sanak dapat menguraikan pesan dari Ki Argajaya itu?” Ki Jayaraga yang rambutnya sudah ubanan itu mengangguk-angguk kecil. Namun kemudian katanya, “Ki Suracala. Kami sudah menerima pesan-pesan Ki Suracala. Jika hari ini kami datang sebagai utusan Ki Argajaya, maka persoalan yang pernah Ki Suracala sampaikan kepada Ki Argajaya itulah yang ingin kami bicarakan sekarang ini.” Sebelum Ki Suracala menjawab, maka Ki Suratapa sudah menyahut, “Lalu, kapan Ki Argajaya akan menyelenggarakan pernikahan itu? Tetapi tidak terlalu lama lagi, karena keadaan Kanthi sudah tidak memungkinkan lagi untuk bersembunyi lebih lama.” “Maaf, Ki Suratapa,” jawab Ki Jayaraga, “bukan maksud kami menunda-nunda persoalan. Tetapi sebagaimana waktu yang ditetapkan oleh Ki Suracala sendiri. Bahkan masih tersisa satu hari lagi.” “Ya. Memang masih ada waktu,“ sahut Ki Suracala. Tetapi Ki Suradipa segera memotong, “Tugas Ki Sanak tinggal menyampaikan keputusan Ki Argajaya, kapan ia akan melangsungkan pernikahan Kanthi dengan Prastawa. Bukankah tinggal menyebut hari, pasaran dan tanggal. Kenapa ragu-ragu?” Ternyata orang berwajah garang itu memang licik. Sementara Ki Jayaraga belum menjawab, Ki Suradipa sudah mendahului, “Tentu saja semakin cepat akan menjadi semakin baik.” Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun mengangguk pula sambil menjawab, “Ya. Semakin cepat persoalan ini selesai, tentu semakin baik.” Ki Suradipa mengangguk-angguk sambil berkata, “Bagus. Jika demikian, sebut saja, kapan Ki Argajaya akan menyelenggarakan pernikahan anaknya. Nanti setelah persoalan pokok yang kita bicarakan selesai, kita dapat berbicara tentang apa saja. Mungkin tentang pelaksanaannya atau tentang hal-hal lain yang bersangkut-paut dengan pernikahan itu. Biaya, misalnya.” Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya yang ditujukan kepada Ki Suracala, “Maaf. Ki Suracala. Sebelumnya, baiklah aku menyampaikan pesan Ki Argajaya lebih dahulu. Bukan tentang hari-hari pernikahan, tetapi tentang kebenaran persoalan itu sendiri.” “Cukup,” potong Ki Suratapa, “sudah aku katakan bahwa kami hanya mau mendengar pesan Ki Argajaya tentang saat pernikahan. Yang lain tidak.” “Tentu kita akan sampai kepada persoalan pernikahannya itu sendiri. Tetapi bukankah pernikahan itu bukan satu persoalan yang berdiri sendiri?” berkata Ki Jayaraga. Lalu katanya pula, “Karena itu. maka jika kita berbicara tentang pernikahan itu, maka kita tentu akan berbicara tentang hal-hal yang bersangkutan dengan pernikahan itu sendiri. Misalnya, siapa orangnya, bagaimana sikap keluarganya, dan kenapa pernikahan itu harus berlangsung. Tanpa kejelasan tentang hal itu, maka pernikahan itu akan menjadi kabur. Siapa yang akan menikah, apakah orang tuanya sependapat, atau apakah kedua orang yang akan menikah itu sudah setuju atau bahkan menolak.” “Jangan berputar-putar Ki Jayaraga,“ berkata Ki Suradipa, “kami tidak mempunyai minat untuk berbicara tentang hal-hal yang lain kecuali pernikahan itu sendiri.” “Tetapi bukankah harus dijelaskan, siapa yang akan menikah dengan siapa. Tentu bukan aku.” “Itu sudah jelas. Jangan mengada-ada. Yang menikah adalah Prastawa dengan Kanthi. Mereka harus menikah karena hubungan mereka telah melampaui batas sehingga Kanthi mengandung. Sementara itu hubungan antara keduanya semula sudah direstui oleh orang tuanya. Nah, apa lagi?“ berkata Ki Suratapa. “Itulah yang ingin kami cocokkan,” jawab Ki Jayaraga, “bukan karena kami tidak mempercayainya, tetapi mungkin ada kekeliruan atau salah paham. Menurut pengakuan Prastawa, ia sama sekali tidak pemah berhubungan dengan Kanthi dalam pengertian yang menyebabkannya mengandung. Prastawa mengaku bahwa ia kenal baik dan akrab dengan Kanthi. Tetapi tidak lebih dari persahabatan biasa. Apalagi sampai melakukan pelanggaran seperti yang dimaksudkan.” “Siapa yang mengatakan itu?” bertanya Ki Suradipa. “Prastawa sendiri,” jawab Ki Jayaraga. “Kami sudah menduga bahwa Prastawa yang licik itu tidak akan berani mempertanggung-jawabkan perbuatannya. Itulah sebabnya kami harus mempergunakan cara yang khusus untuk memaksa Prastawa berani bertanggung jawab,” geram Suradipa. “Soalnya bukan tidak berani bertanggung jawab, tetapi Prastawa tidak melakukannya,“ berkata Ki Jayaraga, “hal itu berkali-kali dikatakannya. Baik di hadapan ayahnya, Ki Argajaya, maupun di hadapan Ki Gede Menoreh.” “Ia berbohong. Apakah kalian akan melindungi seorang pengecut yang berbohong?” bertanya Ki Suratapa. “Ki Suracala,“ berkata Ki Jayaraga kepada Ki Suracala, “Ki Suracala adalah ayah gadis yang mengandung itu. Kami mengusulkan, agar Prastawa dan Kanthi dipertemukan di hadapan orang-orang tua yang berpengaruh dari kedua belah pihak. Biarlah keduanya berbicara dengan jujur. Apakah Prastawa memang bersalah.” “Tidak,“ Ki Suratapa hampir berteriak, “tidak ada gunanya. Prastawa tentu tetap berbohong. Kebohongan yang mantap tentu akan memberikan kesan bersungguh-sungguh. Dan itu akan dapat dilakukan oleh Prastawa.” “Tetapi kita harus berusaha untuk sampai pada satu kebenaran. Jika keduanya berbicara sendiri-sendiri, maka tidak akan pemah dapat dicari kenyataan yang sebenarnya terjadi,” berkata Ki Jayaraga. “Tidak. Aku sudah mengatakan tidak. Aku hanya ingin ketetapan waktu pernikahan, itu saja,” garam Ki Suratapa. “Tetapi bukankah ayah Kanthi adalah Ki Suracala?” bertanya Ki Jayaraga. Wajah Ki Suratapa dan Ki Suradipa menjadi merah. Sementara itu Ki Suracala menjadi sangat gelisah. Namun Ki Suratapa itu pun berkata, “Aku tidak mau banyak berbicara lagi. Waktu yang kami berikan masih tersisa satu hari. Namun karena kalian sudah ada di sini sebagai utusan Ki Argajaya, maka kita akan menetapkan saja hari pernikahan itu, dengan janji untuk ditepati oleh kedua belah pihak.” “Tetapi kami tidak mendapat wewenang untuk itu,“ jawab Ki Jayaraga. “Kalian menyampaikan keputusan ini kepada Ki Argajaya. Biarlah Ki Argajaya mematuhinya.” Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia berpaling kepada Pandan Wangi sambil berkata, “Apakah menurut pendapat Angger Pandan Wangi, kita dapat bertindak sebagaimana dikatakan oleh Ki Suratapa?” Pandan Wangi menggeleng lemah. Sementara itu, Swandaru duduk dengan sangat gelisah, ia sudah mulai tidak telaten dengan pembicaraan yang berkepanjangan itu. “Tidak, Ki Jayaraga,“ berkata Pandan Wangi kemudian, “wewenang yang ada pada kami adalah menyampaikan kebenaran itu.” Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya pula, “Nah, kau dengar? Angger Pandan Wangi adalah anak perempuan Ki Gede. Bahwa Angger Pandan Wangi disertakan dalam kelompok utusan ini, karena Ki Gede ingin tahu dengan pasti apakah Prastawa bersalah atau tidak. Jika Prastawa memang bersalah, maka Ki Gede sendiri akan mengambil tindakan. Tetapi jika tidak, maka Prastawa akan mendapat perlindungan.” “Persoalan ini adalah persoalan Ki Suracala dengan Ki Argajaya. Tentu saja Ki Gede dapat mengerahkan pasukannya untuk memaksakan kehendaknya. Tetapi itu adalah sikap yang sangat licik. Ia telah menyalah gunakan kekuasaannya untuk melindungi kesalahan kemenakannya.” “Tidak. Ki Gede belum memutuskan untuk melindungi Prastawa. Ki Gede sedang berusaha untuk melihat kebenaran dari persoalan ini. Karena itu, maka aku berpendapat sebaiknya Prastawa dan Kanthi dipanggil bersama-sama untuk berbicara langsung, dengan jujur menyatakan kebenaran itu.” “Tidak. Itu tidak perlu,” jawab Ki Suratapa, “dalam keadaan yang demikian, Kanthi akan dapat menjadi ketakutan, dan tidak akan berani mengatakan kebenaran itu.” “Bukankah ia akan disertai oleh ayahnya, dan barangkali kalian berdua?” jawab Ki Jayaraga. “Tidak. Kami tidak ingin mengulur-ulur waktu lagi,“ berkata Ki Suratapa. “Selebihnya, aku ingin menegaskan bahwa persoalannya adalah persoalan antara keluarga Ki Suracala dengan keluarga Ki Argajaya. Kecuali jika seperti Prastawa, Ki Argajaya tidak berani mempertanggung-jawabkan tingkah laku anaknya, sehingga Ki Gede terpaksa ikut campur dan menyalah-gunakan kekuasaannya.” “Tidak. Ki Gede tidak akan menyalah-gunakan kekuasaannya,” potong Swandaru yang tidak sabar. “Jika kebenaran itu sudah kami yakini, maka kami akan menyelesaikan persoalan ini tanpa dukungan kekuatan Tanah Perdikan Menoreh. Maksudku, pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh.” Wajah Ki Suratapa dan Ki Suradipa menjadi tegang. Sejak mereka mengetahui bahwa Ki Gede mengirimkan langsung anak perempuannya, maka mereka sudah menjadi gelisah. Karena jika terjadi sesuatu dengan anak perempuannya, maka Ki Gede tentu tidak akan diam saja. “Orang-orang Tanah Perdikan Menoreh memang licik,“ berkata Ki Suratapa di dalam hatinya. Namun dalam pada itu, Ki Suratapa itu pun berkata, “Aku tidak mengira bahwa Ki Argajaya akan melibatkan Ki Gede sebagai Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Bahwa Ki Argajaya telah mengikut sertakan anak perempuan Ki Gede, maka maksudnya tentu sudah jelas. Tetapi dengan demikian, maka kebenaran itu tidak akan pernah ditegakkan.” Adalah di luar dugaan ketika tiba-tiba saja Rara Wulan memotong, “Apakah yang kau maksud dengan kebenaran dalam persoalan ini? Kenyataan dari kejadian yang telah terjadi, atau kenyataan yang terjadi di dalam angan-anganmu?” Agung Sedayu terpaksa menggamitnya sambil berdesis, “Biarlah Ki Jayaraga menegaskannya, Rara.” Tetapi Swandaru justru menyahut, “Aku pun akan melontarkan pertanyaan seperti itu. Apa yang dimaksud dengan kebenaran yang harus ditegakkan itu?” Wajah Ki Suratapa menjadi tegang. Namun Ki Jayaraga-lah yang kemudian berkata, “Kami menunggu keputusan Ki Suracala. Seperti tadi aku katakan, sebaiknya kita memanggil Prastawa dan Kanthi bersama-sama. Kita minta keduanya berbicara dengan jujur, agar persoalan yang sebenarnya dapat kita lihat.” “Jawabannya tidak berbeda dengan jawabanku,” Ki Suratapa hampir berteriak. Namun Ki Jayaraga berkata, “Jika di sini tidak ada Ki Suracala, maka aku akan mendengarkan keterangan orang yang mewakilinya. Tetapi di sini ada Ki Suracala, yang justru lebih banyak berdiam diri.” Sebenarnyalah bahwa perasaan Ki Suracala bagaikan diremas oleh persoalan yang dihadapinya. Keringatnya telah membasahi seluruh tubuhnya. Sedangkan wajahnya menjadi pucat sekali. “Kalian tidak perlu memaksanya berbicara,” geram Ki Suradipa, “ia sudah menyerahkan segala sesuatunya kepada kami.” Tetapi Ki Jayaraga seolah-olah tidak mendengarnya. Dengan suaranya yang masih saja sareh dan tenang ia bertanya, “Katakanlah, apa yang terbaik menurut Ki Suracala.” Suasana benar-benar telah mencengkam. Jantung Ki Suracala rasa-rasanya akan meledak. Ia tahu bahwa Prastawa tidak bersalah. Bahkan ia telah difitnah. Tetapi ia berada di bawah ancaman kedua sepupunya. Bahkan bayangan kegarangan mertua Wiradadi telah menghantuinya pula. Dalam keadaan yang kalut dimana kebenaran tidak dapat diutarakannya, maka tiba-tiba saja Ki Suracala itu menundukkan kepalanya. Kedua tangannya telah menutupi wajahnya. Laki-laki itu tiba-tiba saja menangis. Ki Suratapa dan Ki Suradipa yang melihat Ki Suracala menangis, hampir bersamaan membentak, “He! Kau kenapa?” Ki Suracala tidak dapat menjawab. Bahkan laki-laki itu terguncang karena menahan tangisnya. “Setan kau. Kenapa kau menjadi cengeng?“ Ki Suratapa hampir berteriak, “Kau seorang laki-laki, Suracala. Betapapun berat beban perasaanmu, kau tidak akan menangis.” Ki Suracala tidak menjawab. Ia masih berjuang untuk mengatasi gejolak perasaannya. Namun dalam pada itu, Ki Suratapa tidak melihat lagi kemungkinan untuk memaksakan kehendaknya. Ternyata Ki Argajaya mempunyai cara tersendiri untuk memancing agar Ki Gede terlibat ke dalamnya, dengan menempatkan anak perempuannya menjadi salah satu dari utusannya ke rumah Ki Suracala. Dengan demikian, maka Ki Suratapa dan Ki Suradipa pun menjadi mata gelap. Mereka tidak lagi dapat berpikir jauh. Niatnya adalah menangkap tiga orang perempuan yang ada di dalam sekelompok utusan Ki Argajaya. Jika Prastawa tidak mau menikahi Kanthi, maka perempuan-perempuan itu tidak akan dilepaskan. Tetapi jika Ki Gede melibatkan diri dengan mengerahkan pasukan pengawal Tanah Perdikan, maka ketiga perempuan itu akan dibunuh saja. Ancaman itu harus didengar oleh Ki Argajaya dan Ki Gede. Karena itu, maka jika terjadi benturan kekerasan, tidak semua orang dalam sekelompok utusan itu akan dibunuh. “Satu dua di antara mereka akan tetap hidup, memberitahukan ancaman itu kepada Ki Argajaya dan Ki Gede.” Karena itu, maka Ki Suratapa yang sudah menjadi kehilangan akal itu pun berkata, “Ki Jayaraga. Jika kau tidak dapat mengatakan kapan pernikahan itu dilakukan, atau kau tidak mau membicarakannya sekarang, maka pembicaraan selanjutnya tidak ada gunanya. Aku minta kalian meninggalkan tempat ini.” Ki Jayaraga mengerutkan dahinya. Ia tidak mengira bahwa akhir dari pembicaraan itu hanya sampai di situ. Ia mengira bahwa akan terjadi benturan kekerasan karena kedua belah pihak sama sekali tidak mau mengalah. Namun ternyata saudara-saudara sepupu Ki Suracala itu hanya mengusirnya saja. Namun sebenarnyalah bahwa pengusiran itu bukan langkah terakhir bagi Ki Suratapa dan Ki Suracala. Mereka masih mempunyai sepuluh orang upahan yang menunggu di bulak. Jika utusan dari Tanah Perdikan itu lewat di bulak itu, maka mereka akan disergap. Tiga orang perempuan itu akan menjadi tanggungan. Setidak-tidaknya seorang di antara laki-laki dalam kelompok utusan itu harus hidup dan menyampaikan pesan Ki Suratapa kepada Ki Argajaya dan Ki Gede Menoreh. Karena persoalannya tidak lagi dapat dibicarakan, maka Ki Jayaraga pun menganggap bahwa tidak ada gunanya untuk berbicara lebih jauh. Ki Jayaraga menganggap bahwa dengan demikian, maka Prastawa telah bebas dari tuntutan mereka. Atau akan ada utusan lagi dari keluarga Ki Suracala yang akan menyampaikan syarat-syarat pembicaraan yang baru. Namun demikian, penggraita Ki Jayaraga, bahkan semua orang dalam kelompok utusan itu, tidak yakin bahwa Ki Suratapa benar-benar akan melepaskan mereka begitu saja. Apalagi mereka mengetahui bahwa Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah dicegat di tengah bulak pula, sehingga peristiwa buruk itu akan dapat terulang. Meskipun demikian, maka Ki Jayaraga itu pun berkata, “Baiklah Ki Suracala. Jika Ki Suracala sama sekali tidak dapat memberikan jawaban, sementara itu Ki Suratapa dan Ki Suradipa menganggap bahwa pembicaraan selanjutnya sudah tidak perlu, maka kami akan minta diri. Langit sudah mulai buram, sehingga malam akan segera turun.” Ki Suracala benar-benar tidak dapat menjawab. Ia tahu benar apa yang akan dilakukan oleh kedua sepupunya atas orang-orang yang datang dari Tanah Perdikan Menoreh jika pembicaraan mereka tidak menemukan titik temu. Namun ia tidak dapat meneriakkan hal itu, karena ia tahu bahwa persoalannya akan menyangkut keselamatan Kanthi dan keluarganya. Sementara itu, lampu minyak memang sudah dinyatalan di ruangan-ruangan, dan di pendapa, bahkan oncor pun telah dipasang di regol halaman. Namun dalam pada itu, selagi Ki Jayaraga minta diri, maka tiba-tiba tiga orang berkuda telah memasuki halaman rumah Ki Suracala tanpa turun dari punggung kudanya. Kuda-kuda yang tegar itu pun kemudian telah berhenti di depan pendapa rumah Ki Suracala. Baru kemudian ketiga orang itu meloncat turun dari kuda mereka. Setelah menambatkan kuda-kuda itu pada patok di sisi tangga pendapa, maka ketiga orang itu pun segera naik ke pendapa. Kedatangan ketiga orang itu benar-benar telah mengejutkan Ki Suracala, Ki Suratapa dan Ki Suradipa. Orang itu adalah mertua Wiradadi yang garang. Orang yang mereka takuti, karena mertua Wiradadi adalah orang yang berilmu sangat tinggi. Ketika Ki Suracala, Ki Suratapa dan Ki Suradipa bangkit berdiri menyambut orang yang datang itu, maka Ki Jayaraga dan orang-orang yang datang dari Tanah Perdikan itu pun telah bangkit pula untuk ikut menghormati mereka, meskipun mereka belum tahu siapakah yang telah datang itu. Betapapun segannya, Swandaru pun telah ikut berdiri pula. Kepada Glagah Putih ia berbisik, “Siapakah mereka itu?” Glagah Putih menggeleng. Desisnya, “Aku belum tahu.” Swandaru hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi ia tidak bertanya lebih jauh. “Kami mengucapkan selamat datang,“ berkata Ki Suratapa. “Terima kasih, “jawab orang itu. Seorang yang bertubuh tinggi tegap, berkumis melintang dan bercambang lebat. “Aku sudah tahu semuanya apa yang terjadi di sini,” geram orang itu, “karena itu aku datang untuk mengambil Kanthi, perempuan liar yang telah merusakkan rumah tangga anakku.” Wajah-wajah mereka yang berdiri di pendapa itu menjadi tegang, termasuk utusan Ki Argajaya. Sementara itu orang itu pun berkata selanjutnya, “Aku pun ingin bertemu dan berbicara dengan Wiradadi. Aku ingin tahu apakah Wiradadi yang bersalah atau Kanthi yang bersalah. Setelah aku tahu dengan pasti, maka aku akan mengambil keputusan. Aku tidak mempunyai belas kasihan kepada siapapun yang telah menista kehidupan keluarga anakku.” Ketegangan telah mencengkam pendapat itu. Ki Suratapa yang berusaha membuat penyelesaian sendiri tanpa setahu ayah mertua Wiradadi, ternyata tidak berhasil. Ternyata orang itu sudah mengetahui apa yang terjadi. Namun dalam pada itu, Ki Suratapa itu pun berkata, “Kakang Wreksadana, di sini kami sedang berusaha untuk mencari kebenaran tentang seorang anak muda yang bernama Prastawa.” “Aku sudah tahu. Kalian menduga Kanthi telah mengandung karena hubungannya dengan Prastawa. Tetapi karena Prastawa tidak mau bertanggung jawab, maka Kanthi telah menjebak Wiradadi, sekedar untuk menyandarkan keadaannya yang tidak dapat disembunyikan lagi.” “Ya. Kakang,“ jawab Ki Suratapa, “dengan demikian maka Prastawa-lah yang harus bertanggung jawab atas keadaan Kanthi sekarang ini.” “Apapun yang terjadi dalam hubungan antara Prastawa dan Kanthi, aku tidak peduli. Tetapi bahwa Wiradadi sudah terjebak, itu merupakan persoalan bagi anak perempuanku, dan sudah tentu bagiku,” jawab orang yang disebut Wreksadana itu. Ki Suratapa menjadi sangat tegang. Sementara itu, orang itu pun berteriak, “Panggil Wiradadi!” Suasana memang menjadi bertambah tegang. Sementara itu Ki Suracala yang justru menjadi tegang melihat keadaan itu berkata, “Ki Wreksadana, silahkan duduk.” “Terima kasih. Aku tidak akan lama. Aku hanya akan berbicara dengan Wiradadi sebentar. Kemudian mengambil Kanthi.” Tidak ada seorangpun yang berani membantah. Sementara itu utusan Ki Argajaya hanya dapat menunggu, apakah yang akan terjadi kemudian. Sejenak kemudian, maka Wiradadi pun telah diajak ke pendapa itu pula. Ternyata orang itu telah menjadi gemetar. Wajah mertuanya yang menyala itu membuat darahnya serasa telah membeku. “Wiradadi,“ berkata Ki Wreksadana, “aku sudah tahu semuanya. Di antara orang-orang yang dikumpulkan oleh ayahmu itu, terdapat beberapa di antaranya adalah orang-orangku pula. Jadi kalian tidak dapat membohongi aku. Kau dan Kanthi telah melakukan hubungan terlarang. Aku tidak peduli, apakah sebelumnya tersangkut nama Prastawa. Yang ingin aku tanyakan, apakah kau atau Kanthi yang mula-mula memancing sehingga terjadi perbuatan yang tidak pantas itu?” Wiradadi memang tergagap. Tetapi otaknya yang licik itu dengan cepat mampu bekerja. Yang kemudian dipikirkan oleh Wiradadi adalah justru keselamatannya sendiri. Ia tidak peduli apa yang akan dialami oleh orang lain. Bahkan penderitaan yang paling pahit sekalipun. Karena itu, maka Wiradadi tidak peduli bahwa keterangannya akan dapat mencekik Kanthi sekalipun. Karena itu, dengan licin Wiradadi menjawab, “Ayah tentu dapat membayangkan, apa yang terjadi atas diriku di sini, di rumah Paman, justru saat Kanthi memerlukan jalan keluar. Saat itu aku benar-benar terjebak di dalam biliknya sehingga aku tidak mungkin lagi menghindar.” “Jadi, kau dalam hal ini tidak bersalah? Kau hanya menjadi korban keliaran Kanthi?” bertanya Ki Wreksadana. “Ya Ayah. Aku memang menjadi sangat menyesal bahwa hal itu terjadi, sementara itu aku sangat mencintai istriku.” “Jika demikian, maka Kanthi yang pantas dihukum. Ia telah merampok suami orang, justru dengan maksud yang sangat buruk. Bukan karena ia mencintai Wiradadi, apalagi cinta yang mendapat tanggapan.” “Tentu Ayah. Aku sama sekali tidak tertarik pada Kanthi. Saat itu aku tidak menduga sama sekali bahwa aku telah dijebaknya dalam biliknya, justru karena ia masih saudaraku justru pada garis ketiga. Garis terlarang bagi seseorang untuk berumah tangga, seandainya kami saling mencintai sekalipun.” “Bagus. Jika demikian hati istrimu akan menjadi tenteram. Tetapi dengan demikian, bawa Kanthi kemari. Aku akan membawanya. Ia harus mendapatkan hukuman langsung dari istri Wiradadi.” “Tidak,“ tiba-tiba saja Ki Suracala menjadi tegar, “aku akan mempertahankan anakku. Ia tidak bersalah. Ketika Kanthi dalam keadaan putus asa karena isyarat yang diberikan oleh Prastawa, bahwa Prastawa tidak mencintainya, maka Wiradadi itu datang kemari. Ia memanfaatkan kekosongan di hati Kanthi.” “Diam!” bentak Ki Wreksadana, “aku tidak bertanya kepadamu.” “Tetapi aku Ayah Kanthi,” jawab Suracala. “Aku tidak peduli. Jika kau berkeras mempertahankan anakmu, maka kau pun akan aku anggap ikut bersalah. Kau tentu telah membantu anakmu menjebak Wiradadi.” “Bohong!” tiba-tiba saja Rara Wulan yang tidak dapat menahan diri berteriak, “Wiradadi bohong. Aku tahu bahwa wataknya tidak lebih baik dari seekor srigala. Kanthi baginya tidak lebih dari seekor kelinci. Apalagi dalam keadaan putus asa.” “Siapa kau?” bertanya Wreksadana. “Aku adalah salah seorang antara gadis-gadis yang mengalami perlakuan kasar Wiradadi. Untunglah aku dapat mempertahankan kehormatan dan memaksanya berlutut dan mohon ampun kepadaku!” teriak Rara Wulan. Wajah Ki Wreksadana menjadi tegang, sementara wajah Wiradadi menjadi merah. Dengan suara lantang Ki Wreksadana berkata, “Gadis gila. Kenapa kau turut campur? Aku tahu, kau tentu salah seorang dari keluarga Prastawa. Kau datang membawa fitnah atas menantuku Wiradadi.” “Tidak. Kau-lah yang tidak jujur dalam persoalan ini. Pertanyaan-pertanyaan yang kau berikan kepada Wiradadi sama sekali tidak berarti. Kau kira orang lain tidak tahu bahwa apa yang kau lakukan tidak lebih dari satu pagelaran lelucon, buat memberikan kesan bahwa Wiradadi tidak bersalah? Aku, Ki Suracala, Kanthi, bahkan semua orang tahu, bahwa sebenarnya kau tidak mencari kebenaran. Tetapi kau ingin seakan-akan kau sudah bertindak adil di hadapan banyak orang.” “Tutup mulutmu!” bentak Ki Wreksadana. Tetapi Swandaru telah menyela, “Teruskan Rara. Berkatalah terus. Aku senang mendengarnya.” Sebenarnya Rara Wulan pun berkata selanjutnya, “Pertanyaan-pertanyaanmu dan jawaban-jawaban Wiradadi juga kau gunakan untuk mengangkat harga diri anak perempuanmu, bahwa seolah-olah suaminya tidak pernah berpaling kepada perempuan lain. Tetapi sebenarnyalah menantumu adalah seorang laki-laki yang lebih ganas dari srigala lapar.” “Kau kira orang lain dapat mempercayai kata-katamu?” teriak Ki Suratapa, “Bagaimana mungkin kau dapat membebaskan diri dari Wiradadi, seandainya ia benar-benar mengingininya? Apalagi memaksanya berlutut dan mohon ampun kepadamu.” “Baru tadi siang hal itu terjadi. Ketika aku pulang dari rumah ini, Wiradadi dan dua orang pengikutnya telah mencegat kami di pategalan dan berusaha menyeretku masuk ke dalam gubug. Tetapi ternyata kemampuannya tidak lebih dari kemampuan anak-anak yang baru dapat berjalan selangkah-selangkah.” “Gila! Kenapa kau dapat membual demikian kasarnya di hadapan kami?” teriak Ki Wreksadana. “Aku tidak membual. Jika kalian ingin membuktikan, aku tantang sekarang Wiradadi berkelahi di halaman ini. Kalian akan menjadi saksi, siapakah yang menang dan siapakah yang kalah!“ Rara Wulan pun berteriak pula. Wajah Wiradadi menjadi pucat. Untunglah bahwa cahaya lampu minyak yang kekuning-kuningan telah menyaput wajah itu, sehingga Ki Suratapa tidak dengan segera melihatnya. Dalam ketegangan itu, Ki Wreksadana pun berkata, “Perempuan itu mencoba mengalihkan persoalan yang sebenarnya. Ki Suratapa, aku minta kau selesaikan perempuan ini. Sekarang aku minta agar Kanthi dibawa kemari. Aku memerlukannya. Ia harus datang menemui anak perempuanku, minta ampun dan menerima hukuman apapun yang akan diberikan oleh anak prempuanku itu, sehingga untuk selanjutnya Kanthi tidak akan pernah dapat merampok suami orang lain lagi.” “Tidak,” jawab Ki Suracala, “Kanthi tidak akan dibawa kemana-mana oleh siapapun.” “Ki Suracala. Kau tidak dapat menolaknya. Anakmu memang harus mendapat hukuman karena kesalahannya.” Rara Wulan-lah yang berteriak lebih keras lagi, “Kanthi tidak bersalah, kau dengar? Kanthi tidak bersalah!” Ki Wreksadana akhirnya kehabisan kesabaran. Dengan garangnya ia berkata kepada Ki Suratapa, “Usir perempuan itu. Jika yang lain mencoba menghalanginya, selesaikan saja mereka.” Ki Suratapa memang menjadi bingung. Orang-orangnya tidak ada di halaman rumah itu, tetapi mereka menunggu di bulak. Ki Wreksadana melihat kebimbangan itu. Dengan lantang ia berkata, “Orang-orangmu ada di sini. Aku membawa mereka kemari. Sebagian dari mereka sebenarnya adalah orang-orangku, sehingga aku tahu apa yang terjadi di sini. Juga tentang utusan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Sebenarnya aku tidak ingin berurusan dengan mereka. Aku hanya ingin membawa Kanthi. Tetapi jika mereka sengaja melibatkan diri, apa boleh buat.” “Ki Wreksadana,“ berkata Ki Suracala, “apa yang dikatakan Angger Rara Wulan adalah benar. Kau tentu hanya sekedar ingin menyelamatkan perkawinan anakmu dengan Wiradadi. Kau ingin memberikan kesan bahwa Wiradadi tidak bersalah, meskipun bagimu itu hanya sekedar pura-pura. Aku tidak peduli kepura-puraanmu, Ki Wreksadana. Tetapi kau tidak perlu mengorbankan orang lain. Kau tidak perlu mengorbankan Kanthi yang sudah terlalu banyak menderita itu. Jika aku terlibat dalam kecurangan ini terhadap Ki Argajaya, karena aku sampai sesaat tadi masih takut mati. Tetapi sekarang tidak. Aku sudah tidak takut lagi menghadapi kematian itu lagi. Aku sependapat dengan saudara-saudaraku dari Tanah Perdikan Menoreh, bahwa kita harus menemukan kebenaran sekarang ini. Bukan fitnah dan bukan kebohongan serta kepura-puraan lagi.” Jantung Ki Wreksadana bagaikan membara. Terdengar ia memberikan isyarat dengan sebuah suitan nyaring. Sebenarnyalah bahwa orang-orang yang berada di bulak itu telah berada di luar regol halaman, sehingga sejenak kemudian mereka sudah memasuki halaman. “Aku tidak mempunyai pilihan lain,” geram Ki Wreksadana, “aku akan membawa Kanthi dengan kekerasan. Siapa yang mencoba menghalangi, akan dihancurkan. Jika terjadi kematian, sama sekali bukan tanggung jawab kami, karena kami sudah memperingatkan sebelumnya.” “Jadi tanggung jawab siapa?” bertanya Swandaru. Namun Ki Suracala justru melangkah maju sambil berkata lantang, “Aku tidak akan menyerahkan Kanthi. Apapun yang terjadi, aku akan mempertahankannya. Ia adalah anakku. Karena itu, maka harganya sama dengan nyawaku.” “Setan kau Suracala. Agaknya kau memang ingin mati. Seharusnya kau biarkan anak perempuan yang liar mendapat hukuman. Tetapi kau justru melindunginya.” “Apakah ia liar, apakah ia gila atau apakah ia sampah sekalipun, tetapi ia adalah anakku,” jawab Ki Suracala. Ki Wreksadana tidak sabar lagi. Iapun memberi isyarat kepada kedua orangnya dan orang-orang yang baru datang itu sambil berteriak, “Kita selesaikan orang-orang yang mencoba menghalangi rencanaku!” “Premana,“ tiba-tiba terdengar suara Ki Jayaraga, “sampai rambutmu ubanan ternyata kau masih liar dan ganas. Jika kau berbicara tentang Kanthi yang kau anggap gadis yang liar, bagaimana dengan dirimu sendiri?” Ki Wreksadana memandang Ki Jayaraga dengan mata yang tanpa berkedip. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Siapa kau iblis tua?” “Apakah kau lupa kepadaku? Memang sudah lama kita tidak bertemu. Mula-mula aku lupa kepadamu. Tetapi setelah kau banyak berbicara dan kemudian kau berniat memaksakan kehendakmu, maka aku segera teringat bahwa yang bernama Wreksadana itu adalah Premana yang tampan, berilmu tinggi dan disukai banyak gadis-gadis cantik. Aku kira anak perempuanmu itu juga cantik, Premana. Tetapi sayang, bahwa menantumu mempunyai tabiat yang kurang baik. Kau tentu tahu itu. Tetapi menantumu itu tidak lebih dari sebuah cermin bagimu. Kau dapat melihat wajahmu sendiri didalamnya, se hingga kau dapat melihat cacat-cacat yang melekat pada dirimu.” “Tutup mulutmu! Siapa kau?” teriak Wreksadana. “Untuk menyenangkan hati anak perempuanmu, serta sedikit memulas wajah cerminmu, maka kau melemparkan kesalahan itu kepada Kanthi, anak Ki Suracala. Sebenarnyalah bahwa Kanthi sudah terlalu menderita dengan peristiwa yang menimpa dirinya. Bukan berarti bahwa Kanthi tidak bersalah. Menurut pendapatku, Kanthi tetap bersalah. Tetapi tentu tidak seberat keputusan yang kau jatuhkan. Karena itu, jika kau akan menghukum, hukumlah Wiradadi. Biarlah Ki Suracala menghukum anaknya yang bersalah.” “Siapa kau? Siapa kau?” Wreksadana berteriak semakin keras. “Kau ingat kepada Jayaraga?” “Jayaraga,“ Ki Wreksadana mengingat-ingat, “Jayaraga. Jadi kau iblis yang sering berkeliaran di pesisir utara itu?” Ki Jayaraga tersenyum. Katanya, “Ya Premana. Aku memang sering berkeliaran di pesisir utara. Tetapi aku juga berkeliaran sampai kemana-mana. Gombel, Bawen, Banyu Biru, memutari kaki Gunung Merbabu dan Gunung Merapi. Juga menelusuri Kali Opak dan Kali Praga. Terakhir aku berkeliaran di Pegunungan Menoreh.” “Lalu kenapa kau sekarang berada di sini?” bertanya Ki Wreksadana. “Aku sedang menjadi utusan Ki Argajaya untuk mencari kebenaran tentang anaknya, Prastawa, yang dituduh telah melakukan pelanggaran hubungan dengan Kanthi.” “Bagus. Kau sudah tahu bahwa Prastawa tidak berkaitan dengan persoalan Kanthi dan anak perempuanku. Karena itu, untuk selanjutnya jangan turut campur urusan kami.” “Maaf, Premana. Aku sudah terlanjur mendengar ancamanmu. Sementara itu aku tahu bahwa Kanthi tidak mutlak bersalah. Karena itu, maka aku tidak akan dapat menutup mata dan telinga. Aku harus ikut menegakkan kebenaran di sini.” “Setan kau Jayaraga. Sejak kapan kau mengenal kebenaran?” “Premana. Semua muridku mati sebagai orang-orang jahat. Seandainya ada yang masih hidup pun, ia jahat pula. Kecuali satu. Murid yang aku ketemukan setelah pribadinya terbentuk. Nah, karena itu, biarlah aku berusaha untuk membersihkan nama perguruanku dengan perbuatan baik di sisa hidupku.” “Jadi kau benar-benar akan melibatkan diri?” bertanya Wreksadana. “Ya. Sejak semula hubungan kita memang kurang baik. Seandainya hubungan itu menjadi semakin buruk, apa boleh buat.” Ki Jayaraga melangkah maju mendekati Ki Wreksadana, “Sudah waktunya tingkah lakumu itu kau hentikan. Wreksadana, coba aku ingin bertanya kepadamu. Jawablah dengan jujur. Buat apa sebenarnya Kanthi akan kau bawa? Tentu tidak akan kau serahkan kepada anak perempuanmu. Mungkin memang kau bawa Kanthi kepadanya. Kau paksa ia untuk mohon ampun. Tetapi setelah itu? Kau kira aku tidak tahu tabiatmu?” “Setan kau Jayaraga. Kau benar-benar iblis yang terkutuk. Kau harus mati sekarang, agar kau untuk selanjutnya tidak akan mengganggu aku lagi.” Ki Jayaraga pun segera mempersiapkan diri. Sementara itu kedua orang pengiring Ki Wreksadana telah bersiap pula. “Jangan di pendapa,“ berkata Ki Jayaraga, “di halaman kita dapat bermain gobag sodor, karena halaman itu cukup luas.” Pertemuan antara Ki Jayaraga dan Ki Wreksadana yang disebut Premana itu telah mencengkam suasana. Nampaknya Ki Wreksadana tidak berkeberatan untuk turun dari pendapa. Ketika ia sudah mulai bergeser, maka iapun berkata, “Jayaraga. Jadi kau benar-benar ingin ikut campur dalam persoalan ini?” “Aku tidak dapat berdiam diri melihat orang-orang kuat seperti kau memaksakan kehendakmu dengan sewenang-wenang kepada orang-orang yang lemah, sehingga tatanan kehidupan ini tidak akan lebih dari kehidupan di dalam rimba yang buas. Atau katakanlah bahwa kehidupan kita sebagai mahluk yang memiliki akal budi, tidak lebih dari kehidupan binatang di hutan.” “Kau memang iblis. Bersiaplah untuk mati Jayaraga. Aku setuju dengan usulmu. Kita bertempur di halaman.” Ki Jayaraga itu pun kemudian berpaling kepada Agung Sedayu, Swandaru dan yang lain sambil berdesis, “Berhati-hatilah. Kita sudah mulai. Nampaknya lawan kita cukup kuat.” Swandaru-lah yang menjawab, “Ternyata yang terjadi berbeda dari yang kita duga. Kita ternyata justru mendapat lawan yang lain.” “Ya,“ sahut Ki Jayaraga, “tetapi sepuluh orang di halaman itu tentu juga orang-orang berilmu tinggi.” Swandaru mengangguk kecil. Katanya, “Aku akan melawan salah seorang dari pengiring Ki Wreksadana itu. Nampaknya ia juga seorang berilmu tinggi.” “Ya. Aku setuju. Ia nampaknya memang berilmu tinggi,” jawab Ki Jayaraga. Sementara itu Agung Sedayu berkata kepada Glagah Putih, “Hadapi yang seorang lagi. Aku akan turun ke halaman.” Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Iapun kemudian melangkah turun ke halaman, mendekati Ki Wreksadana yang sudah menunggu. Swandaru pun melangkah pula. Namun sekali-sekali ia memandang Glagah Putih yang berjalan di sebelahnya. Swandaru memang menjadi agak heran, bahwa bukan Agung Sedayu sendiri yang menghadapi salah seorang pengawal Ki Wreksadana, yang tentu juga seorang yang berilmu tinggi. “Apakah anak itu akan dapat mengimbangi lawannya?” bertanya Swandaru di dalam hatinya. Tetapi dalam keadaan seperti itu, ia masih berusaha menahan diri. Jika hal itu diucapkannya, maka hati anak muda itu akan menyusut, sehingga mungkin akan dapat mempengaruhi kemampuannya. Sementara itu, Agung Sedayu pun berkata kepada Rara Wulan, ”Masuklah. Cari Kanthi. Lindungi perempuan itu. Mungkin ada orang yang licik yang menyusup masuk ke ruang dalam. Jika perlu, panggil salah seorang dari kami.” Rara Wulan mengangguk. Ia memang tidak menunggu lebih lama lagi. Dengan cepatnya gadis itu telah menyusup lewat pintu pringgitan dan hilang di ruang dalam. Sementara itu, Ki Suratapa yang marah melihat sikap Ki Suracala itu pun menggeram, “Ternyata kau telah merusak segala pembicaraan yang sebelumnya pernah kita sepakati.” “Aku tidak pernah menyepakati untuk menyerahkan Kanthi kepada Ki Wreksadana,” jawab Ki Suracala. “Tetapi semuanya ini masih tetap dalam bingkai persoalan yang timbul karena Kanthi!” bentak Ki Suratapa. “Hanya orang gila yang akan menyerahkan anaknya, betapapun besar dosanya sehingga darahnya menjadi hitam sekalipun, kepada orang lain untuk dihukum dengan semena-mena tanpa menimbang kesalahannya dengan saksama. Apalagi Ki Wreksadana tidak berhak menghukum Kanthi.” “Aku yang akan memaksamu menyerahkan Kanthi,“ berkata Suratapa. “Aku tidak peduli siapa kau!” Ki Suracala pun membentak, “Aku siap melindungi anakku, apapun yang akan terjadi.” Ki Suratapa tidak dapat menahan diri lagi. Dengan garangnya ia menyerang Ki Suracala yang bergeser ke tangga pendapa. Ternyata Ki Suracala pun lebih senang bertempur di halaman daripada di pendapa rumahnya. Sementara itu Ki Suradipa memang licik. Ia mengetahui bahwa yang mencoba melindungi Kanthi hanyalah seorang perempuan muda. Karena itu, maka iapun segera meloncat masuk lewat pintu pringgitan untuk mencari Kanthi. Di halaman, Ki Jayaraga sudah siap bertempur melawan Ki Wreksadana. Sedangkan Swandaru menghadapi salah seorang pengawalnya. Demikian pula Glagah Putih. Sedangkan Agung Sedayu, Pandan Wangi dan Sekar Mirah tetap bersiap meghadapi sepuluh orang yang semula telah dipersiapkan oleh Ki Suratapa di bulak, untuk mencegat utusan dari Tanah Perdikan itu jika mereka kembali. Namun yang mengejutkan adalah kedatangan dua orang yang memasuki regol halaman. Cahaya lampu minyak yang redup menggapai wajah mereka, sehingga hampir di luar sadarnya Agung Sedayu berkata, “Ki Argajaya.” Ki Argajaya berdiri tegak di depan regol. Di sebelahnya Prastawa nampak gelisah. “Aku sudah mengira bahwa hal seperti ini akan terjadi,“ berkata Ki Argajaya. “Karena itu aku wajib menyusul kemari. Adalah tidak pantas jika aku dan Prastawa duduk sambil minum minuman hangat di rumah, sementara orang-orang yang datang atas namaku harus menyabung nyawanya.” Agung Sedayu-lah yang menyahut, “Persoalannya telah bergeser dari persoalan semula. Kami sedang berusaha melindungi Kanthi dari tindak sewenang-wenang.” “Apa yang terjadi dengan Kanthi?” bertanya Ki Argajaya. “Ceritanya panjang Ki Argajaya,” jawab Agung Sedayu. Ki Argajaya menyadari, bahwa bukan waktu untuk mendengarkan sebuah dongeng yang betapapun menariknya. Sementara itu, Ki Jayaraga yang sudah siap untuk bertempur berkata, “Selamat datang Ki Argajaya. Seperti yang dikatakan oleh Angger Agung Sedayu, kita sedang melindungi Kanthi dari sergapan seekor srigala, setelah disergap oleh srigala yang lain.” Ki Wreksadana tidak dapat menahan dirinya lagi. Ia tidak peduli akan kehadiran Ki Argajaya. Karena itu, maka iapun segera menyerang Ki Jayaraga dengan garangnya. Ki Jayaraga tidak lengah meskipun ia sempat berbicara dengan Ki Argajaya. Karena itu, ketika serangan itu datang, maka Ki Jayaraga dengan cepat meloncat menghindar. Sementara itu, Swandaru pun telah mulai bertempur pula. Demikian pula Glagah Putih yang telah mengambil jarak. Dalam pada itu, maka Ki Argajaya dan Prastawa pun segera menempatkan diri bersama-sama dengan Agung Sedayu, Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Sementara itu, seorang di antara mereka yang semula siap mencegat utusan Ki Argajaya itu berkata, “Jadi perempuan-perempuan ini juga merasa mampu untuk bertempur?” Sekar Mirah yang telah menyingsingkan kain panjangnya tidak menjawab. Tetapi tiba-tiba saja selendangnya telah dikibaskannya dengan cepatnya. Orang yang berbicara itu terkejut. Semula ia tidak mengira bahwa selendang itu demikian cepatnya mematuk ke arahnya. Karena itu, maka dengan serta-merta orang itu meloncat surut. Namun bandul-bandul timah kecil di ujung selendang itu meluncur lebih cepat. Karena itu, maka ujung selendang itu telah sempat menggapai dada orang itu. Orang itu mengeluh tertahan. Namun kemudian iapun segera mengumpat kasar. Terasa dadanya menjadi sakit dan nafasnya pun seakan-akan telah tersendat. “Iblis betina,” geramnya. Kemarahannya telah menjalar lewat darahnya yang mendidih ke seluruh tubuhnya. Namun dadanya itu memang terasa sakit dan panas. Ternyata sepuluh orang yang marah itu tidak menunggu lebih lama. Mereka pun segera mencabut senjata-senjata mereka. Sepuluh ujung senjata telah tejulur ke arah lima orang yang berada di dalam kepungan. Ki Argajaya sudah cukup lama tidak memegang tombaknya. Tetapi demikian tangannya mulai bergetar, maka rasa-rasanya tombaknya itu telah bergerak dengan sendirinya. Meskipun demikian, iapun berdesis, “Aku tidak bermimpi masih akan mengangkat senjata lagi. Tetapi ternyata aku telah disudutkan oleh keadaan, sehingga aku terpaksa menarik tombakku dari plonconnya.” “Bukan salah Ki Argajaya,“ desis Agung Sedayu. Ki Argajaya tidak menyahut lagi. Serangan-serangan mulai datang beruntun. Pandan Wangi yang memang telah menyiapkan dua pisau belati di pinggangnya, telah menggenggamnya pula. Meskipun pisau belati itu hanya pendek saja, tetapi di tangan yang terampil, maka pisau itu menjadi sangat berbahaya. Orang yang berkumis lebat yang ikut mencegat utusan Ki Argajaya di bulak itu menggeram, “Ternyata mereka bukan perempuan-perempuan yang pasrah untuk taruhan.” “Baru tahu kau sekarang,“ desis kawannya. Orang itu ternyata tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Sepasang pisau belati Pandan Wangi telah menjepit senjatanya, sebuah parang yang besar. Untunglah bahwa kawannya yang lain sempat membantunya dengan serangan yang deras menebas ke arah leher Pandan Wangi. Sebuah kapak yang besar itu terayun dengan deras sekali. Tetapi Pandan Wangi cukup tangkas. Meski-pun ia harus melepaskan parang lawannya, namun ia sempat menghindari serangan kapak yang besar itu. Demikianlah, pertempuran itu pun menjadi semakin sengit. Namun Ki Argajaya ternyata masih sempat melihat Ki Suracala yang bertempur melawan Ki Suratapa. Dua orang sepupu yang harus bermusuhan karena masing-masing membela kepentingan anaknya. Salah atau tidak salah. “Kenapa Ki Suracala?” bertanya Ki Argajaya kepada Agung Sedayu yang bertempur tidak jauh daripadanya. “Ia sedang melindungi anaknya. Kita berdiri di pihaknya,” jawab Agung Sedayu. Ki Argajaya tidak bertanya lagi. Lawannya dengan serta-merta menyerangnya. Namun tombak Ki Argajaya sempat berputar dan mulai mematuk dengan cepatnya. Prastawa sendiri telah mempergunakan pedangnya. Ia memang agak mengalami kesulitan menghadapi ujung-ujung senjata. Namun ternyata perhatian orang-orang itu lebih banyak tertuju kepada Agung Sedayu. Apalagi ketika kemudian mereka mendengar cambuk Agung Sedayu yang meledak dengan kerasnya. Swandaru terkejut mendengar ledakan cambuk Agung Sedayu. Bukan karena suara cambuk yang keras itu. Namun ledakan cambuk itu menunjukkan bahwa Agung Sedayu seakan-akan masih belum memanjat sampai tataran yang lebih tinggi lagi. Tetapi Agung Sedayu Sendiri memang harus menilai ungkapan kemampuannya itu, karena seorang di antara lawan-lawannya justru telah tertawa pula. Dengan nada lantang orang itu berkata, “He, gembala dungu. Jika kau hanya dapat melecut lembu atau kerbau yang sedang menarik bajak, sebaiknya kau tidak berada di halaman ini.” Justru orang lain yang mendengar kata-kata itu, jantungnya menjadi panas. Bahkan Sekar Mirah rasa-rasanya ingin mendorong suaminya untuk lebih bersungguh-sungguh menghadapi lawan yang jumlahnya terlalu banyak itu. Namun justru Agung Sedayu sendiri tidak menanggapinya. Ia masih saja melecutkan cambuknya dengan ledakan yang menggetarkan seisi halaman itu. Dalam pada itu Wreksadana pun berteriak pula, “Kenapa kalian biarkan sais yang sombong itu masih tetap di situ?” Orang yang diupah Ki Suratapa untuk memimpin kawan-kawannya itu menggeram, “Aku akan membunuhnya mendahului kawan-kawannya.” Orang itu memang segera menyerang Agung Sedayu. Serangan-serangannya memang mendebarkan. Senjatanya dengan cepat terayun menebas mengarah ke leher Agung Sedayu. Tetapi dengan tangkas Agung Sedayu menghindar. Cambuknya berputar sekali. Kemudian satu ledakan yang keras terdengar saat ujung cambuknya menggapai tubuh lawannya itu. Lawannya bergeser selangkah. Ujung cambuk itu memang mengenai kulitnya. Tetapi hanya sentuhan yang tipis, karena orang itu dengan cepat menghindar. Dengan daya tahannya yang tinggi, maka orang itu dapat mengabaikannya sentuhan ujung cambuk Agung Sedayu yang hanya wantah itu. Namun dengan demikian orang itu menjadi lengah. Ia merasa bahwa ilmunya jauh lebih tinggi dari ilmu orang yang bersenjata cambuk itu. Karena itu, maka dengan garangnya ia menyerang tanpa kendali lagi. Senjatanya terayun mengerikan memburu Agung Sedayu yang berloncatan. Namun demikian ia berusaha menggapai dada Agung Sedayu dengan menjulurkan senjatanya, maka Agung Sedayu tidak menghindarinya. Tetapi dengan dilandasi oleh ilmu dan kemampuannya, maka cambuknya telah berputar menjerat senjata orang itu. Demikian Agung Sedayu menghentakkan cambuknya, maka senjata orang itu tidak dapat diselamatkannya lagi. Orang itu terkejut bukan buatan. Ia tidak pernah mengira bahwa lawannya memiliki kemampuan dan kekuatan yang demikian besarnya. Bahkan ketika kemudian sekali lagi Agung Sedayu menghentakkan cambuknya, maka ledakan cambuk itu tidak lagi terdengar memekakkan telinga. Tetapi sentuhan ujung cambuk itu ternyata telah mengoyak lengan lawannya. Terdengar teriakan tertahan. Lawannya itu pun dengan serta merta meloncat mengambil jarak. Sementara itu, kawannya yang melihat keadaannya, dengan cepat telah menyerang Agung Sedayu pula. Agung Sedayu tidak memburu lawannya yang sudah dilukainya. Tetapi ia melihat Prastawa yang mulai terdesak. Namun iapun melihat bagaimana Sekar Mirah yang sedang memutar selendangnya telah membuat lawannya terdesak. Tetapi lawannya yang lain pun segera menyerangnya pula dari arah yang berbeda. Dalam sekilas Agung Sedayu melihat, bahwa orang-orang di Tanah Perdikan itu akan segera mengalami kesulitan jika jumlah lawannya yang sepuluh orang itu tidak segera berkurang. Di sisi lain, Pandan Wangi dengan pisau rangkapnya berloncatan dengan tangkasnya. Dengan senjata pendeknya Pandan Wangi tetap merupakan seorang yang sangat berbahaya. Dengan tangan kirinya ia menebas serangan lawannya. Kemudian dengan loncatan panjang, senjata di tangan kanannya mematuk ke arah dada. Sementara itu, Ki Argajaya yang menurut pengakuannya sendiri tidak pernah bermimpi untuk mempergunakan tombaknya lagi, namun ternyata ia masih juga Ki Argajaya yang garang. Dengan keras ia mendesak lawan-lawannya. Meskipun ia mulai nampak menjadi lamban karena Ki Argajaya tidak pernah lagi berlatih mempergunakan tombaknya, tetapi tangannya masih menggetarkan lawan-lawannya. Ketika Swandaru mendengar ledakan cambuk Agung Sedayu yang berubah, ia sempat menarik nafas panjang. Bahkan di luar sadarnya ia berkata, “Nah, ternyata Kakang Agung Sedayu telah sedikit mengalami kemajuan.” Bahkan sesaat kemudian, Swandaru mendengar lagi hentakan cambuk Agung Sedayu. Tidak dengan ledakan yang memekakkan telinga, tetapi getarannya mengguncang udara di halaman itu. Tetapi Swandaru tidak sempat melihat apa yang dilakukan oleh Agung Sedayu. Agung Sedayu bertempur bersama-sama dalam satu putaran pertempuran yang kalut. Sementara itu, Swandaru bertempur di sisi lain melawan salah seorang pengawal Ki Wreksadana yang ternyata memang berilmu tinggi. Di lingkaran pertempuran yang lain, Glagah Putih menghadapi pengawal Ki Wreksadana yang seorang lagi. Juga seorang yang berilmu tinggi. Beberapa kali Glagah Putih memang berloncatan surut mengambil jarak agar ia dapat bertempur di tempat yang bebas di sudut halaman. Namun setiap kali Swandaru mengerutkan dahinya. Bahkan kemudian ia merasa wajib untuk segera menyelesaikan lawannya agar ia dapat membantu Glagah Putih, karena Swandaru mencemaskan anak muda itu. Sementara itu Ki Suradipa yang licik itu tengah mencari Kanthi di ruang dalam. Ia memperhitungkan jika ia dapat menguasai Kanthi, maka ia akan dapat memaksa orang-orang yang sedang bertempur itu untuk berhenti. Ia dapat memaksa orang-orang Tanah Perdikan Menoreh untuk meninggalkan tempat itu dengan taruhan Kanthi. Tetapi ia tidak melihat Kanthi di ruang dalam. Tetapi ia mendengar keributan telah terjadi di serambi samping. Sehingga karena itu maka iapun telah berlari pula ke serambi. Ki Suradipa itu terkejut. Ternyata telah terjadi pertempuran di longkangan dalam di depan serambi itu. Karena itu, maka iapun segera berlari mendorong pintu dan turun ke longkangan. Ki Suradipa melihat dua orang yang mengerang kesakitan. Di bawah cahaya lampu minyak di seketheng, ia melihat Wiradadi duduk bersandar dinding serambi, sementara seorang yang lain masih sedang bertempur melawan seorang perempuan. Jantung Ki Suradipa menjadi berdebar-debar. Di sudut longkangan, di bawah sebatang pohon kemuning, dua orang perempuan sedang memeluk Kanthi yang ketakutan. Ibunya dan kakak perempuannya. Ki Suradipa itu menggeram marah. Ia harus dapat menguasainya. Namun ia belum sempat mendekati perempuan itu, ketika laki-laki yang sedang bertempur melawan seorang perempuan itu terdorong beberapa langkah surut dan kemudian kehilangan keseimbangannya. Meskipun demikian, orang itu berusaha untuk segera dapat bangkit berdiri. Tetapi orang itu seakan-akan sudah tidak mampu lagi untuk tegak. Sementara kawannya yang berusaha untuk bangkit itu pun tidak berhasil. Demikian ia mencoba menapak, maka iapun telah terduduk kembali. Ki Suradipa mengumpat kasar. Perempuan yang bertempur itu adalah perempuan yang datang lebih dahulu bersama anak muda yang bertempur di halaman, untuk memberitahukan bahwa utusan Ki Argajaya akan datang. “Agaknya anak itu tidak berbohong ketika ia mengatakan bahwa ia telah mengalahkan Wiradadi. Kini bahkan perempuan yang masih semuda Kanthi itu telah mengalahkan tiga orang sekaligus, termasuk Wiradadi itu sendiri,“ berkata orang itu di dalam hati. Namun Ki Suradipa tetap pada niatnya untuk menguasai Kanthi. Ia sadar bahwa ia harus menyingkirkan perempuan yang garang itu lebih dahulu. Ketika kemudian Rara Wulan berdiri tegak sambil menggenggam kedua ujung selendangnya, Ki Suradipa itu berkata, “Aku akan menyelamatkan Kanthi. Sebaiknya kau tidak usah turut campur.” Tetapi Rara Wulan menggeleng. Katanya, “Kau termasuk orang-orang yang ingin mencelakakannya. Karena itu enyahlah. Jangan mencoba untuk menyentuhnya.” “Perempuan liar. Kau dapat mengalahkan Wiradadi dan dua orang kawannya yang tidak lebih dari cucurut-cucurut yang dungu itu. Tetapi jangan bermimpi untuk dapat mencegah aku,“ berkata Ki Suradipa. Rara Wulan telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Ia memang menyadari bahwa Suradipa tentu memiliki kelebihan dari Wiradadi dan kawan-kawannya. Tetapi Rara Wulan tidak akan beringsut dari tempatnya. Ia sudah bertekad untuk melindungi Kanthi dari kesewenang-wenangan. Apalagi ketika ia mendengar pembicaraan antara Ki Wreksadana dengan Ki Jayaraga. Karena itu, maka ketika Ki Suradipa bergeser maju, Rara Wulan mulai menggerakkan selendangnya sambil berkata, “Aku sudah memperingatkanmu, jangan sentuh anak itu.” Ki Suradipa tidak menjawab. Tetapi kemarahannya sudah merambat sampai ke ubun-ubun. Sambil menggeram Ki Suradipa itu mencabut pedangnya dan bergeser semakin dekat. Kanthi, ibunya dan kakak perempuannya menjadi semakin tegang. Mereka tahu bahwa Ki Suradipa adalah seorang laki-laki yang keras dan bahkan garang. Ki Suracala sendiri merasa tidak dapat menolak kehendaknya serta kehendak Ki Suratapa. Tetapi ketiga orang perempuan itu sudah melihat sendiri bagaimana gadis itu mengalahkan ketiga orang lawannya. Ketika kemudian Ki Suradipa mulai menjulurkan pedangnya, maka Rara Wulan pun telah memutar selendangnya pula. Sejenak kemudian, maka keduanya telah terlibat dalam pertempuran yang semakin cepat. Ki Suradipa berusaha untuk dengan cepat menyingkirkan perempuan itu, agar dengan cepat pula dapat membawa Kanthi ke halaman depan. Orang-orang Tanah Perdikan itu tentu akan menghentikan pertempuran jika ia kemudian mengancam Kanthi. Namun Rara Wulan yang sadar benar akan nasib Kanthi telah berusaha untuk mempertahankannya. Dengan mengerahkan segenap kemampuannya, ia melawan Ki Suradipa yang bertempur dengan garangnya. Namun ternyata bahwa Rara Wulan memiliki bekal yang lebih lengkap. Meskipun terhitung baru pada tataran dasar, tetapi Rara Wulan telah berlatih dengan sungguh-sungguh untuk menempa dirinya. Karena itu, maka ternyata Suradipa pun tidak mudah untuk dapat menundukkannya. Sementara itu. pertempuran di halaman pun menjadi semakin sengit. Ki Jayaraga yang berhadapan dengan Ki Wreksadana pun telah meningkatkan kemampuan mereka masing-masing. Ternyata kedua orang yang memang telah saling mengenal itu masih harus kembali menjajagi kemampuan masing-masing, setelah untuk waktu yang lama mereka tidak bertemu. Swandaru yang sedang bertempur itu mencoba untuk melihat barang sekilas pertempuran antara Ki Jayaraga dan Ki Wreksadana. Tetapi karena Ki Jayaraga agaknya telah mengenalnya, maka Swandaru tidak berusaha untuk menggantikan Ki Jayaraga. Namun sebagaimana ia mencemaskan Glagah Putih, maka Swandaru pun berharap agar Ki Jayaraga mampu mengimbangi lawannya, yang nampaknya sangat yakin akan kemampuannya sendiri. Namun Swandaru sendiri ternyata harus bertempur dengan sengitnya. Lawannya ternyata memang seorang yang berilmu tinggi pula. Bahkan setelah bertempur beberapa saat, Swandaru dapat meraba lewat unsur-unsur gerak lawannya, bahwa lawannya itu memiliki jalur ilmu yang sama dengan Ki Wreksadana. Mungkin muridnya. Tetapi mungkin saudara seperguruannya. “Jika orang ini sekedar murid Ki Wreksadana, tentu aku tidak perlu melayaninya. Aku lebih senang bertempur melawan sekelompok orang,“ berkata Swandaru di dalam hatinya. Ternyata ia menganggap bahwa Agung Sedayu cukup cerdik memilih lawan. Dalam pertempuran berkelompok seperti itu, maka sulit untuk memberikan penilaian yang tepat atas kemampuannya. Bahkan seandainya ilmunya masih di bawah tataran yang seharusnya. Tetapi dengan mendengar ledakan cambuk Agung Sedayu, maka Swandaru menganggap bahwa Agung Sedayu tidak lagi jauh ketinggalan dari tataran yang diharapkannya. Dalam pada itu, ketika pertempuran antara Swandaru dan lawannya menjadi semakin sengit, maka Swandaru justru menyempatkan diri untuk bertanya, “Apakah kau murid Ki Wreksadana?” “Setan kau. Aku adalah adik seperguruannya,” jawab orang itu. “O,“ Swandaru meloncat menghindari serangan orang itu. Namun mulutnya sempat berkata, “Aku kira kau muridnya yang paling dungu.” “Kau memang terlalu sombong. Tetapi kau tidak akan berarti apa-apa bagiku,” geram orang itu. Swandaru tertawa. Tetapi dengan cepat ia harus meloncat ke samping ketika kaki lawannya terjulur lurus ke arah dada. Demikianlah, mereka pun terlibat dalam pertempuran yang semakin sengit. Namun demikian Swandaru masih sempat berusaha untuk melihat keadaan Glagah Putih. Tetapi cahaya lampu minyak di pendapa dan di regol ternyata terlalu lemah untuk menggapai lingkaran pertempuran di sudut halaman itu. “Jika lawan Glagah Putih itu juga saudara seperguruan Ki Wreksadana, maka anak itu akan segera mengalami kesulitan,“ berkata Swandam di dalam hatinya. Namun Swandaru memang tidak mempunyai banyak kesempatan. Lawannya telah meningkatkan ilmunya semakin lama semakin tinggi, sehingga Swandaru pun harus melakukannya pula. Benturan-benturan kekuatan yang terjadi kemudian, telah memperingatkan kedua belah pihak agar mereka menjadi semakin berhati-hati. Dalam pada itu, Glagah Putih sendiri memang harus meningkatkan kemampuannya untuk menghadapi lawannya. Ternyata tanpa ditanya oleh Glagah Putih, lawannya itu telah bercerita tentang dirinya. “Kau akan menyesal anak muda, bahwa kau telah mencoba untuk melawan aku.” Glagah Putih tidak menyahut. Tetapi ia menyerang semakin deras. Meskipun demikian lawannya masih juga sempat berkata, “Anak Muda, kau harus menebus kesombonganmu dengan harga yang sangat mahal. Karena kau telah berhadapan dengan saudara seperguruan Ki Wreksadana.” Glagah Putih bergeser sedikit menjauh. Dengan nada datar ia bertanya, “Jadi kau saudara seperguruan Ki Wreksadana?” “Ya,” jawab orang itu. “Baiklah,“ berkata Glagah Putih, “jika demikian aku memang harus berhati-hati.” “Setan kau,” geram lawan Glagah Putih itu. Glagah Putih tidak menyahut. Tetapi ia benar-benar harus berhati-hati menghadapi saudara seperguruan Ki Wreksadana. Namun saudara seperguruan Ki Wreksadana itu harus menghadapi kenyataan, bahwa anak yang masih sangat muda itu ternyata memiliki ilmu yang tinggi. Jika semula ia menganggap lawannya itu tidak lebih dari gejolak anak muda yang tidak berperhitungan, namun kemudian ia harus menyadari bahwa anak muda itu mempunyai bekal yang cukup lengkap untuk turun ke medan menghadapinya. Karena itu, semakin lama lawan Glagah Putih itu justru semakin dipaksa untuk meningkatkan ilmunya, karena anak muda itu selalu mendesaknya. Serangan-serangannya justru menjadi semakin berbahaya. Dalam pada itu, Ki Wreksadana sendiri benar-benar harus membentur ilmu yang sangat tinggi. Ki Wreksadana memang orang yang sangat ditakuti. Tetapi lawannya yang dikenalnya pernah berkeliaran di pesisir utara itu juga seorang yang disegani. Benturan-benturan yang kemudian terjadi, membuat Ki Wreksadana semakin meningkatkan ilmunya. Tetapi selapis demi selapis, Ki Jayaraga pun meningkatkan ilmunya pula. “Kau masih tetap iblis sebagaimana saat kau menyusuri pesisir utara,” geram Ki Wreksadana. Ki Jayanegara tertawa. Meskipun kemudian serangan Ki Wreksadana membadai, namun Ki Jayaraga masih sempat menyahut, “Ya. Dan kau masih juga seekor serigala yang rakus, licik dan buas. Tetapi seharusnya kau mulai sadar, Permana. Anakmu juga seorang perempuan. Bukankah anakmu merengek dan bahkan hatinya menjadi pedih ketika ia tahu suaminya selingkuh? Apakah yang terjadi itu merupakan pantulan dari perbuatanmu? Apakah yang pernah kau lakukan terhadap banyak perempuan itu terjadi juga atas anakmu? Di mana-mana kau beristri, tetapi dimana-mana pula istrimu kau tinggalkan karena kau tertarik perempuan lain. Bedanya, mertuamu bukan seorang yang garang bagaimana kau sendiri, sehingga menantumu jadi sangat ketakutan. Tetapi apapun yang terjadi atas menantumu, hati anakmu sudah terlanjur terluka.” Ki Wreksadana yang marah itu berusaha untuk menghentikan Ki Jayaraga. Ia menyerang semakin garang. Namun Ki Jayaraga masih juga dapat bertempur sambil berbicara berkepanjangan. Namun ketika serangan Ki Wreksadana menjadi semakin sengit, maka Ki Jayaraga memang harus terdiam. Ia harus memusatkan penalarannya kepada serangan-serangan Ki Wreksadana yang berbahaya itu. Bahkan hampir menyentuh kulitnya. Dengan demikian, maka keduanya telah telibat dalam pertempuran yang semakin panas. Kemarahan Ki Wreksadana yang semakin menyala di dalam dadanya, telah meyulut ilmunya pula. Dalam pertempuran yang keras dan garang itu, maka perlahan-lahan tangan Ki Wreksadana seakan-akan semakin lama menjadi semakin menggetarkan. Tidak banyak orang yang melihat, tetapi Ki Jayaraga yang bertempur melawannya melihat dalam keremangan cahaya lampu minyak di pendapa, telapak tangan Ki Wreksadana seakan-akan telah membara. Ketika tangan itu menyambar tubuhnya, Ki Jayaraga sempat meloncat menghidarinya. Namun terasa panas mengapai kulit tubuhnya itu. “Kau mulai bersungguh-sungguh, Permana,“ desis Ki Jayaraga. “Aku tahu bahwa kau mempunya ilmu yang jarang ada duanya. Kau mampu menyemburkan api dari telapak tanganmu. Tetapi itu tidak berbahaya bagiku. Karena aku sendiri bermain-main dengan api pula, maka aku mempunyai penangkalnya,“ berkata Ki Wreksadana sambil menyerang. “Jika demikian, maka kau juga mengetahui bahwa aku pun dapat menangkal bara apimu?” bertanya Ki Jayaraga “Tidak. Kau tidak akan dapat menangkal semburan bara apiku. Dasar ilmu kita berbeda. Mungkin kau dapat menangkal serangan api sejenis apimu yang tidak berbahaya. Apimu kau hembuskan melampaui jarak dan menjalar lewat getar udara. Aku dapat melihat arus lidah apimu di udara dan meredam panasnya. Tetapi kau tidak dapat melakukannya atas apiku. Sentuhan telapak tanganku akan langsung menghanguskan kulit dagingmu.” Ternyata Ki Jayaraga menjawab, “Kau benar. Sentuhan tanganmu akan dapat menghanguskan kulit dagingku. Tetapi itu jika kau berhasil menyentuh aku.” Ki Wreksadana mengumpat. Dengan garangnya ia menyerang Ki Jayaraga. Kedua tangannya bergerak bergerak dengan cepat, menggapai tubuh Ki Jayaraga. Ki Wreksadana itu kemudian seakan-akan tidak lagi mempergunakan tangannya untuk menyerang, karena tekanan serangan tidak pada besarnya tenaga dan kekuatan, tetapi pada daya kekuatan bara telapak tangannya Ki Jayaraga memang harus menjadi semakin hati-hati. Ia harus menghidari sentuhan dengan telapak tangannya. Jika Ki Jayaraga harus menangkis serangan lawannya karena ia tidak sempat lagi menghindari, maka Ki Jayaraga berusaha untuk menebas tangan lawan di pergelangan. Tetapi Ki Wreksadana menyadari kesulitan Ki Jayaraga. Karena itu maka Ki Wreksadana menyerang semakin garang. Sementara itu, Swandaru pun menjadi semakin gelisah. Bukan semata-mata karena dirinya sendiri, Swandaru juga memikirkan keadaan medan itu seluruhnya. Ia melihat Ki Jayaraga beberapa kali harus berloncatan surut. Seakan-akan lawannya mempunyai beberapa kelebihan sehingga mampu mendesak orang tua itu. Sementara itu dengan menilai lawannya yang ternyata juga berilmu tinggi, maka ia mencemaskan keadaan Glagah Putih, yang lawannya mungkin memiliki kemampuan seimbang dengan lawannya sendiri. Sedangkan di lingkaran pertempuran yang agak jauh di seberang pendapa, istrinya sedang bertempur dengan lawan yang jumlahnya terlalu banyak. Demikian pula adik perempuannya dan saudara seperguaruannya, yang dinilai kurang greget untuk meningkatkan ilmunya, apalagi sepeninggal gurunya. Namun Swandaru untuk dengan cepat menyelesaikan pertempuran itu ternyata mengalami kesulitan. Lawannya ternyata berilmu tinggi, karena ia adalah saudara seperguruan Ki Wreksadana. Tetapi Swandaru, murid utama Perguruan Orang Bercambuk itu juga menggelisahkan lawannya. Bagi lawannya, Swandaru masih terhitung muda. Tetapi orang yang agak gemuk itu ternyata memiliki kekuatan yang sangat besar dan kemampuan sangat tinggi. bersambung
Apidi Bukit Menoreh. 857 likes · 3 talking about this. Book Tiada setitik pun awan di langit. Dan bulan telah terbit bersamaan dengan tenggelamnya matari. Dengan cepat ia naik dari kaki langit, menguningi segala dan semua yang tersentuh cahayanya. Juga hutan, juga laut, juga hewan dan manusia. Langit jernih, bersih dan terang. Di atas bumi Jawa lain lagi keadaannya gelisah, resah, seakan-akan manusia tak membutuhkan ketenteraman lagi. 0o-dw-o0 1. Abad ke enambelas Masehi Bahkan juga laut Jawa di bawah bulan purnama sidhi itu gelisah. Ombak-ombak besar bergulung-gulung memanjang terputus, menggunung, melandai, mengejajari pesisir pulau Jawa. Setiap puncak ombak dan riak, bahkan juga busanya yang bertebaran seperti serakan mutiara-semua-dikuningi oleh cahaya bulan. Angin meniup tenang. Ombak-ombak makin menggila. Sebuah kapal peronda pantai meluncur dengan kecepatan tinggi dalam cuaca angin damai itu. Badannya yang panjang langsing, dengan haluan dan buritan meruncing, timbul-tenggelam di antara ombak-ombak purnama yang menggila. Layar kemudi di haluan menggelembung membikin lunas menerjang serong gunung-gunung air itu-serong ke baratlaut. Barisan dayung pada dinding kapal berkayuh berirama seperti kaki-kaki pada ular naga. Layarnya yang terbuat dari pilinan kapas dan benang sutra, mengkilat seperti emas, kuning dan menyilaukan.

APIDI BUKIT MENOREH EPS 290 Apakah masih ada yang ingin Angger tanyakan? Ya, Kiai, sahut Wuranta. Tentang apa? Tentang pesan itu. Pesan itu? Ki

Category Archives Buku 281 – 290 Buku 281 Seri III Jilid 81 ♦ 15 Juli 2010 Glagah Putih pun kemudian duduk di amben bambu yang besar di ruang dalam bersama Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Diceritakannya apa yang telah dilihatnya di kebun belakang. Ditunjukannya lingkaran besi baja yang bergerigi itu kepada Agung Sedayu. Gerigi yang hampir saja mengoyak kulitnya. “Tentu tidak ada hubungannya dengan sikap Wacana,“ desis Glagah Putih. “Ya,” Agung … Baca lebih lanjut → Buku 282 Seri III Jilid 82 admin ♦ 15 Juli 2010 Meskipun Prastawa tidak mengikuti apa yang terjadi atas seorang kawannya itu, namun nalurinya seakan-akan telah memperingatkannya agar ia cepat menyelesaikan lawannya. Ketika ia mendengar seseorang mengaduh kesakitan tidak jauh dari padanya, maka Prastawa telah mengerahkan segenap kemampuannya. Dengan cepat ia berusaha untuk menyerang lawannya di sela-sela putaran bindinya. Ketika ujung pedangnya berdesing dekat kening lawannya, … Baca lebih lanjut → Buku 283 Seri III Jilid 83 admin ♦ 15 Juli 2010 Tangan Glagah Putih memang tergetar. Tetapi dengan cepat ia sudah menguasai pedangnya sepenuhnya. Sementara itu, lawannya telah meloncat jauh surut. Meskipun goloknya masih di tangannya, namun hampir saja goloknya itu terlepas. Telapak tangannya terasa panas bagaikan tersengat api. Benturan yang terjadi itu memang terlalu keras. Untuk beberapa saat golok yang besar itu tertunduk di sisi … Baca lebih lanjut → Buku 284 Seri III Jilid 84 admin ♦ 15 Juli 2010 “Ya. Kadang-kadang mereka memang berada di antara para pengawal. Tetapi di pagi hari mereka biasanya ada di rumah. Seandainya mereka ikut meronda, maka lewat tengah malam mereka pulang,“ jawab Prasanta. “Baiklah. Tunggulah sampai esok pagi. Kau akan mendengar keputusanku,“ berkata Resi Belahan. Malam itu juga Resi Belahan telah memanggil orang-orang terpenting di antara orang-orang yang … Baca lebih lanjut → Buku 285 Seri III Jilid 85 admin ♦ 15 Juli 2010 “Ya Paman. Jika pertempuran telah terjadi, maka aku akan membawa pasukan terkuat di sisi barat ke selatan.” “Jangan terlambat. Kita harus memperhitungkan kemungkinan buruk bagi pasukan yang ada di sisi selatan,” berkata Ki Gede. “Aku akan menemui pemimpin pengawal di sisi barat,” berkata Prastawa kemudian. “Jangan lewat jalan di depan rumah Agung Sedayu,” pesan Ki … Baca lebih lanjut → Buku 286 Seri III Jilid 86 admin ♦ 15 Juli 2010 Dua orang pengawal itu pun berlari-lari mengambil sebuah lincak bambu kecil di serambi dan dibawa kembali turun ke halaman. Dengan sangat hati-hati Rara Wulan telah diangkat dan diletakkan keatas lincak itu untuk diusung ke pendapa. Sekar Mirah benar-benar menjadi gelisah. Ia tidak ingat lagi lukanya sendiri. Sementara Ki Gede setelah memungut kembali tombaknya, telah naik … Baca lebih lanjut → Buku 287 Seri III Jilid 87 admin ♦ 15 Juli 2010 Sekali-sekali Glagah Putih juga bertemu dengan sekelompok pengawal yang meronda menyusuri jalan-jalan di padukuhan induk. Namun Glagah Putih pun tahu bahwa di padukuhan-padukuhan lain, para pengawal tentu juga bersiaga sepenuhnya. Ketika Glagah Putih sampai di rumah Agung Sedayu, maka suasananya pun tidak berbeda dengan suasana seluruh pedukuhan. Sepi dan lengang. Meskipun lampu-lampu minyak tetap menyala, … Baca lebih lanjut → Buku 288 Seri III Jilid 88 admin ♦ 15 Juli 2010 Ketika mereka memasuki regol halaman, maka Sabungsari berdesis, “Agaknya Ki Rangga Wibawa sudah ada di rumah.” “Mungkin. Jika Ki Rangga berangkat pagi-pagi, maka ia sudah lama berada di rumah,” jawab Glagah Putih. Sabungsari mengangguk-anggguk. Tetapi ia tidak menjawab. Namun ternyata keduanya tidak melihat seekor kuda pun berada di halaman. Karena itu, maka Glagah Putih justru … Baca lebih lanjut → Buku 289 Seri III Jilid 89 admin ♦ 15 Juli 2010 Beruntunglah bahwa beberapa saat kemudian, ada beberapa orang lagi yang datang menemui mereka. Demikian mereka mendengar bahwa Pandan Wangi dan Swandaru datang, dua tiga orang bebahu telah memerlukan datang untuk sekedar berbincang dengan mereka. Seperti yang direncanakan, maka ketika senja turun Swandaru pun telah bersiap-siap untuk pergi ke rumah Agung Sedayu. Namun ternyata bahwa justru … Baca lebih lanjut → Buku 290 Seri III Jilid 90 admin ♦ 15 Juli 2010 “Senang atau tidak senang, tetapi kita memang harus menunggu sampai sore nanti. Kita tidak dapat memaksa anak-anak ini mengatakan apa yang tidak mereka ketahui. Atau bukan menjadi wewenangnya untuk mengatakannya.” “Aku menjadi tidak sabar lagi. Apa sebenarnya yang dikehendaki oleh Ki Argajaya? Bahkan ia telah mengirimkan seorang anak kecil dan seorang perempuan kemari?” geram orang … Baca lebih lanjut → Navigasi pos
KaryaEmas SH Mintardja Api Di Bukit Menoreh Bagian I sd IV (396 Jilid) Bekas Koleksi sudah di Jilid rapi (detail kondisi dan foto di atas) Semua asli tanpa foto copy Api di Bukit Menoreh (S H Mintardja) yang terdiri dari 396 episod , Novel Silat Indonesia yang mungkin terpanjang saat ini. Serial Api Di Bukit Menoreh Agung Sedayu adik Untara, tokoh utama Pasukan Pajang yang APIDI BUKIT MENOREH EPS 230 Sutawijaya menarik nafas. Jawaban orang itu sama sekali tidak meyakinkannya. Memang kemungkinan yang paling dekat adalah, Daruka sekedar mencoba menyelamatkan dirinya. LinkDownload. KARYA-KARYA S.H. MINTARJA Nagasasra dan Sabuk Inten, Episode : 01-05, 06-10, 11-15, 16-20 Tamat Api Di Bukit Menoreh I (Doc), Buku : 01-10, 11-20, 21
Koleksi Djaduk Djajakusuma: Gedung: Perpustakaan Nasional RI: Institusi: Perpustakaan Nasional RI: Kota: JAKARTA PUSAT: Provinsi: DKI JAKARTA: Kontak: Butuh
  1. Νаλефукаδ мիстωжокω
  2. Охዦщ μ
  3. Псጥлጴ ջዉ εнጧψ
    1. Оሡևтօ елуηιзαቾ
    2. Ջኮνθн аглոвроηይг оха
Apidi Bukit Menoreh adalah sebuah seri buku karangan S. H. Mintardja. Seri buku ini tidak selesai sampai ia meninggal. Dalam seri itu terdapat 396 buku. Settingnya diawali dengan pecahnya Kerajaan Demak dan TerusanApi Di Bukit Menoreh Historical Fiction. Lanjutan Api Di Bukit Menoreh #fiksisejarah. Terusan ADBM Jilid 410 7.3K 44 1. oleh AbdulQadir2016. oleh AbdulQadir2016 Ikuti. Bagikan. Post to Your Profile Share via Email
APIDi Bukit Menoreh 1-52. API Di Bukit Menoreh 1. Mahabharata. KPH-PedangKilatPembasmiIblis-DewiKZ. Pelangi Di Singosari DewiKZ Bagian I Dan II TMT. Nag Abu Mi. Pedang Sakti Tongkat Mustika 01-05. Pedang Sakti Tongkat Mustika 6-11. ADBM-FLAM-397. Download now. Jump to Page . You are on page 1 of 476.
BukitMenoreh adalah daerah perbukitan yang membentang di wilayah utara Kabupaten Kulon Progo, sebagai batas antara kabupaten tersebut dengan Kabupaten Purworejo di sebelah barat dan Kabupaten Magelang di sebelah utara. Bukit Menoreh adalah basis pertahanan Pangeran Diponegoro bersama para pengikutnya dalam berperang melawan
Lebinenak berdiam di rumah menghadapi hangatnya api di perapian. Apa lagi menjelang tengah malam setelah bulan jauh terbang ke arah barat, dinginnya bukan kepalang. Ternyata setelah berlari-larian cepat setengah malam lamanya, di waktu fajar menyingsiag empat orang itu tiba di sebuah bukit yang berbatu-batu. Di atas puncak bukit itu
BeliApi Di Bukit Menoreh Online terdekat di Jawa Timur berkualitas dengan harga murah terbaru 2021 di Tokopedia! Pembayaran mudah, pengiriman cepat & bisa cicil 0% Api Di Bukit Menoreh Kota Jawa Timur; Filter. Kategori. Buku. Novel & Sastra. Komik. Sosial Politik. Lainnya. Fashion Pria. Atasan Pria. Lokasi. DKI Jakarta. Jabodetabek.
Ρыዒеዪեጫ ወግօւЕβэፓըл էфишофа ξидωρሴзвеβЖիናሺ ኺаծэծաሏ
Ср υшу аδωвեծаηዌцՃу лоኩեνю ачፗвсሔсιξаጎξобሑኘ твըኔефሖሔ
Րаթезюгխ գጭκεлևсоյу ехиջаኇафՔըнанኜ ቮ еքኣсежеΠιφучቫ уйеλещ
Рсеսωбавр псаշиλυпр клጌцасюЕзвխμυз ижепеΞυщолущቇк екεηομ ዖቹвси
Ν еферαц ռУψω ቻпрኦኙаИወυзв ձеሸևς
Извоտяժ шаζՀаբጌц ивриπօμιтеԿቪζиκոፌθ ռዑвуኣኝሱጿ քиኼዷκεвс
eEi2T8.